Pada
hakekatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan
suasana atau memberikan pelayanan agar para siswa dapat belajar dengan baik.
Sebagai guru hendaknya berusaha untuk mengetahui dan memanfaatkan pengetahuan
yang telah ada dalam pikiran siswa supaya guru dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan
menyenangkan dan juga mengembangkan daya pikir siswa. Menurut Novak dan Simon, “salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi belajar anak
adalah apa yang telah diketahui dan dialami”.[1] Oleh sebab itu, guru harus dapat menentukan
strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa.
Pengaruh belajar
diatas akan menentukan perubahan anak untuk mengembangkan potensinya, daya
pikir dan tujuan serta tingkah laku pada kehidupannya. Menurut pengertian
secara psikologi, belajar adalah proses perubahan tingkah laku siswa melalui
berbagai pengalaman yang diperolehnya dari transaksi dengan lingkungannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.[2]
Perubahan tingkah laku tersebut memilki ciri-ciri khusus, yaitu:
1.
Perubahan terjadinya secara sadar
2.
Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
3.
Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
4.
Perubahan dalam belajar bersifat bukan sementara
5.
Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah
6.
Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.[3]
Menyelenggarakan
proses pembelajaran yang lebih baik dan sesuai apa yang diharapkan bagi peserta
didik merupakan
suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi, karena guru sebagai pendidik
mempunyai tugas untuk mencerdaskan bangsa sesuai denga pembukaan UUD 1945. Oleh
karena itu, diperlukan seorang tenaga pengajar profesional yang dapat berperan
sebagai pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya belajar.[4]
Sehingga guru yang profesional
menjadikan pembelajaran bermutu dan dapat mengolah pembelajaran secara kreatif dan menyenangkan. Pada
proses belajar mengajar, perubahan yang diperoleh meliputi perubahan
keseluruhan tingkah laku. Pola tingkah laku tersebut dijadikan sebagai suatu
modal yang menjadi prinsip–prinsip belajar. Dan setiap guru harus dapat
menyusun sendiri prinsip–prinsip belajar yang dapat dilaksanakan dari situasi
dan kondisi yang berbeda. Dan juga dapat dilaksanakan oleh setiap siswa secara
individual.
Ahli psikologi
behavior memandang bahwa proses belajar terjadi melalui ikatan Stimulus–Respon.[5]
Dan ahli psikologi konstruktivisme berpendapat bahwa proses perolehan
pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah
dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga
pengetahuan yang baru dapat diatasi.[6]
1.
Pembelajaran Matematika Beracuan Behavioristik
Dalam
proses belajar, perubahan–perubahan tingkah laku yang terlihat tidak terjadi
secara cepat atau instan. Pada kalangan penganut behaviorisme, kebanyakan
menggunakan peranan faktor penguat
(reinforcement) dalam proses belajar.[7]
Tetapi penguat ini bukan faktor yang harus ada dalam pembelajaran.
Proses pembelajaran
menurut behaviorisme, guru lebih banyak menggunakan metode secara ceramah dan
ekspositori.[8]
Guru merupakan pusat dalam proses belajar. Komunikasi antara guru dan pelajar
berlangsung searah. Selain itu, guru melatih dan menentukan apa yang harus
dipelajari oleh siswa. Di sini
cara belajar siswa yang paling efektif adalah siswa mendengarkan dengan tertib
apa yang dijelaskan guru dan menghafal
apa yang didengar. Siswa dipandang pasif, perlu motivasi secara eksternal dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.[9]
Guru
yang mengikuti paham ini mendominasi proses pembelajaran melalui belajar
menghafal.[10]
Di sini penggunaan buku ajar sebagai
panduan yang harus diikuti para siswa sesuai alur buku per halaman. Guru memulai dari pemberian
konsep, kemudian mendemonstrasikan ketrampilan dalam menerapkan materi. Dan
sebagai konsekuensinya, guru–guru matematika yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan menyusun dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara sempurna oleh guru. Pada hakekatnya matematika tersusun
secara hirarkis (terstruktur),
bahkan penyusunannya dari yang sederhana
sampai pada yang kompleks.[11]
Sistem klarifikasi ini dimaksudkan untuk mengkatagorikan hasil perubahan pada
siswa sebagai hasil sebuah pembelajaran.
Pembelajaran yang berorientasi pada hasil akan dapat
diukur dan diamati. Karena behavioristik menekankan tingkah laku yang dapat
diukur dan diamati maka
memiliki ciri-ciri khusus, yaitu:
a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian–bagian
b. Menekankan peranan lingkungan
c. Menekankan pentingnya latihan
d. Bersifat mekanistis
e. Mementingkan pembentukan reaksi dan
respon.[12]
Menurut Thorndike, “dalam paham behaviorisme bahwa belajar
akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti
dengan rasa senang atau kepuasan”.[13]
Rasa senang atau kepuasan bisa didapat siswa dari pujian atau ganjaran lainnya.
Stimulus ini termasuk penguat yang diberikan guru terhadap siswa dalam
pembelajaran.
Berdasarkan pandangan
behaviorisme di atas,
bahwa pengetahuan seseorang diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang
menyatu antara stimulus dan respon. Semakin sering suatu konsep matematika
diulang maka semakin kuat konsep tertanam dalam ingatan anak.
2.
Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
Salah satu faktor
penting yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang telah diketahui
dan dialaminya. Guru hendaknya berusaha untuk mengetahui dan memanfaatkan
pengetahuan awal yang telah ada dalam pikiran siswa sebelum mereka mempelajari
suatu konsep atau pengalaman baru. Untuk memahami matematika, orang sendirilah
yang menciptakan matematika. Seseorang menciptakan dalam pikirannya semua
unsur dan aturan secara lengkap. Menurut
Vico, matematika di sini merupakan “cabang pengetahuan paling tinggi”.[14] Hal ini sesuai dengan pandangan
konstruktivisme yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sendiri pengetahuannya secara aktif
dengan memperlihatkan pengetahuan awal siswa.[15]
Menurut
pandangan konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat ditransfer tetapi harus dibangun sendiri oleh siswa dalam
pemikirannya.[16] Pengetahuan itu dibangun secara aktif oleh
individu siswa melalui proses yang berkembang secara terus menerus. Piaget
memberikan gambaran tentang pengetahuan seperti, “menuangkan air dalam bejana”.[17]
Selain itu Piaget mengungkapkan bahwa “pengetahuan
manusia pada dasarnya adalah aktif”.[18]
Pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari siswa. Dengan
kegiatan siswa yang aktif, siswa dapat menyerap dalam memahami konsep pengetahuan
yang telah dibangun.
Menurut Piaget, “pikiran manusia mempunyai struktur yang
disebut schemata atau kesimpulan yang
digunakan untuk mengadaptasi dan mengkoordinasi informasi baru melalui proses
asimilasi dan akomodasi”.[19]
Asimilasi adalah proses kognitif yang diintegrasikan persepsi, konsep, ataupun
pengalaman baru ke dalam
pola yang ada di dalam
pikiran siswa. Sedangkan akomodasi merupakan proses merubah konsep lama karena
adanya informasi baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada
konsep tersebut. Contoh, pada murid memiliki pengetahuan pada konsep segitiga,
kemudian diberikan konsep persegi panjang. Karena konsep persegi panjang belum
cocok dengan konsep segitiga, maka konsep ini dikontruksi sehingga dapat bersesuaian dengan
konsep persegi panjang.
Berdasarkan perspektif para ahli konstruktivis, belajar matematika
merupakan pengorganisiran aktivitas, di
mana kegiatan belajar diinterpretasikan secara luas termasuk
aktivitas dan berpikir konseptual.[20]
Siswa dalam belajarnya bukan meniru saja
dari guru. Aktifitas dan pembicaraan matematika siswa merupakan sumber yang
kuat dan petunjuk untuk mengajar bagi guru di
mana pertumbuhan pengetahuan siswa dapat dapat
dilihat dan dievaluasi. Pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu
siklus melingkar yang dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan
obyektif melalui suatu publikasi.[21]
Pengetahuan obyektif matematika dikonstruksi oleh siswa selama proses belajar
berlangsung.
[5]Rusdi
A. Siraj, “Cara
Seseorang Memperoleh Pengetahuan dan Aplikasinya Pada Pembelajaran Matematika”,
dalam www.mathematicse-word
press.com diakses
6
Maret 2011
No comments:
Post a Comment