Upaya
untuk mencapai tujuan pembelajaran khususnya matematika antara lain agar siswa
mampu menghadapi perubahan keadaan
didunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas
dasar pemikiran secara logis, cermat, rasional, dan efektif. Tuntutan ini tidak
mungkin bisa dicapai hanya melalui hafalan, latihan pengerjaan soal yang
bersifat rutin, serta proses pembelajaran biasa. Maka perlu dikembangkan proses
pembelajaran yang sesuai.
Pembelajaran matematika sebenarnya sangat ditantukan oleh
strategi yang diterapkan oleh guru. Cara mengajar guru sangat mempengaruhi
minat peserta didik terhadap matematika. Mengajar matematika merupakan suatu
kegiatan guru agar siswa belajar untuk menempatkan matematika, yaitu kemampuan,
ketrampilan dan sikap tentang matematika.[1]
Kemampuan, ketrampilan dan sikap disini harus sesuai dengan tujuan belajar
serta disesuaikan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa agar terjadi
interaksi antara guru dan siswa. Interaksi akan terjadi bila menggunakan cara –
cara yang sesuai dan biasa disebut dengan metode mengajar matematika.[2] Dengan metode belajar yang tepat, siswa akan
lebih mudah menguasai ilmu yang diberikan dan belajar lebih efektif, efisien
serta memiliki kompetensi yang diharapkan.
Siswa
yang memiliki kompetensi berarti siswa telah memahami, memknai dan memanfaatkan
materi pelajaran yang telah dipelajari.[3]
Perubahan diatas merupakan suatu perubahan yangt bersifat internal pada siswa.
Selain perubahan diatas nantinya diharapkan juga terjadi perubahan yang
bersifat eksternal juga seperti ketrampilan motorik dan berbicara dalam bahasa
terhadap siswa. Para psikologi kognitif menitik beratkan perubahan– perubahan
semacam ini yang memungkinkan perubahan dalam berperilaku yang diamati.[4]
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kompetensi belajar pada siswa perlu suatu
metode pembelajaran yang masuk bagian dalam NCTM yaitu problem solving.
Problem
Solving atau belajar memecahkan masalah merupakan suatu pembelajaran yang
termasuk bagian dari konstruktivisme yang menekankan siswa belajar merumuskan
dan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap rangsangan yang
menggambarkan situasi problematik, mempergunakan berbagai kaidah yang telah
dikuasainya.[5]
Melalui kegiatan ini aspek–aspek kemampuan dalam matematika penting seperti
penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian,
komunikasi matematika dan lain–lainnya dalam pembelajaran dapat dikembangkan
secara lebih baik.
Menurut
rekomendasi dari NCTM, bahwa pemecahan masalah seharusnya menjadi fokus pada
pelajaran matematika dan menjadi fokus utama dari kurikulum matematika.[6]
Blitter dan Capper menambahkan dalam penelitiannya bahwa pemecahan masalah
harus digunakan untuk memperdalam, memperkaya, dan memperluas kemampuan siswa
dalam belajar matematika.[7]
Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan
masalah. Kritis untuk menganalisis masalah, dan kreatif untuk menciptakan cara
dalam pemecahan masalah. Karena jenis berpikir itu merupakan rasa
keingintahuan yang ada pada anak sejak
lahir. Maka pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah.[8]
Dalam
hasil rekomendasi NCTM, mereka menyarankan bahwa perhatian utama harus
diberikan pada:
1. Keikutsertaan siswa
secara aktif dalam mengkonstruksikan dan mengaplikasikan ide–ide dalam
matematika
2. Pemecahan
masalah sebagai alat dan juga tujuan pengajaran
3. Penggunaan
bermacam–macam bentuk pengajaran seperti kelompok kecil, penyelidikan individu, pengajaran oleh teman
sebaya, diskusi seluruh kelas, dan sebagainya.[9]
Salah
satu rekomendasi di atas adalah para guru mengembangkan bermacam–macam strategi
pemecahan masalah dalam pengajaran dengan fokus pada permasalahan yang tidak
bisa dijumpai. Strategi pemecahan masalah ini dapat menjadi perubahan pada
siswa dalam proses belajarnya. Oleh karena itu siswa perlu memecahkan banyak
masalah agar merasa senang terhadap proses belajarnya nanti. Dan seorang guru
disini sangat dibutuhkan dalam peran seorang pembimbing dengan memberikan
pengalamannya dalam memecahkan masalah.
Didalam
memecahkan masalah tentu ada masalah yang akan diselesaikan. Untuk
menyelesaikan orang harus mengerti apa yang dipermasalahkan dalam masalah
tersebut. Polya memberikan solusi dalam pemecahan masalah memuat empat langkah
fase penyelesaian, yaitu :
a. Memahami masalah. Tanpa adanya pemahaman
terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak akan mampu menyelesaikan masalah
tersebut dengan benar
b. Merencanakan penyelesaian. Dalam fase ini
untuk melakukannya tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan
masalah. Semakin bervariasi pengalamannya maka siswa lebih kreatif dalam
menyusun rencana penyelesaian masalah
c. Menyelesaikan
masalah sesuai dengan rencana. Setelah rencana penyelesaian suatu masalah telah
dibuat, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang
dianggap tepat
d.
Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.[10]
Dengan
melakukan cara yang diberikan polya, maka berbagai kesalahan yang tidak perlu
dapat terkoreksi kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar
sesuai denga masalah yang diberikan. Hasil–hasil penelitian menunjukkan bahwa
keberhasilan pembelajaran pemecahan masalah dapat dicapai dengan beberapa cara,
antara lain :
1.
Mengajarkan bermacam–macam strategi pemecahan masalah
2.
Pemberian latihan pemecahan masalah beserta buktinya
3. Mengubah peran guru dari sekedar berceramah
menyampaikan materi, menjadi fasilitator dan pengarah belajar siswa.[11]
Dari hasil penemuan dan
rekomendasi dari NCTM bahwa mengajar matematika yang mencerminkan proses pemecahan
masalah merupakan terbaik dari mengajar matematika sesuai dengan model NCTM.
[3]
Suherman, “Model
Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kemampuan Siswa” dalam
www.edukare.e-fkipunia.net, 9 Maret 2011
No comments:
Post a Comment