Thursday, February 28, 2019

Prinsip Belajar dan Syarat Peserta Didik Berhasil Belajar

a.        Prinsip-prinsip Belajar
Prinsip-prinsip belajar dapat mengungkap batas-batas kemungkinan dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran, pengetahuan tentang teori dan prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru dalam memilih tindakan yang tepat. Banyak teori dan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli yang satu dengan yang lain memiliki persamaan dan juga perbedaan. Dari berbagai prinsip belajar tersebut terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum yang dapat kita pakai sebagai dasar dalam pembelajaran, baik bagi peserta didik maupun bagi guru dalam upaya meningkatkan pembelajaran. Prinsip-prinsip itu berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung atau berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan individual.
Implikasi prinsip-prinsip belajar bagi peserta didik adalah peserta didik sebagai “primus motor” (motor utama) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan alasan apa pun tidak dapat mengabaikan begitu saja adanya prinsip-prinsip belajar. Justru para peserta didik akan berhasil dalam pembelajaran jika mereka menyadari implikasi prinsip-prinsip belajar terhadap diri mereka.
Adapun implikasi prinsip-prinsip belajar bagi guru dalah guru sebagai orang kedua dalam kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari adanya prinsip-prinsip belajar. Guru sebagai penyelenggara dan pengelola kegiatan pembelajaran terimplikasi oleh adanya prinsip-prinsip belajar ini. Implikasi prinsip-prinsip belajar bagi guru tampak pada rencana pembelajaran maupun pelaksanaan kegiatan pembelajarannya. Implikasi prinsip-prinsip belajar bagi guru terwujud dalam perilaku fisik dan psikis mereka. Kesadaran adanya prinsip-prinsip belajar yang terwujud dalam perilaku guru dapat diharapkan adanya peningkatan kualitas pembelajaran yang diselenggarakan (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 41).
b.        Syarat Peserta Didik Berhasil Belajar
Belajar dalam satu bidang tidaklah menjamin dalam bidang yang lain.  Misalnya guru pada suatu kursus memperkembangkan suatu keterampilan pada tingkat yang tinggi dengan membagi-bagi personil dalam kelas-kelas laboratoris atau ruang-ruang kelas, tetapi dia mungkin tidak berminat untuk mengusahakan agar keterampilan ini dilengkapi dengan bagian-bagian belajar itu tidak dapat diperoleh. Belajar tidak terjadi dalam artian yang lebih luas, padahal belajar adalah tentang perubahan kelakuan seorang individu bilamana sedang mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu.

Agar peserta didik dapat berhasil belajar, diperlukan persyaratan tertentu. Antara lain seperti dikemukakan berikut ini : 1. Kemampuan berpikir yang tinggi bagi para peserta didik, hal ini ditandai dengan berpikir kritis. Logis, sistematis, dan objektif (scholastic aptitude test), 2. Menimbulkan minat yang tinggi terhadap mata pelajaran (interest inventory), 3. Bakat dan minat yang khusus, para peserta didik dapat dikembangkan sesuai potensinya (differential aptitude test), 4. Menguasai bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk meneruskan pelajaran di sekolah yang menjadi lanjutannya (achievement test),5. Menguasai salah satu bahasa asing, terutama bahasa Inggris (english comprehension test) bagi peserta didik yang telah memenuhi syarat untuk itu, 6. Stabilitas psikis (tidak mengalami masalah penyesuaian diri dan seksual), 7. Kesehatan jasmani, 8. Lingkungan yang tenang, 9. Kehidupan ekonomi yang memadai, dan 10. Menguasai teknik belajar di sekolah dan di luar sekolah (Sagala Syaiful, 202011: 57).

Arti dan Makna belajar

    
Perubahan seseorang yang asalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil dari proses belajar. Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat ekspilit maupun implisit (tersembunyi).
Menurut Staton (1978: 9), seharusnya keberhasilan suatu program pembelajaran diukur berdasarkan tingkatan perbedaan cara berfikir, merasa, dan berbuat  para peserta didik sebelum dan sesudah memperoleh pengalaman-pengalaman belajar dalam menghadapi situasi yang serupa. Dengan kata lain, apabila suatu kegiatan pembelajaran telah berhasil. Maka, seharusnya berubah pula lah cara-cara pendekatan peserta didik yang bersangkutan dalam menghadapai tugas-tugas sebelumnya.
                 Untuk menangkap isi dan pesan dalam belajar. Maka, dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah kognitif, afektif , dan psikomotorik. Kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penerapan, analysis, sintesis, dan evaluasi. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian atau penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup, dan Psikomotorik yaitu kemampuan yang terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreatifitas.
Akibat belajar dari ketiga ranah ini akan bertambah baik. Arthur T. Jersild menyatakan bahwa :
“Belajar adalah “modification of behavior through experience and training” yaitu perubahan atau membawa akibat perubahan tingkah laku dalam pendidikan. Karena, pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan”.
Gagasan yang menyatakan bahwa belajar menyangkut perubahan dalam suatu organisma, berarti belajar juga membutuhkan waktu dan tempat. Belajar disimpulkan terjadi apabila tampak tanda-tanda bahwa perilaku manusia berubah sebagai akibat terjadinya proses pembelajaran. Perhatian utama dalam belajar adalah perilaku verbal dari manusia. Yaitu kemampuan manusia untuk menangkap infomasi mengenai ilmu pengetahuan yang diterimanya dalam belajar (Sagala Syaiful, 2011: 11-14).
Menurut Gagne (1970), belajar terdiri dari tiga komponen penting. Yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dari lingkungan dalam acara belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif peserta didik, dan hasil belajar yang menggambarkan infomasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Kondisi internal belajar ini berinteraksi dengan kondisi eksternal belajar. Dari interaksi tersebut tampaklah hasil belajar.
Menurut Yana Sudjana, mengungkapkan bahwa :
“Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik (http//eprints.unu.ac.id/9829)”.
Untuk lebih memperjelas interaksi tersebut, dalam hal ini Dimyati dan Mudjiono (1999: 11) melukiskan komponen-komponen esensial belajar dan pembelajaran tersebut dalam bentuk skema atau bagan. Yaitu sebagai berikut :

    Kondisi internal belajar                                                              Hasil Belajar

Keadaan internal dan proses kognitif peserta didik
 
                                                                                   Informasi Verbal
                                                                                                  Keterampilan intelek
 


                                                                                                   Keterampilan motorik
Stimulus dari lingkungan
 
        Berinteraksi dengan                                                                       Sikap
                                                                                                  Siasat kognitif
                                                                             Acara Pembelajaran

   
     Kondisi Eksternal belajar
                 Skema atau bagan tersebut di atas melukiskan hal-hal. Yaitu sebagai berikut : 1. Belajar merupakan interaksi antara “keadaan internal dan proses kognitif peserta didik” dengan “stimulus dari lingkungan”, 2. Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif.
                 Kelima hasil belajar tersebut merupakan kapabilitas peserta didik. Kapabilitas peserta didik tersebut berupa : 1. Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemikiran informasi verbal memungkinkan individu berperanan dalam kehidupan, 2. Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiri dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, dan prinsip, 3. Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani, 4. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut, dan 5. Siasat kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 11-12).

                 Dengan keberhasilan belajar. Maka, peserta didik akan menyusun program belajar dan tujuan belajar sendiri. Bagi peserta didik, hal itu berarti melakukan emansipasi diri dalam rangka mewujudkan kemandirian.

Model Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) Sebagai Salah Satu Implementasi Model Pembelajaran Inovatif dan Kooperatif

  
Proses pembelajaran adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang terorganisir. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan pembelajaran terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengawasan ini turut menentukan lingkungan itu membantu kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang menantang dan merangsang para peserta didik untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan serta mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar di dalam suatu kelas adalah “ job description”  merupakan proses pembelajaran yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok peserta didik.
Sehubungan dengan hal itu, job description  guru dalam implementasi proses pembelajaran adalah : 1. Perencanaan instruksional. Yaitu alat atau media untuk mengarahkan kegiatan-keggiatan organisasi belajar, 2. Organisasi belajar yang merupakan usaha menciptakan wadah dan fasilitas-fasilitas atau lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mengandung kemungkinan terciptanya proses pembelajaran, 3. Menggerakan peserta didik yang merupakan usaha memancing, membangkitkan, dan mengarahkan motivasi belajar peserta didik. Penggerak atau motivasi di sini pada dasarnya mempunyai makna lebih dari memerintah, mengarahkan, mengaktualkan, dan memimpin, 4. Supervisi dan pengawasan. Yaitu usaha mengawasi, menunjang, membantu, menugaskan, dan mengarahkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan perencanaan instruksional yang telah di desain sebelumnya, dan 5. Penelitian yang lebih bersifat penafsiran (assessment) yang mengandung pengertian yang lebih luas dibanding dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan (Djamarah dan Aswan Zain, 2010: 29-30).
Proses pembelajaran juga merupakan inti dari kegiatan pendidikan di sekolah. Agar tujuan pendidikan dan pembelajaran berjalan dengan benar, maka perlu pengadministrasian kegiatan-kegiatan pembelajaran yang lazim disebut administrasi kurikulum. Bidang pengadministrasian ini sebenarnya merupakan pusat dari semua kegiatan di sekolah. Berdasarkan alasan tersebut, maka sangatlah penting bagi para pendidik untuk memahami karakteristik materi, peserta didik, dan metodologi pembelajaran, serta model-model pembelajaran modern. Dengan demikian, proses pembelajaran akan variatif, inovatif, dan konstruktif dalam merekonstruksi wawasan pengetahuan dan implementasinya. Sehingga, dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
Untuk dapat merencanakan proses pembelajaran secara inovatif yang mampu memberikan pengalaman yang berguna bagi peserta didik, kita perlu memperhatikan komponen penting dalam proses pembelajaran. Dari proses komponen pembelajaran tersebut, guru dapat merencanakan kegiatan dan model pembelajaran yang relevan dengan tujuan belajar.
Menurut Gagne (1975) mengemukakan bahwa :
Proses belajar yang baik diawali dari fase motivasi. Jika motivasi tidak ada pada peserta didik, sulit akan diharapkan terjadi proses belajar dalam diri mereka. Dari motivasi ini akan melahirkan harapan-harapan yang tinggi, menurut teori dan berbagai penelitian, ada kemungkinan untuk berhasil dalam belajarnya. Oleh sebab itu, tugas utama guru dalam melakukan inovasi pembelajaran untuk terjadinya hasil belajar yang optimal pada siswa ialah menghidupkan motivasi belajar pada peserta didik (Hamzan dan Nurdin Mohamad, 2012: 304).

Pembelajaran inovatif adalah suatu proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga berbeda dengan pembelajaran pada umumnya yang dilakukan oleh guru (konvensional). Pembelajaran inovatif lebih mengarah pada pembelajarn yang berpusat pada peserta didik (student centered). Proses pembelajaran dirancang, disusun, dan dikondisikan untuk peserta didik agar belajar. Dalam pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, pemahaman konteks peserta didik menjadi bagian yang sangat penting. Karena, dari sinilah seluruh rancangan proses pembelajarn dimulai. Hubungan antara guru dengan peserta didik menjadi hubungan yang saling membangun. Otonomi peserta didik sebagai pribadi dan subjek pendidikan menjadi titik acuan seluruh perencanaan dan proses pembelajaran. Pembelajaran semacam ini disebut dengan pembelajaran aktif.
Pembelajaran aktif merupakan proses pembelajarn di mana seorang guru harus dapat menciptakan suasana yang sedemikian rupa sehingga peserta didik aktif bertanya, mempertanyakan, dan juga mengemukakan gagasan-gagasannya. Disamping aktif, pembelajaran juga harus menyenangkan. Pembelajaran menyenangkan berkaitan erat dengan suasana belajar yang menyenangkan. Sehingga, peserta didik dapat memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajarnya. Keadaan yang aktif dan menyenangkan tidaklah cukup, jika proses pembelajaran tidak efektif. Yaitu menghasilkan apa yang harus dikuasai oleh para peserta didik. Sebab, pembelajaran memiliki sejumlah tujuan yang harus dicapai. Untuk mencapai tujuan dan menghasilkan apa yang harus dikuasai peserta didik. Maka, ada beberapa model pembelajaran inovatif yang dapat di terapkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Adapun salah satu dari model pembelajaran inovatif adalah model pembelajaran cooperative integrated reading and composition (CIRC) (Hamzan dan Nurdin Mohamad, 2012: 105-115).
Model pembelajaran cooperative integrated reading and composition (CIRC) atau kooperatif terpadu membaca dan menulis dari Steven dan Slavin (1995) mengatakan bahwa :
“Model pembelajaran untuk melatih kemampuan peserta didik secara terpadu antara membaca dan menemukan ide pokok suatu wacana atau kliping tertentu dan memberikan tanggapan terhadap wacana atau kliping secara tertulis”.
Adapun langkah-langkahnya. Yaitu sebagai berikut : a. Membentuk kelompok yang anggotanya empat orang secara heterogen, b. Guru memberikan wacana atau kliping sesuai dengan topik pembelajaran, c. Peserta didik bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide-ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana atau kliping dan ditulis pada lembar kertas, d. Mempresentasikan atau membacakan hasil kelompok, e. Guru membuat kesimpulan bersama, dan f. Penutup (Komalasari Kokom, 2010: 67).
Model ini dikembangkan untuk meningkatkan kesempatan peserta didik untuk membaca dengan keras dan menerima umpan balik dari kegiatan membaca mereka dengan membuat para peserta didik membaca untuk teman satu timnya dengan melatih mereka mengenai saling merespons kegiatan membaca mereka dan menuliskan ide-ide pokok yang ada di dalam wacana atau kliping atau materi yang diberikan oleh guru. Model tersebut mengutaman kerja sama dalam kelompok atau tim dan saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok tersebut dibentuk secara heterogen, baik jenis kelamin maupun kemampuan membaca dan menulis peserta didik. Setiap kelompok terdiri dari dua sampai empat orang peserta didik. Pengaturan ruangan tidak diatur secara klasikal tetapi dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.
Adapun tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran cooperative integrated reading and composition (CIRC). Yaitu : a. Tahan I, mengidentifikasikan topik dan mengorganisasikan ke dalam kelompok kerja, b. Tahap II, merencanakan kegiatan kelompok, c. Tahap III, melaksanakan pembelajaran, d. Tahap IV, mempersiapkan laporan akhir, e. Tahap V, menyajikan laporan, dan f. Tahap VI, evaluasi.
Keberhasilan di dalam belajar kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok (Slavin, 1984). Sehubungan dengan pengertian tersebut, Jhonson, et.al., 1994; Hamid Hasan, 1996 menegaskan bahwa :
“Pembelajaran kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil, dua sampai lima orang dalam pembelajaran yang memungkinkan peserta didik bekerja sama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok”. (Komalasari Kokom, 2010: 62).
Adapun salah satu model dari pembelajaraan kooperatif adalah cooperative integrated reading and composition (CIRC) yang merupakan kooperatif terpadu membaca dan menulis dari Steven dan Slavin (1995). 

Problematika dan Kasus Model Pembelajaran

    
Pengalaman di antara guru atau pendidik dalam proses pembelajaran menunjukkan bahwa ada pada beberapa sekolah. Model pembelajarannya mengkondisikan peserta didik disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang kurang perlu seperti mencatat bahan pelajaran yang sudah ada dalam buku, menceritakan hal-hal yang tidak perlu, dan sebagainya. Sering pula ditemukan waktu kontak antara guru dengan peserta didik tidak dimanfaatkan secara baik.  Guru lebih suka memaksakan kehendaknya dalam belajar peserta didik sesuai keinginannya dan ada juga guru untuk memudahkan kerjanya meminta salah seorang peserta didik untuk mencatat dipapan tulis kemudian peserta didik lainnya mencatat apa yang dicatat dipapan tulis dan kegiatan-kegiatan lainnya yang kurang perlu dan sebagainya. Sedangkan guru yang bersangkutan istirahat di ruang guru atau duduk di kelas asyik dengan kegiatannya sendiri. Model pembelajaran seperti ini tentu saja dipandang tidak mendidik seperti dikemukakan A.S. Neil (1973) menyebutkan bahwa :
“Saya percaya bahwa memaksakan apapun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apapun sampai dia mampu berpendapat dengan mengemukakan pendapatnya sendiri” (Hobson dalam Palmer, 2003: 1). Pendapat Neil ini memberikan gambaran bahwa para peserta didik diminta untuk berpikir dan belajar tanpa tekanan. Tetapi, bimbingan dan arahan yang menganut prinsip-prinsip kemerdekaan dan demokrasi.
Masalah lainnya adalah kepala sekolah tidak memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melalukan evaluasi tentang program pembelajaran. Kepala sekolah tersebut membiarkan para guru menggunakan model pembelajaran yang telah lama dilaksanakan atau bersifat rutin belaka. Sehingga, kepala sekolah tidak mengetahui mana yang harus diperbaiki dan mana yang dikembangkan dalam program pembelajaran. Seharusnya, kepala sekolah mendorong para guru menggunakan model-model pembelajaran yang dapat memberi jaminan bahwa pembelajaran dilakukan atas dasar prinsip-prinsip pedagogik.
Dukungan kepala sekolah ini diwujudkan dalam bentuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pembelajaran. Sejalan dengan pendapat tersebut, maka pijakatn utama bagi praktek pembelajaran yang bijak dari seorang pendidik yang terlatih menurut kontrol dan rutin serta bantuan nyata sesuai aturan-aturan sosial. Namun, tetap dengan kebebasan pribadi yang luas (Hinshelwood dalam Palmer, 2003: 11). Artinya keterampilan guru dalam menggunakan sarana dan prasarana dalam pembelajaran secara optimal adalah penting.

Arti dan Makna Model Pembelajaran


Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model-model pembelajaran yang dipandang mampu mengatasi kesulitan guru melaksanakan pembelajaran dan juga kesulitan belajar peserta didik.
Model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model dapat dipahami sebagai : 1. Suatu tipe atau desain, 2. Suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat diamati dengan langsung, 3. Suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara sistematis suatu obyek atau peristiwa, 4. Suatu desain yang disederhanakan secara sistematis dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan, 5. Suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner, dan 6. Penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya (Komaruddin, 2000: 152).
Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasar pengertian tersebut. Maka, model pembelajaran dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Menurut Joyce dan Weil (2000: 13) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah :
Suatu deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus, desain unit-unit pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, buku-buyku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui program komputer. Sebab, model-model ini menyediakan alat-alat pembelajaran bagi para peserta didik.

                 Joyce dan Weil (2000) mengemukakan ada empat kategori yang penting diperhatikan dalam model pembelajaran. Yakni model informasi, model personal, model interaksi, dan model tingkah laku. Model pembelajaran yang telah dikembangkan dan dites keberlakuannya oleh para pakar pendidikan dengan mengklasifikasikan model pembelajaran pada empat kelompok. Yaitu 1. Model pemrosesan informasi (infomation processing models), 2. Model personal (personal family), 3. Model sosial (social family), 4. Model sistem perilaku dalam pembelajaran (behavioral model of teaching).
                 Sejalan dengan teori kovergensinya, William Stern mengimplementasikan nya dalam hal pembelajaran telah menyebabkan munculnya berbagai teori-teori belajar dan model pembelajaran. 1. Model behavioral yang terdiri dari belajar tuntas, belajar kontrol diri sendiri, simulasi, dan bahan belajar asertif, 2. Model pemrosesan informasi yang terdiri dari model pembelajaran inquiri, presentase kerangka dasar atau “advance organizer”, dan model pengembangan berfikir, dan 3. Model lainnya yang dapat dijadikan pendekatan yang efektif dalam pembelajaran. Tetapi, model pembelajaran dengan modul, model pembelajaran dengan kaset video, audio, komputer, dan pembelajaran berprogram pelaksanaannya dalam pembelajaran benar-benar harus sesuai dengan yang telah direncanakan dalam perencanaan pembelajaran yang disusun oleh guru.
                 Model pembelajaran akan menjelaskan makna kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh guru selama pembelajaran berlangsung. Setiap guru atau pendidik akan alasan-alasan mengapa dia melakukan kegiatan dalam pembelajaran dengan menentukan sikap tertentu.
                 Rooijakkers (2003: 13) mengemukakan bahwa :
                 Apabila guru atau pendidik tidak mengetahui apa yang sebenarnya yang terjadi dalam pikiran peserta didiknya untuk mengerti sesuatu, berarti dia pun tidak akan dapat memberi dorongan yang tepat kepada mereka yang sedang belajar. Para peserta didik akan mudah melupakan pelajaran yang diterimanya, jika guru tidak memberi penjelasan yang benar dan menyenangkan.

            Model satuan pelajaran yang disusun dan dijabarkan oleh guru secara umum yang ada dalam kurikulum dan GBPP menjadi tujuan instruksional khusus. Model satuan pelajaran ini guru menentukan dan menyusun alat evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar peserta didik, memilih dan merumuskan bahan ajaran, merencanakan proses pembelajaran, serta menentukan media dan alat pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran ini selain sederhana, juga tidak menuntut biaya yang tinggi. Karena, disusun oleh guru itu sendiri, baik mengenai isi, media yang digunakan, dan kegiatan pembelajaran. Sedangkan, model pembelajaran dengan kaset video, audio, komputer, dan pembelajaran berprogram disusun oleh tim atau lembaga khusus yang terdiri dari beberapa ahli. Peran guru dalam model ini adalah sebagai pelaksana atau fasilitator belajar. Karena, semua komponen pembelajaran telah disusun secara terpadu dalam pusat teknologi pembelajaran (Sagala Syaiful, 2011: 178).

Monday, February 25, 2019

Lingkup perkembangan Anak usia dini


Lingkup perkembangan tingkat usia dini anak meliputi 6 aspek yang masing-masing harus dikembangkan dan tidak bisa dipisahkan. Perkembangan anak yang dicapai merupakan integrasi aspek pemahaman nilai-nilai agama dan moral, fisik, kognitif, Bahasa, dan sosial emosional.
Dalam peratuan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia nomor 137 tahun 2014 Bab IV pasal 9 ayat 1-7 tentang standar isi pendidikan anak usia dini berbunyi :
a.    Nilai-nilai agama dan moral, meliputi:
Mengenal agama yang dianut, mengerjakan ibadah, berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mengetahui hari besar agama, dan menghormati (toleransi) agama orang lain.
b.   Fisik Motorik, meliputi:
§  Motorik Kasar: memiliki kemampuan gerakan tubuh secara terkoordinasi, lentur, seimbang, dan lincah dan mengikuti aturan.
§  Motorik Halus: memiliki kemampuan menggunakan alat untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk.
§  Kesehatan dan Perilaku Keselamatan: memiliki berat badan, tinggi badan, lingkar kepala sesuai usia serta memiliki kemampuan untuk berperilaku hidup bersih, sehat, dan peduli terhadap keselamatannya. 
c.          Kognitif, meliputi:
§     Belajar dan pemecahan masalah: mampu memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang fleksibel terjadan diterima sosial dan menerapkan pengetahuan atau pengalaman dalam konteks yang baru.
§     Berpikir logis: mengenal berbagai perbedaan, klasifikasi, pola, berinisiatif, berencana, dan mengenal sebab akibat.
§     Berpikir simbolik: mengenal, menyebutkan, dan menggunakan lambang  bilangan 1-10, mengenal abjad, serta mampu merepresentasikan berbagai benda dalam bentuk gambar.
d.         Bahasa, meliputi:
§     Memahami (reseptif) bahasa: memahami cerita, perintah, aturan, dan menyenangi serta menghargai bacaan.
§     Mengekspresikan bahasa: mampu bertanya, menjawab pertanyaan, berkomunikasi secara lisan, menceritakan kembali apa yang diketahui
§     Keaksaraan: memahami hubungan bentuk dan bunyi huruf, meniru bentuk huruf, serta memahami kata dalam cerita.

e.          Sosial-emosional, meliputi:
§     Kesadaran diri: memperlihatkan kemampuan diri, mengenal perasaan sendiri dan mengendalikan diri, serta mampu menyesuaian diri dengan orang lain
§     Rasa tanggung jawab untuk diri dan orang lain: mengetahui hak- haknya, mentaati aturan, mengatur diri sendiri, serta bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan sesama.
§     Perilaku prososial: mampu bermain dengan teman sebaya, memahami perasaan, merespons, berbagi, serta menghargai hak dan pendapat orang lain; bersikap kooperatif, toleran, dan berperilaku sopan.
f.          Seni, meliputi: 

Mengeksplorasi dan mengekspresikan diri, berimaginasi dengan gerakan, musik, drama, dan beragam bidang seni lainnya (seni lukis, seni rupa, kerajinan), serta mampu mengapresiasi karya seni.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Belajar Berbicara


Berbicara merupakan keterampilan bagi anak sehingga berbicara dapat dipelajari dengan beberapa metode yang berbeda.
Hurlock (1978: 183) menyatakan bahwa berbicara dapat diperoleh anak dengan cara: (a) meniru, yaitu mengamati suatu model baik dari teman sebaya maupun dari orang yang lebih tua, (b) pelatihan, yaitu dengan bimbingan dari orang dewasa.
Selanjutnya menurut Hurlock (1978: 185) menyatakan bahwa ketika seseorang belajar, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
a.       Persiapan fisik untuk berbicara
Keterampilan berbicara bergantung pada kematangan mekanisme bicara. Pada waktu lahir, saluran suara kecil, langit-langit mulut datar, dan lidah terlalu besar untuk saluran udara. Sebelum semua sarana itu mencapai bentuk yang lebih matang, syaraf dan otot mekanisme suara tidak dapat menghasilkan bunyi yang diperlukan bagi kata-kata.
b.      Kesiapan mental untuk berbicara
Kesiapan mental untuk berbicara bergantung pada kematangan otak, khususnya bagian-bagian asosiasi otak. Biasanya kesiapan tersebut berkembang diantara umur 12 dan 18 bulan dan dalam perkembangan bicara dipandang sebagai “saat dapat diajar”.
c.       Model yang baik untuk ditiru
Agar anak tahu mengucapkan kata kemudian menggabungkannya menjadi kalimat yang betul, maka anak harus memiliki model bicara yang baik untuk ditiru. Model tersebut mungkin orang di lingkungan anak, penyiar radio atau televise, dan aktor film. Jika anak kekurangan model yang baik, maka anak akan sulit belajar berbicara dan hasil yang dicapai berada dibawah kemampuan anak.
d.      Kesempatan untuk berpraktek
Jika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, maka dapat menjadikan anak putus asa dan marah. Hal ini dapat melemahkan motivasi anak untuk belajar berbicara.
e. Motivasi
Jika anak mengetahui bisa memperoleh sesuatu yang diinginkan tanpa memintanya (dengan bahasa isyarat, seperti menangis), maka dorongan untuk belajar berbicara akan melemah.
f.       Bimbingan
Cara yang paling baik untuk membimbing belajar berbicara adalah menyediakan model yang baik, mengatakan kata-kata dengan perlahan dan cukupjelas sehingga anak dapat memahaminya, dan memberikan bantuan mengikuti model tersebut dengan membetulkan setiap kesalahan mungkin dibuat anak dalam meniru model tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berbicara antara lain: persiapan fisik untuk berbicara, kesiapan mental untuk berbicara, model yang baik untuk ditiru, kesempatan untuk berpraktek, motivasi, dan bimbingan.

Cara untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara


Cara untuk meningkatkan keterampilan berbicara menurut Suhartono (2005: 59) meliputi hal-hal di bawah ini:
a.       Membiasakan untuk berbicara dengan anak
Jika anak ingin cepat bisa bicara, sebagai orang tua membiasakan diri untuk berbicara walaupun anak itu masih bayi dan belum bisa bicara. Armstrong (Suhartono, 2005: 61) menyatakan bahwa Tidak akan terlalu dini untuk memulai berbicara kepada anak. Ia menambahkan semakin sering berbicara dengan anak, maka akan semakin cepat perkembangan jalur auditoris yang ada di dalam otak anak”.
b.      Memandang mata anak
Melakukan kontak langsung dengan cara memandang mata anak berarti kita mengajarkan kepada anak bahasa isyarat dan ekspresi muka yang akan dijadikan bekal untuk meningkatkan kemmapuan bicara. Hal ini penting terutamma dalam memberi instruksi dan menyuruh anak-anak.
c.       Menghindari kebiasaan bicara pada anak dengan pengejaan yang dibuat-buat
Ada kecenderungan seorang ibu mengucapkan kata-kata tertentu kepada anaknya dengan ucapan yang dibuat-buat. Pengucapan yang demikian mengakibatkan anak tidak terbiasa mendengarkan ucapan yang sebenarnya. Hal yang demikian menjadikan perkembangan bahasa anak menjadi lambat. Anak akan belajar lebih akurat dan efisien jika kita berusaha secara benar dan jelas mengeja setiap kata yang kita ucapkan.
d.      Berbicara apa yang benar-benar dilakukan dan dialami anak
Jika sebagai orang tua melakukan aktivitas dan diikuti oleh anak, deskripsikanlah apa yang kita lakukan dan dialami anak. Pada waktu kita sedang memberi makan, mandi, atau menggendong anak, deskripsikan apa yang dialami anak.
e.       Berkata lebih banyak daripada yang diminta
Jika anak meminta sesuatu kepada orangtua, sebaiknya orang tua menjawab secara lebih panjang dan jelas. Kata-kata yang digunakan dalam kalimat orang tua sebaiknya lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan katakata yang diucapkan anak. Hal tersebut memungkinkan anak tidak akan mengetahui secara detail, namun beberapa dari informasi baru itu sudah masuk dalam memorinya. Selain itu, kosa kata anak akan semakin bertambah banyak.
f.       Menggunakan tata bahasa yang benar dalam berbicara
Pada periode kritis untuk menguasai tata bahasa terjadi sebelum umur tiga tahun. Anak anda akan meniru struktur bahasanya sesuai dengan pola-pola yang ia dengar selama kehidupan sehariannya. Oleh karena itu, gunakan ucapan yang secara tata bahasa benar.

g.      Dengan lembut membetulkan kesalahan anak
Daripada menunjuk dengan kasar kesalahan ejaan dan tata bahasa seorang anak, orang bisa menawarkan pembenaran yang lembut namun efektif sebagai bagian dari percakapan. Setiap anak akan meniru bentuk tata bahasa yang benar dan membetulkan kesalahan.
h.      Melakukan percakapan dengan anak
Kadang-kadang dalam percakapan ada kalanya kita menggunakan bahasa isyarat atau gerakan-gerakan anggota badan. Anak mungkin tidak akan menggunakan kata-kata, namun ia dapat berpartisipasi dalam percakapan yang saling mengisi. Ikutlah ambil bagian ketika berbicara atau berinteraksi dengan anak. Saling bertukar senyum atau kata-kata dari canda merupakan langkah awal, namun hal itu penting bagi anak untuk mempelajari struktur dasar percakapan.
i.        Tidak memaksa anak menghafalkan kata
Mengahafalkan kata merupakan bagian dari kegiatan anak sehari-hari. Anak biasanya senang menghafal kata-kata tertentu yang baru dikenalnya. Kesadaran untuk menghafal kata pada diri anak untuk muncul bila ada rangsangan. Sebaiknya tidak memaksa anak untuk menghafal kata. Usahakan anak sadar sendiri akan kebutuhan kata-kata baru yang belum diketahuinya.
j.        Berhati-hati dengan infeksi telinga
Anak-anak yang memiliki penyakit kronis atau kambuhan sebelum berumur empat tahun akan mengalami kehilangan pendengaran secara temporal yang dapat mengganggu perkembangan kemampuan bicara dan kemampuan membaca. Anak-anak ini mungkin tidak akan mampu membedakan antara suara tertentu, seperti “eh” dan “sih” tanpa melalui terapi ucapan. Apabila anak menderita infeksi telinga yang kronis, hati-hati dengan gejala hilangnya pendengaran.
Berdasarkan uraian di atas, para orangtua dan guru dapat mengetahui cara untuk meningkatkan keterampilan berbicara yang terdiri dari membiasakan berbicara dengan anak, memandang mata anak, menghindari kebiasan bicara anak dengan pengejaan, bicarakan apa yang benar-benar dialami, memberikan banyak informasi kepada anak, tata bahasa yang benar dalam berbicara, membetulkan kesalahan pada pengucapan anak, percakapan dengan anak, jangan memaksa anak menghafalkan kata, dan hati-hati dengan infeksi pada telinga anak.

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive