Monday, May 18, 2020

Hakikat Anak Menurut Teori Belajar Konstruktivisme


A.  Pengertian Konstruktivisme
Awal mula konstruktivisme berasal dari seorang Epistomolog dari Italia yang bernama Giambatissta Vico. Pada tahun 1710, Vico dala De Antiquissimo Italorum Saprentia, mengungkapkan filsafatnya bahwa, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan“. Dia menjelaskan bahwa, “mengetahui  berarti  mengetahui bagaimana   membuat sesuatu” hal ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun itu.[1] Sehingga orang dapat mengerti secara maksimal apa yang diketahui dalam belajarnya.
Lebih lanjut lagi dalam paham kontruktivisme para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang berada dalam diri mereka. Teori belajar konstruktivisme memandang anak sebagai mahluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan. Dan guru dipandang sebagai fasilitator dalam proses pembelajarannya.

B.  Hakikat Anak Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.[1]
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi.[2] Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.[3] Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.[4] Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa:
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.[5]
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1.    Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
2.    Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
3.    Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
4.    Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
5.    Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.[6]
Di dalam belajar bukanlah suatu proses pengepakan pengetahuan secara hati-hati melainkan tentang mengorganisasi aktivitas dan berfikir secara konseptual, jadi belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hierarkis.[7]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembangan mental mengemukakan:
1)   Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama.
2)   Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
3)    Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).[8]
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang”.[9]Dalam penjelasan lain Tanjung mengatakan bahwainti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.[10]
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.[11] Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.


              [1]Ruseffendi, Pengantar Kepada..., hal. 132
              [2]Piaget sebagaimana dikutip R.W. Dahar, Teori-teori Belajar. (Jakarta: Erlangga, 1989), hal. 159
              [3]Ruseffendi, Pengantar Kepada..., hal. 133
                [4]Suparno, Filsafat Kontruktivisme..., hal. 7
              [5]Piaget sebagaimana dikutip A. Poedjiadi, Pengantar  Filsafat Ilmu Bagi Pendidik. (Bandung: Yayasan Cendrawasih, 1999), hal. 61
              [6]Driver dan Bell sebagaimana dikutip C. Susan, L. Marilyn dan T. Tony, Learning to Teach in the Secondary  School. (London: Routledge, 1995), hal. 222
              [7]H. Hudoyo, Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Kontruktivistik, (Malang: Makalah Tidak Diterbitkan, 1998), hal. 5
               [8]Piaget sebagaimana dikutip Ruseffendi, Pengantar Kepada..., hal. 133
               [9]Vigotsky sebagaimana dikutip Poedjiadi, Pengantar Filsafat..., hal. 62
               [10]R.M. Tanjung, Efektifitas Pembelajaran Biologi  yang Berdasarkan pada Prinsip Belajar Konstruktis, (PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan, 1998), hal. 7
              [11]Poedjiadi, Pengantar Filsafat..., hal. 63



              [1]Vico dala De antiquissimo Italorum saprentia sebagaimana dikutip Suparno, Filsafat Konstuktivisme dalam Pendidikan. (Yogyakarta: Kanisius, 1997),  hal. 24 

No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive