Monday, May 18, 2020

Pembelajaran Matematika dengan Model NCTM



Pada hakekatnya pikiran dan perilaku manusia berubah dari waktu ke waktu baik secara perorangan maupun secara kelompok melalui pembelajaran. Dalam suatu pendidikan juga mengalami hal serupa bahwa hasil belajar khususnya matematika pada siswa masih belum baik dan belum memuaskan. Karena dalam pendidikan menginginkan yang lebih baik dan perlu untuk meningkatkan kualitas (mutu) hasil belajar matematika siswa.
Dunia pendidikan sudah berupaya memperbaiki mutu hasil belajar siswa khususnya matematika dengan memasukkan unsur-unsur pandangan yang bermacam–macam. Namun hasil belajar siswa belum memuaskan dan jauh dari harapan. Kurikulum 2004 (KBK) mengambil  pandangan konstruktivisme sebagai dasar penyusun pembelajaran. Dalam hal ini, konstruktivisme menganggap bahwa:
1.  Pengetahuan tidak dapat ditransfer tetapi harus dibangun sendiri oleh siswa dalam pikirannya
2.  Belajar menjadi lebih efektif apabila siswa berinteraksi dengan orang lain
3.  Belajar menjadi lebih efektif apabila pengetahuan baru dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa sebelumnya
4. Matematika dipandang sebagai kegiatan / aktivitas manusia (human Activity)
5.  Dalam pelaksanaan pembelajaran guru berperan sebagai fasilitator dan mediator.[1]
Sesuai dengan pandangan konstruktivisme bahwa matematika dianggap sebagai kegiatan siswa / aktivitas siswa maka seorang guru perlu menyediakan tugas atau masalah  yang dapat memberi kesempatan pada siswa untuk mengkonstruksi (membangun) matematika dalam pikirannya. Agar siswa dapat melaksanakan tugas tersebut, guru perlu menata lingkungan baik fisik maupun non fisik. Interaksi antara siswa dengan guru harus dibangun dengan wacana–wacana dari siswa tentang penyelesaian tugas yang diberikan. Disini guru perlu menganalisis dari hasil wacana siswa supaya dapat merefleksikan apa yang telah dilakukan oleh siswa dalam pembelajaranya. Dengan bimbingan dari guru yang mengikuti jalan pikiran siswa, sehingga siswa dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Dan alternatif pendekatan yang dimaksud adalah pembelajaran model NCTM.
NCTM merupakan singkatan dari “National Council of Theacher of Mathematics”. NCTM merupakan sebuah organisasi guru dan pendidik matematika di Amerika Serikat.[2] Disini NCTM memberikan masukan dan kontribusi yang sangat besar terhadap dunia pendidikan khususnya dalam bidang matematika. Selain ingin mengadakan perubahan guru  menjadi lebih profesional sesuai dengan kemajuan jaman, faktor lain yang mendukung dibentuknya NCTM adalah menginginkan perubahan dalam metode pembelajaran matematika yang selama ini sedikit siswa yang berprestasi diberbagai kompetisi internasional matematika.[3]
Rekomendasi untuk perubahan matematika sekolah, yang saat ini menyarankan pentingnya peran siswa dalam pemecahan masalah. NCTM menyatakan bahwa “problem solving must be the focus of school mathematics”.[4] Artinya, “pemecahan masalah seharusnya menjadi fokus utama dari kurikulum matematika”. Standar pemecahan masalah menurut NCTM meliputi :
  a. Penyelesaian masalah dilingkungan siswa atau pada matematika
b. Pembangunan konsep matematika dengan wacana siswa melalui
    pemecahan masalah
c. Penggunaan berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah dengan alat /  
    lingkungan
d. Pemantauan atau analisis kerja siswa dalam pemecahan masalah.[5]
Jadi menurut NCTM pembelajaran matematika perlu memiliki 4 komponen, yaitu 1) Tugas, 2) wacana, 3) lingkungan dan 4) Analisis.
1. Tugas menyediakan matematika bagi nsiswa dan dapat berupa pertanyaan, proyek, masalah, konstruksi, aplikasi, atau soal latihan
2. Wacana meliputi cara mempresentasikan, berfikir, berbicara, menyetujui, tidak menyetujui yang digunakan oleh guru dan siswa dalam membicarakan penyelesaian suatu tugas
3.  Lingkungan meliputi lingkungan fisik dan non-fisik. Lingkungan fisik berupa ruang alat dan penatanya. Lingkungan non-fisik menggambarkan penataan untuk belajar yaitu intelektual, sosial dan ciri-ciri fisik yang dapat membentuk cara mengetahui dan bekerja.
4. Analisis adalah refleksi sistematis yang dilakukan guru yang merupakan kegiatan inti untuk memonitor kehidupan kelas yang sedang berlangsung.[6]


              [1] Sutawijaya, Pembelajaran Matematika Konstruktivisme...,  hal. 2
              [2] John A Van Walle, Elementery and Middel School Mathematics,(Alih bahasa oleh Suyono, Matematika dasar dan menengah, “Pengembangan Pengajaran”,(Jakarta : Erlangga, 2006), hal. 1
              [3] Ibid., hal. 1
              [4] Sobel dan Malettsky, Mengajar Matematika..., hal. 60
              [5] Yuwono, Pembelajaran Matematika..., hal. 14
                [6] Sutawijaya, Pembelajaran Matematika Konstruktivisme..., hal. 3

Pembelajaran Matematika dengan Model Problem Solving



Upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran khususnya matematika antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan didunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, cermat, rasional, dan efektif. Tuntutan ini tidak mungkin bisa dicapai hanya melalui hafalan, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran biasa. Maka perlu dikembangkan proses pembelajaran yang sesuai.
Pembelajaran  matematika sebenarnya sangat ditantukan oleh strategi yang diterapkan oleh guru. Cara mengajar guru sangat mempengaruhi minat peserta didik terhadap matematika. Mengajar matematika merupakan suatu kegiatan guru agar siswa belajar untuk menempatkan matematika, yaitu kemampuan, ketrampilan dan sikap tentang matematika.[1] Kemampuan, ketrampilan dan sikap disini harus sesuai dengan tujuan belajar serta disesuaikan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa agar terjadi interaksi antara guru dan siswa. Interaksi akan terjadi bila menggunakan cara – cara yang sesuai dan biasa disebut dengan metode mengajar matematika.[2]  Dengan metode belajar yang tepat, siswa akan lebih mudah menguasai ilmu yang diberikan dan belajar lebih efektif, efisien serta memiliki kompetensi yang diharapkan.
Siswa yang memiliki kompetensi berarti siswa telah memahami, memknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajari.[3] Perubahan diatas merupakan suatu perubahan yangt bersifat internal pada siswa. Selain perubahan diatas nantinya diharapkan juga terjadi perubahan yang bersifat eksternal juga seperti ketrampilan motorik dan berbicara dalam bahasa terhadap siswa. Para psikologi kognitif menitik beratkan perubahan– perubahan semacam ini yang memungkinkan perubahan dalam berperilaku yang diamati.[4] Oleh karena itu, untuk meningkatkan kompetensi belajar pada siswa perlu suatu metode pembelajaran yang masuk bagian dalam NCTM yaitu problem solving.
Problem Solving atau belajar memecahkan masalah merupakan suatu pembelajaran yang termasuk bagian dari konstruktivisme yang menekankan siswa belajar merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap rangsangan yang menggambarkan situasi problematik, mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya.[5] Melalui kegiatan ini aspek–aspek kemampuan dalam matematika penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika dan lain–lainnya dalam pembelajaran dapat dikembangkan secara lebih baik.
Menurut rekomendasi dari NCTM, bahwa pemecahan masalah seharusnya menjadi fokus pada pelajaran matematika dan menjadi fokus utama dari kurikulum matematika.[6] Blitter dan Capper menambahkan dalam penelitiannya bahwa pemecahan masalah harus digunakan untuk memperdalam, memperkaya, dan memperluas kemampuan siswa dalam belajar matematika.[7] Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah. Kritis untuk menganalisis masalah, dan kreatif untuk menciptakan cara dalam pemecahan masalah. Karena jenis berpikir itu merupakan rasa keingintahuan  yang ada pada anak sejak lahir. Maka pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah.[8]
Dalam hasil rekomendasi NCTM, mereka menyarankan bahwa perhatian utama harus diberikan pada:
1.  Keikutsertaan siswa secara aktif dalam mengkonstruksikan dan mengaplikasikan ide–ide dalam matematika
2.    Pemecahan masalah sebagai alat dan juga tujuan pengajaran
3.    Penggunaan bermacam–macam bentuk pengajaran seperti kelompok kecil,   penyelidikan individu, pengajaran oleh teman sebaya, diskusi seluruh kelas, dan sebagainya.[9]
Salah satu rekomendasi di atas adalah para guru mengembangkan bermacam–macam strategi pemecahan masalah dalam pengajaran dengan fokus pada permasalahan yang tidak bisa dijumpai. Strategi pemecahan masalah ini dapat menjadi perubahan pada siswa dalam proses belajarnya. Oleh karena itu siswa perlu memecahkan banyak masalah agar merasa senang terhadap proses belajarnya nanti. Dan seorang guru disini sangat dibutuhkan dalam peran seorang pembimbing dengan memberikan pengalamannya dalam memecahkan masalah.
Didalam memecahkan masalah tentu ada masalah yang akan diselesaikan. Untuk menyelesaikan orang harus mengerti apa yang dipermasalahkan dalam masalah tersebut. Polya memberikan solusi dalam pemecahan masalah memuat empat langkah fase penyelesaian, yaitu :
a. Memahami masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak akan mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar
b.  Merencanakan penyelesaian. Dalam fase ini untuk melakukannya tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Semakin bervariasi pengalamannya maka siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian masalah
c.  Menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana. Setelah rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap tepat
d. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.[10]
Dengan melakukan cara yang diberikan polya, maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai denga masalah yang diberikan. Hasil–hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pembelajaran pemecahan masalah dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain :
1. Mengajarkan bermacam–macam strategi pemecahan masalah
2. Pemberian latihan pemecahan masalah beserta buktinya
3. Mengubah peran guru dari sekedar berceramah menyampaikan materi, menjadi fasilitator dan pengarah belajar siswa.[11]
Dari hasil penemuan dan rekomendasi dari NCTM bahwa mengajar matematika yang mencerminkan proses pemecahan masalah merupakan terbaik dari mengajar matematika sesuai dengan model NCTM.


                [1]  Hudojo, Strategi  Mengajar..., hal. 22
                [2]  Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif : Pamduan Menemukan Teknik belajar, Memilih Jurusan dan Menentukan Cita – cita, (Jakarta : Puspa Swara,2004), hal. 7-8
              [3] Suherman,  Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kemampuan Siswa dalam www.edukare.e-fkipunia.net, 9 Maret 2011
              [4]  W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran. (Jakarta : Gramedia, 1996), hal. 354
                [5]  Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar.  (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal 21
                [6]  Max A. Sobel dan Evan M. Malettsky, Mengajar Matematika “Sebuah Buku Sumber Alat Peraga, Aktivitas, dan Strategi”. (Jakarta, Erlangga, 2004), hal. 62
                [7]  Blitter dan Capper  sebagaimana dikutip Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., hal. 90
                [8]  Sulaiman Zen, Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan menyenangkan  dalam http://waraskamdi.com, diakses 4 mei 2011
                 [9]  Sobel dan Malettsky, Mengajar Matematika..., hal. 60
                [10]  Polya sebagaimana dikutip Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., hal. 91
                [11] Yuwono, Pembelajaran Matematika..., hal. 15

Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme



Pada hakekatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar para siswa dapat belajar dengan baik. Sebagai guru hendaknya berusaha untuk mengetahui dan memanfaatkan pengetahuan yang telah ada dalam pikiran siswa supaya guru dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan dan juga mengembangkan daya pikir siswa. Menurut Novak dan Simon, salah satu faktor  penting yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang telah diketahui dan dialami.[1]  Oleh sebab itu, guru harus dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa.
Pengaruh belajar diatas akan menentukan perubahan anak untuk mengembangkan potensinya, daya pikir dan tujuan serta tingkah laku pada kehidupannya. Menurut pengertian secara psikologi, belajar adalah proses perubahan tingkah laku siswa melalui berbagai pengalaman yang diperolehnya dari transaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.[2] Perubahan tingkah laku tersebut memilki ciri-ciri khusus, yaitu:
1. Perubahan terjadinya secara sadar
2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
4. Perubahan dalam belajar bersifat bukan sementara
5. Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah
6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.[3]
Menyelenggarakan proses pembelajaran yang lebih baik dan sesuai apa yang diharapkan bagi peserta didik merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi, karena guru sebagai pendidik mempunyai tugas untuk mencerdaskan bangsa sesuai denga pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, diperlukan seorang tenaga pengajar profesional yang dapat berperan sebagai pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya belajar.[4] Sehingga guru yang profesional  menjadikan pembelajaran bermutu dan dapat mengolah pembelajaran secara kreatif dan menyenangkan. Pada proses belajar mengajar, perubahan yang diperoleh meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Pola tingkah laku tersebut dijadikan sebagai suatu modal yang menjadi prinsip–prinsip belajar. Dan setiap guru harus dapat menyusun sendiri prinsip–prinsip belajar yang dapat dilaksanakan dari situasi dan kondisi yang berbeda. Dan juga dapat dilaksanakan oleh setiap siswa secara individual.
Ahli psikologi behavior memandang bahwa proses belajar terjadi melalui ikatan Stimulus–Respon.[5] Dan ahli psikologi konstruktivisme berpendapat bahwa proses perolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan yang baru dapat diatasi.[6]
1. Pembelajaran Matematika Beracuan Behavioristik
               Dalam proses belajar, perubahan–perubahan tingkah laku yang terlihat tidak terjadi secara cepat atau instan. Pada kalangan penganut behaviorisme, kebanyakan menggunakan  peranan faktor penguat (reinforcement) dalam proses belajar.[7] Tetapi penguat ini bukan faktor yang harus ada dalam pembelajaran.
               Proses pembelajaran menurut behaviorisme, guru lebih banyak menggunakan metode secara ceramah dan ekspositori.[8] Guru merupakan pusat dalam proses belajar. Komunikasi antara guru dan pelajar berlangsung searah. Selain itu, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari oleh siswa. Di sini cara belajar siswa yang paling efektif adalah siswa mendengarkan dengan tertib apa yang  dijelaskan guru dan menghafal apa yang didengar. Siswa dipandang pasif, perlu motivasi  secara eksternal dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan oleh guru.[9]
              Guru yang mengikuti paham ini mendominasi proses pembelajaran melalui belajar menghafal.[10] Di sini penggunaan buku ajar sebagai panduan yang harus diikuti para siswa sesuai alur buku per halaman. Guru memulai dari pemberian konsep, kemudian mendemonstrasikan ketrampilan dalam menerapkan materi. Dan sebagai konsekuensinya, guru–guru matematika yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara sempurna oleh guru. Pada hakekatnya matematika tersusun secara hirarkis (terstruktur), bahkan penyusunannya dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.[11] Sistem klarifikasi ini dimaksudkan untuk mengkatagorikan hasil perubahan pada siswa sebagai hasil sebuah pembelajaran.
               Pembelajaran yang berorientasi pada hasil akan dapat diukur dan diamati. Karena behavioristik menekankan tingkah laku yang dapat diukur dan diamati maka memiliki ciri-ciri khusus, yaitu:
     a. Mengutamakan unsur-unsur  atau bagian–bagian
     b. Menekankan peranan lingkungan
     c. Menekankan pentingnya latihan
     d. Bersifat mekanistis
     e. Mementingkan pembentukan reaksi dan respon.[12]
               Menurut Thorndike, dalam paham behaviorisme bahwa belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan.[13] Rasa senang atau kepuasan bisa didapat siswa dari pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk penguat yang diberikan guru terhadap siswa dalam pembelajaran.
               Berdasarkan pandangan behaviorisme di atas, bahwa pengetahuan seseorang diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang menyatu antara stimulus dan respon. Semakin sering suatu konsep matematika diulang maka semakin kuat konsep tertanam dalam ingatan anak.
2. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
              Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang telah diketahui dan dialaminya. Guru hendaknya berusaha untuk mengetahui dan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah ada dalam pikiran siswa sebelum mereka mempelajari suatu konsep atau pengalaman baru. Untuk memahami matematika, orang sendirilah yang menciptakan matematika. Seseorang menciptakan dalam pikirannya semua unsur  dan aturan secara lengkap. Menurut Vico, matematika di sini merupakan cabang pengetahuan paling tinggi.[14]  Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sendiri pengetahuannya secara aktif dengan memperlihatkan pengetahuan awal siswa.[15]
              Menurut pandangan konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer tetapi harus dibangun sendiri oleh siswa dalam pemikirannya.[16]  Pengetahuan itu dibangun secara aktif oleh individu siswa melalui proses yang berkembang secara terus menerus. Piaget memberikan gambaran tentang pengetahuan seperti, “menuangkan air dalam bejana”.[17] Selain itu Piaget mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya adalah aktif.[18] Pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari siswa. Dengan kegiatan siswa yang aktif, siswa dapat menyerap dalam memahami konsep pengetahuan yang telah dibangun.
               Menurut Piaget, pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut schemata atau kesimpulan yang digunakan untuk mengadaptasi dan mengkoordinasi informasi baru melalui proses asimilasi dan akomodasi.[19] Asimilasi adalah proses kognitif yang diintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam pola yang ada di dalam pikiran siswa. Sedangkan akomodasi merupakan proses merubah konsep lama karena adanya informasi baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada konsep tersebut. Contoh, pada murid memiliki pengetahuan pada konsep segitiga, kemudian diberikan konsep persegi panjang. Karena konsep persegi panjang belum cocok dengan konsep segitiga, maka konsep ini dikontruksi sehingga dapat bersesuaian dengan konsep persegi panjang.
                                    Berdasarkan perspektif  para ahli konstruktivis, belajar matematika merupakan pengorganisiran aktivitas, di mana kegiatan belajar  diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berpikir konseptual.[20]  Siswa dalam belajarnya bukan meniru saja dari guru. Aktifitas dan pembicaraan matematika siswa merupakan sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar bagi guru di mana pertumbuhan pengetahuan siswa dapat dapat dilihat dan dievaluasi. Pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yang dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi.[21] Pengetahuan obyektif matematika dikonstruksi oleh siswa selama proses belajar berlangsung.


              [1]Novak dan Simon sebagaimana dikutip Ipung Yuwono, Pembelajaran Matematika Secara Membumi. (Malang: UM Press, 2001), hal. 13
               [2]Nana Sudjana,  Dasar –Dasar Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Sinar Baru Alghesindo, 2005), hal. 28-29
               [3]Slameto, Belajar dan Faktor –Faktor Yang Mempengaruhinya. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 3-4
               [4]Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Sinar Baru Alghesindo, 2004), hal. 13
               [5]Rusdi A. Siraj, Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan dan Aplikasinya Pada Pembelajaran Matematika, dalam  www.mathematicse-word press.com diakses  6  Maret 2011
               [6]Ibid., hal. 4
               [7]Slameto, Belajar dan Faktor –Faktor...., hal. 7
               [8]Suparno, Filsafat Konstuktivisme..., hal.
               [9]S. Nasution, Diktatik Asas–Asas Mengajar. (Bandung: Jemmars, 1986), hal. 41
               [10]Yuwono, Pembelajaran Matematika..., hal. 5
              [11]Siraj, Cara Seseorang...., hal. 8
              [12]Ibid., hal. 8
              [13]Thorndike sebagaimana dikutip Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. (Bandung: UPI Press, 2003), hal. 28 
              [14]Ibid., hal. 21
              [15]Yuwono, Pembelajaran Matematika...., hal. 13 
              [16]Sutawijaya, Pembelajaran Matematika Konstruktivisme, (Tulungagung: Makalah disajikan dalam Workshop pembelajaran matematika kontemporer STAIN Tulungagung, 2007), hal. 1-2
              [17]Piaget sebagaimana dikutip Nining Dwi Rahmawati, Meningkatkan Kreatifitas Siswa Melalui Pembelajaran Pohon Matematika Pada Siswa Kelas V SD Plus Baitussalam Tulungagung, (Tulungagung:  Skripsi Tidak Diterbitkan, 2008), hal. 23
              [18]Piaget sebagaimana dikutip Suparno, Filsafat Konstuktivisme..., hal. 36
               [19]Piaget sebagaimana dikutip Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., hal. 36
               [20]Ibid., hal. 76
                [21]Siroj, Cara seseorang..., hal. 6

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive