Orientasi UU
No. 21 tahun 2008 adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai-nilai
Islam, yaitu keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmat li al-alamin), sehingga masyarakat
Indonesia masa dpean mengalami peningkatan kesejahteraan ekonomi di atas
landasan prinsip syariah. Orientasi ini tergambar dari kandungan materi UU,
salah satunya adalah dalam hal tujuan UU, yaitu menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam menegakkan keadilan, memupuk kebersamaan, dan
menciptakan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Meningkat dan
meratanya kesejahteraan rakyat berdampak pada menurunnya angka kemiskinan yang
pada gilirannya dapat menekan tingkat kejahatan bahkan kekufuran, karena
seperti disabdakan oleh Nabi Muhammad kefakiran bisa membuat orang menjadi
kafir.
Kemaslahatan
atau kebaikan dan kebahagiaan adalah tujuan utama hukum Islam. Ayat-ayat
Alquran mengisyaratkan bahwa secara umum tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan
dan kebahagiaan hidup manusia di duia dan di akherat dengan cara mengambil yang
bermanfaat dan menolak yang mudarat. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam
adalah kemaslahatan hidup manusia di dunia dan diakhirat.[1]
Tujuan ini memberikan pengertian bahwa hukum Islam merupakan rahmat Allah SWT
bagi manusia, bahkan bagi segenap alam. Oleh karenanya, perwujudan rahmat bisa
terealisir apabila hukum Islam benar-benar menghadirkan kemaslahatan dan
kebahagiaan bagi manusia.
Kemaslahatan
ada yang bersifat primer, sekunder dan tersier. Al-dharuriyat ialah sesuatu
yang harus ada demi tegaknya kebaikan di dunia dan di akhirat dan jika ia tidak
ada maka kebaikan akan sirna. Ia berlaku di bidang ibadah, adat, muamalah, dan
jinayah. Ia terkumpul dalam lima bentu pemeliharaan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara harta kekayaan, dan
memelihara akal pikiran.
Al-hajiyat
ialah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk menghilangkan
kesulita dan kepicikan. Ketiadaan hajiyat dalam masyarakat tidak menjadikan
rusaknya kehidupan, tetapi akan mendatangkan kesulitan, kesempitan, dan
kepicikan. Ia berlaku di berbagai bidang kehidupan seperti ibadat, adat,
muamalah, dan jinayah. Khusus bidang muamalah seperti dikatan oleh al-Syatibi,
hajiyat terkait dengan masalah jual beli al-salam,
al-murabahat, al-istisna, al-musaqat
dan yang lainnya.
Al-tahsiniyat ialah mempergunakan
sesuatu yang layak dan dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik. Ia berhubungan
dengan makarim al-akhlaq dan berlaku
di bidang ibadat, adat, muamalah, dan al-uqubat.
Yang terkait langsung antara pemilahan tujuan hukum Islam berdasarkan sifatnya
dengan UU No. 21 ialah terutama bidang muamalah. Mencari rizki termasuk al-dharuriyat yang merujuk kepada
memelihara keturunan dan harta. Cara mencari nafkah secara al-hajiyat diimplementasikan dalam bentuk jual beli (salam, murabahat, istisna), wadi’at, musyarakat, ijarat, qardh, wakalat,
wakaf, dan mudharabat yang
kemudian dijadikan pedoman oleh perbankan syariah dalam melaksanakan kegiatan
usaha. Ini bisa dilihat dalam UU No. 21 tahun 2008 Pasal 1 ayat (20) s/d (25),
(28); Pasal 4 ayat (3); Pasal 19 ayat (1) huurf a, b, c, d, e, f, g, i dan n;
pasal 19 ayat (2) huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i; dan pasal 21 huruf a nomor
1 dan 2; huruf b angka 1 sampai 4 dan huruf d.
[1] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa
al-Luhmy al-Gharnathy yang dikenal dengan al-Syatibi, al-muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (t.tp: Dar al-Fikr, t.t) Juz II
hlm. 2
No comments:
Post a Comment