1.
Konsep
Role Playing (Sosiodrama)
a. Pengertian
Sosiodrama
Menurut Moreno,
Sosiodrama adalah satu berpengalaman grup sebagai satu jalan utuh untuk
eksploitasi sosial dan transformasi konflik antar kelompok (Kellermann,
2007:1). Soisodrama menurut Wingkel (1993) merupakan dramatisasi dari berbagai
persoalan yang dapat timbul dalam pergaulan dengan orang-orang lain, termasuk
konflik yang sering dialami dalam pergaulan sosial. Menurut Wiryaman
(2000:1-27) bahwa metode sosiodrama merupakan metode mengajar dengan cara
mempertunjukan kepada siswa tentang masalah-masalah, caranya dengan
mempertunjukan kepada siswa masalah bimbingan hubungan sosial tersebut
didramatisirkan oleh siswa dibawah pimpinan guru. Djamarah (2000 : 200) berpendapat bahwa metode sosiodrama
adalah cara mengajar yang memberikan kesempatan anak didik untuk melakukan
kegiatanmemainkan peran tertentu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Menurut kamus besar bahasa indonesia, bahwa sosiodrama adalah drama yang
bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat tentang masalah sosial dan
politik (2002 : 855).
Dari berbagai penjelasan
tentang sosiodrama tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sosiodrama adalah
pemecahan masalah yang terjadi dalam konteks hubungan sosial dengan cara
mendramakan masalah-masalah tersebut melalui sebuah drama. Dalam kegiatan
sosiodrama, siswa mengamati dan menganalisis interaksi antara pemeran sedangkan
bimbingan merencanakan, menstruktur, memfasilitasi dan memonitor jalannya
sosiodrama tersebut kemudian membimbing untuk menindaklanjuti pembahasan
tersebut. Pada metode sosiodrama menuntut keuliast tertentu pada siswa, yaitu
siswa diharapkan mampu menghayati tokoh-tokoh (peran) atau posisi yang
dikehendaki. Keberhasilan siswa dalam menghayati peran itu akan menentukan
apakah proses pemahaman, penghargaan dan identifikasi diri terhadap nilai
berkembangnya (Hasan, 2006 : 266).
Melalui metode ini pada siswa
diajak untuk belajar memecahkan dilema-dilema pribadi yang mendukungnya dengan
bantuan kelompok sosial yang anggota-anggotanya adalah teman-teman sendiri.
Dengan kata lain, dilihat dari dimensi pribadi, model ini berupaya membantu
individu dengan proses kelompok sosial.
Tentunya metode sosiodrama
memiliki tujuan dan manfaatnya bagi siswa. Tujuan sosiodrama bagi siswa adalah
: 1) siswa berani mengungkapkan pendapat secara lisan; 2) memupuk kerjasama
diantara para siswa; 3) siswa menunjukkan sikap berani dalam memerankan tokoh
yang diperankan; 4) siswa menjiwai tokoh yang diperankan; 5) siswa memberikan
tanggapan terhadap pelaksanaan jalannya sosiodrama yang telah dilakukan; 6)
melatih cara berinteraksi dengan orang lain.
Sedangkan manfaat sosiodrama
adalah : 1) siswa tidak saja mengerti persoalan-persoalan psikologis, tetapi
mereka juga ikut merasakan eprasaan dan pikiran orang lain bila berhubungan
dengan sesame manusia. Ikut menangis bila sedih, rasa marah, emosi dan gembira;
2) siswa dapat menempatkan diri pada tempat orang lain dan memerpdalam
pengertian mereka tentang orang lain.
2.
Hakikat
Metode Sosiodrama
Pada masa sekarang ini istilah
metode selalu dihubungkan dengan masalah pendidikan yang bertujuan merubah
tingkah laku siswa, serta dapat memotivasi siswa supaya dapat berbuat sesuai
denagn tujuan pendidikan. Seorang guru menurut profesinya merubah tingkah laku
siswanya harus mengetahui beberapa tuntutan, sebagaimana dikemukakan oleh
Winarno Surachmad (1976:45) yaitu :
a.
Setiap guru menetapkan tujuan pengajaran yang
akan dicapainya.
b.
Setiap guru memilih dan melaksanakan metode
mnegajar dengan memperhitungkan kewajaran metode tersebut dibandingkan dengan metode lainnya;
c.
Setiap guru memiliki keterampilan menghasilkan
dan menggunakan alat-alat bantu pengajaran untuk memungkinkan tercapainya
tujuan dengan sebaik-baiknya;
d.
Setiap guru memiliki pengetahuan dan kemampuan
praktis untuk menilai setiap hasil pengajaran baik dari sudut siswa maupun dari
kemampuan guru itu sendiri.
Jusuf Djajadisastra (1985:13)
mendefinisikan metode sosiodrama adalah “suatu metode mengajar dimana guru
memberikan kesempatan keapda siswa untuk melakukan kegiatan memerankan peranan
tertentu seperti yang terdapat dalam kehidupan masyarakatnya atau
kejadian-kejadian sosial lainnya”. Adapun menurut oleh Roestiyah (2008:90)
sosiodrama adalah mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik
wajah seseorang dalam hubungan sosial antar manusia.
Metode sosiodrama dalam
aplikasinya melibatkan beberapa siswa untuk dapat memainkan peranannya terhadap
suatu tokoh, dan di dalam memainkan peranan siswa tidak perlu menghapal naskah,
memeprsiapkan diri, dan sebagainya. Pemain hanya berpegangan pada judul dan
garis besar skenarionya dan apa yang dikatakannya. Semua diserahkan kepada
pengahayatan siswa pemeran pada saat itu. Sehingga mereka dibawa ke dalam pertistiwa seperti yang pernah terjadi, dan
mereka belajar untuk memahami dan menghayati setiap kisah agar dapat mengaplikasikan
kemudian. Hal ini sesuai dengan konsep belajar yang terdapat dalam Psikologi
Gestalt, yang sering disebut Feiid Theory
atau Insight Full Learning. “Menurut
para ahli Psikologi Gestalt, belajar terjadi jika ada pemahaman/pengertian
(insight).” (Bigg Morris L, 1976:78).
Pemahaman ini muncul apabila
seseorang setelah beberapa kali memahami suatu masalah, untuk kemudian muncul
adanya suatu kejelasan dimana terlihat adanya hubungan antara unsur-unsur yang
satu dengan yang lainnya, dipahami sangkut pautnya serta dimengerti maknanya.
Dengan demikian manusia akan belajar memahami duni sekitarnya dengan jalan mengatur
dan menyusun kembali pengetahuan-pengetahuannya menjadi suatu struktur yasng
berarti dan dapat dipahami.
Berdasar pada teori psikologi
Gestalt, maka pelaksanaan metode sosiodrama dapat membuat siswa lebih dalam
mengerti tentang suatu permasalahan sosial. Hal tersebut dikarenakan pemahaman
yang dilakukan berulangkali sebelum diaplikasikan dalam dramatisasi maupun
dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan metode sosiodrama disini menggambarkan
suatu bentuk peristiwa aktif yang didramatisasikan menggunakan garis besar
skenario. Peristiwa aktif tersebut maka akan timbul penghayatan dan pemahaman
siswa tentang peristiwa tersebut. Aspek pemahaman ini terdapat dalam komponen
Belief System setelah pemahaman dilakukan berulang-ulang maka akan timbul
reaksi yang merupakan suatu bentuk ungkapan berpikir siswa yang merasa telah
mendapat kejelasan dari hasil pemahaman tadi. Reaksi yang ditimbulkan dari
pemahaman yang dilakukan seseorang. Perbedaan reaksi tersebut dapat dilihat
dari diskusi yang dilaksanakan setelah pementasan selesai.
Keberhasilan dalam pelaksanaan
metode sosiodrama dapat dicapai dengan mengajukan judul yang baik untuk
diperankan oleh siswa. Hal ini agar siswa yang terlibat dalam peran bisa
menghayati perannya dengan baik, sebelumnya guru mengemukakan garis besar dari
skenario tersebut. Kemudian memilih kelompok siswa yang akan memerankan peran,
serta mengatur situasi tempat bersama-sama dengan siswa yang terlibat peran
tersebut.
Siswa yang tidak ikut memerankan
peran diminta supaya mendengarkan dan mengikuti dengan teliti semua
pembicaraan, tindakan-tindakan serta keputusan-keputusan yang dilakukan para
pemain. Setelah pmentasan selesai, guru mengatur diskusi untuk mengaplikasikan
apa yang dilakukan oleh siswa tadi. Agar siswa memperoleh manfaat yang besar
dari metode sosiodrama ini, haruslah diupayakan agar mereka berperan secara wajar, dalam arti
tidak dibuat-buat. Oleh karena itu jalan cerita dalam aplikasi sosiodrama tidak
tertentu menjadi ikatan yang ketat bagi siswa ketika harus memerankan perannya.
Siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan penghayatan mereka pada saat
memainkan peran dan melaksanakan diskusi.
3.
Ciri-ciri
dan Tujuan Metode Sosiodrama
a.
Adapun ciri-ciri metode sosiodrama adalah
sebagai berikut :
1.
Merupakan peniruan dari situasi yang sebenarnya.
2.
Membahas masalah sosial
3.
Adanya peranan yang dimainkan oleh siswa
4.
Adanya pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan
b.
Tujuan penggunaan metode sosiodrama adalah untuk
melatih anak mendengarkan dan dapat menangkap peristiwa secara teliti. Engkoswara
mengungkapkan tujuan metode sosiodrama adalah sebagai berikut:
1)
Untuk melatih anak mendengarkan dan menangkap
cerita singkat dengan teliti.
2)
Untuk memupuk dan melatih keberanian. Pada
mulanya semua anak berani tampil kemuka kelas untuk melakukan dramatisasi
masalahsedikit 26 sekali yang mau dengan sukarela/tanpa ditunjuk tapi lambat
laun anak-anak berani sendiri.
3)
Untuk memupuk daya cipta dengan melihat cerita
tadi anak-anak menyatakan pendapat masing-masing. Hal ini sangat baik untuk
menggali kreativitas berpikir anak/siswa.
4)
Untuk belajar menghargai dan menilai orang lain
menyatakan pendapat
5)
Untuk mendalami masalah sosial (Engkoswara,
1984:20)
Prinsip-prinsip penggunaan metode
sosiodrama adalah kelas harus memperhatikan terhadap masalah yang dikemukakan.
Secara terperinci prinsip pengunaan metode sosiodrama adalah sebagai berikut :
a.
Harus diingat siswa belajar dari permainan dan
tidak dari kata-kata yang dijelaskan oleh guru.
b.
Agar perhatian siswa tetap terjaga persoalan
yang dikemukakan hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak,
baik minat maupun kemampuan siswa.
c.
Sosiodrama hendaknya dipandang sebagai alat
pelajaran dan bukan sebagai alat hiburan.
d.
Sosiodrama dilakukan oleh sekelompok siswa
e.
Siswa harus terlibat langsung sesuai peranan masing-masing
f.
Penentuan topic yang dibicarakan bersama antar
siswa dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa dan situasi tepat.
g.
Petunjuk sosiodrama dapat terlebih dahulu
disiapkan secara terperinci
h.
Dalam sosiodrama hendaknya dapat dicapai
tujusn-tujuan yang menyangkut domain kognitif (penambahan pengetahuan tentang
berbagai konsep dan pengertian)
i.
Sosiodrama dimaksud untuk melatih keterampilan
agar dapat menghadapi kenyataan dengan baik
j.
Sosiodrama harus dapat digambarkan yang lengkap
dan proses yang berturut-turut yang diperkirakan terjadi dalam situasi yang
sesungguhnya.
k.
Dalam sosiodrama hendaknya dapat diusahakan
terintegrasi beberapa ilmu, serta terjadinya berbagai proses seperti sebab
akibat, pemecahan masalah dan sebagainya.
4.
Langkah-langkah
Penggunaan Sosiodrama
Langkah-langkah
penggunaan sosiodrama:
a. Persiapan
1) Menentukan masalah pokok
a.
Persoalan pokok diambil dari situasi sosial yang
didapat dan dikenal oleh siswa.
b.
Persoalan yang dipilih hendaknya bertahap.
c.
Guru pembimbing membuat tema, dan garis besar
lakonnya yang akan diperankan.
2) Pemilihan pemeran dapat dilakukan dengan menunjuk
siswa yang kira-kira dapat mendramatisasi sesuai dengan maksud
dan tujuan pelaksanaan sosiodrama.
3) Mempersiapkan pemeran dan penonton, dengan kata
lain pemeran drama membuat perencanaan dalam pelaksanaan drama agar
berjalan dengan baik, rapih, dan terencana.
b.Pelaksanaan
Pemeran yang telah disiapkan, selama 30 menit
kemudian dipersiapkan untuk mendramatisasikan menurut pendapat dan kreasi mereka.
c. Tindak lanjut
Sosiodrama sebagai cara mengajar tidak berakhir pada
pelaksanaan dramatisasi saja, melainkan hendaknya dilanjutkan dengan sesi tanya
jawab, diskusi, kritik, dan analisa.
Keunggulan metode sosiodrama dalam proses
pembelajaran adalah sebagai berikut :
1)
Dengan teknik bermain peran siswa lebih tertarik
perhatiannya pada pelajaran karena masalah sosial dirasakan akan sangat berguna
bagi mereka.
2)
Siswa lebih mudah memahami masalah-masalah
sosial karena siswa mengalami sendiri, melalui bermain peran.
5.
Keunggulan
Metode Sosiodrama
Danny G. Langdon mengungkapkan
keunggulan metode sosiodrama adalah sebagai berikut :
a.
Memperkaya siswa dalam berbagai pengalaman
situasi sosialisasi yang bersifat problematik.
b.
Memperkaya pengetahuan dan pengalaman semua
siswa mengenai cara menghapal dan memecahkan sesuatu masalah.
c.
Dengan bermain peran siswa memperoleh kesempatan
untuk belajar mengekspresikan penghayatan mereka mengenai suatu problema
sosial.
d.
Memupuk keberanian siswa untuk tampil di depan
umum tanpa kehilangan keseimbangan pribadi.
e.
Merupakan suatu hiburan bagi siswa dengan
melakukan ataupun melihat permainan peranan.
Metode sosiodrama dalam
penelitian ini didefinisikan sebagai suatu metode mengajar dimana guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan memerankan peranan
tertentu seperti yang terdapat dalam masalah-masalah sosial, sehingga memahami
mengenai masalah-masalah sosial yang dapat melatih siswa untuk memahami cara
untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang menghambat atau yang menyebabkan
kepercayaan diri menjadi rendah. Selain itu pula dengan metode sosiodrama ini
melatih siswa dalam memahami kemampuan akan yang dimiliki.
6.
Pengertian
Sejarah
Sejarah adalah semua kejadian
atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yang disusun berdasarkan
peninggalan atau cerita pelaku sejarah, atau sumber-sumber yang dapat
dipercaya. Sumber sejarah meliputi sumber lisan, tulisan dan berbentuk benda.
Manfaat bagi kehidupan manusia,
ternyata sangat besar sekali diantaranya, menjadikan contoh untuk diteladani
atau ditiru bila sejarah tersebut baik (positif) atau sebaliknya jika contoh
sejarahnya tidak baik (negatif) maka tidak boleh diikuti.
Pada intinya sejarah merupakan
gambaran siapa diri kita sesungguhnya akan menjadi apa kita dalam perjalanan
hidup ini, bagaimana kita mentafsirkan jejak peristiwa masa lampau yang tidak
pernah kita alami.
Meskipun anak belajar sejarah
tidak dapat menerapkan pengetahuan sejarahnya secara langsung dalam mengatasi
masalah-masalah yang bersifat kompleksitas dalam kehidupan sehari-hari, akan
tetapi hal itu akan memberikan makna pemahaman, apresiasi dan pengertian
terhadap berbagai problem yang timbul di sekeliling mereka (Wiyanarti, 1999:15).
7.
Pengertian
Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita merupakan salah
satu tingkatan dari ketunagrahitaan. Anak tunagrahita sedang disebut juga
imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut
Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai
perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun.
Tunagrahita adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah
rata-rata. Dalam kepustakaan bahasa asing dikenal dengan istilah mental reterdation, mentally reterded,
mental deficiency, dan mental
defective, dan lain-lain (T. Sutjihati, 2007:102).
Istilah-istilah tersebut sering
digunakan sebagai “label” terhadap mereka yang mempunyai kesulitan dalam
memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep-konsep dan keterampilan
akademik meliputi membaca, menulis, dan menghitung angka-angka (Bandi, 2005:2).
Menurut Kaufman dan Halahan untuk
memahami anak tunagrahita ada baiknya kita telaah definisi tentang anak yang
dikembangkan oleh AAMD (America
Association of Mental Deficiency) sebagai berikut : “Keterbelakangan mental
menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai
ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan
(T. Sutjihati, 2007:104).
Ada beberapa pengukuran tes
intelegensi untuk menentukan klasifikasi ketunagrahitaan diantaranya dengan
menggunakan skala Binet dan Wechler. Di bawah ini digambarkan secara jelas
klasifikasi Tunagrahita berdasarkan ranking skor IQ.
Tabel
2.1 Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasarkan Derajat Keterbelakangannya
Tingkat
Ketidakmampuan
|
Berdasarkan
Skor IQ Binet
|
Berdasarkan
Skor IQ Wechler
|
Mild (Ringan)
Moderate (Sedang)
Severe (Berat)
Profound (Sangat Berat)
|
68-52
51-36
25-20
Kurang dari 19
|
69-55
54-40
39-25 ekstrapolated
Kurang dari 24-ektrapolated
|
(Sumber Blake dalam Sutjihati, 2007:108)
Anak tunagrahita sedang disebut
juga imbesil yaitu mereka yang memiliki IQ 51-36 menurut Skala Binet dan 54-40
menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai
perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dilatih untuk
mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily living), serta melakukan
fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.
Umumnya perkembangan pada anak
tunagrahita sedang sangat lambat, sehingga mereka dapat dikatakan memerlukan
pengawasan berkelanjutan sepanjang hidupnya serta mereka membutuhkan penanganan
dengan tepat sesuai tahap perkembangan yang telah mereka capai. Anak
tunagrahita sedang umumnya terjadi kurangnya keseimbangan dan koordinasi motorik,
pada segi emosi mereka cenderung mudah marah, mudah terpengaruh dan kurang
mempunyai dorongan. Hal-hal tersebut memiliki hubungan sebab akibat dengan
rendahnya tingkat kecerdasan yang mereka miliki, selaras dengan pendapat Efendi
(2009:96 “…..kelemahan kecerdasan
disamping berakibat pada kelemahan fungsi kognitif, juga berpengaruh pada sikap
dan keterampilan lainnya”. Karakteristik yang pada umumnya tampak pada anak
tunagrahita sedang sebagaimana digambarkan oleh Astati (2001:7)
a.
segi fisik
keadaan fisik
tunagrahita sedang tidak sebaik penyandang tunagrahita ringan. Mereka mengalami
kurang keseimbangan, kurang koordinasi gerak sehingga ada diantara mereka yang
mengalami keterbatasan dalam bergerak
b.
segi kecerdasan
kelompok ini mencapai
kecerdasan yang sama dengan anak normal yang berusia 7 atau 8 tahun
Anak tunagrahita sedang
dikategorikan sebagai anak tunagrahita mampu latih dengan ciri-ciri yang dapat
diidentifikasikan diantaranya dapat mempelajari tentang perawatan dirinya dalam
berpakaian, ke toilet, makan, membersihkan diri dan rumahnya dan keterampilan
lain yang dapat membuat mereka tidak selalu membutuhkan orang tuanya atau orang
lain bagi kelangsungan hidupnya sehari-hari. Dapat belajar dan bergaul dengan
anggota keluarganya dan tetangga dekatnya, membantu melakukan pekerjaan rutin
di sekitar lingkungan rumahnya. Pada umumnya tidak dapat diharapkan belajar
menguasai keterampilan membaca dan menulis dan berhitung secara sempurna.
Mereka mampu berbicara dengan keterampilan berbahasa yang sederhana. Namun
mereka pada dasarnya masih memerlukan perawatan, pengawasan dan dukungan
bantuan sepanjang hayatnya.
Mengacu pada keterangan di atas,
bisa disimpulkan bahwa karakteristik anak tunagrahita sedang memiliki perbedaan
dengan anak normal sehingga lemah dalam segi fisik dan motorik, kurang mampu
menarik kesimpulan dari yang dibicarakannya, sulit berpikir abstrak, cenderung
menarik diri, kurang percaya diri, dan dapat melakukan pekerjaan yang sifatnya
sederhana.
No comments:
Post a Comment