Saturday, August 12, 2017

MODEL PROSES ANDRAGOGI UNTUK PEMBELAJARAN



Dalam pembelajaran orang dewasa banyak metode yang diterapkan. Untuk memberhasilkan pembelajaran semacam ini, apapun metode yang diterapkan seharusnya mempertimbangkan faktor sarana dan prasarana yang tersedia untuk mencapai tujuan akhir pembelajaran, yakni agar peserta dapat memiliki suatu pengalaman belajar yang bermutu. Merupakan suatu kekeliruan besar bilamana dalam hal ini, pembimbing secara kurang wajar menetapkan pemanfaatan metode hanya karena faktor pertimbangannya sendiri yakni menggunakan metode yang dianggapnya paling mudah, atau hanya disebabkan karena keinginannya dikagumi oleh peserta di kelas itu ataupun mungkin ada kecenderungannya hanya menguasai satu metode tertentu saja.
Penetapan pemilihan metode seharusnya guru mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai, yang dalam hal ini mengacu pada garis besar program pengajaran yang dibagi dalam dua jenis:
1.      Rancangan proses untuk mendorong orang dewasa mampu menata dan mengisi pengalaman baru dengan memmedomani masa lampau yang pernah dialami, misalnya dengan latihan keterampilan, melalui tanya jawab, wawancara, konsultasi, latihan kepekaan, dan lain-lain, sehingga mampu memberi wawasan baru pada masing-masing individu untuk dapat memanfaatkan apa yang sudah diketahuinya.
2.      Proses pembelajaran yang dirancang untuk tujuan meningkatkan transfer pengetahuan baru, pengalaman baru, keterampilan baru, untuk mendorong masing-masing individu orang dewasa dapat meraih semaksimal mungkin ilmu pengetahuan yang diinginkannya, apa yang menjadi kebutuhannya, keterampilan yang diperlukannya, misalnya belajar menggunakan program komputer yang dibutuhkan di tempat ia bekerja.
Sejalan dengan itu, orang dewasa belajar lebih efektif apabila ia dapat mendengarkan dan berbicara. Lebih baik lagi kalau di samping itu ia dapat melihat pula, dan makin efektif lagi kalau dapat juga mengerjakan.
Fungsi bicara hanya sedikit terjadi pada waktu tanya jawab. Untuk metode diskusi bicara dan mendengarkan adalah seimbang. Dalam pendidikan dengan cara demonstrasi, peserta sekaligus mendengar, melihat dan berbicara. Pada saat latihan praktis peserta dapat mendengar, berbicara, melihal dan mengerjakan sekaligus, sehingga dapat diperkirakan akan menjadi paling efektif,
Usaha-usaha ke arah penerapan teori andragogi dalam kegiatan pendidikan orang dewasa telah dicobakan oleh beberapa ahli, berdasarkan empat asumsi dasar orang dewasa seperti telah dijelaskan di atas yaitu: konsep diri, akumulasi pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Asumsi dasar tersebut dijabarkan dalam proses perencanaan kegiatan pendidikan dengan langkah-langkah sehagai berikut:
1.      Menciptakan suatu struktur untuk perencanaan bersama. Secara ideal struktur semacam ini seharusrwa melibatkan semua pihak yang akan terkenai kegiatan pendidikan yang direncanakan, yaitu termasuk para peserta kegiatan belajar atau siswa, guru atau fasilitator, wakil-wakil lembaga dan masyarakat. 
2.      Menciptakan iklim belajar yang mendukung untuk orang dewasa belajar. Adalah sangat penting menciptakan iklim kerjasama yang menghargai antara guru dan siswa. Suatu iklim belajar orang dewasa dapat dikembangkan dengan pengaturan lingkungan phisik yang memberikan kenyamanan dan interaksi yang mudah, misalnya mengatur kursi atau meja secara melingkar, bukan berbaris-berbaris ke helakang. Guru lebih bersifat membantu bukan menghakimi. 
3.      Diagnosa sendiri kebutuhan belajamya. Diagnosa kebutuhari harus melibatkan semua pihak, dan hasilnya adalah kehutuhan bersama.
4.      Formulasi tujuan. Agar secara operasional dapat dikerjakan maka perumusan tujuan itu hendaknya dikerjakan bersama-sama dalam deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diatas.
5.      Mengembangkan model umum. ini merupakan aspek seni dan perencanaan program, dimana harus disusun secara harmonis kegiaan belajar dengan membuat kelompok-kelompok belajar baik kelompok besar maupun kelompok kecil.
6.      Perencanaan evaluasi. Seperi halnya dalam diagnosa kebutuhan, dalam evaluasi harus sejalan dengan prinsip-prinsip orang dewasa, yaitu sebagai pribadi dan dapat mengarahkan diri sendiri. Maka evaluasi lebih bersifat evaluasi sendiri atau evaluasi hersama.
Aplikasi yang diuaraikan di atas sebenamya lebih bersifat prinsip-prinsip atau rambu-rambu sebagai kendali tindakan membelajarkan orang dewasa. Oleh karena itu, keberhasilannya akan lebih benyak bergantung pada setiap pelaksanaan dan tentunya juga tergantung kondisi yang dihadapi. Tapi, implikasi pengembangan teknologi atau pendekatan andragogi dapat dikaitkan terhadap penyusunan kurikulum atau cara mengajar terhadap mahasiswa. Namun, karena keterikatan pada sistem lembaga yang biasanya berlangsung, maka penyusunan program atau kurikulum dengan menggunakan andragogi akan banyak lebih dikembangkan dengan menggunakan pendekatan andragogi ini.
Pendidikan atau belajar adalah sebagai proses menjadi dirinya sendiri (process of becoming) bukan proses untik dibentuk (proces of beings Imped) nunurut kehendak orang lain, maka kegiatan belajar harus melihatkan individu atau client dalam proses pemikiran apa yang mereka inginkan, mencari apa yang dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan itu, menentukan tindakan apa yang harus dilakukan, dan merencanakan serta melakukan apa saja yang perlu dilakukan untuk mewujudkan keputusan itu.
Dapat dikatakan disini tugas pendidik pada umumnya adalah menolong orang belajar bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka sendiri dan mempertimhangkan pandangan dan interest orang lain. Dengan singkat menolong orang lain untuk berkemhang dan matang. Dalam andragogi, keterlibatan orang dewasa dalam proses helajar jauh lehih besar, sebab sejak awal harus diadakan suatu diagnosa kebutuhan, merumuskan tujuan, dan mengevaluasi hasil belajar serta mengimplementasikannya secara bersama-sama.





DAFTAR PUSTAKA



Ahmuddiputra, Enuh, & Atmaja, Bisar, Suyatna. (1986). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Karunika.

Arif, Zainuddin. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa.

Lunandi, A, G. (1987). Pendidikan orang dewasa. Jakarta: Gramedia.


Kartono, Kartini. (1992 ). Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih Diperlukun?. Bandung: Mandar Maju

Makalah Perkembangan Motorik Anak Usia Dini

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
      Anak usia dini berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005:5). Maka tepatlah bila dikatakan bahwa usia dini adalah usia emas (golden age), di mana anak sangat berpotensi mempelajari banyak hal dengan cepat. Penyelenggaraan sekolah Taman Kanak–kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA) menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004 berfokus pada peletakan dasar–dasar pengembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan, dan daya cipta sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak (Megawangi, 2005:82). Maka sebaiknya pendidikan Taman Kanak–kanak (TK) janganlah dianggap sebagai pelengkap saja, karena kedudukannya sama penting dengan pendidikan yang diberikan jauh di atasnya.
Masa kanak-kanak merupakan fase yang fundamental dalam mempengaruhi perkembangan individu. Setiap individu mempunyai potensi yang dapat dikembangkan di dalam dirinya. Begitu pula pada anak usia Taman Kanak-kanak yang merupakan usia yang sangat efektif untuk mengembangkan berbagai macam potensi yang ada dalam diri anak. Salah satunya potensi yang berhubungan dengan perkembangan motorik anak.
Pendidikan anak usia dini adalah usaha sadar dalam memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani sejak lahir sampai usia 6 tahun yang dilakukan melalui penyediaan pengalaman-pengalaman dan stimulus yang bersifat mengembangkan secara terpadu agar anak dapat berkembang sehat optimal sesuai dengan norma dan harapan (UU No. 20 tahun 2003).
Aspek yang dikembangkan dalam pendidikan anak usia dini adalah aspek pengembangan perilaku dengan pembiasaan meliputi sosial, emosi, kemandirian, nilai moral dan agama, serta pengembangan kemampuan dasar, yang meliputi pengembangan bahasa, kognitif, seni, dan fisik motorik Usia dini merupakan masa keemasan (golden age). Oleh karena itu, pendidikan pada masa ini merupakan pendidikan yang sangat fundamental dan sangat menentukan perkembangan anak selanjutnya.
            Anak akan mempelajari sesuatu tidak dengan cara duduk tenang, mendengarkan keterangan-keterangan dari orang tua maupun guru, tetapi anak akan mempelajari sesuatu hal dengan cara bermain. Dalam kegiatannya saat bermain tersebut anak akan menemukan hal-hal baru yang sebelumnya tidak dia ketahui. Sesuai dengan karakteristik anak usia dini yang bersifat aktif melakukan berbagai kegiatan bermain, maka proses pembelajarannya adalah pada aktivitas anak dalam bentuk belajar sambil bermain. Program belajar mengajar bagi anak usia dini dirancang dan dilaksanakan sebagai suatu sistem yang dapat menciptakan dan memberi kemudahan bagi anak usia dini untuk belajar sambil bermain melalui berbagai aktivitas dan sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan serta kehidupan anak usia dini.
            Setiap metode yang digunakan diharapkan dapat menjadikan situasi kegiatan belajar mengajar yang efektif kepada anak. Guru memberikan pengalaman kepada para anak, sebagai pengayom, sebagai tempat bertanya, sebagai pengarah, sebagai pembimbing, sebagai fasilitator dan sebagai organisator dalam belajar. Guru harus memperlakukan anak didik dengan penuh kasih sayang, membimbing anak didik ke arah selalu ingin tahu dan tidak lekas puas dengan hasil yang dicapai. Guru harus memberikan kesempatan yang cukup kepada anak didik untuk belajar melakukan sendiri, merasakan sendiri, berpikir bebas, mencari aturan-aturan dalam kegiatan bersama anak (Moeschlihatoen, 2004:19).
Perkembangan anak usia dini sifatnya holistik, yaitu dapat berkembang optimal apabila sehat badannya, cukup gizinya dan didik secara baik dan benar. Anak berkembang dari berbagai aspek yaitu berkembang fisiknya, baik motorik kasar maupun halus, berkembang aspek kognitif, aspek sosial dan emosional. Keterampilan motorik kasar pada anak diperlukan untuk mengendalikan seluruh gerak tubuhnya, sehingga anak mampu untuk melakukan gerak lari, jalan, melompat dan sebagainya. Sedangkan motorik halus merupakan kegiatan yang menggunakan bagian kecil dari tubuh terutama tangan, seperti menulis, menggunting, meniru bentuk, meniru gerakan orang lain dan sebagainya.
Perkembangan motorik kasar pada anak perlu adanya bantuan dari para pendidik di lembaga pendidikan usia dini yaitu dari sisi apa yang dibantu, bagaimana membantu yang tepat (appropriate), bagaimana jenis latihan yang aman bagi anak sesuai dengan tahapan usia dan bagaimana kegiatan fisik motorik kasar yang menyenangkan anak. Kemampuan melakukan gerakan dan tindakan fisik untuk seorang anak terkait dengan rasa percaya diri dan pembentukan konsep diri. Oleh karena itu, perkembangan motorik kasar sama pentingnya dengan aspek perkembangan yang lain untuk anak usia dini.
Pada umumnya pembelajaran di TK untuk aspek perkembangan fisik/motoriknya lebih banyak difokuskan ke perkembangan motorik halus, sedangkan motorik kasar kurang diperhatikan. Padahal pengembangan motorik kasar anak usia dini juga memerlukan bimbingan dari pendidik. Perkembangan motorik kasar untuk anak usia TK antara lain melempar dan menangkap bola, berjalan di atas papan titian (keseimbangan tubuh), berjalan dengan berbagai variasi (maju mundur di atas satu garis), memanjat dan bergelantungan (berayun), melompati parit atau guling, dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat diangkat dalam kajian ini adalah: “Bagaimana Perkembangan Motorik yang terjadi pada anak usia dini?”, dengan rincian rumusan masalahnya  sebagai berikut :
  1. Apa saja jenis perkembangan motorik yang terjadi pada anak usia dini ?
  2. Apa prinsip dalam perkembangan motorik pada anak usia dini ?
  3. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi perkembangan motorik pada anak usia dini ?
  4. Hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam mempelajari keterampilan Motorik pada anak usia dini ?
  5. Apa fungsi keterampilan motorik pada anak usia dini ?
  6. Apa saja bahaya dalam perkembangan motorik ?

C. Tujuan Penulisan
         Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui perkembangan motorik pada anak usia dini. Secara rinci tujuan dimaksud adalah sebagai berikut :
1.        Untuk mengetahui jenis perkembangan motorik yang terjadi pada anak usia dini.
2.        Untuk mengetahui prinsip dalam perkembangan motorik pada anak usia dini.
3.        Untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi perkembangan motorik pada anak usia dini
4.        Untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari keterampilan motorik pada anak usia dini
5.        Untuk mengetahui fungsi keterampilan motorik pada anak usia dini
6.        Untuk mengetahui bahaya dalam perkembangan motorik



 



BAB II

PEMBAHASAN



Usia 0-6 tahun merupakan masa keemasan (the golden age) bagi seorang anak dimana perkembangan dan pertumbuhan anak dimasa depan sangat dipengaruhi oleh kehidupan pada usia tersebut. Masa ini akan memberikan kontribusi besar pada perkembangan selanjutnya. Salah satu yang sangat penting untuk diperhatikan adalah sejauh mana anak dalam menguasai keterampilan motorik. Hal ini disebabkan karena penguasaan keterampilan motorik di masa anak-anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya. Usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle childhood atau masa anak-anak.
Perkembangan fisik sangat berkaitan erat dengan perkembangan motorik anak. Perkembangan motorik berarti perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi (Hurlock, 1978). Pengendalian berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan massa yang ada pada waktu lahir. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan halus. Perkembangan motorik sangat dipengaruhi oleh organ otak. Otaklah yang mensetir setiap gerakan yang dilakukan anak. Semakin matangnya perkembangan system syaraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak.

A. Jenis Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik anak dibagi menjadi dua:
1. Motorik kasar
Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri. Keterampilan motorik kasar seperti berjalan, berlari, melompat, naik turun tangga. Sekitar usia 3 tahun anak sudah dapat berjalan secara otomatis, bahkan pada alas yang tidak rata anak sudah dapat berjalan tanpa kesukaran. Sekitar 4 tahun anak hampir menguasai cara berjalan orang dewasa. Kesukaran yang ada pada belajar berjalan berhubungan dengan kekuatan badannya, yaitu untuk dapat menyandarkan seluruh berat badannya pada satu kaki. Bila anak sudah dapat berjalan maka ia akan mencoba untuk berjalan dengan berbagai variasi, misalnya berjalan mundur (± sekitar 17 bulan) dan berjalan di atas tumit (± sekitar 30 bulan). Sekitar bulan ke 18 anak mencoba untuk lari, tetapi gayanya masih menyerupai gaya berjalan.
Pada usia 2 atau 3 tahun anak betul-betul dapat berlari, tetapi ia belum mampu untuk berhenti dengan cepat atau untuk membalik. Pada usia 4 sampai 5 tahun anak sudah dapat lari, berhenti dan berputar membalik. Sesudah dapat berjalan dengan baik, anak juga belajar untuk berjalan memanjat dan menuruni tangga. Memanjat tangga berlangsung dengan setiap kali menapakkan sebelah kakinya ke muka dan menarik kaki yang satunya disamping. Sekitar 2 atau 3 tahun anak juga belajar meloncat-loncat, berjingkat-jingkat, dan berbagai variasi jalan. Sekitar 29 bulan anak dapat berdiri di atas sebelah kaki. Anak usia 3 tahun masih mempunyai kesukaran untuk menangkap bola atau untuk memukul bola dengan tongkat (Monks, 2004).
2. Motorik halus
Motorik halus adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih. Kedua kemampuan tersebut sangat penting agar anak bisa berkembang dengan optimal. Keterampilan motorik halus atau keterampilan manipulasi seperti menulis, menggambar, memotong, melempar dan menagkap bola serta memainkan benda-benda atau alat-alat mainan (Curtis,1998; Hurlock, 1957 dalam Yusuf 2005).
Pada usia 3 tahun, kemampuan anak-anak masih timbul dari kemampuan bayi untuk menempatkan dan memegang benda-benda. Walaupun mereka telah mampu untuk memegang benda-benda berukuran kecil di antara ibu jari dan jari telunjuk, tetapi mereka masih agak kikuk. Mereka dapat secara mengejutkan membangun menara tinggi yang terbuat dari balok, setiap balok disusun secara hati-hati walau seringkali tidak berada pada satu garis yang benar-benar lurus.
Pada usia 4 tahun, koordinasi motorik halus anak-anak telah semakin meningkat dan menjadi lebih tepat. Pada usia 5 tahun, koordinasi motorik halus anak-anak semakin meningkat. Tangan, lengan, dan tubuh bergerak bersama di bawah komando yang lebih baik dari mata (Santrock, 1995).

B. Prinsip Perkembangan Motorik
Menurut Hurlock (2001) terdapat lima prinsip perkembangan, yaitu:
1.        Perkembangan motorik bergantung pada kematangan otot dan syaraf
2.        Belajar ketrampilan motorik tidak terjadi sebelum anak matang.
3.        Perkembangan motorik mengikuti pola yang dapat diramalkan.
4.        Dimungkinkan menentukan norma perkembangan motorik.
5.        Perbedaan individu dalam laju perkembangan motorik.
Teori yang menjelaskan secara detail tentang sistematika motorik anak adalah Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen & Whiteneyerr. Teori tersebut mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik anak harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu dan menggunakan persepsi mereka tersebut untuk bergerak. Kemampuan motorik merepresentasikan keinginan anak.
Selain berkaitan erat dengan fisik dan intelektual anak, kemampuan motorik pun berhubungan dengan aspek psikologis anak. Damon & Hart, 1982 (dalam Yusuf, 2005) menyatakan bahwa kemampuan fisik berkaitan erat dengan self-image anak. Anak yang memiliki kemampuan fisik yang lebih baik di bidang olah raga akan menyebabkan ia dihargai teman-temannya. Hal tersebut juga seiring dengan hasil penelitian yang dilakukan Ellerman, 1980 (Yusuf, 2005) bahwa kemampuan motorik yang baik berhubungan erat dengan self-esteem.

C. Hal-hal Yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik
Hurlock (2001) menyatakan beberapa kondisi yang mempengaruhi laju perkembangan motorik anak, antara lain:
1.       Sifat dasar genetik, termasuk bentuk tubuh dan kecerdasan mempengaruhi laju perkembangan.
2.       Awal kehidupan pascalahir tidak ada hambatan pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, semakin aktif janin semakin cepat perkembangan motorik anak.
3.       Kondisi pra lahir yang menyenangkan (gizi makanan sang ibu) lebih mendorong perkembangan motorik yang lebih cepat pada masa pascalahir.
4.       Kelahiran yang sukar, apabila ada kerusakan pada otak akan memperlambat perkembangan motorik.
5.       Adanya rangsangan, dorongan, dan kesempatan untuk menggerakkan semua bagian tubuh akan mempercepat perkembangan motorik.
6.       Perlindungan yang berlebihan akan melumpuhkan persiapan berkembangnya kemampuan motorik.
7.       Kelahiran sebelum waktunya biasanya memperlambat perkembangan motorik.
8.       Cacat fisik, seperti buta akan memperlambat perkembangan motorik.
9.       Dalam perkembangan motorik, perbedaan jenis kelamin, warna kulit, dan sosial ekonomi lebih banyak disebabkan oleh perbedaan motivasi dan metode pelatihan anak ketimbang karena perbedaan bawaan.

D. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Mempelajari Keterampilan Motorik
Beberapa hal penting dalam mempelajari keterampilan motorik menurut Hurlock (2001), meliputi:
1.       Kesiapan belajar
2.       Kesempatan belajar
3.       Kesempatan berpraktek
4.       Model yang baik
5.       Bimbingan
6.       Motivasi
7.       Setiap keterampilan motorik harus dipelajari secar individu
8.       Keterampilan sebaiknya dipelajari satu persatu.
Masa kecil sering disebut sebagai “saat ideal” untuk mempelajari keterampilan motorik karena beberapa alasan, antara lain:
  1. Tubuh anak lentur dibanding tubuh remaja atau orang dewasa sehingga anak lebih mudah menerima semua pelajaran.
  2. Anak belum banyak memiliki keterampilan yang akan berbenturan dengan keterampilan yang baru dipelajarinya maka bagi anak mempelajari keterampilan yang baru lebih mudah.
  3. Anak lebih berani pada waktu kecil ketimbang telah besar.
  4. Para remaja dan orang dewasa merasa bosan mengalami pengulangan tetapi tidak untuk anak, mereka malah menyenanginya.
  5. Anak memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang lebih kecil ketimbang yang akan mereka miliki pada waktu mereka bertambah besar.

E. Fungsi Keterampilan Motorik
Keterampilan motorik yang berbeda memainkan peran yang berbeda pula dalam penyesuaian sosial dan pribadi anak. Sebagai contoh, sebagian keterampilan berfungsi membantu anak dalam kemandiriannya, sedangkan sebagian lainnya berfungsi untuk membantu mendapatkan penerimaan sosial. Dikarenakan tidak mungkin mempelajari keterampilan motorik secara serempak, anak akan memusatkan perhatian untuk mempelajari keterampilan yang akan membantu mereka memperoleh bentuk penyesuaian yang penting pada sat itu. Misalnya, apabila anak merasa sangat ingin mandiri, mereka akan memusatkan perhatian untuk menguasai keterampilan yang memungkinkan mereka dapat mandiri.
Beberapa pengaruh perkembangan motorik terhadap perkembangan individu dipaparkan oleh Hurlock (1996) sebagai berikut:
  1. Melalui keterampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan memperoleh perasaan senang. Seperti anak merasa senang dengan memiliki keterampilan memainkan boneka, melempar dan menangkap bola atau memainkan alat-alat mainan.
  2. Melalui keterampilan motorik, anak dapat beranjak dari kondisi tidak berdaya pada bulan-bulan pertama dalam kehidupannya, ke kondisi yang independent. Anak dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berbuat sendiri untuk dirinya. Kondisi ini akan menunjang perkembangan rasa percaya diri.
  3. Melalui perkembangan motorik, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah. Pada usia prasekolah atau usia kelas-kelas awal Sekolah Dasar, anak sudah dapat dilatih menulis, menggambar, melukis, dan baris-berbaris.
  4. Melalui perkembangan motorik yang normal memungkinkan anak dapat bermain atau bergaul dengan teman sebayannya, sedangkan yang tidak normal akan menghambat anak untuk dapat bergaul dengan teman sebayanya bahkan dia akan terkucilkan atau menjadi anak yang fringer (terpinggirkan).
  5. Perkembangan keterampilan motorik sangat penting bagi perkembangan self-concept atau kepribadian anak.
Pada tahun 2001, Hurlock membagi fungsi keterampilan motorik menjadi 4 kategori, meliputi:
1.                                       Keterampilan bantu diri (Self help)
Untuk mencapai kemandiriannya, anak harus mempelajari keterampilan motorik yang memungkinkan mereka mampu melakukan segala sesuatu bagi diri mereka sendiri. Keterampilan tersebut meliputi keterampilan makan, berpakaian, merawat diri, dan mandi.
2.      Keterampilan bantu sosial (Social help)
Untuk menjadi anggota kelompok sosial yang diterima di dalam keluarga, sekolah, dan tetangga, anak harus menjadi anggota yang kooperatif. Contoh keterampilan agar dapat memperoleh peneriman sosial antara lain membantu pekerjaan rumah atau mengerjakan pekerjaan sekolah.
3.      Keterampilan bermain
Untuk dapat menikmati kegiatn kelompok sebaya atau untuk dapat menghibur diri di luar kelompok sebaya, anak harus mempelajari keterampilan bermain bola, mengambar, melukis, dan memanipulasi alat bermain.
4.      Keterampilan sekolah
Pada tahun permulaaan sekolah, sebagian besar pekerjaan melibatkan keterampilan motorik seperti melukis, menulis, menggambar, membuat keramik, menari, dan bertukang kayu. Semakin banyak dan semakin baik keterampilan yang dimiliki, semakin baik pula penyesuaian sosial yang dilakukan semakin baik prestasi sekolahnya, baik dalam prestasi akademis maupun dalam prestasi yang bukan akademis

F. Bahaya dalam Perkembangan Motorik
Bahaya-bahaya yang perlu diperhatikan dalam perkembangan motorik, antara lain:
1.        Terlambatnya Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik berada di bawah norma anak. Akibatnya pada umur tertentu anak tidak menguasai tugas perkembangan yang diharapkan oleh kelompok sosialnya. Pengaruh perkembangan motorik yang terlambat berbahaya bagi penyesuaian sosial dan pribadi anak yang baik. Alasannya karena hal itu dapat menimbulakan akibat yang tidak menguntungkan konsep diri anak sehingga sering menimbulakan masalah perilaku dan emosi antara lain karena rasa putus asa dan adanya perasaan rendah diri. Selain itu, keterlambatan perkembangan motorik berbahaya karena tidak menyediakan landasan bagi keterampilan motorik sehingga mengalami kerugian pada sat mereka mulai bermain dengan anak lainnya.
2.        Harapan Keterampilan yang Tidak Realistik
Yaitu harapan yang lebih banyak didasarkan atas harapan dan keinginan ketimbang harapan atas potensi anak sendiri. Dalam bidang perkembangan keterampilan motorik, anak diharapkan dapat mengendalikan motorik dan mempelajari keterampilan tersebut sebelum mereka matang dan siap melakukannya. Sebagian harapan yang tidak realistis timbul dari orang tua, sebagian dari guru, dan sebagian lagi dari anak sendiri. Ketidakmampuan berbuat sesuai harapan, membuat anak merasa rendah diri dan tidak terampil sehingga peraasan ini akan merongrong kepercayaan diri dan melemahkan motivasi untuk mempelajari ketermapilan motorik yang lainnya. Selain itu, jika anak dikritik dan ditegur mereka akan kecewa dan menentang.

3.        Tidak dapat Mempelajari Keterampilan Motorik yang Penting
Kegagalan mempelajari keterampilan motorik yang penting bagi diri anak atau bagi kelompok sebaya mereka, akan merugikan penyesuaian sosial dan pribadi anak.
4.        Kekakuan
Dipandang sebagai kaku atau canggung hanya jika pengendalian gerakan tubuhnya berada di bawah standar ynng diharapkan bagi tingkat umurnya. Sebagian anak mungkin kelihatan kaku karena dinilai dengan standar yang tidak sesuai, misalnya anak yang berumur 2 tahun dinilai kaku bila standar penilaian yang digunakan adalah standar untuk anak usia 3 tahun. Penyebab yang paling umum adalah terlambat matang, kondisi fisik yang jelek melemahkan motivasi melakukan latihan yang diperlukan untuk mengembangkan keterampilan motorik, bangun tubuh tertentu mempengaruhi motivasi anak untuk memperoleh ketermapilan tanpa melakukan latihan yang cukup, IQ yang sangat rendah disertai dengan keterlambatan perkembangan motorik, IQ yang sangat tinggi yeng lebih mendorong minat intelektual dibanding perkembangan motorik, kurangnya kesempatan dan motivasi untuk mengembangkan pengendalian otot, dan ketegangan emosional yang mengganggu kondisi otot. Kekakuan pada anak mebawa dampak psikologis yang lebih besar daripada dampak fisik.
Terdapat beberapa perbedaan individu dalam kekakuan yaitu:
a.    anak yang secara temporer tegang, gugup, dan terganggu emosionalnya lebih kaku ketimbang anak yang normal.
b.    selama periode pertumbuhan yang cepat dapat mengganggu terbentuknya pola koordinasi motorik.
c.    dalam situasi yang berbeda tingkat pengendalian motorik yang dilakukan anak juga berbeda.


BAB III
KESIMPULAN


Motorik adalah terjemahan dari kata “motor” yang menurut Gallahue adalah suatu dasar biologi atau mekanika yang menyebabkan terjadinya suatu gerak. Motorik halus adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih. Misalnya, kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya.
Kegiatan motorik kasar adalah menggerakkan berbagai bagian tubuh atas perintah otak dan mengatur gerakan badan terhadap macam-macam pengaruh dari luar dan dalam. Motorik kasar sangat penting dikuasai oleh seseorang karena bisa melakukan aktivitas sehari-hari, tanpa mempunyai gerak yang bagus akan ketinggalan dari orang lain, seperti: berlari, melompat, mendorong, melempar, menangkap, menendang dan lain sebagainya, kegiatan itu memerlukan dan menggunakan otot-otot besar pada tubuh seseorang.
Perkembangan fisik/motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh. karena keterampilan motorik halus membutuhkan kemampuan yang lebih sulit misalnya konsentrasi, kontrol, kehati-hatian, dan koordinasi otot tubuh yang satu dengan yang lain.


DAFTAR PUSTAKA


Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Hurlock, Elizabeth B. (2001). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Megawangi, R., Dona, R., dkk. (2005). Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan: Penerapan Teori Developmentally Appropriate Practices (DAP). Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Monks, F. J dan Knoers, A. M. P dan Haditono, Siti R. (2001). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Moeslichatoen. (2004). Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Rineka Cipta

Santrock. (1978). Life Span Development Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Suyanto, S. (2005). Dasar–dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Yusuf, S. (2005). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung:Remaja Rosdakarya



SINERGISITAS DALAM ANDRAGOGI



Pertumbuhan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai prihadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitamya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan.
Selanjutnya, Knowles (1970) mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut. Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dan ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak.
Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai.
Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dain orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini Kartono, 1992). Sejalan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang dilentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lehih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya.
Pembelajaran yang diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih, pcngajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan altematif-altematif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada hakekalnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka.
Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadiriya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Oleh karena sifat belajar hagi orang dewasa adalah hersifat subjektif dan unik, maka terlepas dan benar atari salahnya, segala pendapat perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dart pembimbingnya, dan pada akhimya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut maka suasana belajar yang kondusif tak akan pemah terwujud.
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berheda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling herbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang hagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll).
Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadiriya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan psikologis, dan pisis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau diperma1ukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai altematif kebebasan mengemukakan ide/ gagasan dapat diciptakan.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, herani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dan belajar.
Pada akhimya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya herharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dan orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan
Menurut Vemer dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara psikologis dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan:
1.      Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglilhatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas mulai hergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh fahun titik dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm.
2.      Dengan bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan penggunaan bahan dan alat pendidikan.
3.      Makin bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt cahaya1 maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat dengan jelas.
4.      Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya komea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya warna-warna lenmbut. Untuk jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang kontras untuk alat-alat peraga.
5.      Pendengaran atau kemampuan menerima suara mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita. Hanya 11 persen dan orang berusia 20 tahun yang mengalami kurang pendengaran. Sampai 51 persen dan orang yang berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang pendengaran.
6.      Perbedaan bunyi atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan demikian, bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan hunyi sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang. Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang dewasa dalam situasi belajar mempunyai sikap tertentu, maka purlu diperhatikan hal-hal tersebut di bawah ini:
1.       Terciptanya proses belajar adalah suatu prose pengalaman yang ingin diwujudkan oleh setiap individu orang dewasa. Proses pembelajaran orang dewasa berkewajiban memotivasi/mendorong untuk mencari pengetahuan yang lebih tinggi.
2.       Setiap individu orang dewasa dapat belajar secara efektif bila setiap individu mampu menemukan makna pribadi bagi dirinya dan memandang makna yang baik itu berhubungan dengan keperluan pribadinya.
3.       Kadangkala proses pembelajaran orang dewasa kurang kondusif, hal ini dikarenakan belajar hanya diorientasikan terhadap peruhahan tingkah laku, sedang perubahan perilaku saja tidak cukup, kalau perubahan itu tidak mampu menghargai hudaya bangsa yang luhur yang harus dipelihara, di samping metode berpikir tradisional yang sukar diubah.
4.       Proses pembelajaran orang dewasa merupakan hal yang unik dan khusus serta bersifat individual. Setiap individu orang dewasa memiliki kiat dan strategi sendiri untuk memperlajari dan menemukan pemecahan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran tersebut. Dengan adanya peluang untuk mengamati kiat dan strategi individu lain dalam belajar, diharapkan hal itu dapat memperbaiki dan menyempurnakan caranya sendiri dalam belajar, sebagai upaya koreksi yang lebih efeklif.
5.       Faktor pengalaman masa lampau sangat berpengaruh pada setiap tindakan yang akan dilakukan, sehingga pengalaman yang baik perlu digali dan ditumbuhkembangkan ke arah yang lebih bermanfaat.
6.       Pengembangan intelektualitas seseorang melalui suatu proses pengalaman secara bertahab dapat diperluas. Pemaksimalan hasil belajaran dapat dicapai apabila setiap individu dapat memperluas jangkauan pola berpikimya

Dalam andragogi, pendidik atau fasilitator mempersiapkan secara jauh satu perangkat prosedur untuk melibatkan siswa, untuk selanjutnya dalam prosesnya melibatkan elemen-elemen sebagai berikut: (a) menciptakan iklim yang mendukung belajar, (b) menciptakan mekanisme untuk perencanaan bersama, (c) diagnosis kehutuhan-kebutuhan belajar, (d) merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar, (e) merencanakan pola pengalaman helajar, (f) melakukan pengalaman helajar ini dengan teknik-teknik dan materi yang memadai, dan (g) mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosa kembali kebutuhankebutuhan belajar.


Sumber :
Tamat, Tisnowati. (1 984). Dari Pedagogik ke Andragogik, Jakarta: Pustaka Dian.

Drost, S.J.,(1998), Sekolah Mengajar atau Mendidik?, Kanisius, Yogyakarta

-------, (2005), Dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Penerbit Buku Kompas, Jakarta


Durkheim, Emile, (1990), Pendidikan Moral (Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan), Erlangga, Jakarta


Perspektif Baru Andragogi

Strategi Andragogi

Model Proses Andragogi Untuk Pembelajaran

Andragogi Dalam Pengembangan SDM

Makalah Perkembangan Pada Anak Usia Dini

BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Anak usia dini merupakan pribadi yang unik, yang berbeda dengan orang dewasa. Anak usia dini mempunyai karakteristik tersendiri, yang terkadang membuat orang dewasa di sekitarnya menjadi terkaget-kaget bila melihat dan mendengarkan perilaku maupun percakapan mereka dengan teman sebayanya.
Berbicara mengenai perkembangan perilaku sosial pada anak usia dini (3 – 4 tahun), banyak hal yang menarik di dalamnya. Anak usia 3-4 tahun yang dalam hal ini masih berada di rentang usia kelompok Bermain,  mempunyai karakteristik tersendiri dalam perkembangannya. Khususnya dalam perkembangan perilaku sosial, anak perlu dibiasakan dan diajarkan bagaimana cara mereka  berinteraksi dalam lingkungan sosial di lingkungannya.
Pembelajaran perkembangan perilaku sosial yang biasa dilakukan dalam lingkungan keluarga, sangat penting agar kelak anak – anak menjadi pribadi yang santun, mempunyai rasa empati, simpati, tenggang rasa, saling menghormati, dan mempunyai sifat sosial yang baik. Dengan mempunyai bekal dengan pembiasaan berinteraksi sosial dan berperilaku yang baik, maka insya Allah, kelak anak-anak kita akan menjadi generasi penerus bangsa yang mempunyai kecerdasan sosial dan kecerdasan interpersonal yang akan mengharumkan bangsa dan negaranya.
Dewasa ini kita juga pernah dikejutkan dengan hal-hal yang negatif yang dilakukan oleh beberapa anak yang masih berada dalam rentang usia 4 tahun. Sebagai contoh: seorang anak dari daerah Jawa  yang suka merokok. Hal itu ia lakukan, karena interaksi sosial di lingkungan rumahnya mendukung ia untuk melakukan hal tersebut. Tidak ada larangan, ia terkesan dibiarkan, sehingga suatu ketika ia dilarang, maka anak itu akan mengamuk dan berbicara agak kasar. Hal itu terjadi karena pola kebiasaan dan lingkungan sosial yang membentuknya. Anak tidak bisa disalahkan, yang salah adalah orang tua dan proses pembentukan dari lingkungan keluarga yang kurang baik.
Contoh yang lainnya lagi adalah  anak-anak  yang masih usia dini yang baru berusia 3 – 4 tahun banyak berada di jalanan untuk mencari nafkah dengan cara mengamen, menjadi peminta-minta, pemungut sampah, pencuri, dan bahkan ada yang menjadi  korban kejahatan seksual. Ada yang memang karena  keadaan terpaksa karena garis kemiskinan, ada pula yang memang sengaja dieksploitasi oleh para orang tua mereka sebagai  ladang mencari uang. Hal itu bila dibiarkan, maka akan menjadikan mereka menjadi anak – anak yang berperilaku tidak sosial. Banyak pengaruh negativisme, karena lingkungan membentuk mereka untuk melakukan hal-hal yang negatif; mencuri, memaksa, mencopet,  dsb.
Anak-anak  jalanan juga sering berperilaku agresif dengan memaki-maki orang yang tidak mau memberinya uang saat meminta-minta maupun pada saat mengamen. Hal tersebut, akan menjadikan orang-orang di sekitarnya menjadi merasa tidak nyaman, terganggu, dan berbagai ketidaknyamanan sosial lainnya.

B.  Identifikasi dan Rumusan Masalah
Melihat permasalahan yang terjadi dewasa ini mengenai perkembangan perilaku anak usia dini yang sedikit mengkhawatirkan dengan berbagai problemanya, maka hendaknya para orang tua dapat memberikan suri tauladan kepada putra-putrinya. Karena anak melihat orang tua sebagai model mereka untuk berperilaku, hendaknya orang tua dapat menjaga perilaku dengan baik pula. Anak juga perlu diajari bagaimana bersikap dan berinteraksi dengan baik, bagaimana bersikap bila bertemu orang lain, bagaimana bermain dengan teman, mau berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan hal tersebut maka pada makalah ini dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa teori perkembangan pada anak usia dini?
2.      Apa hakekat perilaku anak usia dini?
3.      Bagaimana pengertian dan cakupan kemampuan dasar anak usia dini ?
4.      Bagaimana urgensi pengembangan kemampuan dasar anak usia dini ?
5.      Bagaimana teori perkembangan sosial pada anak usia dini ?


6.       
BAB II
PEMBAHASAN


A.     Teori Perkembangan
Menurut Santrock (1998) dalam Hildayani (2007:1.3) dikatakan bahwa perkembangan merupakan pola perubahan yang dimulai pada saat konsepsi dan berlanjut di sepanjang rentang kehidupannya.  Menurut para pakar perkembangan (Papalia, dkk, 2008), ada dua jenis proses perubahan perkembangan, yaitu perkembangan kuantitatif dan kualitatif. Perubahan kuantitatif adalah perubahan dalam angka atau jumlah, seperti tinggi, berat kosa kata, perilaku agresif atau frekuensi komunikasi.
Sedangkan perubahan kualitatif yaitu perubahan yang berkaitan dengan jenis, struktur, atau organisasi. Namun, menurut Gessel dkk dalam Hurlock (1991:5) kemajuan perkembangan anak terjadi secara bertahap dan beberapa tahapan ini ditandai juga oleh keseimbangan ketika anak menjadi pusat perhatian, yang oleh karena itu dapat diatur. Lalu tahapan yang lainnya adalah ditandai oleh ketidakseimbangan ketika anak tidak menjadi pusat perhatian yang membuat anak sulit untuk diatur.
Jadi, perkembangan bila disimpulkan dari beberapa pemahaman di atas adalah perubahan manusia yang mengalami perkembangan secara alami, dapat pula dipengaruhi oleh faktor latihan dan lingkungan yang membentuknya. Adapun tokoh-tokoh teori perkembangan seperti yang dikemukakan oleh Crain (2007):  teori Preformasionisme abad pertengahan dengan tokohnya Aries (1960) yang menyatakan bahwa anak-anak merupakan miniatur orang dewasa, John Locke memberikan penolakan dengan teori environmentalismenya yang menyatakan bahwa anak-anak tidak dilahirkan sebagai manusia dewasa, melainkan menjadi dewasa lantaran pengasuhan dan pendidikan yang anak terima.
Rousseau dengan teori Naturalismenya yang menyatakan bahwa anak-anak bukanlah wadah kosong yang bisa diisi begitu saja oleh orang dewasa, namun anak mempunyai perasaan dan pemikiran sendiri yang berbeda dengan cara pandang orang dewasa. Rousseau tidak percaya dengan kekuatan lingkungan. Ia lebih percaya kepada alam yang akan menuntun seorang anak menuju pertumbuhannya. Teori etologis dari Darwin, Lorenz, dan Bowlby, teori Montessori dengan masa pekanya. teori komparatif dan organismik dari Werner, Teori kognitif Piaget, teori perkembangan moral Kohlberg, teori pembelajaran Bandura, Pavlov, Watson dan Skinner, teori sosial kognitif Vygotsky, teori psikoanalitik Freud, teori pentahapan Erikson, dan masih banyak lagi para tokoh teori perkembangan dunia.
Perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif, artinya perkembangan terdahulu akan menjadi dasar bagi perkembangan selanjutnya. Oleh sebab itu, apabila terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu maka perkembangan selanjutnya cenderung akan mendapat hambatan (Jamaris dalam Sujiono, 2009:54).
Anak usia dini berada dalam masa keemasan di sepanjang rentang usia perkembangan manusia. Montessori dalam Hainstock (1999:10-11) mengatakan bahwa masa ini merupakan periode sensitif, selama masa inilah anak secara khusus mudah menerima stimulus-stimulus dari lingkungannya. Pada masa ini anak siap melakukan berbagai kegiatan dalam rangka memahami dan menguasai lingkungannya.
Selanjutnya Montessori menyatakan bahwa usia keemasan merupakan masa di mana anak mulai peka untuk menerima berbagai stimulasi dan berbagai upaya pendidikan dari lingkungannya baik disengaja maupun tidak disengaja. Pada masa inilah terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap merespons dan mewujudkan semua tugas-tugas perkembangan yang diharapkan muncul pada pola perilakunya sehari-hari (Hainstock dalam Sujiono, 2009:54).  
Awal masa kanak-kanak merupakan periode yang bahagia dalam kehidupan. Kalau tidak, kebiasaan tidak bahagia dengan mudah akan berkembang, dan sekali ini terjadi akan sulit dirubah. Berikut merupakan tugas-tugas perkembangan untuk anak usia dini (Hurlock, 1991: 140).
a.    Awal masa kanak-kanak yang berlangsung dari dua sampai enam tahun, oleh  orang tua disebut sebagai usia yang problematis, menyulitkan atau mainan; oleh para pendidik dinamakan sebagai usia prasekolah; dan oleh ahli psikologi sebagai usia prakelompok, penjelajah atau usia bertanya.
b.    Perkembangan fisik berjalan lambat tetapi kebiasaan fisiologis yang dasarnya diletakkan pada masa bayi, menjadi cukup baik.
c.    Awal masa kanak-kanak dianggap sebagai saat belajar untuk mencapai pelbagai keterampilan karena anak senang mengulang, hal mana penting untuk belajar keterampilan; anak pemberani dan senang mencoba hal-hal baru; dan karena hanya memiliki beberapa keterampilan maka tidak mengganggu usaha penambahan keterampilan baru.
d.   Perkembangan berbicara berlangsung cepat, seperti terlihat dalam perkembanganya pengertian dan berbagai keterampilan berbicara. Ini mempunyai dampak yang kuat terhadap jumlah bicara dan isi pembicaraan.
e.    Perkembangan emosi mengikuti pola yang dapat diramalkan, tetapi terdapat keanekaragaman dalam pola ini karena tingkat kecerdasan, besarnya keluarga, pendidikan anak dan kondisi-kondisi lain.

B. Hakikat Perilaku Anak Usia Dini
1. Definisi Perilaku
Perilaku adalah cerminan kepribadian seseorang yang tampak dalam perbuatan dan interaksi terhadap orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, masa usia dini adalah masa yang peka untuk menerima pengaruh dari lingkungan.
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan, baik disadari maupun  tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Oleh karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara aktivitas otak dengan perilaku dan dengan pengalaman.  Hal ini dibuktikan dengan timbulnya berbagai reaksi tertentu, misalnya rasa senang atau sakit, ketika ada rangsangan, dan reaksi ini diprogram pada daerah tertentu yang berada dalam otak.
Perilaku manusia ada yang dapat diamati secara langsung maupun tidak. Tersenyum, menangis, makan, berjalan, dan berbicara, merupakan perilaku instrumental yang dapat diamati. Sebagian besar perilaku ini dilakukan berdasarkan pada kesadaran. Terjadinya perilaku tertentu manusia dipengaruhi oleh proses mental, yang berupa berbagai cara untuk mentranformasikan masukan inderawi, membubuhi kode-kode pada masukan tersebut dan menyimpan kode-kode ini ke dalam ingatan serta mengambil kembali untuk digunakan ketika diperlukan. Dengan demikian, terjadi persepsi, pembentukan image, pemecahan masalah, ingatan dan berpikir.
Seseorang bebas untuk memilih dan menentukan tindakannya sendiri, karena itulah setiap orang bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, terutama dalam kebebasan berkehendak dan dorongan untuk aktualisasi diri. Individu adalah pemeran yang mampu melakukan kontrol atas dirinya sendiri dan lingkungan di sekelilingnya. Dengan demikian, dorongan utama timbulnya perilaku individu adalah kecenderungan untuk tumbuh dan mengaktualisasikan dirinya.
2. Cakupan Perilaku Anak Usia Dini
Aspek-aspek pengembangan yang membantu mengembangkan perilaku anak adalah:
a. Moral
1). Definisi moral
- Moral berasal dari bahasa latin yaitu mores yang artinya tata cara kebiasaan, adat.
- Perilaku moral adalah perilaku sesuai dengan standar moral dari kelompok tertentu.
2). Konsep moral
- Terbentuk dari perilaku yang menjadi kebiasaan
- Konsep moral menentukan perilaku
3). Moralitas dalam arti yang sesungguhnya
- Lebih mementingkan pada kepentingan
- Perilaku yang sesuai dengan standar nasional
4). Tahapan perkembangan moral
- Menurut Piaget
a. Tahapan realisme moral
b. Tahap moralitas ekonomi
- Menurut Kohiberg
a. Moralitas pra konvensional
b. Moralitas konvensional
c. Moralitas pasca konvensional
5). Fase perkembangan moral
- Perkembangan moral dipelajari dengan:
a. Coba & ralat
b. Pendidikan langsung
c. identifikasi
6). Tahap perkembangan agama pada anak
- Tahap ini terbagi menjadi 3 yaitu;
a. The fairy tale stage (tingkat dongeng)
b. The realistic stage (tingkat kenyataan)
c. The individual stage (tingkat individu)
7). Faktor yang mempengaruhi sikap beragama
- Faktor yang mempengaruhi sikap beragama ada 2 faktor yaitu:
a. Faktor internal (Faktor jasmaniah, Faktor psikologis)
b. Faktor eksternal (Faktor sosial, Faktor budaya)
8). Bentuk dan sifat agama pada anak
- Bentuk dan sifat agama ada lima bagian yaitu:
a. Unreflective
b. Egosentris
c. Anthromortis
d. Verbalis dan ritualis
e. imitatif
9). Perkembangan sosial merupakan suatu proses pemerolehan kemampuan untuk perilaku yang sesuai dengan keinginan diri seseorang.
10). Emosi  sesuatu  yang  mendorong terhadap  sesuatu/dengan  perkataan  emosi sebagai suatu keadaan penyesuaian diri.

3. Pemodelan Perilaku
Pemodelan atau meniru model sering disebut sebagai imitasi. Pada masa kanak-kanak, meniru meniru memegang peranan penting selama masa perkembangan. Ada dua teori meniru, yaitu pembawaan dan pengalaman. Akan tetapi, berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa meniru lebih cenderung berasal dari pembawaan, meskipun  pengalaman dapat mengambil peranan dalam terpeliharanya pembawaan meniru.
Menurut Bandura, terdapat empat tahap dalam proses peniruan tersebut, yaitu:
1). Tahap pemilikan (acquisition). Dalam tahap ini subyek mengamati, dan perilaku yang diamati menambah perbendaharaan perilaku. Makin jelas dan makin intensif  pengamatan, pemilikan perilaku semakin cepat. Akan tetapi, meskipun pengamatan tidak intensif,  namun kejadian timbul berulang-ulang, dapat memperkenalkan perilaku yang ditiru. Pengamatan akan lebih efisien apabila tidak ada hal lain yang mengalihkan perhatian dan dalam situasi sosial tertentu, individu belajar jauh lebih cepat hanya dengan mengamati tingkah laku orang lain.  Jika perilaku baru dicapai hanya melalui pengamatan, maka proses semacam ini dapat dikatakan bersifat kognitif. Pengamatan juga mengajarkan kepada anak sejumlah konsekuensi yang memungkinkan dari sebuah tingkah laku baru ketika seseorang mempraktekkan.
2).  Tahap pengelolaan ingatan (retention). Pada tahap ini, peniru mengelola informasi yang didapatkan, sehingga bagi calon peniru yang cukup cerdas, perhatian akan lebih sepenuhnya bila perilaku yang diamati dibicarakan, diartikan, diberi nama atau label.
3).  Tahap pelaksanaan (performance). Pada tahap ini peniru akan melakukan perilaku yang telah dipelajari dari teladan atau model. Peniruan ini dapat hanya berbentuk representasi, artinya tidak sungguh-sungguh, maupun berbentuk latihan-latihan. Makin banyak tuntutan kehidupan untuk benar-benar melakukan  perilaku meniru yang telah disimpan dalam ingatan, makin sering peniru melakukannya. Sebaliknya, apabila perilaku yang ditiru ini tidak dapat dilaksanakan (mungkin karena sukar, tidak adanya kesempatan, atau tidak adanya fasilitas), perilaku itu tidak terpakai.
4).  Tahap pengukuhan (reinforcement). Perilaku yang ditiru ini membawa akibat. Bila akibat ini positif bagi peniru, maka perilaku ini akan ditiru lagi. Pengukuhan sendiri dapat bersifat positif maupun negatif. Pengukuhan yang bersifat positif biasanya berbentuk hadiah atau penghargaan, sedangkan penguatan negatif bersifat hukuman, yang berfungsi terutama untuk mengendalikan atau menghilangkan perilaku yang dianggap negatif atau tidak sesuai. Penggunaan jenis-jenis pengukuhan ini tergantung pada budaya setempat, karena perilaku yang dianggap positif atau negatif cenderung berbeda antara satu budaya dan budaya yang lainnya.
Individu yang biasanya dijadikan model adalah individu yang dianggap memiliki ”kelebihan” tertentu, misalnya berpengalaman, memiliki sesuatu yang dikagumi, dianggap menjadi figur sosial, dan sebagainya. Pada anak, tidak jarang segala macam perilaku orang dewasa ditiru begitu saja. Dalam lembaga pendidikan anak usia dini, orang dewasa yang menjadi model utama biasanya adalah pendidik, karena dekat, sering bertemu dan berinteraksi dengan anak. Di samping itu, pendidik merupakan model nyata yang tidak terlalu rumit untuk dicontoh oleh anak.

C. Pengertian dan Cakupan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini
1. Kemampuan Dasar Anak Usia Dini
          Menurut Piaget anak usia dini mengalami perkembangan kognitif dalam empat tahap yaitu : (1) tahap sensorimotorik (lahir – 2 tahun), (2) tahap praoperasional (2-7 tahun), (3) tahap operasional konkrit (7-11 tahun), dan (4) tahap operasional formal (11-16 tahun). Semua anak akan melalui keempat tahapan tersebut dengan urutan yang sama. Hal ini terjadi karena masing-masing tahapan berasal dari pencapaian tahap sebelumnya (Wahyudin dan Agustin, 2010:2).
          Anak dipahami secara utuh sebagai pribadi yang berinteraksi dengan lingkungannya. Anak tumbuh kembang melalui partisipasi aktif dalam lingkungan sosio-kultural. Tumbuh kembang secara kualitatif sungguh terjadi secara historis atau melintasi waktu, bertahap berkelanjutan dalam interaksi yang terus-menerus dengan situasi sosial yang juga terus berubah (Nusa Putra dan Dwilestari, 2012:103).
          Menurut Coughlin (dalam Sujiono dan Sujiono, 2010:24) ciri-ciri umum anak dalam rentang usia 3-6 tahun, diantaranya:
1)   Anak-anak pada usia tersebut menunjukkan perilaku yang bersemangat, menawan, dan sekaligus tampak kasar pada saat-saat tertentu.
2)   Anak mulai berusaha untuk memahami dunia di sekeliling mereka walaupun mereka masih sulit untuk membedakan antara khayalan dan kenyataan.
3)   Pada suatu situasi tertentu anak tampak sangat menawan dan dapat bekerja sama dengan teman dan orang lain tetapi pada saat yang lain mereka menjadi anak yang pengatur dan penuntut.
4)   Anak mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dengan cepat, mereka seringkali terlihat berbicara sendiri dengan suara keras ketika mereka memecahkan masalah atau menyelesaikan suatu kegiatan, serta
5)   Secara fisik, anak memiliki tenaga yang besar tetapi rentang konsentrasinya pendek sehingga cenderung berpindah dari satu kegiatan ke kegiatan lain.
           Anak yang berada pada usia 3-4 tahun apabila ditinjau dari klasifikasi usianya maka termasuk kategori anak yang berada pada masa usia dini. Anak yang tidak mendapatkan lingkungan yang merangsang pertumbuhan otak/tidak mendapatkan stimulasi psikososial akan mengalami keterlambatan perkembangannya. Rangsangan stimulasi pendidikan harus diberikan untuk membantu anak mencapai tahapan perkembangan.
2. Cakupan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini
Cakupan kemampuan dasar anak usia 3-4 tahun meliputi pengembangan sebagai berikut:
1). Fisik
Kuhlen dan Thomson (Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fisik seorang anak meliputi 4 aspek yaitu:
a)    System saraf di otak yang mempengaruhi kecerdasan emosi
b)   Otot-otot yang mempengaruhi perkembangan motorik
c)    Kelenjer endokrin yang mempengaruhi tingkah laku
d)   Struktur tubuh /fisik meliputi tinggi proporsi
e)    Di bawah ini adalah pengaruh kelenjer endokrin terhadap perkembangan manusia adalah:
(1) Pituitary
(2) Thyroid
(3) Testes
(4) Ovarium
(5) Adrenal

2). Bahasa
Badudu menyatakan bahwa bahasa adalah alat penghubung/komunikasi antar anggota masyarakat yang terdiri dari individu yang menyatakan pikiran, perasaan, dan keinginan. Bromley (1992) menyebutkan empat macam bentuk bahasa yaitu menyimak, berbicara, menulis, membaca.
a. Kognitif
Kognitif diartikan sebagai kecerdasan/cara berpikir. Patmodewono (2000) kognitif adalah mengenal cara berpikir dan mengamati.
Piaget membagi perkembangan kognitif dalam 4 tahap yaitu:
(1) Tahap sensorimotor yang berlangsung usia 0-2 tahun
(2) Tahap praoperasional yang berlangsung usia 2-7 tahun
(3) Tahap operasional konkrit yang berlangsung usia 7-12 tahun
(4) Tahap operasional formal yang berlangsung usia 12 tahun sampai usia dewasa
b. Seni
Pengembangan seni pada anak usia 3-4 tahun mengarah pada pelaksanaan kegiatan yang mengasyikkan. The art in education meliputi aspek:
(1) Seni adalah dasar untuk berkomunikasi
(2) Seni membantu membangun kreativitas anak
(3) Seni memantu memahami pengetahuan lain
(4) Melalui seni anak dapat mempelajari peradaban mansia.
Untuk melengkapi pembahasan di atas mengenai tugas perkembangan anak usia 3-4 tahun dalam aneka macam aspek perkembangan (fisik, motorik, bahasa, kognitif, moral adalah):
1. Mulai dapat bergiliran dan berbagi
2. Dapat bermain dengan anak lain
3. Senang berlari berkeliling
4. Dapat menghitung 2-3 benda
5. Senang memasangkan benda

D. Urgensi Pengembangan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini
Menurut Hurlock (1996), urgensi pengembangan kemampuan dasar anak usia dini sebagai berikut:
a)        Hasil belajar dan pengalaman semakin memainkan peran dalam perkembangan usia
b)        Dasar awal pengembangan kemampuan anak
c)        Dengan bertambahnya usia, ciri bawaan yang tidak disukai.

1.        Prinsip Pengembangan Kognitif
Minett ( 1994) mendeskripsikan bahwa pengembangan kognitif seorang anak yang telah berusia lebih dari satu tahun dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan pada anak untuk berbicara prinsip-prinsip pengembangan kognitif sebagai berikut:
a)        Menyediakan banyak kesempatan bagi anak untuk mempelajari ketrampilan
b)        Memberikan dukungan dan semangat ketika anak memerlukannya.
c)        Katakan kepada anak apa yang terjadi dan bantu mereka merencanakan aktivitas
2. Prinsip Pengembangan Bahasa
Prinsip pengembangan bahasa antara lain;
a. Berbicaralah dengan melibatkan anak
b. Bacakan bacaan bercerita
c. Semangati anak menceritakan pengalamannya
d. Kunjungi perpustakaan secara teratur
3. Prinsip Pengembangan Fisik/Jasmani
Prinsip pengembangan fisik antara lain;
a.    Rencanakan aktivitas fisik anak setiap hari
b.    Ciptakan aktivitas harian yang mencakup banyak kesempatan untuk mengembangkan potensi anak
c.    Siapkan lingkungan outdoor
d.   Siapkan beragam peralatan
4. Prinsip Pengembangan Seni
Prinsip pengembangan seni antara lain:
a. Terimalah anak sesuai dengan tingkat perkembangan
b. Sediakan lingkungan yang nyaman bagi anak
c. Sediakan peralatan yang layak dengan usia anak
d. Jadilah sebagai fasilitator

E.   Teori Perkembangan Perilaku Sosial
Menurut Bandura (Crain, 2007:301)  bahwa di dalam situasi sosial kita belajar menangani masalah lewat pengimitasian, yaitu pemahaman yang penuh dari pembelajaran imitatif yang mensyaratkan sejumlah konsep baru. Schneider, Minet, dan Rakhmatunissa dalam Sujiono dan Syamsiatin (2003:61) mengatakan:
1.        Sosialisasi adalah suatu proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyelesaikan diri sesuai dengan keinginan  yang berasal dari dalam diri sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri.
2.        Perkembangan sosial adalah suatu proses kemampuan belajar dari tingkah laku keluarganya serta mengikuti contoh-contoh serupa yang ada di seluruh dunia.

Sujiono juga menjelaskan (2003:61) setiap anak akan melalui sebuah proses panjang dalam perkembangan sosialnya yang akhirnya seorang anak akan mempunyai nilai–nilai sosial yang ada dalam dirinya yang disebut proses imitasi, identifikasi dan internalisasi.
           




Adapun tokoh-tokoh teori perkembangan perilaku sosial adalah Vygotsky (1896- 1934) dengan teori sosial historisnya yang memadukan dua garis utama perkembangan dengan garis alamiah yang muncul dari dalam diri manusia dan garis sosial  historis  yang mempengaruhi manusia sejak kecil tanpa bisa dihindari. Tokoh teori perkembangan perilaku sosial berikutnya adalah Erikson dengan teori 8 tahapan psikososial individu yang dalam hal ini penulis hanya akan menuliskannya 1 tahap saja yaitu tahap ke 3 sesuai dengan pembahasan tahapan perkembangan usia    3–4 tahun. Menurut Erikson (Papalia : 2008: 41 ) anak usia  3 sampai 6 tahun berada dalam tahapan inisiatif versus perasaan bersalah. Pada usia ini anak mengembangkan inisiatif ketika mencoba aktifitas baru dan tidak terlalu terbebani oleh perasaan bersalah.




BAB III
KESIMPULAN


Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku dapat bersifat verbal maupun non verbal.
1.        Perilaku merupakan hasil interaksi antara pembawaan dan lingkungan.
2.        Lingkungan yang mempengaruhi perilaku dapat bersifat fisik maupun sosial budaya.
3.        Dalam proses belajar, anak melakukan peniruan atau imitasi terhadap segala bentuk perilaku orang dewasa.
4.        Proses peniruan dipengaruhi oleh perkembangan persyarafan otak anak.
5.        Semakin baik perkembangan persarafan, semakin mudah dan cepat anak melakukan proses ini.
Terdapat empat tahap dalam proses peniruan atau pemodelan perilaku, yaitu tahap pemilikan (acquisition), pengelolaan ingatan (retention), pelaksanaan (performance), pengukuhan (reinforcement).



DAFTAR PUSTAKA



Bandura. (1962). Social Learning Through Imitation. Dalam M.R Jones (Ed.), Nebraska Symposium on Motivation. University of Nebraska Press. Lincoln.

Crain, William. (2007). Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Hildayani, Rini. (2007). Psikologi Perkembangan Anak, Jakarta: UT.

Hurlock, Elizabeth. (1991). Perkembangan  Anak, Jilid 1, alih bahasa Meitasari Chandra, Jakarta: Erlangga.

Putra, N dan Dwilestari, N. (2012). Penelitian Kualitatif PAUD. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Papalia, Diane E, dkk. (2008).  Human Development, alih bahasa oleh A.K .Anwar , Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sujiono, Yuliani Nurani, Eriva Syamsiatin. (2003). Perkembangan Perilaku Anak Usia Dini, Jakarta: Pudiani Press.

Sujiono, Y. (2009). Konsep Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks.

Sujiono, Y.N dan Sujiono, B. (2010). Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak.  Jakarta: Indeks.

Wahyudin, U. dan Agustin, M. (2011). Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini. Bandung: Refika Aditama.


Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive