Setelah membaca dan
memahami uraian tentang definisi matematika dan aliran-aliran filsafat
matematika di atas, seolah-olah tampak bahwa matematika merupakan pribadi yang
mempunyai beragam corak penafsiran dan pandangan, yang mana antara
matematikawan yang satu dengan lainnya memiliki pemahaman dan argumen yang
berbeda untuk mendeskripsikan apa dan bagaimana sebenarnya matematika itu.
Begitu juga dalam aliran filsafat matematika, ditemukan terdapat tiga aliran
besar yang memengaruhi perkembangan matematika yang sampai sekarang pun belum
ditemukan pengerucutan tentang pendeskripsian matematika.
Tetapi, dibalik
keragaman itu semua, dalam setiap pandangan matematika terdapat beberapa ciri
matematika yang secara umum disepakati bersama. Diantaranya adalah sebagai
berikut:[1]
a. Memiliki
Objek Kajian yang Abstrak
Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun tidak
setiap yang abstrak adalah matematika. Sementara beberapa matematikawan
menganggap objek matematika itu “konkret” dalam pikiran mereka, maka kita dapat
menyebut objek matematika secara lebih tepat sebagai objek mental atau pikiran.
Ada empat objek kajian matematika, yaitu fakta,
operasi atau relasi, konsep, dan prinsip.
1) Fakta
Fakta adalah pemufakatan atau konvensi dalam matematika yang biasanya
diungkapkan melalui simbol-simbol tertentu.[2]
Contoh:
Simbol “2” secara umum telah dipahami sebagai simbol
untuk bilangan “dua”. Sebaliknya, bila kita menghendaki bilangan dua, maka
cukup dengan menggunakan simbol “2”. Fakta lain dapat terdiri atas rangkaian
simbol, misalnya “3 + 4” yang dipahami sebagai “tiga tambah empat”. Demikian
juga “3 x 5 = 15” adalah fakta yang dipahami sebagai “tiga kali lima adalah
limabelas”. Fakta yang agak lebih komplek adalah “3 x 5 = 5 + 5 + 5 = 15”.
Dalam geometri, terdapat simbol-simbol tertentu, seperti “” yang berarti “tegak lurus”.
Simbol “” yang berarti sejajar. Dalam
trigonometri, dikenal simbol “” yang berarti “sudut”, simbol
“” yang menunjukkan segitiga.
Dalam aljabar, simbol “(a,b)” menunjukkan “pasangan berurutan”, simbol “f” yang
dipahami sebagai “fungsi”, dan lainnya.
Rubenstein
dan Thompson (2000) mengingatkan bahwa”:
In general, teachers must
be aware of the difficulties that symbolism creates for students. Symbolism is
a form of mathematical language that is compact, abstract, specific, and
formal… Therefore, opportunities to us that language should be regular, rich,
meaningful, and rewarding. (Secara umum, guru harus
menyadari kesulitan-kesulitan tentang symbol bagi siswa. Simbolisme merupakan
bentuk bahasa matematika yang rapi, abstrak, khusus, dan formal… Dengan demikian,
kesempatan menggunakan bahasa tersebut seharusnya secara bertahap, kaya, penuh
arti, dan bermanfaat).[3]
Maka dalam memperkenalkan
simbol atau fakta matematika kepada siswa, guru seharusnya melalui beberapa
tahap yang memungkinkan siswa dapat menyerap makna dari simbol-simbol tersebut.
Mereka bahkan dapat menggunakan simbol-simbol pilihan mereka sendiri. Hal ini
dipikirkan sebagai suatu cara untuk menjaga partisipasinya dalam proses
penemuan dan formalisasi pengalaman matematika. Hal tersebut juga untuk menjaga
pengalaman belajar dari sekadar hanya latihan mengingat.
Penggunaan fakta yang
berupa simbol bila terlalu cepat diberikan kepada siswa, dapat menyebabkan
salah pengertian atau miskonsepsi terhadap simbol tersebut. Selain itu,
penekanan pada aspek teknis berupa perhitungan belaka, juga dapat menimbulkan
miskonsepsi tersebut.
Contoh
(miskonsepsi):
Miskonsepsi yang sering terjadi pada siswa SD adalah
penggunaan yang kurang tepat terhadap simbol “=”. Siswa sering kali memahami
simbol “=” tidak hanya berarti “sama dengan” tetapi juga “memberi hasil”. Bila pengertian yang terakhir ini melekat
pada pikiran siswa, mungkin ia akan menulis seperti kalimat berikut
berikut: . Kalimat matematika ini
jelas-jelas merupakan kalimat yang salah. Dalam kasus lainnya, banyak siswa
yang keliru dalam pemahaman terhadap bilangan phi ( ). Ada siswa yang memiliki anggapan phi ( ) bernilai sama dengan 3,
14 atau , padahal nilai tersebut pada
hakikatnya adalah sebuah nilai pendekatan.
2) Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk
menggolongkan atau mengklasifikasikan
sekumpulan objek, apakah objek tertentu merupakan contoh konsep atau
bukan.[4]
Contoh:
“Segitiga” adalah nama suatu
konsep. Dengan konsep itu, kita dapat membedakan mana yang merupakan contoh
segitiga dan mana yang bukan contoh segitiga. “Bilangan prima” juga nama suatu
konsep, yang dengan konsep itu kita dapat membedakan mana yang merupakan
bilangan prima dan mana yang bukan. Konsep “bilangan prima” lebih kompleks dari
konsep “segitiga”, oleh karena di dalam konsep “bilangan prima” memuat
konsep-konsep lain seperti “faktorisasi”, “bilangan”, “satu”, dan lain-lain. Di
samping itu, dalam matematika terdapat konsep-konsep yang penting, seperti
“fungsi” dan “variabel”. Selain itu, terdapat pula konsep-konsep yang lebih
kompleks, seperti “matriks”, “determinan”, “periodik”, “gradien”, “vektor”, “group”, dan “bilangan phi”.
Konsep dapat dipelajari lewat
definisi atau observasi langsung. Seseorang dianggap telah memahami suatu
konsep, jika ia dapat memisahkan contoh konsep dari yang bukan contoh konsep.
a) Definisi
Konsep berhubungan
dengan definisi. Definisi adalah ungkapan yang membatasi konsep.[5]
Dengan adanya definisi, orang dapat membuat ilustrasi, gambar, skema, atau
simbol dari konsep yang didefinisikan.
Contoh:
Konsep
“lingkaran” dapat didefinisikan sebagai “kumpulan titik-titik pada bidang datar
yang memiliki jarak yang sama terhadap titik tertentu”. Dengan definisi
tersebut pula, orang dapat membuat sketsa dari lingkaran, dan pada kasus ini
orang sepakat memilih simbol “O” untuk menun jukkan lingkaran. Apakah definisi
lingkaran di atas merupakan satu-satunya definisi untuk lingkaran? Tentu tidak!
Di bangku SMA, siswa telah mengenal pendefinisian lingkaran dengan cara
analitik, yaitu menggunakan koordinat titik (x,y) dalam bidang datar (koordinat
kartesian).
Adapun Tan Malaka dalam Madilog menerjemahkan “definisi” dengan
sebuah penetapan, pembatasan, pemastian. Artinya ialah buat menentukan tepat
batasnya sesuatu perkataan atau hukum atau paham.[6]
Tan Malaka juga berpendapat, suatu
definisi dapat dikatakan benar (sahih) jika lolos uji beberapa hal sebagai
berikut: a) Kalau semua A = B, maka sebaliknya haruslah B = A (), b) Definisi
itu sedapat-dapatnya pendek, tetapi jangan melebar atau kesempitan, c) Definisi
itu tak boleh circular atau berputar-putar, d) Definisi itu mesti general atau
umum, e) Definisi tak boleh memakai metafor, ibarat, kata figuratif dan kata
yang abstrak atau gaib, f) Definisi tak boleh negatif.[7]
·
Definisi haruslah
Menurut Tan Malaka, misalnya ada suatu definisi “A
adalah B”, haruslah ada pertanyaan apakah semua A = B dan sebaliknya harus ada
pertanyaan apakah semua ? Kalau
jawabannya, ya, maka benarlah itu definisi, kalau tidak, gagallah itu diartikan
sebagai definisi. “Segitiga sama sisi, adalah
satu gambar datar tertutup dibatasi oleh 3 garis lurus yang sama
panjang”. Uji pertama, apakah semua segitiga sama sisi berupa gambar datar
tertutup dan dibatasi oleh 3 garis lurus (tidak bengkok) sama panjang? Uji
kedua, apakah semua gambar datar tertutup dan dibatasi oleh 3 garis lurus
(tidak bengkok) sama panjang dinamakan segitiga sama sisi? Ternyata uji pertama
dan uji kedua jawabannya, ya. Sehinggga definisi tersebut benar-benar sahih.
·
Definisi itu sedapat-dapatnya
pendek
Maksud sedapat-dapatnya
ialah ada kalanya tidak boleh dipendekkan. Kalau dipendekkan, maka artinya
menjadi sempit. Definisi tidak boleh sempit dan tidak boleh melebar.
Misalnya definisi “manusia itu hewan”,
maka betul definisi ini pendek, tetapi artinya melampaui batas atau melebar.
Karena bukan saja manusia, tetapi juga monyet dan ular termasuk hewan. Jadi
kalau definisi ini dibalikkan akan didapat “hewan itu manusia”, tegasnya, ular,
kerbau, monyet itu manusia. Dan ini semua tidaklah dapat diterima.
Definisi juga tidak boleh
sempit, artinya harus punya “essential attributes”: segala sifat yang penting
tidak boleh lupa dan harus ada. Misalnya definisi “kuda itu binatang berkaki
empat”, maka definisi itu terlalu melebar sebab kerbau juga binatang berkaki
empat. Tetapi jika “kuda itu binatang berkaki empat yang ditunggangi Pangeran
Diponegoro”, maka artinya terlalu sempit. Sebab, selain ditunggangi Pangeran
Diponegoro, dia juga dipakai untuk menarik kereta delman, bajak, gerobak, dsb.
Jadi semua sifat yang
penting haruslah termasuk. Dalam matematika lebih mudah mencari contoh, sebab
matematika umumnya buah pikiran yang pasti berdasar bukti yang ditetapkan,
didefinisikan lebih dahulu.
Demikianlah “square atau
segi empat siku, adalah satu gambar datar tertutup dibatasi oleh 4 garis lurus
yang sama panjang dan mempunyai 4 sudut siku-siku”. Disini bukan satu saja
sifat yang penting. Pertama dia harus “gambar datar tertutup”, bukan gambar
pada tempat bertinggi rendah dan bukan terbuka, melainkan semua sisinya bertemu
(tertutup). Disini saja sudah bertemu dengan beberapa, bukan satu sifat yang
penting. Kedua, dia harus dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang (jadi,
4 garis, bukan 3 atau 5 dsb), garisnya lurus tidak boleh bengkok, panjang
garisnya harus sama pula. Ketiga, 4 sudut harus siku-siku, yakni 90. Ketiga sifat diatas satupun
tidak boleh ketinggalan. Kalau ketinggalan, bukan square yang diperoleh.
Memang definisi
sedapat-dapatnya pendek, tetapi harus mengandung semua sifat penting. Kalau
tidak pastinya suatu definisi akan melebar atau menyempit.
·
Definisi itu tidak boleh circular
atau berputar-putar
Kesalahan dapat terjadi jika suatu definisi memakai
berlainan perkataan yang bersamaan artinya. Contoh dari Aristoteles: “Tumbuhan
yaitu barang hidup yang mempunyai jiwa vegetable”. Sedangkan vegetable itu
artinya tumbuhan juga. Jadi sebenarnya definisi ini: “Tumbuhan yaitu barang
hidup yang mempunyai jiwa tumbuhan”. Disini nyata, tumbuhan berbalik artinya
pada tumbuhan atau sama arti. Dengan begitu, kepastian keterangan tentang
tumbuhan tidak diperoleh.
Demikian juga Mahatma Gandhi mendefinisikan “ahimsa
itu soul-force”, kekuatan jiwa yang berdasar kasih, seperti pati atau rohani.
Apakah “kekuatan jiwa” itu? Itulah yang perlu lagi dibuktikan atau ditunjukkan.
Jika suatu barang yang harus dibuktikan dengan mengganti nama baru, yang harus
diterangkan pula, maka definisi itu berputar-putar. Seharusnya satu definisi
adalah satu ketentuan yang pasti, yang ditentukan oleh ketentuan yang tentu.
Sehingga memberikan satu kepastian keterangan.
·
Definisi itu harus bersifat general
atau umum
Definisi harus umum, biasa, lebih diketahui dari
pada barang yang dipastikan. Seperti “satu jam ialah satu chronometer buat
pengukur waktu dengan tepat”. Cukuplah dibilang “satu jam ialah buat pengukur
waktu”. Tidak perlu pergi ke kapal, dimana orang memakai semacam jam istimewa
yang bernama chronometer buat pekerjaan yang kurang diketahui orang secara umum.
Kecuali kalau tidak ada jalan lain dari pada jalan istimewa tadi.
·
Definisi tidak boleh memakai metafor,
ibarat, kata figuratif dan kata yang abstrak atau gaib
Dengan definisi bertujuan untuk memastikan,
membuktikan dan menerangkan sesuatu. Dengan memakai ibarat, memakai gambar
saja, perkataan gaib yang tidak dapat dikenal panca indera, barang yang akan di
definisikan itu tidak akan bertambah pasti. Malah sebaliknya.
Seperti definisi yang diungkapkan Tan Malaka,
“rohani itu ialah satu kodrat, laksana Sang Garuda Rajawali yang mengendarai
bulan dan matahari, dan menerbitkan bintang dan bumi yang bisa menjelma sebagai
Kuman Pasupati memasuki pagar jasmani”. Definisi diatas sangatlah sulit untuk
diterima atau dipahami, sebab kata-kata ibarat, metafor bahkan kata yang
bersifat abstrak atau gaib masuk di dalamnya.
·
Definisi tidak boleh negatif
Kalau orang kaya didefinisikan sebagai orang yang
tidak miskin, maka definisi itu negatif. Sehingga sifatnya tidak nyata. Jika
dibandingkan dengan, orang kaya itu punya harta yang banyak, maka akan lebih
meyakinkan definisi yang kedua.
Tetapi kadang-kadang dalam matematika definisi bisa
berupa negatif, tetapi sebetulnya ia positif. Umpamanya: satu garis lurus itu,
tidak mengubah tujuannya. Tidak mengubah berarti menetapkan. Jadi definisi itu
boleh ditukar menjadi: satu garis lurus menetapkan tujuannya. Kadang-kadang
tidak ada akal selain member definisi yang sifatnya negatif, seperti “Gelap itu
ialah tidak terang”.
Dalam bidang matematika ada tiga macam definisi yang
sering dikenal, yakni:
Ø Definisi
analitik
Suatu definisi disebut analitik apabila definisi
tersebut dibentuk dengan genus proksimum dan
diferensia speksifika (genus
proksimum: keluarga terdekat, diferensia speksifika: pembeda khusus).
Contoh:
Perhatikan
dua definisi belah ketupat berikut ini:
· Belah
ketupat adalah jajaran genjang yang….
· Belah
ketupat adalah segi empat yang….
Definisi pertama menyebutkan genus proksimum jajaran genjang, sedang definisi kedua menyebutkan
segi empat sebagai genus proksimum atau
keluarga terdekatnya. Diferensia
speksifikanya adalah sifat yang disebutkan setelah kata “yang”.
Ø Definisi
genetik
Suatu definisi dikatakan bersifat genetik apabila
pada definisi tersebut terdapat ungkapan tentang cara terjadinya konsep yang
didefinisikan.
Contoh:
Definisi-definisi
berikut ini bersifat genetik:
· Segitiga
siku-siku adalah segitiga yang terjadi bila suatu persegi panjang dipotong
menurut salah satu garis diagonalnya.
· Jaring-jaring
limas adalah bangun yang terjadi bila sisi-sisi limas direbahkan dengan poros
rusuk alas hingga sampai ke
bidang pemuat alasnya.
Ø Definisi
dengan rumus
Definisi dengan
rumus adalah definisi yang dinyatakan dengan menggunakan kalimat matematika.
Contoh:
Berikut ini contoh definisi dengan rumus:
· Dalam ilmu bilangan (aritmetika):
· Dalam aljabar: dengan (bentuk definisi ini disebut pula bentuk
induksi).
b) Intensi
dan Ekstensi suatu Definisi
Dalam
suatu definisi terdapat 2 hal yang disebut intensi
atau hal yang menjadi fokus dalam pernyataan dan ekstensi atau hal yang
menjadi jangkauan dari pernyataan. Dapat terjadi dua definisi dengan intensi
berbeda, tetapi dengan ekstensi yang sama.
Contoh:
·
Segitiga
sama sisi adalah segitiga yang sama sisinya.
·
Segitiga
sama sisi adalah segitiga yang sudutnya sama.
·
Segitiga
sama sudut adalah segitiga yang ketiga sudutnya sama.
·
Segitiga
sama sudut adalah segitiga yang ketiga sisinya sama.
Dalam contoh di atas, atributnya berbeda, yang satu
mengutamakan sisi, sedang yang lain mengatakan sudut. Ini dikatakan bahwa definisi
(1) dan (2) memiliki ekstensi (atau jangkauan) yang sama, sedang intensinya
berbeda.
Demikian
juga terhadap definisi (3) dan (4), yang memiliki ekstensi sama, tetapi intensi
berbeda. Bahkan lebih jauh, keempat definisi tersebut juga memilki ekstensi yang
sama. Adakah segitiga sama sisi yang bukan segitiga sama sudut, dan sebaliknya?
Tentu jawabnya tidak ada. Keempat definisi tersebut sama atau disebut
ekuivalen.
Berkaitan
dengan intensi dan ekstensi suatu definisi, maka definisi suatu konsep
matematika dapat berbagai macam bentuknya. Karena itu, definisi yang mungkin
dikemukakan siswa dapat saja berbeda dengan definisi formal yang biasa
digunakan dalam matematika. Dalam hal ini, guru harus jeli melihat kemungkinan
kesamaan dari definisi tersebut. Guru tidak boleh menyalahkan definisi yang
diberikan siswa bila memang ternyata memiliki pengertian yang sama. Bila pun
salah, guru harus memfasilitasi pikiran siswa menuju definisi yang tepat.
3) Operasi
atau Relasi
Operasi adalah pengerjaan hitung, pengertian aljabar, dan
pengerjaan matematika lainnya. Sementara relasi adalah hubungan antara dua atau
lebih elemen.
Contoh:
Contoh operasi antara lain: “penjumlahan”,
“perpangkatan”, “gabungan”, “irisan”, dan lain-lain. Sedang relasi antara lain:
“sama dengan”, “lebih kecil”, dan lain-lain.
4) Prinsip
Prinsip adalah
objek matematika, yang terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang
dikaitkan oleh suatu relasi ataupun operasi. Secara sederhana, dapatlah
dikatakan bahwa prinsip adalah hubungan di antara berbagai objek dasar
matematika. Prinsip dapat berupa “aksioma”, “teorema” atau “dalil”, “corollary”
atau sifat, dan sebagainya.[8]
Contoh:
Sifat komutatif dan sifat asosiatif dalam aritmetika
merupakan suatu prinsip. Begitu pula dengan Teorema Pythagoras. Contoh sebuah
aksioma antara lain “melalui satu titik A di luar sebuah garis g dapat dibuat tepat sebuah garis yang
sejajar garis g”.
Siswa
dapat dianggap telah memenuhi suatu prinsip bila ia memahami bagaimana prinsip
tersebut dibentuk dan dapat menggunakannya dalam situasi yang cocok. Bila
demikian, berarti ia telah memahami fakta, konsep, atau definisi serta operasi
atau relasi yang termuat dalam prinsip tersebut.
b. Bertumpu
pada Kesepakatan
Simbol-simbol
dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang
penting. Dengan simbol dan istilah yang telah disepakati dalam matematika, maka
pembahasan selanjutnya akan menjadi mudah dilakukan dan dikomunikasikan.
Contoh:
1)
Lambang
bilangan yang digunakan sekarang: 1, 2, 3, dan seterusnya merupakan contoh
sederhana dari sebuah kesepakatan dalam matematika. Siswa secara tidak sadar
menerima kesepakatan itu ketika mulai mempelajari tentang angka atau bilangan.
Termasuk pula penggunaan kata “satu” untuk lambang “1”, atau “sama dengan”
untuk lambang “=” juga merupakan kesepakatan.
2)
Istilah
“fungsi” kita batasi pengertiannya sebagai pemetaan yang mengawankan setiap
elemen dari himpunan yang tepat satu ke sebuah elemen dari himpunan yang lain.
Mengapa harus menggunakan kata “tepat satu”? Penggunaan kata “tepat satu”
merupakan contoh kesepakatan dalam matematika. Bila ada pemetaan yang bernilai
ganda, berarti bukan termasuk fungsi.
Dalam matematika,
kesepakatan atau konvensi merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan atau
konvensi merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan yang amat mendasar
adalah aksioma (postulat, pernyataan pangkal yang tidak perlu pembuktian) dan
konsep primitif (pengertian pangkal yang tidak perlu didefinisikan, undefined term). Aksioma yang diperlukan
untuk menghindari proses berputar-putar dalam pembuktian (circulus in probando). Sedangkan konsep primitif diperlukan untuk
menghindari proses berputar-putar dalam pendefinisian (circulus in defienindo).
Aksioma dapat
diklasifikasikan menjadi 2 jenis: 1) aksioma yang bersifat “self evident truth”, yaitu bila
kebenarannya langsung terlihat dari pernyataannya, dan 2) aksioma yang bersifat
“non-self evident truth”, yaitu
pernyataan yang mengaitkan fakta dan konsep lewat suatu relasi tertentu. Bentuk
terakhir ini lebih terlihat sebagai sebuah kesepakatan saja.
Beberapa aksioma
dapat membentuk suatu sistem aksioma, yang selanjutnya dapat menurunkan
beberapa teorema. Dari satu atau lebih konsep primitif, dapat dibentuk konsep
baru melalui pendefinisian.
Contoh:
1)
Titik, garis, dan bidang merupakan unsur-unsur
primitif atau pengertian pangkal dalam geometri Euclid. Sementara salah satu
aksioma di dalamnya adalah: “Melalui dua buah titik ada tepat satu garis lurus
yang dapat dibuat”.
2)
Group didefinisikan lewat sistem aksioma. Suatu
himpunan G dengan operasi biner * yang memenuhi sifat-sifat: 1) tertutup; 2)
asosiatif; 3) mempunyai unsur identitas; dan 4) setiap elemen memiliki invers,
maka disebut suatu group, dan ditulis dengan (G,*). Aksioma tersebut bersifat non-self
evident truth.
c. Berpola
Pikir Deduktif
Dalam matematika, hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif. Pola
pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari
hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat
khusus.
Pola pikir deduktif ini dapat terwujud dalam bentuk yang amat sederhana,
tetapi juga dapat terwujud dalam bentuk yang tidak sederhana.
Contoh:
1)
Seorang siswa telah memahami konsep dari
“lingkaran”. Ketika berada di dapur, ia dapat menggolongkan mana peralatan
dapur yang berbentuk lingkaran dan mana yang bukan lingkaran. Dalam hal ini,
siswa tersebut telah menggunakan pola pikir deduktif secara sederhana ketika
menunjukkan suatu peralatan yang berbentuk lingkaran.
2)
Perhatikan pola jumlah bilangan-bilangan ganjil
berikut ini.
1 = 1 × 1 = 12
1 + 3 = 2 × 2 = 22
1 + 3 + 5 = 3 × 3 = 33
1 + 3 + 5 + 7 = 4 × 4 = 43
... dan seterusnya
Dari pola yang terlihat
kemudian disimpulkan bahwa:
1 + 3 + 5 + ...+ (2n – 1) = n2,
n adalah bilangan ganjil.
Penarikan kesimpulan dengan
pola pikir induktif di atas tidak dapat dibenarkan dalam matematika. Pendekatan
induktif tersebut tidaklah salah, tetapi untuk dapat diterima sebagai suatu
kebenaran harus dapat dibuktikan secara umum (deduktif).
Salah satu bukti deduktif dapat
ditempuh dengan cara sebagai berikut:
1 + 3
+ 5 +
... + (2n – 5)
+ (2n – 3) + (2n
-1) = S
(2n – 1) +
(2n – 3) + (2n – 5) +
... + 5
+ 3
+ 1 = S
2n
+ 2n +
2n + ...
+ 2n +
2n + 2n
= 2S
Sebanyak n suku
n. 2n = 2S
sehingga
d. Konsisten
dalam Sistemnya
Dalam matematika, terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk dari
beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem yang berkaitan,
ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu dengan yang lainnya.
Sistem-sistem aljabar dengan sistem-sistem geometri dapat dipandang lepas satu
dengan lainnya. Di dalam sistem aljabar, terdapat pula beberapa sistem lain
yang lebih “kecil” yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Demikian pula di
dalam sistem geometri.
Contoh:
Di dalam aljabar terdapat
sistem aksioma dalam group, sistem aksioma dalam ring, sistem aksioma dalam
lapangan (field), dan lain-lain. Di
dalam geometri insidensi, sistem geometri Euclid, sistem geometri Lobachevski,
dan lain-lain.
Di dalam masing-masing sistem, berlaku ketaatasasan atau konsistensi.
Artinya, dalam setiap sistem tidak boleh terdapat kontradiksi. Suatu teorema
ataupun definisi harus menggunakan istilah atau konsep yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Konsistensi itu baik dalam makna maupun dalam hal nilai
kebenarannya. Antara sistem atau struktur yang satu dengan sistem atau struktur
yang lain tidak mustahil terdapat pernyataan yang saling kontradiksi.
e. Memiliki
Simbol yang Kosong Arti
Di dalam matematika, banyak sekali simbol baik yang berupa huruf latin,
huruf Yunani, maupun simbol-simbol khusus lainnya. Simbol-simbol tersebut
membentuk kalimat dalam matematika yang biasa disebut model matematika. Model
matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, maupun fungsi. Selain itu,
ada pula model matematika yang berupa gambar seperti bangun-bangun geometrik,
grafik, maupun diagram.
Contoh:
Model matematika, seperti x + y
= z tidak selalu berarti bahwa x, y, dan z berarti bilangan. Secara sederhana,
bilangan-bilangan yang biasa digunakan dalam pembelajaran pun bebas dari arti
atau makna real. Bilangan tersebut dapat berarti panjang, jumlah barang,
volume, nilai uang, dan lain-lain tergantung pada konteks penerapan bilangan
tersebut.
Secara umum model atau simbol matematika sesungguhnya kosong dari arti.
Ia akan bermakna sesuatu bila kita mengaitkannya dengan konteks tertentu. Dan
hal ini pula yang membedakan simbol matematika dengan simbol bukan matematika.
Kosongnya arti dari model-model matematika itu merupakan “kekuatan” matematika,
yang dengan sifat tersebut, ia bisa masuk pada berbagai macam bidang kehidupan,
dari masalah teknis, ekonomi, hingga ke bidang psikologi.
Walaupun demikian, kebanyakan siswa masih cukup kuat terikat dengan makna
yang pertama kali atau yang biasa diajarkan oleh gurunya. Hal ini seperti yang
pernah dikeluhkan oleh matematikawan Whitehead, “Yang paling sukar untuk
menjelaskan kepada seseorang yang baru belajar matematika ialah bahwa x itu
sama sekali tidak berarti.” Maka dari itu, guru harus senantiasa waspada pada
pengertian yang dipakai oleh siswa dalam mempelajari suatu topik bahasan
matematika.
f. Memerhatikan
Semesta Pembicaraan
Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol-simbol matematika, bila
digunakan haruslah memerhatikan lingkup pembicaraan. Lingkup atau sering
disebut semesta pembicaraan bisa sempit bisa pula luas. Bila berbicara tentang
bilangan-bilangan, maka simbol-simbol tersebut menunjukkan bilangan-bilangan
pula. Begitu pula jika berbicara tentang transformasi geometris (seperti
translasi, rotasi, dan lain-lain), maka simbol-simbol matematikanya menunjukkan
suatu transformasi pula. Benar salahnya atau ada tidaknya penyelesaiannya suatu
soal atau masalah, juga ditentukan oleh semesta pembicaraan yang digunakan.
Contoh:
Dalam semesta himpunan bilangan
bulat, terdapat model 2x = 3. Adakah penyelesaiannya? Apabila diselesaikan
dengan menggunakan cara biasa tanpa menghiraukan semesta pembicaraannya, maka
diperoleh x = 1,5. Tetapi 1,5 bukan termasuk bilangan bulat. Jadi, dalam hal
ini dapat dikatakan bahwa model tersebut tidak memilki penyelesaian dalam
semesta pembicaraan bilangan bulat. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan
sebagai “himpunan kosong”.
g. Karakteristik
Matematika Sekolah
Sehubungan dengan karakteristik umum matematika di atas, dalam
pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah harus memerhatikan ruang lingkup
matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai “ilmu”
dengan matematika sekolah, perbedaan itu dalam hal: 1) penyajian, 2) pola
pikir, 3) keterbatasan semesta, 4) tingkat keabstrakan.
1)
Penyajian
Penyajian matematika tidak harus diawali dengan teorema maupun definisi,
tetapi haruslah disesuaikan dengan perkembangan intelektual siswa. Pembelajaran
matematika di sekolah yang dilakukan dengan pendekatan secara induktif atau
konkret sudah harus dikurangi, kecuali pada topik-topik yang memerlukan bantuan
yang agak konkret, seperti teori peluang.
Contoh:
Pengertian perkalian seharusnya
tidak langsung menyajikan bentuk matematika, misalnya 3 × 4 = 12. Penyajiannya
hendaknya didahului dengan melakukan penjumlahan berulang dengan memanfaatkan
alat peraga, seperti kelereng. Dengan peragaan itu, siswa akan memperoleh
pemahaman bahwa walaupun 3 × 4 dan 4 × 3 bernilai sama-sama 12, tetapi makna
perkaliannya berbeda. Setelah siswa memahami makna perkalian, barulah diminta
menghafalkan fakta dasar perkalian.
2)
Pola pikir
Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan
pola piker deduktif maupun pola piker induktif. Hal ini harus disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat intelektual
siswa. Sebagai kriteria umum, biasanya di SD menggunakan
pendekatan induktif lebih dulu, karena hal ini lebih memungkinkan siswa
menangkap pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola pikir
deduktif sudah semakin ditekankan. Contoh-contoh yang disajikan sebelumnya juga
menunjukkan pola pikir yang digunakan di sekolah.
3)
Semesta pembicaraan
Sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa, matematika yang
disajikan dalam jenjang pendidikan juga menyesuaikan dalam kekomplekan
semestanya; semakin meningkat tahap perkembangan intelektual siswa, semesta
matematikanya pun semakin diperluas.
Contoh:
a)
Operasi bilangan bulat pada kurikulum 2004 di SD
dibatasi pada operasi penjumlahan dan pengurangan saja. Operasi yang berlaku
pada bilangan bulat lainnya, seperti perkalian, pembagian, dan perpangkatan
tidak diberikan di SD.
b)
Sehubungan dengan keterbatasan semesta bilangan, di
SMP belum diperkenalkan tentang bilangan imajiner atau kompleks. Hal ini juga
berimplikasi pada penyelesaian soal matematika yang dibatasi pada himpunan
bilangan real.
c)
Di sekolah, bilangan prima dibatasi pengertiannya
hanya pada bilangan asli. Siswa belum diperkenalkan pada perluasan semesta
kepada bilangan prima negatif. Begitu pula topik geometri masih dibatasi pada
geometri Euclid.
4)
Tingkat keabstrakan
Seperti pada poin sebelumnya, tingkat keabstrakan matematika juga harus menyesuaikan
dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Di SD, dimungkinkan untuk
mengkonkretkan objek-objek matematika agar siswa lebih memahami pelajaran.
Namun, semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan objek semakin
diperjelas.
Contoh:
a)
Dalam pembelajaran fakta mengenai bilangan di SD,
siswa tidak langsung diperkenalkan simbol, “1”, “2”, “3”, “4”, ... beserta
sifat urutannya, tetapi dimulai dengan menggunakan benda-benda konkret dan
menyuguhkan sifat urutan/relasi sebagai sifat “lebih banyak” atau “kurang
banyak”.
b)
Dalam membuktikan teorema phytagoras, siswa tidak
langsung diarahkan pada bukti deduktif yang bersifat abstrak/formal dengan
menggunakan lambang-lambang aljabar. Bukti secara geometris akan sangat
membantu siswa untuk memahami Teorema Phytagoras dan kebenarannya. Banyak
sekali bukti Teorema Phytagoras secara geometri yang cukup menarik dan mudah
dimengerti siswa.
c)
Pembelajaran topik irisan bangun ruang semisal kubus
atau piramida, maka penggunaan benda konkret yang berbentuk kubus atau piramida
akan sangat membantu siswa memahami bagaimana terjadinya suatu irisan dan
sifat-sifat spasial (keruangan)nya.
No comments:
Post a Comment