Pendidikan kewarganegaraan dalam konteks Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) bukanlah hal baru di Indonesia. Karena, Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional harus menumbuhkan jiwa patriotik, mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, dan sikap menghargai jasa para pahlawan, dan berorientasi ke masa depan (Sumarsono, 2001: 5).
Pendidikan
kewarganegaraan pada dasarnya bertujuan untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia. Antara
lain : membentuk kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan
bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadikan warga
negara Indonesia yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis namun tetap
memiliki komitmen menjaga persatuan dan integritas bangsa, dan mengembangkan
kultur demokratis yang berkeadaban. Yaitu kebebasan, persamaan, toleransi, dan
tanggung jawab.
Pendidikan
kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh
rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap tersebut disertai dengan perilaku
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati niali-nilai
falsafah bangsa, berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban
sebagai warga negara, bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela
negara, dan aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni untuk
kepentingan kemanusiaan, bangsa, dan negara (Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2010: 6-9).
Pada hakikatnya,
pendidikan kewarganegaraan merupakan sebuah disiplin ilmu yang bertujuan membangun
karakter peserta didik atau sebagai pendidikan karakter (character education). Di mana peran guru sebagai pendidik sebagai
salah satu faktor yang sangat berpengaruh di dalam pembentukan karakter peserta
didik. Selain dari hal tersebut di atas, pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan dapat menumbuhkan sikap intelektual peserta didik di dalam
mengoptimalkan hasil belajarnya selama pembelajaran berlangsung. Hal tersebut
dapat di amati di dalam semua ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar
peserta didik secara umum. Yaitu meliputi : ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotorik.
Untuk dapat
membelajarkan peserta didik sesuai dengan gaya belajar mereka. Maka, guru
diharapkan dapat menerapkan suatu model pembelajaran yang inovatif. Sehingga,
tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal. Oleh karena itu, dalam
memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi peserta
didik, sifat materi bahan ajar, fasilitas media yang tersedia, dan kondisi guru
itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan dengan adanya model-model pembelajaran
ini, guru atau tenaga pendidik dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik di
dalam setiap proses kegiatan pembelajaran di kelas.
Model
pembelajaran yang dapat diterapkan pada bidang studi hendaknya dikemas dengan
hakikat pendidikan bidang studi tersebut. Namun demikian, secara filosofis
tujuan pembelajaran adalah untuk memfasilitasi peserta didik menjadi pemikir
kritis, humanis, lentur atau fleksibel, dan adaptif dalam menerapkan
pengetahuannya di dunia nyata. Model-model pembelajaran yang dapat
mengakomodasikan tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma konstruktivistik
sebagai paradigma alternatif. Adapun model-model yang berlandaskan paradigma
konstruktivistik adalah model-model pembelajaran inovatif yang sesuai dengan
hakikat pembelajaran humanis populis (Hamzah dan Nurdin Mohamad, 2012:
130-131).
Perkembangan
zaman sekarang ini, menuntut peningkatan kualitas individu yang siap pakai atau
dapat digunakan setiap saat sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Hal ini
tentu tidak terlepas dari peran pendidikan dalam pembentukan tingkah laku
individu itu sendiri. Namun dalam kenyataannya, terobosan pemerintah dengan mengeluarkan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional, mengesahkan Undang-undang Guru dan Dosen serta mengadakan
perubahan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman belum sepenuhnya
berhasil, bahkan cenderung terkesan hanya teori saja. Padahal kalau diamati,
usaha yang dilakukan pemerintah lebih dari cukup. Karena sudah terarah proses
dan mekanismenya.
Munculnya suatu
masalah dalam sebuah aturan mungkin tidak dapat dihindarkan. Jika dianalisis,
usaha tersebut belum menekankan pada penyelenggaraan dan pelaksanaannya. Hal
ini terlihat dari sebagian besar peserta didik di dalam proses pembelajaran
belum memiliki motivasi belajar yang optimal. Selain itu, sistem pembelajaran
seperti itu disebabkan karena terkontaminasi oleh sistem pembelajaran yang lama
yang lebih menekankan pada hafalan tinggi dan cenderung tekstual saja. Dengan
demikian, peserta didik tidak memahami dasar kualitatif tentang fakta-fakta di dalam
materi pembelajaran serta tingkat pemahaman semakin berkurang. Sehingga, pada
kenyataannya timbul kebosanan pada diri peserta didik (Hamzah dan Nurdin
Mohamad, 2012: 135).
Melihat kondisi
tersebut, perlu diadakan model baru yang kooperatif dalam proses pembelajaran.
Khususnya, pada pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang secara tidak langsung
merupakan bagian dari ilmu sosial. Peserta didik dapat belajar dengan cara
bekerja sama dengan teman. Bahwa, teman yang lebih mampu dapat menolong teman
yang lemah. Selain memberi sumbangan pada prestasi, peserta didik pun mendapat
kesempatan untuk bersosialisasi, membantu mencapai tujuan bersama dalam
kelompok atau tim untuk meningkatkan kegiatan pembelajaran. Khususnya di dalam
membaca dan menulis secara terpadu.