Tuesday, July 14, 2020

Karakteristik Umum Matematika


                
Setelah membaca dan memahami uraian tentang definisi matematika dan aliran-aliran filsafat matematika di atas, seolah-olah tampak bahwa matematika merupakan pribadi yang mempunyai beragam corak penafsiran dan pandangan, yang mana antara matematikawan yang satu dengan lainnya memiliki pemahaman dan argumen yang berbeda untuk mendeskripsikan apa dan bagaimana sebenarnya matematika itu. Begitu juga dalam aliran filsafat matematika, ditemukan terdapat tiga aliran besar yang memengaruhi perkembangan matematika yang sampai sekarang pun belum ditemukan pengerucutan tentang pendeskripsian matematika.
Tetapi, dibalik keragaman itu semua, dalam setiap pandangan matematika terdapat beberapa ciri matematika yang secara umum disepakati bersama. Diantaranya adalah sebagai berikut:[1]
a.    Memiliki Objek Kajian yang Abstrak
Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun tidak setiap yang abstrak adalah matematika. Sementara beberapa matematikawan menganggap objek matematika itu “konkret” dalam pikiran mereka, maka kita dapat menyebut objek matematika secara lebih tepat sebagai objek mental atau pikiran. Ada empat objek kajian matematika, yaitu fakta, operasi atau relasi, konsep, dan prinsip.
1)   Fakta
Fakta adalah pemufakatan atau konvensi dalam matematika yang biasanya diungkapkan melalui simbol-simbol tertentu.[2]
                            Contoh:
Simbol “2” secara umum telah dipahami sebagai simbol untuk bilangan “dua”. Sebaliknya, bila kita menghendaki bilangan dua, maka cukup dengan menggunakan simbol “2”. Fakta lain dapat terdiri atas rangkaian simbol, misalnya “3 + 4” yang dipahami sebagai “tiga tambah empat”. Demikian juga “3 x 5 = 15” adalah fakta yang dipahami sebagai “tiga kali lima adalah limabelas”. Fakta yang agak lebih komplek adalah “3 x 5 = 5 + 5 + 5 = 15”. Dalam geometri, terdapat simbol-simbol tertentu, seperti “” yang berarti “tegak lurus”. Simbol “” yang berarti sejajar. Dalam trigonometri, dikenal simbol “” yang berarti “sudut”, simbol “” yang menunjukkan segitiga. Dalam aljabar, simbol “(a,b)” menunjukkan “pasangan berurutan”, simbol “f” yang dipahami sebagai “fungsi”, dan lainnya.
Rubenstein dan Thompson (2000) mengingatkan bahwa”:
In general, teachers must be aware of the difficulties that symbolism creates for students. Symbolism is a form of mathematical language that is compact, abstract, specific, and formal… Therefore, opportunities to us that language should be regular, rich, meaningful, and rewarding. (Secara umum, guru harus menyadari kesulitan-kesulitan tentang symbol bagi siswa. Simbolisme merupakan bentuk bahasa matematika yang rapi, abstrak, khusus, dan formal… Dengan demikian, kesempatan menggunakan bahasa tersebut seharusnya secara bertahap, kaya, penuh arti, dan bermanfaat).[3]

Maka dalam memperkenalkan simbol atau fakta matematika kepada siswa, guru seharusnya melalui beberapa tahap yang memungkinkan siswa dapat menyerap makna dari simbol-simbol tersebut. Mereka bahkan dapat menggunakan simbol-simbol pilihan mereka sendiri. Hal ini dipikirkan sebagai suatu cara untuk menjaga partisipasinya dalam proses penemuan dan formalisasi pengalaman matematika. Hal tersebut juga untuk menjaga pengalaman belajar dari sekadar hanya latihan mengingat.
Penggunaan fakta yang berupa simbol bila terlalu cepat diberikan kepada siswa, dapat menyebabkan salah pengertian atau miskonsepsi terhadap simbol tersebut. Selain itu, penekanan pada aspek teknis berupa perhitungan belaka, juga dapat menimbulkan miskonsepsi tersebut.
Contoh (miskonsepsi):
Miskonsepsi yang sering terjadi pada siswa SD adalah penggunaan yang kurang tepat terhadap simbol “=”. Siswa sering kali memahami simbol “=” tidak hanya berarti “sama dengan” tetapi juga “memberi hasil”. Bila pengertian yang terakhir ini melekat pada pikiran siswa, mungkin ia akan menulis seperti kalimat berikut

berikut: . Kalimat matematika ini jelas-jelas merupakan kalimat yang salah. Dalam kasus lainnya, banyak siswa yang keliru dalam pemahaman terhadap bilangan phi ( ). Ada siswa yang memiliki anggapan phi ( ) bernilai sama dengan 3, 14 atau  , padahal nilai tersebut pada hakikatnya adalah sebuah nilai pendekatan.
2)   Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan  sekumpulan objek, apakah objek tertentu merupakan contoh konsep atau bukan.[4]
Contoh:
“Segitiga” adalah nama suatu konsep. Dengan konsep itu, kita dapat membedakan mana yang merupakan contoh segitiga dan mana yang bukan contoh segitiga. “Bilangan prima” juga nama suatu konsep, yang dengan konsep itu kita dapat membedakan mana yang merupakan bilangan prima dan mana yang bukan. Konsep “bilangan prima” lebih kompleks dari konsep “segitiga”, oleh karena di dalam konsep “bilangan prima” memuat konsep-konsep lain seperti “faktorisasi”, “bilangan”, “satu”, dan lain-lain. Di samping itu, dalam matematika terdapat konsep-konsep yang penting, seperti “fungsi” dan “variabel”. Selain itu, terdapat pula konsep-konsep yang lebih kompleks, seperti “matriks”, “determinan”, “periodik”, “gradien”, “vektor”, “group”, dan “bilangan phi”.
Konsep dapat dipelajari lewat definisi atau observasi langsung. Seseorang dianggap telah memahami suatu konsep, jika ia dapat memisahkan contoh konsep dari yang bukan contoh konsep.
a)   Definisi
Konsep berhubungan dengan definisi. Definisi adalah ungkapan yang membatasi konsep.[5] Dengan adanya definisi, orang dapat membuat ilustrasi, gambar, skema, atau simbol dari konsep yang didefinisikan.
Contoh:
Konsep “lingkaran” dapat didefinisikan sebagai “kumpulan titik-titik pada bidang datar yang memiliki jarak yang sama terhadap titik tertentu”. Dengan definisi tersebut pula, orang dapat membuat sketsa dari lingkaran, dan pada kasus ini orang sepakat memilih simbol “O” untuk menun jukkan lingkaran. Apakah definisi lingkaran di atas merupakan satu-satunya definisi untuk lingkaran? Tentu tidak! Di bangku SMA, siswa telah mengenal pendefinisian lingkaran dengan cara analitik, yaitu menggunakan koordinat titik (x,y) dalam bidang datar (koordinat kartesian).
Adapun Tan Malaka dalam Madilog menerjemahkan “definisi” dengan sebuah penetapan, pembatasan, pemastian. Artinya ialah buat menentukan tepat batasnya sesuatu perkataan atau hukum atau paham.[6]
Tan Malaka juga berpendapat, suatu definisi dapat dikatakan benar (sahih) jika lolos uji beberapa hal sebagai berikut: a) Kalau semua A = B, maka sebaliknya haruslah B = A (), b) Definisi itu sedapat-dapatnya pendek, tetapi jangan melebar atau kesempitan, c) Definisi itu tak boleh circular atau berputar-putar, d) Definisi itu mesti general atau umum, e) Definisi tak boleh memakai metafor, ibarat, kata figuratif dan kata yang abstrak atau gaib, f) Definisi tak boleh negatif.[7]
·      Definisi haruslah
Menurut Tan Malaka, misalnya ada suatu definisi “A adalah B”, haruslah ada pertanyaan apakah semua A = B dan sebaliknya harus ada pertanyaan apakah semua ? Kalau jawabannya, ya, maka benarlah itu definisi, kalau tidak, gagallah itu diartikan sebagai definisi. “Segitiga sama sisi, adalah  satu gambar datar tertutup dibatasi oleh 3 garis lurus yang sama panjang”. Uji pertama, apakah semua segitiga sama sisi berupa gambar datar tertutup dan dibatasi oleh 3 garis lurus (tidak bengkok) sama panjang? Uji kedua, apakah semua gambar datar tertutup dan dibatasi oleh 3 garis lurus (tidak bengkok) sama panjang dinamakan segitiga sama sisi? Ternyata uji pertama dan uji kedua jawabannya, ya. Sehinggga definisi tersebut benar-benar sahih.
·      Definisi itu sedapat-dapatnya pendek
Maksud sedapat-dapatnya ialah ada kalanya tidak boleh dipendekkan. Kalau dipendekkan, maka artinya menjadi sempit. Definisi tidak boleh sempit dan tidak boleh melebar. Misalnya  definisi “manusia itu hewan”, maka betul definisi ini pendek, tetapi artinya melampaui batas atau melebar. Karena bukan saja manusia, tetapi juga monyet dan ular termasuk hewan. Jadi kalau definisi ini dibalikkan akan didapat “hewan itu manusia”, tegasnya, ular, kerbau, monyet itu manusia. Dan ini semua tidaklah dapat diterima.
Definisi juga tidak boleh sempit, artinya harus punya “essential attributes”: segala sifat yang penting tidak boleh lupa dan harus ada. Misalnya definisi “kuda itu binatang berkaki empat”, maka definisi itu terlalu melebar sebab kerbau juga binatang berkaki empat. Tetapi jika “kuda itu binatang berkaki empat yang ditunggangi Pangeran Diponegoro”, maka artinya terlalu sempit. Sebab, selain ditunggangi Pangeran Diponegoro, dia juga dipakai untuk menarik kereta delman, bajak, gerobak, dsb.
Jadi semua sifat yang penting haruslah termasuk. Dalam matematika lebih mudah mencari contoh, sebab matematika umumnya buah pikiran yang pasti berdasar bukti yang ditetapkan, didefinisikan lebih dahulu.
Demikianlah “square atau segi empat siku, adalah satu gambar datar tertutup dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang dan mempunyai 4 sudut siku-siku”. Disini bukan satu saja sifat yang penting. Pertama dia harus “gambar datar tertutup”, bukan gambar pada tempat bertinggi rendah dan bukan terbuka, melainkan semua sisinya bertemu (tertutup). Disini saja sudah bertemu dengan beberapa, bukan satu sifat yang penting. Kedua, dia harus dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang (jadi, 4 garis, bukan 3 atau 5 dsb), garisnya lurus tidak boleh bengkok, panjang garisnya harus sama pula. Ketiga, 4 sudut harus siku-siku, yakni 90. Ketiga sifat diatas satupun tidak boleh ketinggalan. Kalau ketinggalan, bukan square yang diperoleh.
Memang definisi sedapat-dapatnya pendek, tetapi harus mengandung semua sifat penting. Kalau tidak pastinya suatu definisi akan melebar atau menyempit.
·      Definisi itu tidak boleh circular atau berputar-putar
Kesalahan dapat terjadi jika suatu definisi memakai berlainan perkataan yang bersamaan artinya. Contoh dari Aristoteles: “Tumbuhan yaitu barang hidup yang mempunyai jiwa vegetable”. Sedangkan vegetable itu artinya tumbuhan juga. Jadi sebenarnya definisi ini: “Tumbuhan yaitu barang hidup yang mempunyai jiwa tumbuhan”. Disini nyata, tumbuhan berbalik artinya pada tumbuhan atau sama arti. Dengan begitu, kepastian keterangan tentang tumbuhan tidak diperoleh.
Demikian juga Mahatma Gandhi mendefinisikan “ahimsa itu soul-force”, kekuatan jiwa yang berdasar kasih, seperti pati atau rohani. Apakah “kekuatan jiwa” itu? Itulah yang perlu lagi dibuktikan atau ditunjukkan. Jika suatu barang yang harus dibuktikan dengan mengganti nama baru, yang harus diterangkan pula, maka definisi itu berputar-putar. Seharusnya satu definisi adalah satu ketentuan yang pasti, yang ditentukan oleh ketentuan yang tentu. Sehingga memberikan satu kepastian keterangan.
·      Definisi itu harus bersifat general atau umum
Definisi harus umum, biasa, lebih diketahui dari pada barang yang dipastikan. Seperti “satu jam ialah satu chronometer buat pengukur waktu dengan tepat”. Cukuplah dibilang “satu jam ialah buat pengukur waktu”. Tidak perlu pergi ke kapal, dimana orang memakai semacam jam istimewa yang bernama chronometer buat pekerjaan yang kurang diketahui orang secara umum. Kecuali kalau tidak ada jalan lain dari pada jalan istimewa tadi.
·      Definisi tidak boleh memakai metafor, ibarat, kata figuratif dan kata yang abstrak atau gaib
Dengan definisi bertujuan untuk memastikan, membuktikan dan menerangkan sesuatu. Dengan memakai ibarat, memakai gambar saja, perkataan gaib yang tidak dapat dikenal panca indera, barang yang akan di definisikan itu tidak akan bertambah pasti. Malah sebaliknya.
Seperti definisi yang diungkapkan Tan Malaka, “rohani itu ialah satu kodrat, laksana Sang Garuda Rajawali yang mengendarai bulan dan matahari, dan menerbitkan bintang dan bumi yang bisa menjelma sebagai Kuman Pasupati memasuki pagar jasmani”. Definisi diatas sangatlah sulit untuk diterima atau dipahami, sebab kata-kata ibarat, metafor bahkan kata yang bersifat abstrak atau gaib masuk di dalamnya.
·      Definisi tidak boleh negatif
Kalau orang kaya didefinisikan sebagai orang yang tidak miskin, maka definisi itu negatif. Sehingga sifatnya tidak nyata. Jika dibandingkan dengan, orang kaya itu punya harta yang banyak, maka akan lebih meyakinkan definisi yang kedua.
Tetapi kadang-kadang dalam matematika definisi bisa berupa negatif, tetapi sebetulnya ia positif. Umpamanya: satu garis lurus itu, tidak mengubah tujuannya. Tidak mengubah berarti menetapkan. Jadi definisi itu boleh ditukar menjadi: satu garis lurus menetapkan tujuannya. Kadang-kadang tidak ada akal selain member definisi yang sifatnya negatif, seperti “Gelap itu ialah tidak terang”.
Dalam bidang matematika ada tiga macam definisi yang sering dikenal, yakni:
Ø Definisi analitik
Suatu definisi disebut analitik apabila definisi tersebut dibentuk dengan genus proksimum dan diferensia speksifika (genus proksimum: keluarga terdekat, diferensia speksifika: pembeda khusus).
Contoh:
Perhatikan dua definisi belah ketupat berikut ini:
·      Belah ketupat adalah jajaran genjang yang….
·      Belah ketupat adalah segi empat yang….
Definisi pertama menyebutkan genus proksimum jajaran genjang, sedang definisi kedua menyebutkan segi empat sebagai genus proksimum atau keluarga terdekatnya. Diferensia speksifikanya adalah sifat yang disebutkan setelah kata “yang”.
Ø Definisi genetik
Suatu definisi dikatakan bersifat genetik apabila pada definisi tersebut terdapat ungkapan tentang cara terjadinya konsep yang didefinisikan.
Contoh:
Definisi-definisi berikut ini bersifat genetik:
·      Segitiga siku-siku adalah segitiga yang terjadi bila suatu persegi panjang dipotong menurut salah satu garis diagonalnya.
·      Jaring-jaring limas adalah bangun yang terjadi bila sisi-sisi limas direbahkan dengan poros rusuk alas hingga sampai ke bidang pemuat alasnya.
Ø Definisi dengan rumus
Definisi dengan rumus adalah definisi yang dinyatakan dengan menggunakan kalimat matematika.
Contoh:
Berikut ini contoh definisi dengan rumus:
·      Dalam ilmu bilangan (aritmetika):
·      Dalam aljabar:  dengan  (bentuk definisi ini disebut pula bentuk induksi).
b)   Intensi dan Ekstensi suatu Definisi
Dalam suatu definisi terdapat 2 hal yang disebut intensi atau hal yang menjadi fokus dalam pernyataan dan ekstensi atau hal yang menjadi jangkauan dari pernyataan. Dapat terjadi dua definisi dengan intensi berbeda, tetapi dengan ekstensi yang sama.
Contoh:
·      Segitiga sama sisi adalah segitiga yang sama sisinya.
·      Segitiga sama sisi adalah segitiga yang sudutnya sama.
·      Segitiga sama sudut adalah segitiga yang ketiga sudutnya sama.
·      Segitiga sama sudut adalah segitiga yang ketiga sisinya sama.
Dalam contoh di atas, atributnya berbeda, yang satu mengutamakan sisi, sedang yang lain mengatakan sudut. Ini dikatakan bahwa definisi (1) dan (2) memiliki ekstensi (atau jangkauan) yang sama, sedang intensinya berbeda.
Demikian juga terhadap definisi (3) dan (4), yang memiliki ekstensi sama, tetapi intensi berbeda. Bahkan lebih jauh, keempat definisi tersebut juga memilki ekstensi yang sama. Adakah segitiga sama sisi yang bukan segitiga sama sudut, dan sebaliknya? Tentu jawabnya tidak ada. Keempat definisi tersebut sama atau disebut ekuivalen.
Berkaitan dengan intensi dan ekstensi suatu definisi, maka definisi suatu konsep matematika dapat berbagai macam bentuknya. Karena itu, definisi yang mungkin dikemukakan siswa dapat saja berbeda dengan definisi formal yang biasa digunakan dalam matematika. Dalam hal ini, guru harus jeli melihat kemungkinan kesamaan dari definisi tersebut. Guru tidak boleh menyalahkan definisi yang diberikan siswa bila memang ternyata memiliki pengertian yang sama. Bila pun salah, guru harus memfasilitasi pikiran siswa menuju definisi yang tepat.

3)   Operasi atau Relasi
Operasi adalah pengerjaan hitung, pengertian aljabar, dan pengerjaan matematika lainnya. Sementara relasi adalah hubungan antara dua atau lebih elemen.
Contoh:
Contoh operasi antara lain: “penjumlahan”, “perpangkatan”, “gabungan”, “irisan”, dan lain-lain. Sedang relasi antara lain: “sama dengan”, “lebih kecil”, dan lain-lain.
4)   Prinsip
Prinsip adalah objek matematika, yang terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi ataupun operasi. Secara sederhana, dapatlah dikatakan bahwa prinsip adalah hubungan di antara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa “aksioma”, “teorema” atau “dalil”, “corollary” atau sifat, dan sebagainya.[8]
Contoh:
Sifat komutatif dan sifat asosiatif dalam aritmetika merupakan suatu prinsip. Begitu pula dengan Teorema Pythagoras. Contoh sebuah aksioma antara lain “melalui satu titik A di luar sebuah garis g dapat dibuat tepat sebuah garis yang sejajar garis g”.
Siswa dapat dianggap telah memenuhi suatu prinsip bila ia memahami bagaimana prinsip tersebut dibentuk dan dapat menggunakannya dalam situasi yang cocok. Bila demikian, berarti ia telah memahami fakta, konsep, atau definisi serta operasi atau relasi yang termuat dalam prinsip tersebut.
b.   Bertumpu pada Kesepakatan
Simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang penting. Dengan simbol dan istilah yang telah disepakati dalam matematika, maka pembahasan selanjutnya akan menjadi mudah dilakukan dan dikomunikasikan.
Contoh:
1)   Lambang bilangan yang digunakan sekarang: 1, 2, 3, dan seterusnya merupakan contoh sederhana dari sebuah kesepakatan dalam matematika. Siswa secara tidak sadar menerima kesepakatan itu ketika mulai mempelajari tentang angka atau bilangan. Termasuk pula penggunaan kata “satu” untuk lambang “1”, atau “sama dengan” untuk lambang “=” juga merupakan kesepakatan.
2)   Istilah “fungsi” kita batasi pengertiannya sebagai pemetaan yang mengawankan setiap elemen dari himpunan yang tepat satu ke sebuah elemen dari himpunan yang lain. Mengapa harus menggunakan kata “tepat satu”? Penggunaan kata “tepat satu” merupakan contoh kesepakatan dalam matematika. Bila ada pemetaan yang bernilai ganda, berarti bukan termasuk fungsi.
Dalam matematika, kesepakatan atau konvensi merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan atau konvensi merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma (postulat, pernyataan pangkal yang tidak perlu pembuktian) dan konsep primitif (pengertian pangkal yang tidak perlu didefinisikan, undefined term). Aksioma yang diperlukan untuk menghindari proses berputar-putar dalam pembuktian (circulus in probando). Sedangkan konsep primitif diperlukan untuk menghindari proses berputar-putar dalam pendefinisian (circulus in defienindo).
Aksioma dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis: 1) aksioma yang bersifat “self evident truth”, yaitu bila kebenarannya langsung terlihat dari pernyataannya, dan 2) aksioma yang bersifat “non-self evident truth”, yaitu pernyataan yang mengaitkan fakta dan konsep lewat suatu relasi tertentu. Bentuk terakhir ini lebih terlihat sebagai sebuah kesepakatan saja.
Beberapa aksioma dapat membentuk suatu sistem aksioma, yang selanjutnya dapat menurunkan beberapa teorema. Dari satu atau lebih konsep primitif, dapat dibentuk konsep baru melalui pendefinisian.
Contoh:
1)   Titik, garis, dan bidang merupakan unsur-unsur primitif atau pengertian pangkal dalam geometri Euclid. Sementara salah satu aksioma di dalamnya adalah: “Melalui dua buah titik ada tepat satu garis lurus yang dapat dibuat”.
2)   Group didefinisikan lewat sistem aksioma. Suatu himpunan G dengan operasi biner * yang memenuhi sifat-sifat: 1) tertutup; 2) asosiatif; 3) mempunyai unsur identitas; dan 4) setiap elemen memiliki invers, maka disebut suatu group, dan ditulis dengan (G,*). Aksioma tersebut bersifat non-self evident truth.
c.    Berpola Pikir Deduktif
Dalam matematika, hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus.
Pola pikir deduktif ini dapat terwujud dalam bentuk yang amat sederhana, tetapi juga dapat terwujud dalam bentuk yang tidak sederhana.
Contoh:
1)   Seorang siswa telah memahami konsep dari “lingkaran”. Ketika berada di dapur, ia dapat menggolongkan mana peralatan dapur yang berbentuk lingkaran dan mana yang bukan lingkaran. Dalam hal ini, siswa tersebut telah menggunakan pola pikir deduktif secara sederhana ketika menunjukkan suatu peralatan yang berbentuk lingkaran.
2)   Perhatikan pola jumlah bilangan-bilangan ganjil berikut ini.
1 = 1 × 1 = 12
1 + 3 = 2 × 2 = 22
1 + 3 + 5 = 3 × 3 = 33
1 + 3 + 5 + 7 = 4 × 4 = 43
... dan seterusnya
Dari pola yang terlihat kemudian disimpulkan bahwa:
1 + 3 + 5 + ...+ (2n – 1) = n2, n adalah bilangan ganjil.
Penarikan kesimpulan dengan pola pikir induktif di atas tidak dapat dibenarkan dalam matematika. Pendekatan induktif tersebut tidaklah salah, tetapi untuk dapat diterima sebagai suatu kebenaran harus dapat dibuktikan secara umum (deduktif).
Salah satu bukti deduktif dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:



1            +       3       +       5       +  ...  +  (2n – 5)  +  (2n – 3)  +  (2n -1) =  S
(2n – 1)  + (2n – 3)  + (2n – 5)  +  ...  +       5        +       3       +       1      =  S
2n          +      2n      +      2n      +  ...  +      2n      +      2n      +      2n      =  2S
           Sebanyak n suku                                 
               n. 2n = 2S 
                      sehingga
d.   Konsisten dalam Sistemnya
Dalam matematika, terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk dari beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem yang berkaitan, ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu dengan yang lainnya. Sistem-sistem aljabar dengan sistem-sistem geometri dapat dipandang lepas satu dengan lainnya. Di dalam sistem aljabar, terdapat pula beberapa sistem lain yang lebih “kecil” yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Demikian pula di dalam sistem geometri.
Contoh:
Di dalam aljabar terdapat sistem aksioma dalam group, sistem aksioma dalam ring, sistem aksioma dalam lapangan (field), dan lain-lain. Di dalam geometri insidensi, sistem geometri Euclid, sistem geometri Lobachevski, dan lain-lain.
Di dalam masing-masing sistem, berlaku ketaatasasan atau konsistensi. Artinya, dalam setiap sistem tidak boleh terdapat kontradiksi. Suatu teorema ataupun definisi harus menggunakan istilah atau konsep yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Konsistensi itu baik dalam makna maupun dalam hal nilai kebenarannya. Antara sistem atau struktur yang satu dengan sistem atau struktur yang lain tidak mustahil terdapat pernyataan yang saling kontradiksi.
e.    Memiliki Simbol yang Kosong Arti
Di dalam matematika, banyak sekali simbol baik yang berupa huruf latin, huruf Yunani, maupun simbol-simbol khusus lainnya. Simbol-simbol tersebut membentuk kalimat dalam matematika yang biasa disebut model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, maupun fungsi. Selain itu, ada pula model matematika yang berupa gambar seperti bangun-bangun geometrik, grafik, maupun diagram.
Contoh:
Model matematika, seperti x + y = z tidak selalu berarti bahwa x, y, dan z berarti bilangan. Secara sederhana, bilangan-bilangan yang biasa digunakan dalam pembelajaran pun bebas dari arti atau makna real. Bilangan tersebut dapat berarti panjang, jumlah barang, volume, nilai uang, dan lain-lain tergantung pada konteks penerapan bilangan tersebut.
Secara umum model atau simbol matematika sesungguhnya kosong dari arti. Ia akan bermakna sesuatu bila kita mengaitkannya dengan konteks tertentu. Dan hal ini pula yang membedakan simbol matematika dengan simbol bukan matematika. Kosongnya arti dari model-model matematika itu merupakan “kekuatan” matematika, yang dengan sifat tersebut, ia bisa masuk pada berbagai macam bidang kehidupan, dari masalah teknis, ekonomi, hingga ke bidang psikologi.
Walaupun demikian, kebanyakan siswa masih cukup kuat terikat dengan makna yang pertama kali atau yang biasa diajarkan oleh gurunya. Hal ini seperti yang pernah dikeluhkan oleh matematikawan Whitehead, “Yang paling sukar untuk menjelaskan kepada seseorang yang baru belajar matematika ialah bahwa x itu sama sekali tidak berarti.” Maka dari itu, guru harus senantiasa waspada pada pengertian yang dipakai oleh siswa dalam mempelajari suatu topik bahasan matematika.
f.     Memerhatikan Semesta Pembicaraan
Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol-simbol matematika, bila digunakan haruslah memerhatikan lingkup pembicaraan. Lingkup atau sering disebut semesta pembicaraan bisa sempit bisa pula luas. Bila berbicara tentang bilangan-bilangan, maka simbol-simbol tersebut menunjukkan bilangan-bilangan pula. Begitu pula jika berbicara tentang transformasi geometris (seperti translasi, rotasi, dan lain-lain), maka simbol-simbol matematikanya menunjukkan suatu transformasi pula. Benar salahnya atau ada tidaknya penyelesaiannya suatu soal atau masalah, juga ditentukan oleh semesta pembicaraan yang digunakan.
Contoh:
Dalam semesta himpunan bilangan bulat, terdapat model 2x = 3. Adakah penyelesaiannya? Apabila diselesaikan dengan menggunakan cara biasa tanpa menghiraukan semesta pembicaraannya, maka diperoleh x = 1,5. Tetapi 1,5 bukan termasuk bilangan bulat. Jadi, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa model tersebut tidak memilki penyelesaian dalam semesta pembicaraan bilangan bulat. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan sebagai “himpunan kosong”.
g.    Karakteristik Matematika Sekolah
Sehubungan dengan karakteristik umum matematika di atas, dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah harus memerhatikan ruang lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai “ilmu” dengan matematika sekolah, perbedaan itu dalam hal: 1) penyajian, 2) pola pikir, 3) keterbatasan semesta, 4) tingkat keabstrakan.
1)   Penyajian
Penyajian matematika tidak harus diawali dengan teorema maupun definisi, tetapi haruslah disesuaikan dengan perkembangan intelektual siswa. Pembelajaran matematika di sekolah yang dilakukan dengan pendekatan secara induktif atau konkret sudah harus dikurangi, kecuali pada topik-topik yang memerlukan bantuan yang agak konkret, seperti teori peluang.
Contoh:
Pengertian perkalian seharusnya tidak langsung menyajikan bentuk matematika, misalnya 3 × 4 = 12. Penyajiannya hendaknya didahului dengan melakukan penjumlahan berulang dengan memanfaatkan alat peraga, seperti kelereng. Dengan peragaan itu, siswa akan memperoleh pemahaman bahwa walaupun 3 × 4 dan 4 × 3 bernilai sama-sama 12, tetapi makna perkaliannya berbeda. Setelah siswa memahami makna perkalian, barulah diminta menghafalkan fakta dasar perkalian.
2)   Pola pikir
Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola piker deduktif maupun pola piker induktif. Hal ini harus disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat intelektual siswa. Sebagai kriteria umum, biasanya di SD menggunakan pendekatan induktif lebih dulu, karena hal ini lebih memungkinkan siswa menangkap pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola pikir deduktif sudah semakin ditekankan. Contoh-contoh yang disajikan sebelumnya juga menunjukkan pola pikir yang digunakan di sekolah.
3)   Semesta pembicaraan
Sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa, matematika yang disajikan dalam jenjang pendidikan juga menyesuaikan dalam kekomplekan semestanya; semakin meningkat tahap perkembangan intelektual siswa, semesta matematikanya pun semakin diperluas.
Contoh:
a)    Operasi bilangan bulat pada kurikulum 2004 di SD dibatasi pada operasi penjumlahan dan pengurangan saja. Operasi yang berlaku pada bilangan bulat lainnya, seperti perkalian, pembagian, dan perpangkatan tidak diberikan di SD.
b)   Sehubungan dengan keterbatasan semesta bilangan, di SMP belum diperkenalkan tentang bilangan imajiner atau kompleks. Hal ini juga berimplikasi pada penyelesaian soal matematika yang dibatasi pada himpunan bilangan real.
c)    Di sekolah, bilangan prima dibatasi pengertiannya hanya pada bilangan asli. Siswa belum diperkenalkan pada perluasan semesta kepada bilangan prima negatif. Begitu pula topik geometri masih dibatasi pada geometri Euclid.

4)   Tingkat keabstrakan
Seperti pada poin sebelumnya, tingkat keabstrakan matematika juga harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Di SD, dimungkinkan untuk mengkonkretkan objek-objek matematika agar siswa lebih memahami pelajaran. Namun, semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan objek semakin diperjelas.
Contoh:
a)    Dalam pembelajaran fakta mengenai bilangan di SD, siswa tidak langsung diperkenalkan simbol, “1”, “2”, “3”, “4”, ... beserta sifat urutannya, tetapi dimulai dengan menggunakan benda-benda konkret dan menyuguhkan sifat urutan/relasi sebagai sifat “lebih banyak” atau “kurang banyak”.
b)   Dalam membuktikan teorema phytagoras, siswa tidak langsung diarahkan pada bukti deduktif yang bersifat abstrak/formal dengan menggunakan lambang-lambang aljabar. Bukti secara geometris akan sangat membantu siswa untuk memahami Teorema Phytagoras dan kebenarannya. Banyak sekali bukti Teorema Phytagoras secara geometri yang cukup menarik dan mudah dimengerti siswa.
c)    Pembelajaran topik irisan bangun ruang semisal kubus atau piramida, maka penggunaan benda konkret yang berbentuk kubus atau piramida akan sangat membantu siswa memahami bagaimana terjadinya suatu irisan dan sifat-sifat spasial (keruangan)nya.


[1]Fathani, Matematika Hakikat Dan Logika…, hal. 59-74
[2]Soedjadi, Kiat-Kiat Pendidikan…, hal. 13
[3] Fathani, Matematika Hakikat Dan Logika…, hal. 60
[5] Soedjadi, Kiat-Kiat Pendidikan…, hal. 14
[6] Tan Malaka, Madilog, (Jakarta:TePLOK PRESS, 2000), hal. 55
[7] Ibid., hal. 59-63
[8] Soedjadi, Kiat-Kiat  Pendidikan…, hal. 14

No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive