Thursday, September 6, 2018

Makalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali

BAB I
PENDAHULUAN



1. Latar Belakang
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan yang melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia Jaksa Agung juga memiliki tugas dan wewenang khusus yang diatur pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :
a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.
b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang.
c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.
e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.
f. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Upaya hukum yaitu hak terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum, untuk tidak menerima putusan pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yang diatur dalam Bab XVII, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, dimana upaya hukum biasa meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat banding dan bagian kedua mengenai pemeriksaan tingkat kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan bagian kedua mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum peninjauan kembali perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akhir-akhir ini menimbulkan banyak argumentasi antara ahli hukum, yang menjadi pokok permasalahan adalah tentang penafsiran dari ketentuan Pasal 263 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana yang dalam ayat (1) menyatakan bahwa : “Terhadap pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Ketentuan Pasal tersebut menjelaskan bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung, maka terpidana atau ahli warisnya tidak diperbolehkan melakukan upaya hukum peninjauan kembali, jika putusan tersebut dalam tingkat kasasi yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dasar hukum Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah melalui penafsiran Peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang menjadi acuan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, penafsiran tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 23 ayat (1) Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menyatakan :
"Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang". Penafsiran seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 "pihak-pihak yang bersangkutan dalam perkara pidana" adalah Terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa Penuntut Umum.
Ada pendapat bahwa karena tidak diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jaksa Penuntut Umum berwenang juga mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Pendapat demikian tentu berdasar penafsiran ekstensif (menjangkau secara meluas) yang bertentangan dengan asas legalitas, sebab akan memperluas pengertian tanpa batas.
Kasus yang membuktikan bahwa yang berhak melakukan upaya hukum PK tidak hanya terpidana ataupun ahli warisnya, JPU pun juga dapat mengajukan upaya hukum PK, hal ini dibuktikan dengan putusan tanggal 11 Juni 2009 Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra. Putusan peninjauan kembali ini telah menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak dan kalangan pakar dan praktisi hukum, dari pihak dan kalangan berpendapat bahwa putusan peninjauan kembali itu tidak dapat dibenarkan atau cacat hukum, karena bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, secara jelas diatur bahwa yang dapat atau berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya.
Alasan Jaksa Penuntut Umum melakukan peninjauan kembali dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra adalah, bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 K/Pid/2000, tanggal 28 Juni 2001, judex juris (tingkat kasasi) dalam pertimbangannya mengenai turut serta menyebutkan : "Terdakwa tidak berperan apapun dalam hal pencairan tagihan PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI, dan tidak pula terbukti telah mempengaruhi pejabat BI, BPPN, Depkeu atau pejabat lainnya yang berkaitan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres No. 26 tahun 1998".
“MA menolak permohonan kasasi kejaksaan atas kasus Joko Soegiarto Tjandra, sebagaimana dakwaan primair terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan perbuatan pidana sehingga Joko Soegiarto Tjandra dilepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht verfolgin)”. Kekhilafan atau kekeliruan yang nyata MA, karena hanya mempertimbangkan bahwa perbuatan Joko Soegiarto Tjandra dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga mempertimbangkan peran Joko Soegiarto Tjandra dalam pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum dari perbuatan Joko Soegiarto Tjandra yang dilakukan adalah bersama-sama turut serta dengan Syahril Sabirin dan Pande Nasorahona Lubis melakukan tindak pidana korupsi.
Kejaksaan Agung tanggal 3 September 2008 mengajukan Upaya Hukum peninjauan kembali kasus Joko Soegiarto Tjandra, dengan Novum (keadaan baru), tersangka Artalita Suryani diminta bantuan oleh Joko Soegiarto Tjandra untuk membereskan kasusnya dengan menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan. Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara atau kepentingan umum, karena dalam proses penyelesaian perkara pidana khusus yaitu perkara tindak pidana korupsi. Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali bukan untuk kepentingan pribadi Jaksa atau Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum demi bangsa dan negara, sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.
Dari uraian fakta tersebut mendorong penulis untuk menulis makalah tentang peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dimana kewenangan Jaksa Penuntut Umum tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, namun dalam prakteknya Mahkamah Agung mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut.
Berdasarkan contoh kasus di atas, Jaksa Penuntut Umum juga berwenang melakukan upaya hukum peninjauan kembali, karena Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

1.2. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasikan permasalahan yang muncul adalah :
  1. Mengapa Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi ?
  2. Bagaimana cara membuktikan adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim ?
  3. Apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi ?


BAB II
PEMBAHASAN



2.1. Jaksa Penuntut Umum
Pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dibedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dari batasan tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian Jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian Penuntut Umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.
Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat disimpulkan, dahwa Jaksa Penuntut Umum secara lengkap adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang sebagai penuntut umum serta melaksanakan penetapan dan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara atau kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana, dimana pengajuan upaya hukum peninjauan kembali bukan untuk kepentingan pribadi Jaksa atau Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum demi bangsa dan negara.
Hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dasar hukum Jaksa
Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah melalui penafsiran Peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang menjadi acuan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, penafsiran tersebut terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
1) Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang". Siapa yang dimaksud dalam "pihak-pihak yang bersangkutan dalam perkara pidana" seperti yang dimaksud dalam dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah terpidana, ahli waris dan Jaksa Penuntut Umum.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Yang Tetap, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, terdapat ketentuan bahwa yang harus mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali adalah Jaksa Agung, terpidana atau pihak yang berkepentingan. pemikiran yang terkandung dalam perundang-undangan lama tersebut tetap menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sehingga permintaan peninjauan kembali dapat pula diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa Jaksa Penuntut Umum berhak untuk mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali perkara tindak pidana korupsi atas nama terpidana Joko Soegiarto Tjandra, karena demi kepentingan umum untuk bangsa dan negara dan juga tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dasar kewenangan Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan alasan adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim serta analisa hukum sebagai pembanding, sehingga menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

2.2. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan, adapun maksud dari upaya hukum itu sendiri pada pokoknya, adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh hakim yang sebelumnya, karena adanya kekhilafan dalam memutus perkara, Adanya upaya hukum, ada jaminan bagi terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam.
Dengan ini dapat ditarik solusi bahwa upaya hukum (rechtmiddelen) berupa :
1) Terhadap Putusan Pengadilan Negeri (Peradialan Tingkat Pertama) yaitu:
a) Perlawanan (Verzet)
b) Banding (Revisi)
2) Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi (Peradilan Tingkat Banding) dapat diajukan permohonan Kasasi dan Kasasi Demi Kepentingan Hukum oleh Jaksa Agung.
3) Terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat diajukan peninjauan kembali.
Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum peninjauan kembali adalah “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung”.
Upaya hukum peninjauan kembali adalah sarana yang dipergunakan untuk membuka kembali suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan suatu putusan pengadilan yang tetap mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum (rechts zeherheid). Dengan adanya peninjauan kembali, adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik kembali atau menolak putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

2.3. Novum dan Kekhilafan Hakim
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan peninjauan kembali, adalah adanya novum (keadaan baru) dan Kekhilafan yang nyata dalam putusan hakim, yang dituangkan dalam memori peninjauan kembali untuk dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh Mahkamah Agung. Novum (keadaan baru) adalah alasan atau peristiwa yang baru dikemukakan atau baru muncul kemudian, sesuatu yang baru, hal yang sebenarnya tidak ada atau tidak pernah dikemukakan.
Hakim sebagai manusia, sudah barang tentu tidak luput dari kekhilafan, sepandai-pandainya tupai melompat, sekali-kali akan jatuh juga, demikian bunyi pepatah, dan pepatah itu berlaku bagi siapa saja yang menyebut dirinya sebagai manusia, termasuk manusia yang memangku jabatan hakim. Kekhilafan itu bisa saja terjadi dalam semua tingkat pengadilan.

2.4. Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan merupakan “akhir” dari proses persidangan pidana untuk tahap awal pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Ada 2 (dua) sifat putusan hakim yaitu putusan pemidanaan dan putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging)
1) Putusan pemidanaan pada hakikatnya putusan hakim berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan.
2) Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) apabila terdakwa dijatuhkan putusan bebas (vrijspraak), Maka terdakwa tidak dipidana atau tidak menjalani hukuman, karena hasil pemeriksaan di persidangan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah menurut hukum.
Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan adalah “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara, dengan demikian, apabila Undang-Undang ataupun kebiasaan tidak memberikan peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri. Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang dirikan oleh Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia, yang disingkat A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan perundangan untuk Indonesia).

2.5. Mahkamah Agung
Suatu Negara hukum (rechtsstaat) seperti Negara Indonesia, maka hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang pokok dan utama. ketika seorang hakim sedang menangani perkara, maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah “Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari ke empat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)”.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA adalah “Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Pelaku kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Dasar Tahun 1945 adalah :
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24a Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan Mahkamah agung adalah “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang- Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”.

2.6. Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, selain itu juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Jadi secara keseluruhan yang dimaksud dengan Kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan upaya hukum peninjauan kembali, adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim putusan dan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena ditemukannya keadaan baru (novum) dan adanya kekhilafan hakim menerapkan hukumnya dalam perkara tindak pidana korupsi, karena sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, yang mana permintaan peninjauan kembali kepada pengadilan negara tertinggi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Mahkamah Agung.


DAFTAR PUSTAKA


Hilmawan Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar maju, Bandung, 1995, h. 46.
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h. 49.
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bandung, 1994, Kejaksaan agung R.I., Peristilahan Hukum Dalam Praktek, Jakarta, 1985,
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984,
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2004

No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive