A. Pengertian Konstruktivisme
Awal mula konstruktivisme berasal dari seorang
Epistomolog dari Italia yang bernama Giambatissta Vico. Pada tahun 1710, Vico
dala De Antiquissimo Italorum Saprentia, mengungkapkan filsafatnya bahwa,
“Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan“. Dia
menjelaskan bahwa, “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu” hal ini berarti bahwa
seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa
yang membangun itu.[1]
Sehingga orang dapat mengerti secara maksimal apa yang diketahui dalam
belajarnya.
Lebih
lanjut lagi dalam paham kontruktivisme para siswa diberdayakan oleh
pengetahuannya yang berada dalam diri mereka. Teori belajar konstruktivisme memandang anak sebagai mahluk
yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungan. Dan guru dipandang sebagai fasilitator dalam proses pembelajarannya.
B. Hakikat Anak Menurut Teori Belajar
Konstruktivisme
Salah satu
teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan.[1]
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa “ pengetahuan tersebut dibangun dalam
pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi”.[2]
Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi
adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga
informasi tersebut mempunyai tempat.[3] Pengertian tentang akomodasi yang
lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok
dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu.[4]
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa:
pengetahuan tidak diperoleh secara
pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif
anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan.[5]
Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu
cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan
kematangan intelektual anak. Berkaitan
dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver
dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1.
Siswa tidak dipandang sebagai
sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
2.
Belajar mempertimbangkan seoptimal
mungkin proses keterlibatan siswa.
3.
Pengetahuan bukan sesuatu yang
datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
4.
Pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
5.
Kurikulum bukanlah sekedar
dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.[6]
Di dalam belajar bukanlah suatu proses pengepakan
pengetahuan secara hati-hati melainkan tentang mengorganisasi aktivitas dan
berfikir secara konseptual, jadi belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata
sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar
tersusun secara hierarkis.[7]
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berikut adalah tiga dalil pokok
Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan
kognitif atau biasa juga disebut
tahap perkembangan
mental mengemukakan:
1)
Perkembangan intelektual terjadi
melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan
yang sama.
2)
Tahap-tahap tersebut didefinisikan
sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan
adanya tingkah laku intelektual.
3)
Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi
oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang
interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul
(akomodasi).[8]
Berbeda
dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah “bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan
lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang”.[9]Dalam penjelasan lain Tanjung mengatakan bahwa “inti konstruktivis Vigotsky adalah
interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan
sosial dalam belajar”.[10]
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah
sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme
adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan
selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.[11]
Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat
situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta
didik.
No comments:
Post a Comment