Unsur karangan
narasi adalah komponen yang membangun cerita. Baik Tarigan (1992:140), Keraf (1192:145), maupun Rusyana
(1986:132) memiliki kesamaan pendapat mengenai unsur narasi, yaitu adanya
tokoh, perbuatan, watak, sudut pandang, tema, amanat, alur, latar, bahasa, dan
teknik penceritaan.
Perbuatan
merupakan perilaku atau tindak-tanduk para tokoh. Tokoh adalah individu rekaan yang
terlibat dalam kisahan. Watak merupakan sifat, temperamen, tabiat, atau
kepribadian tokoh cerita. Latar merupakan deskripsi tempat berlangsungnya
peristiwa. Alur merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha
menggerakkan cerita. Tema merupakan persoalan pokok yang terdapat dalam narasi yang
hendak disajikan atau gagasan yang melandasi cerita. Amanat adalah gagasan yang
mendasari cerita sekaligus pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Sudut
pandang merupakan fungsi cerita dalam sebuah narasi. Fokus pengisahan merupakan
cara pencerita memberi fokus pada tokoh cerita.
2.1.3.1 Tema Cerita
Sudjiman
(1992:30) mengemukakan bahwa tema adalah “gagasan, ide, atau pikiran utama yang
melandasi suatu cerita”. Dengan kata lain, tema merupakan ide yang melandasi
cerita sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya
fiksi yang diciptakannya (Aminuddin, 2002:91).
Secara lebih
luas, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya dan yang
terkandung dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986:142).
Dengan demikian, tema merupakan sesuatu yang sengaja disajikan oleh penulisnya
sebagai ide yang mendasar atau makna yang melandasi cerita untuk dimaknai oleh para
pembacanya.
2.1.3.2 Amanat
Cerita
Amanat adalah
“gagasan yang mendasari karya sastra dan sekaligus pesan yang ingin disampaikan
oleh pengarang kepada pembaca” (Suprapto, 1993:110). Amanat seringkali
disamakan dengan istilah pesan atau moral yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembacanya. Seringkali pula disamakan
dengan tema (theme) meskipun
sebenarnya menyarankan pengertian dan maksud yang berbeda.
Sudjiman
(1992:57) mengatakan bahwa jika permasalahan yang diajukan di dalam cerita
diberi jalan keluarnya oleh pengarang maka jalan keluarnya itulah yang disebut
amanat. Penjelasan lain dapat ditemukan dari Nurgiyantoro (2007:320) yang
berpendapat bahwa tema bersifat lebih kompleks daripada moral (amanat) di samping
tidak memiliki nilai langsung sebagi sarana yang ditujukan kepada pembaca.
Dengan demikian, amanat dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam
bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan amanat.
2.1.3.3 Penokohan
Menurut
Nurgiyantoro (2007:166) penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan
perwatakan, sebab penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagimana perwatakannya,
dan bagaimana penempatan dan pelukisan tokoh dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Dengan kata lain,
penokohan merupakan totalitas dari identitas tokoh, penyajian watak, dan
penciptaan citra tokoh.
Sementara itu,
tokoh adalah “individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlaku di dalam
berbagai peristiwa cerita” (Sudjiman, 1992:16). Adapun watak atau perwatakan
menunjuk pada sifat atau sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca
yang lebih menujuk para kualitas pribadi seseorang tokoh. Atmazaki (1990:62)
mengemukakan bahwa watak adalah “temperamen tokoh-tokoh yang hadir di dalam cerita”.
Sementara itu, karakter atau karakteristik menyarankan pada dua pengertian yang
berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dalam sikap,
ketertarikan keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh-tokoh
tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2007:165). Karakter dapat berarti ‘pelaku
cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’.
2.1.3.4 Alur
(Plot) Cerita
Dalam konteks
ini, alur didefinisikan sebagai “rangkaian cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh
para pelaku dalam suatu cerita” (Aminuddin, 2002:83). Dengan demikian, alur
merupakan hubungan sebab-akibat antara peristiwa yang satu dengan
peristiwa-peristiwa lainnya di dalam suatu cerita.
Alur memiliki
struktur gerak atau tahapan-tahapan tertentu. Loba, dkk (dalam Aminuddin,
2002:85) menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti gelombang yang berawal
dari (1) eksposisi, (2) komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang
menjadi konflik (3) klimaks, (4) revelasi
atau penyingkapan tabir suatu problema,dan (5) denouement atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan
dengan catastrophe, yakni
penyelesaian yang menyedihkan dan solution,
yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendirilah yang
dipersilahkan menyelesaikan lewat daya imajinasi.
2.1.3.5 Latar
(Setting) Cerita
Sudjiman
(1992:44) mengemukakan bahwa ”segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra
merupakan hakikat latar”. Dengan pengertian itu, dapat dikatakan, bahwa unsur
tempat, waktu, suasana, sosial budaya, atau suasana hati tokoh termasuk ke
dalam unsur latar cerita.
Dalam cerita,
latar bisa berupa realitas objektif, tetapi bisa juga realistis imajinatif.
Latar yang digunakan bisa faktual, tetapi diletakkan dalam jaringan keseluruhan
yang bersifat fiktif. Mungkin juga, pengarang menggunakan latar faktual yang
jika dilacak dapat ditemukan. Namun, seringkali diubah dalam beberapa aspeknya
sesuai dengan selera imajinasi. Latar fiksional merupakan hasil kreasi
pengarang yang jika dilacak tidak akan bertemu sebagaimana yang diceritakannya.
Selain itu, latar tidak hanya bersifat fisikal (tempat dan waktu), melainkan
juga bersifat psikologis sehingga mampu menuansakan makna tertentu yang menunjang
watak dan emosi atau aspek kejiwaan dan atmosfer pembaca.
2.1.3.6 Sudut Pandang/Fokus Pengisahan Cerita
Sudut pandang
atau titik pandang (point of views)
dan fokus pengisahan atau pusat pengisahan mengandung makna yang berbeda. Sudut
pandang cerita mempersoalkan fungsi pencerita dalam sebuah cerita atau
menyangkut siapa yang bercerita (narator), bagaimana visi pengarang, atau
menyangkut teknik bercerita pengarang. sedangkan fokus pengisahan mempersoalkan
tokoh mana yang disoroti pencerita. Dalam hal ini Sudjiman (1992:78) menjelaskan
demikian.
Sudut pandang point of view dan fokus pengisahan mempunyai
titik tolak yang berbeda; berbicara tentang sudut pandang, orang bertolak dari
penceritanya, yaitu tempat pencerita di dalam hubungannya dengan cerita atau
posisi pencerita di dalam membawakan kisahnya. Adapun berbicara mengenai fokus
pengisahan, orang bertolak dari tokoh-tokoh mana yang disorot pencerita, pusat
perhatian, pusat sorotan atau fokus pengisahan si pencerita.
Berdasarkan
fungsi pencerita dalam sebuah cerita, dikenal beberapa jenis sudut pandang
cerita. Keraf (1992:192) membagi sudut pandang atas dua jenis, yaitu sudut pandang
orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang pertama meliputi
tipe narator sebagai tokoh utama, narator sebagai pengamatan, dan narator
sebagai pengamat langsung, sementara, sudut pandang orang ketiga meliputi sudut
pandang panoramik atau serba tahu, sudut pandang terarah, dan sudut pandang
campuran.
2.1.3.7 Bahasa
Cerita
Bahasa dalam
cerita merupakan refleksi artistik imajinatif pengarangnya terhadap realita
kehidupan. Makna denotasi kata-katanya diimbangi dengan makna konotatif,
asosiatif, atau reflektif untuk menimbulkan efek dan impresi (kesan) indah dan
menarik. Meskipun tidak seintensitas dalam puisi, bahasa dalam cerita diwarnai juga
penyimpangan arti, pemadatan maksud, dan diselingi oleh kiasan serta
istilah-istilah yang padat makna. Namun, karena cerita bersifat paparan,
keindahan bahasanya sering tertutup oleh deskripsi situasi, peristiwa, dialog,
tokoh, dan unsur lainnya yang relatif lengkap.
No comments:
Post a Comment