BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara
yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan yang
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, sebagai badan
yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk
lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,
penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN).
Tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia Jaksa
Agung juga memiliki tugas dan wewenang khusus yang diatur pada Pasal 35
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :
a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan
hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.
b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan
oleh undang-undang.
c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada
Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.
e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.
f. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau
keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara
pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Upaya hukum yaitu hak terdakwa atau Jaksa Penuntut
Umum, untuk tidak menerima putusan pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, upaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yang diatur dalam Bab XVII, yaitu
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, dimana upaya hukum biasa meliputi
bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat banding dan bagian kedua mengenai
pemeriksaan tingkat kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa meliputi bagian
kesatu mengenai pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan bagian
kedua mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum peninjauan kembali perkara pidana yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
akhir-akhir ini menimbulkan banyak argumentasi antara ahli hukum, yang menjadi
pokok permasalahan adalah tentang penafsiran dari ketentuan Pasal 263 Kitab
Undang- Undang Hukum Acara Pidana yang dalam ayat (1) menyatakan bahwa : “Terhadap
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Ketentuan Pasal tersebut menjelaskan
bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang dinyatakan oleh
Mahkamah Agung, maka terpidana atau ahli warisnya tidak diperbolehkan melakukan
upaya hukum peninjauan kembali, jika putusan tersebut dalam tingkat kasasi yang
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur Jaksa
Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi tidak melarang Jaksa
Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dasar hukum
Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah melalui penafsiran
Peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang menjadi acuan Jaksa
Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, penafsiran tersebut terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 23 ayat (1) Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
menyatakan :
"Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang". Penafsiran seperti yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 "pihak-pihak yang
bersangkutan dalam perkara pidana" adalah Terpidana atau ahli warisnya dan
Jaksa Penuntut Umum.
Ada pendapat bahwa karena tidak diatur Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jaksa Penuntut Umum berwenang juga mengajukan
upaya hukum peninjauan kembali. Pendapat demikian tentu berdasar penafsiran ekstensif
(menjangkau secara meluas) yang bertentangan dengan asas legalitas, sebab
akan memperluas pengertian tanpa batas.
Kasus yang membuktikan bahwa yang berhak melakukan
upaya hukum PK tidak hanya terpidana ataupun ahli warisnya, JPU pun juga dapat
mengajukan upaya hukum PK, hal ini dibuktikan dengan putusan tanggal 11 Juni
2009 Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra. Putusan
peninjauan kembali ini telah menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak dan
kalangan pakar dan praktisi hukum, dari pihak dan kalangan berpendapat bahwa
putusan peninjauan kembali itu tidak dapat dibenarkan atau cacat hukum, karena bertentangan
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, secara jelas diatur bahwa yang dapat atau berhak mengajukan
peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya.
Alasan Jaksa Penuntut Umum melakukan peninjauan
kembali dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra adalah, bahwa putusan Mahkamah Agung
Nomor 1688 K/Pid/2000, tanggal 28 Juni 2001, judex juris (tingkat
kasasi) dalam pertimbangannya mengenai turut serta menyebutkan : "Terdakwa
tidak berperan apapun dalam hal pencairan tagihan PT. Bank Bali terhadap PT.
BDNI, dan tidak pula terbukti telah mempengaruhi pejabat BI, BPPN, Depkeu atau
pejabat lainnya yang berkaitan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres
No. 26 tahun 1998".
“MA menolak permohonan kasasi kejaksaan atas kasus
Joko Soegiarto Tjandra, sebagaimana dakwaan primair terbukti, tetapi perbuatan
itu tidak merupakan perbuatan pidana sehingga Joko Soegiarto Tjandra dilepas
dari segala tuntutan hukum (onslag van recht verfolgin)”. Kekhilafan
atau kekeliruan yang nyata MA, karena hanya mempertimbangkan bahwa perbuatan
Joko Soegiarto Tjandra dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang
bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga
mempertimbangkan peran Joko Soegiarto Tjandra dalam pencairan klaim PT. Bank
Bali yang bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum dari perbuatan Joko
Soegiarto Tjandra yang dilakukan adalah bersama-sama turut serta dengan Syahril
Sabirin dan Pande Nasorahona Lubis melakukan tindak pidana korupsi.
Kejaksaan Agung tanggal 3 September 2008 mengajukan
Upaya Hukum peninjauan kembali kasus Joko Soegiarto Tjandra, dengan Novum (keadaan
baru), tersangka Artalita Suryani diminta bantuan oleh Joko Soegiarto
Tjandra untuk membereskan kasusnya dengan menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan. Jaksa
Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, berkaitan dengan
kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara atau kepentingan umum, karena
dalam proses penyelesaian perkara pidana khusus yaitu perkara tindak pidana
korupsi. Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali bukan untuk kepentingan
pribadi Jaksa atau Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum demi bangsa
dan negara, sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan dengan
cara luar biasa.
Dari uraian fakta tersebut mendorong penulis untuk
menulis makalah tentang peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum, dimana kewenangan Jaksa Penuntut Umum tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, namun dalam prakteknya Mahkamah Agung
mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum tersebut.
Berdasarkan contoh kasus di atas, Jaksa Penuntut Umum
juga berwenang melakukan upaya hukum peninjauan kembali, karena Pasal 263 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut
Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
1.2. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka
dapat diidentifikasikan permasalahan yang muncul adalah :
- Mengapa Jaksa Penuntut
Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana
korupsi ?
- Bagaimana cara membuktikan
adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim ?
- Apa dasar pertimbangan
Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dalam
perkara tindak pidana korupsi ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Jaksa Penuntut Umum
Pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
dibedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan
Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
menegaskan bahwa :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang- Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dari batasan tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian
Jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian Penuntut Umum berhubungan
dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.
Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, dapat disimpulkan, dahwa Jaksa Penuntut Umum secara lengkap
adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang sebagai penuntut umum
serta melaksanakan penetapan dan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali
adalah berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara atau
kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana, dimana pengajuan
upaya hukum peninjauan kembali bukan untuk kepentingan pribadi Jaksa atau
Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum demi bangsa dan negara.
Hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur Jaksa
Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi tidak melarang Jaksa
Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dasar hukum
Jaksa
Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali adalah melalui penafsiran Peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi yang menjadi acuan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali, penafsiran tersebut terdapat dalam Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
1) Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa "Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang". Siapa yang dimaksud dalam
"pihak-pihak yang bersangkutan dalam perkara pidana" seperti yang dimaksud
dalam dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah terpidana, ahli waris dan Jaksa Penuntut Umum.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tentang
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Yang
Tetap, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali
Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, terdapat ketentuan
bahwa yang harus mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali adalah
Jaksa Agung, terpidana atau pihak yang berkepentingan. pemikiran yang
terkandung dalam perundang-undangan lama tersebut tetap menjadi sumber
inspirasi dalam merumuskan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, sehingga permintaan peninjauan kembali dapat pula diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat
bahwa Jaksa Penuntut Umum berhak untuk mengajukan permohonan upaya hukum
peninjauan kembali perkara tindak pidana korupsi atas nama terpidana Joko
Soegiarto Tjandra, karena demi kepentingan umum untuk bangsa dan negara dan
juga tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary
Crime). Dasar kewenangan Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan alasan adanya novum
(keadaan baru) dan kekhilafan hakim serta analisa hukum sebagai pembanding,
sehingga menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengisi kekosongan hukum
tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
2.2. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau Jaksa Penuntut
Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan, adapun maksud dari upaya hukum
itu sendiri pada pokoknya, adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh
hakim yang sebelumnya, karena adanya kekhilafan dalam memutus perkara, Adanya
upaya hukum, ada jaminan bagi terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan baik
menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam.
Dengan ini dapat ditarik solusi bahwa upaya hukum (rechtmiddelen)
berupa :
1) Terhadap Putusan Pengadilan Negeri (Peradialan Tingkat
Pertama) yaitu:
a) Perlawanan (Verzet)
b) Banding (Revisi)
2) Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi (Peradilan Tingkat
Banding) dapat diajukan permohonan Kasasi dan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
oleh Jaksa Agung.
3) Terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat diajukan peninjauan
kembali.
Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, upaya hukum peninjauan kembali adalah “Terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung”.
Upaya hukum peninjauan kembali adalah sarana yang
dipergunakan untuk membuka kembali suatu putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan suatu putusan pengadilan yang tetap
mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan untuk menghormati kepastian
hukum (rechts zeherheid). Dengan adanya peninjauan kembali, adalah suatu
upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik kembali atau menolak putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
2.3. Novum dan Kekhilafan Hakim
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan
peninjauan kembali, adalah adanya novum (keadaan baru) dan Kekhilafan
yang nyata dalam putusan hakim, yang dituangkan dalam memori peninjauan kembali
untuk dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh Mahkamah Agung. Novum (keadaan
baru) adalah alasan atau peristiwa yang baru dikemukakan atau baru muncul
kemudian, sesuatu yang baru, hal yang sebenarnya tidak ada atau tidak pernah
dikemukakan.
Hakim sebagai manusia, sudah barang tentu tidak luput
dari kekhilafan, sepandai-pandainya tupai melompat, sekali-kali akan jatuh
juga, demikian bunyi pepatah, dan pepatah itu berlaku bagi siapa saja yang
menyebut dirinya sebagai manusia, termasuk manusia yang memangku jabatan hakim.
Kekhilafan itu bisa saja terjadi dalam semua tingkat pengadilan.
2.4. Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan merupakan “akhir” dari proses
persidangan pidana untuk tahap awal pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Ada 2
(dua) sifat putusan hakim yaitu putusan pemidanaan dan putusan yang bukan
pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging)
1) Putusan pemidanaan pada hakikatnya putusan hakim
berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan
yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan.
2) Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan
bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van recht vervolging) apabila terdakwa dijatuhkan putusan bebas (vrijspraak),
Maka terdakwa tidak dipidana atau tidak menjalani hukuman, karena hasil pemeriksaan
di persidangan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tidak
terbukti secara sah menurut hukum.
Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, putusan pengadilan adalah “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim
yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan
atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri
untuk menyelesaikan suatu perkara, dengan demikian, apabila Undang-Undang
ataupun kebiasaan tidak memberikan peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan
perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri. Keputusan hakim
yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang dirikan oleh
Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia, yang
disingkat A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan perundangan untuk
Indonesia).
2.5. Mahkamah Agung
Suatu Negara hukum (rechtsstaat) seperti
Negara Indonesia, maka hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan
salah satu sendi dasar yang pokok dan utama. ketika seorang hakim sedang
menangani perkara, maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana,
menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan
dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis
sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara
kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari
aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri
sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman adalah “Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi
dari ke empat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2)”.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA adalah “Mahkamah
Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945”. Pelaku kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2)
Undang- Undang Dasar Tahun 1945 adalah :
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24a Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan
Mahkamah agung adalah “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang- Undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”.
2.6. Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan
negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, selain itu juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan
nasional. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Jadi secara keseluruhan yang dimaksud dengan Kewenangan
Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan upaya hukum peninjauan kembali, adalah
Jaksa yang diberi wewenang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim putusan dan mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali, karena ditemukannya keadaan baru (novum) dan adanya
kekhilafan hakim menerapkan hukumnya dalam perkara tindak pidana korupsi,
karena sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional,
yang mana permintaan peninjauan kembali kepada pengadilan negara tertinggi yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Mahkamah Agung.
DAFTAR PUSTAKA
Hilmawan Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau
Skripsi Ilmu Hukum, Mandar maju, Bandung, 1995, h. 46.
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h. 49.
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bandung,
1994, Kejaksaan agung R.I., Peristilahan Hukum Dalam Praktek, Jakarta,
1985,
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1984,
Abdulkadir
Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung,
2004
No comments:
Post a Comment