Wednesday, September 21, 2022

Makalah Tentang Trauma

 

Trauma

 

1. Pengertian

            Trauma adalah hal sering dikaitkan dengan tekanan emosional dan psikologis yang besar, biasanya karena kejadian yang sangat disayangkan atau pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan. Namun, dalam konteks ini, yang dimaksud dengan “trauma” adalah trauma sebagai penyakit atau trauma pada fisik seseorang. Dalam istilah kesehatan, “trauma” adalah cedera yang parah dan sering membahayakan jiwa yang terjadi ketika seluruh atau suatu bagian tubuh terkena pukulan benda tumpul atau tiba-tiba terbentur. Jenis cedera yang seperti ini berbahaya karena tubuh dapat mengalami shock sistemik, dan organ vital dapat berhenti bekerja secara cepat. Oleh karena itu, penolongan secara medis tidak hanya dibutuhkan, namun juga harus cepat diberikan agar dapat meningkatkan kemungkinan pasien selamat dari trauma.

            Trauma memiliki banyak jenis, yang dibedakan berdasarkan bagian tubuh yang mengalami trauma dan seberapa parah trauma yang dialami. Beberapa jenis cedera yang paling sering diderita adalah cedera pada otak, tulang belakang, perut, dan dada. Jenis cedera ini juga dapat dikategorikan sebagai cedera tertutup atau tembus. Cedera dianggap tertutup ketika trauma terjadi di dalam tubuh. Contohnya, cedera otak traumatis dapat terjadi karena trauma akibat benda tumpul pada kepala. Sementara itu, cedera dianggap menembus dalam kasus seperti luka akibat tusukan pisau atau gunting. Patah tulang dan luka bakar juga merupakan cedera traumatis, sama halnya dengan memar, terutama ketika terjadi pada organ vital seperti jantung.

 

2. Gejala, Penyebab dan Cara Mengobati Trauma

 

a) Gejala Trauma

Berikut beberapa reaksi atau gejala yang muncul pada anak usia 0-6 tahun yang terkena stres traumatik. :

Anak usia 0-2 tahun

·         Menyendiri

·         Menuntut perhatian melalui perilaku yang positif maupun negatif

·         Perkembangan kemampuan berbahasa/lisan yang minim

·         Emosi yang berlebihan

·         Perilaku agresif

·         Masalah memori

·         Pengalaman mimpi buruk, kesulitan tidur atau memiliki kebiasaan tidur yang buruk

·         Memiliki nafsu makan yang buruk, sehingga sikecil memiliki berat badan rendah atau bermasalah dengan berat badan

·         Mempunyai masalah dengan pencernaan

·         Sering menjerit atau menangis secara berlebihan

·         Lebih mudah marah, sedih dan cemas

Anak usia 3-6 tahun

·         Menyendiri

·         Berbuat diluar kontrol

·         Sering marah yang berlebihan

·         Menuntut perhatian melalui perilaku positif dan negatif

·         Merasa cemas, takut dan menghindar

·         Tidak dapat mempercayai orang lain atau teman-temannya

·         Kasar secara verbal

·         Perilaku agresif

·         Pengalaman mimpi buruk, kesulitan tidur, atau memiliki kebiasaan tidur yang buruk

·         Mempunyai pengalaman sakit kepala dan sakit perut

·         Takut pada orang yang mengingatkan tentang trauma tersebut

·         Ketakutan jika terpisah dari orangtua atau pengasuh

·         Kesulitan fokus dan belajar di sekolah

·         Meniru perbuatan kasar akibat dari traumatik

 

b) Penyebab Trauma

 

Penyebab dari trauma meliputi 2 faktor yaitu:

1.Faktor internal (psikologis)

            Bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental, atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan bereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari satu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental. Merupakan totalitas kesatuan ekspresi proses kejiwaan/mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan factor faktor kausatif sekunder lainnya (patalogi = ilmu penyakit ).

Secara sederhana, Trauma dapat dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan akiba ketidak mampuan seseorang mengatasi persoalan hidup yang harus dijalaninya, sehingga yang bersangkuan bertingkah secara kurang wajar.

 

Sebab-sebab timbulnya Trauma yaitu :

• Kepribadian yang lemah atau kurang percaya diri sehingga menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri, ( orang-orang melankolis)

• Terjadinya konflik sosial – budaya akibat dari adanya norma yang berbeda antara dirinya dengan lingkungan masyarakat.

• Pemahaman yang salah sehingga memberikan reaksi berlebihan terhadap kehidupan sosial (overacting) dan juga sebaliknya terlalu rendah diri (underacting).

 

Proses – proses yang diambil oleh sesorang dalam menghadapii kekalutan mental, sehingga mendorongnya kearah :

• Positif, bila trauma (luka jiwa) yang dialami seseorang, akan disikapi untuk mengambil hikmah dari kesulitan yang dihadapinya, setelah mencari jalan keluar maksimal, tetapi belum mendapatkannya tetapi dikembalikan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT, dan bertekad untuk tidak terulang kembali dilain waktu.

• Negatif, bila trauma yang dialami tidak dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan mengalami frustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang dicita-citakan. Contohnya :

1.      Agresi, yaitu : Meluapkan rasa emosi yang tidak terkendali dan cenderung melakukan tindakan sadis yang dapat mambahayakan orang lain.

2.      Regresi, yaitu : Pola reaksi yang primitif atau kekanak-kanakan. (menjerit, menangis dll)

3.      Fiksasi, yaitu : Pembatasan pada satu pola yang sama (membisu, memukul dada sendiri dll)

4.      Proyeksi, yaitu : Melemparkan atau memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada orang lain.

5.      Indentifikasi, yaitu : Menyamakan diri dengan sesorang yang sukses dalam imajinasi, (kecantikan, dengan bintang film .dll)

6.      Narsisme, self love yaitu : Merasa dirinya lebih dari orang lain.

7.      Autisme yaitu : Menutup diri dari dunia luar dan tidak puas dengan pantasinya sendiri.

Penderita Trauma lebih banyak terdapat dalam lingkungan ;

-          Kota- kota besar yang banyak memberikan tantangan hidup yang berat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

-          Anak-anak usia muda tidak berhasil dalam mencapai apa yang dikehendakinya. Para korban bencana alam dan di tempat-tempat konflik, karena setres terhadap harta bendanya yang hilang.

 

2.Faktor eksternal (fisik)

• Faktor orang tua dalam bersosialisasi dalam kehidupan keluarga, terjadinya penganiyayaan yang menjadikan luka atau trauma fisik.

• Kejahatan atau perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang mengakibat kan trauma Fisik dalam bentuk luka pada badan dan organ pada tubuh korban.

 

c) Cara Mengobati Trauma

            Salah satu penanganan trauma yaitu dengan konseling trauma. Konseling trauma merupakan kebutuhan mendesak untuk membantu mengatasi beban psikologis yang diderita akibat bencana mapun hal yang linnya. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kestabilan emosi para korban. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah dalam menghadapi petaka, bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stres berat yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka lupa ingatan atau gila.

            Konseling trauma dapat membantu menata kestabilan emosinya sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konseling trauma juga sangat bermanfaat untuk membantu penderita trauma untuk lebih mampu mengelola emosinya secara benar dan berpikir realistik.

            Dengan modal emosi yang stabil dan keterampilan mengelola kehidupan emosionalnya, maka konseling trauma dapat dilanjutkan untuk membantu para korban untuk menemukan kembali rasa percaya diri yang sempat terkoyak tak berdaya dirampas bencana. Tidak mudah bagi setiap orang untuk bisa menerima kenyataan kehilangan istri, anak, atau pun suami. Bahkan ketika perasaan kehilangan yang amat dalam itu muncul, seseorang akan merasa hidupnya tidak berarti lagi. Keadaan inilah yang memicu munculnya kondisi putus asa (hopeless) dan tak berarti (meaningless) (Fromm, 1999). Hidup tanpa arti dan tanpa harapan akan sulit. Membangun rasa percaya diri ditopang kestabilan emosional menjadi awal untuk berkembangnya kemampuan berpikir rasional dan realistik. Kestabilan emosional dan kemampuan berpikir rasional dan realistik merupakan dua tonggak utama yang sangat menentukan pikologi seseorang.

            Semangat hidup menjadi modal utama bagi para korban untuk sanggup bertahan dan menatap masa depan dari balik kehancuran hidup dan kesendirian. Dengan semangat hidup yang kuat, para penderita akan terbebas dari belenggu keputusasaan dan ketidakberdayaan. Konseling trauma juga sangat bermanfaat dalam membantu para korban untuk mampu memecahkan masalah secara kreatif melalui hubungan timbal balik dan dukungan lingkungan.

            Dalam penyembuhan trauma,juga terdapat tahap demi tahap dalam penyembuhan trauma, antara lain :

 

PERATURAN DASAR

1.      Kerahasiaan mutlak (tentang perasaan, pengakuan rasa bersalah, dll.).

2.      Kehadiran dibatasi hanya untuk orang-orang yang terlibat dan teampewawancara (dan orang tua yang ditinggalkan).

3.      Aktif mendengarkan (meminta umpan balik, minta lebih banyak informasi[jangan pernah menanyakan pertanyaan tertutup yang hanya dijawab dengan ya atau tidak), beri umpan balik tentang apa yang saudara pikirkan mengenai apa yang mereka katakan).

4.      Setiap orang dalam kelompok yang terlibat dalam peristiwa tersebut, berbicara untuk diri mereka sendiri saja – jangan ijinkan orang lain mengatakan apa perasaan dari orang lain, menanggapi, atau apa yang mereka rasakan sekarang.

5.      Jangan mengkritik perasaan atau reaksi orang lain.

6.      Bersikap positif, mendukung, suasana pengertian, didasari pada keprihatinan


Dibawah ini adalah tahap-tahap dari pewawancaraan kembali:

 

TAHAP PERTAMA: TAHAP PENGENALAN

            Tujuan dari pewawancaraan kembali harus dijelaskan, demikian juga dengan pentingnya kerahasiaan. Bagikan peraturan dasar dari pertemuan itu – Ceritakan dan jelaskan bahwa, peraturan-peraturan dasar ini dirancang untuk membantu perkembangan rasa aman dan rasa percaya. Pastikan bahwa, ruangan itu sendiri bisa meningkatkan rasa percaya diri dan sikap moral yang baik. Pastikan bahwa, pada tahap ini orang-orang yang tepat berada dalam ruangan – jangan ijinkan siapapun yang tidak terlibat secara langsung dalam krisis / apa yang terjadi berada dalam ruangan (kecuali orang yang melakukan pewawancaraan kembali). Kita perlu menjadikan pewawancaraan kembali itu sebagai keharusan bagi mereka yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa kritis. Beberapa orang tidak akan suka berada disitu – beritahukan ini sejak awal – teknik yang efektif adalah dengan memberitahukan bahwa, mereka mungkin tidak perlu berada di ruangan itu, tetapi sangat mungkin akan menolong mereka jika ada orang lain yang juga berada dalam ruangan itu.

 

 

 

TAHAP KEDUA : TAHAP FAKTA

            Orang yang diwawancarai kembali berbicara tentang apa yang terjadi – fakta-fakta mengenai kejadian tersebut. Biasanya cukup mudah untuk mengatakan apa yang terjadi (fakta-fakta dan detail-detail ), tetapi membagikan perasaan kita tentang apa yang terjadi, itu lebih sulit. Biarkan orang itu menggambarkan fakta-fakta mengenai diri mereka dan kejadian tersebut:

1.      Dimana mereka berada

2.      Apa yang mereka lihat, dengar, dan cium.

3.      Apa yang mereka lakukan di dalam dan disekitar kejadian tersebut.

Jika situasinya telah menjadi sangat menyakitkan maka akan tidak nyaman untuk menceritakan fakta-fakta, tapi keuntungan besarnya adalah jika suatu hal telah diceritakan secara terbuka maka orang yang menceritakan hal itu akan merasa ada kuasa yang memampukan dia mengatasi situasi tersebut dan tidak akan dikalahkan oleh hal itu. Memori-memori yang menekan menuntun pada pengembangan sejumlah perasaan-perasaan menyakitkan secara berkesinambungan yang tidak penting bahkan merusak. Pada tahap ini kelompok mengkontribusikan semua fakta-fakta yang diperlukan untuk membuat kejadian tersebut menjadi nyata kembali di dalam ruangan.

 

TAHAP KETIGA: TAHAP PEMIKIRAN

            Orang tersebut diminta mendiskusikan pemikiran pertamanya selama peristiwa tersebut. Atau pemikiran pertama ketika mereka berhenti memikirkan secara otomatis. Ini menolong untuk masuk ke dalam aspek-aspek pribadi dari situasi tersebut. Pemikiran pribadi seringkali tersembunyi dibalik fakta-fakta dan membawa mereka keluar kepada penegasan terbuka kepada pewawancara yang pemikirannya sendiri penting dan tidak boleh dilupakan atau dikuburkan dibawah fakta-fakta dari situsi itu. Contohnya, pemikiran pertama yang mereka ingat ialah “Saya akan mati. Apa yang akan terjadi dengan isteri dan anak saya?”

 

 

TAHAP KEEMPAT: TAHAP REAKSI / EMOSIONAL / PERASAAN

            Hal ini menolong orang itu berpindah dari tingkat kognitif kepada tingkat emosi dari proses ini. Tingkat kognitif adalah apa yang kita pikirkan dan tingkat emosional ialah apa yang kita rasakan. Orang yang mengabaikan tingkat emosional seringkali berakhir pada menderita penyakit-penyakit yang berhubungan dengan stress. Pertanyaan khas yang menggerakkan orang dari tingkat kognitif ke tingkat emosional dari proses adalah: “Hal terburuk apa yang terjadi dari peristiwa itu?” atau "Apa hal yang paling Anda ingat dari peristiwa itu?" Mengejutkan sekali mendapati pernyataan-pernyataan rumit yang keluar karena dipicu oleh pertanyaan ini. Hal ini menolong orang menyadari bahwa, adalah wajar untuk memiliki perasaan, selain pemikiran, mengenai pengalaman tertentu. Tahap ini merupakan tahap penyebaran. Pada posisi ini mereka mungkin akan berbicara tentang perasaan takut, rasa bersalah, sikap kaku ataupun kemarahan. Mereka dapat juga melaporkan tentang ingatan-ingatan tertentu seperti “Saya ingat bunyi suara senapan yang dikokang”. "Saya ingat tatapan matanya dan ketika saya tutup mata, saya tetap dapat melihat dia menatapku, dan berteriak meminta pertolongan."
Pertanyaan-pertanyaan yang Anda perlu tanyakan pada tahap ini adalah:

1.      “Bagaimana perasaanmu sekarang?”

2.      “Bagaimana perasaanmu pada waktu hal itu terjadi?”

3.      “Pernahkah Anda merasakan hal seperti ini sebelumnya?”

Pastikan tidak seorangpun yang mendominasi, tidak ada yang diabaikan, dan tidak ada yang meninggalkan ruangan. Kemungkinan di tahap inilah seseorang ingin pergi, karena mereka takut pada emosi mereka sendiri, sangat menginginkan mengontrol emosi mereka dengan segala cara, dan mereka pikir satu-satunya cara untuk mengontrol emosi mereka hanya dengan pergi.

 

TAHAP KELIMA: TAHAP GEJALA DAN HASIL-HASIL

            Tanda-tanda dan gejala-gejala kognitif, fisik, emosional dan tingkah laku apakah yang diakibatkan oleh penderitaan yang dulu telah dialami dan terus dialami hingga kini? Mencakup tiga periode waktu: selama peristiwa terjadi, setelah peristiwa terjadi dan keadaan sekarang ini. Tanyakan mereka untuk membicarakan dampakdampak dari stress seperti; sulit tidur, nafsu makan yang rendah, ketidakmampuan untuk kembali bekerja, perasaan muak, rasa bersalah, tidak dapat berdoa, dll. Tolong mereka untuk melihat bahwa gejala-gejala mereka itu normal, wajar dalam menanggapi tekanan, bahkan bersifat universal. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa Anda tanyakan selama tahap ini:

1.      “Apakah Anda mengalami hal-hal yang tidak biasa pada saat mengalami insiden itu?”

2.      “Apa hal-hal yang tidak biasa yang Anda alami sekarang?”

3.      “Apakah kehidupan Anda berubah sejak kejadian tersebut? Berubah bagaimana?”

Pada tahap ini, orang-orang sering menggambarkan “gejala menanggapi tekanan” yang normal.

TAHAP KEENAM: TAHAP PENGAJARAN ATAU PENJAMINAN KEMBALI

            Pada waktu tanda-tanda kesusahan telah didiskusikan, maka sekarang sang pewawancara mulai memberi informasi mengenai reaksi-reaksi stress dan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi hal itu. Katakan pada mereka bahwa, hal tersebut adalah normal – dukungan, pengertian, penjaminan kembali mengenai tanggapan-tanggapan yang wajar. Titik permulaan yang baik adalah mengatakan kepada orang yang diwawancarai bahwa, gejala-gejala yang dialami adalah normal dan umumnya akan berkurang seiring berjalannya waktu. Pengajaran khusus mengenai reaksi-reaksi terhadap stress dan teknik-teknik untuk mengurangi dan menanggulangi stress perlu diberikan. Pertanyaan-pertanyaan adalah informasi pengundang yang berhubungan dengan proses dukacita atau hal-hal spesifik yang sewajarnya diberikan. Selebaran seringkali dipergunakan pada tahap ini. Berilah masukan-masukan tentang hal-hal yang dapat menolong, cara-cara untuk memelihara diri Anda sendiri

 

TAHAP KE TUJUH: TAHAP RANGKUMAN DAN RE-ENTRY

            Ini adalah tahap rangkuman – ringkasan pertemuan dan menjawab semua pertanyaan. Mengenali hal-hal spesifik berkenaan dengan jaminan akan tindak lanjut. Mengembangkan perencanaan tindakan mengenai bagaimana orang tersebut atau kelompok tersebut akan berkembang kedepan. Tawarkan lebih banyak bantuan kepada individu-individu jika mereka ingin berbicara lagi sekarang atau besok atau minggu depan. Undang mereka untuk berbicara dan yakinkan mereka yang akan berbicara tersebut. Selalu mendoakan dan melayani orang yang diwawancarai itu sebelum dia pulang. Kita bisa berbicara panjang lebar, tapi pada akhirnya hanya Allah yang akan membawa pemecahan, pemulihan, kesembuhan dan pertumbuhan. Janji untuk bertemu kembali dibuat jika diperlukan.

            Diskusikan hal-hal mengenai bagaimana peristiwa tersebut mempengaruhi masa transisi kembali ke sekolah, pekerjaan atau keluarga. Pernyataan rangkuman perlu dibuat oleh Pewancara. Bahan bacaan mengenai bagaimana mengendalikan stress dapat diberikan kepada orang yang diwawancarai itu. Pewawancara mengulangi lagi bahwa, ia bersedia untuk melanjutkan sesi selanjutnya yang diperlukan, secara khusus bertemu secara pribadi.

 

 

TAHAP KE DELAPAN: TAHAP TINDAK LANJUT

            Setiap Insiden mempunyai potensi membangkitkan perasaan yang memerlukan lebih dari satu sesi pertemuan untuk menyelesaikannya.

1.      Sesi lanjutan dapat dibuat sesuai keperluan untuk seluruh kelompok atau sebagian kelompok atau untuk individu tertentu. Buatlah janji pertemuan lanjutan jika itu diperlukan.

2.      Individu-individu mungkin menyadari perlunya pertolongan dari konselor atau penasehat jika perasaan terluka atau gejala-gejalanya itu kelihatannya telah berlangsung lama, tidak terkendalikan lagi, kelihatannya semakin memburuk, menjadi mimpi buruk yang berkelanjutan, atau sudah merasuki kehidupan keluarga dan pekerjaan.

 

3. Peran Orang Tua

            Dampak besar dari trauma kecil yang nyata adalah pada cara berpikir dan perubahan perilaku individu. Tentunya bila kedua hal ini menjadi semakin ekstrim akan berpengaruh kepada cara pandangnya terhadap masa depan dan penerus keturunan mereka. Seorang anak yang terus menerus mendapat tekanan, secara tidak dia sadari muncul defence untuk dapat bertahan dari tekanan tersebut. Walaupun dari luar secara fisik ia terlihat kuat, tapi karena pemahaman yang keliru terhadap kejadian negative yang dia alami, didukung pemahaman moral dan lingkungan yang secara rasional belum dipahami anak, secara berangsur – angsur akan mempengaruhi pola pikirnya dan tentu saja perubahan perilaku. Ada yang berdampak pada munculnya sikap tertutup, acuh, apatis, tidak percaya diri, agresif dan sebagainya. Tentunya pasti berpengaruh pada cara pandang terhadap masa depannya.

 

Secara umum sikap orang tua yang bijaksana dapat mempengaruhi pembentukan karakter anak. Apa yang mesti dilakukan?

 

1. Sosialisasi tindakan

            Sejak dini sosialisasikan setiap tujuan yang diharapkan dalam perilaku yang ingin dibentuk ketika anak – anak itu bertumbuh dan berkembang, tentunya tergantung dari persepsi yang dimiliki orang tua tentang berbagai aspek kehidupan. Secara bertahap sesuai dengan perkembangan mereka ajarkan kebaikan, pentingnya menghargai kebutuhan dan pendapat orang lain serta kasih saying. Jangan menetapkan sesuatu tanpa sosialisasi terlebih dahulu karena membuat anak kaget dan kadang muncul rasa takut.

 

2. Buat batasan

            Kunci penting disini adalah keberanian dan kesadaran orang tua. Ingatlah bahwa semua anak itu menguji batasan yang ditetapkan untuk dirinya, terutama pada anak yang masih kecil. Hall ini menjadi bagian dari proses perkembangan mereka. Tips yang bisa berguna untuk dikembangkan orang tua adalah :

  1. Batasan yang ditetapkan harus adil
  2. Aturan yang dibuat harus beralasan dan sesuai dengan kemampuan anak
  3. Perintah yang diberikan harus jelas, positif, dan tegas. Perintah tidak jelas contohnya, “Mama mau kamu jadi anak baik!” bagi seseorang anak usia 6 tahun pun ini masih membingungkan. Ia tidak tahu maksud dari “baik” itu apa. Kata ini sangat relative. Orang tua harus menjelaskan poin – poin yang dimaksud dengan kata “baik”. Apakah yang orang tua maksud meletakkan kembali mainan yang telah selesai digunakan atau mengucapkan terimakasih bila diberi sesuatu atau permisi jika hendak lewat di depan orang yang lebih tua. Hal ini juga berlaku untuk kata “sopan”. Seringkali orangtua mengatakan pada anaknya “Kamu harus sopan Nak”. Tanpa dibarengi dengan penjelasan dan batasan tentang kesopanan.

 

3. Beri kesempatan mereka mengalami akibat dari perilakunya

            Ijinkan mereka menanggung akibat dari perilakunya jika mereka mencoba melanggarnya. Mereka akan belajar dari pengalaman buruknya. Yang penting setelah mereka mengalami akibatnya jangan diolok – olok. Olokan semacam, “Nah, rasakan sendiri akibatnya kalau tidak mau menurut Papa/Mama!”, kata – kata ini justru akan menimbulkan kesedihan mendalam dan bahkan luka batin dalam diri anak. Cukup katakan, “Mama/papa ikut sedih kamu mengalami hal ini. Apa yang bisa kamu pelajari dari hal ini agar lain kali kamu bisa lebih baik lagi? Bagaimana Mama/papa membantumu agar lain kali tidak terulang lagi?”. Setelah itu jika perlu peluklah dirinya untuk membuatnya tetap merasa aman dan diterima apa adanya. Tentunya ini akan membantu anak untuk tidak memicu munculnya trauma kecil.

 

4. Penghargaan

            Pelukan hangat dan ciuman selalu merupakan sebuah penghargaan besar bagi seorang anak. Penghargaan berupa hadiah secara perlahan perlu orang tua gantikan dengan perhatian positif saat perilakunya mengalami kemajuan. Kita harus waspada terhadap situasi ketika anak – anak hanya akan melakukan sesuatu demi mendapatkan penghargaan. Upayakan bersikap peka terhadap kejadian dan pengalaman anak setiap kurun waktu yang ia jalani.

 

5. Otoritas      

            Tegakkan otoritas anda sebagai orangtua pada saat yang tepat. Gunakan bahasa tubuh dan intonasi suara yang tepat pula untuk menunjukkan bahwa Anda serius dengan ucapan Anda. Ingatlah selalu “seorang anak senantiasa menguji batasan terhadap dirinya dengan perilakunya”

 

Peran-peran orang tua dalam pencegahan antara lain;

1.      Membangun mental dan keperibadian anak supaya anak tidak mudah stres yang akan mengakibatkan trauma.

2.      Hindari kekerasan keluarga karena akan mengakibatkan trauma.

3.      Memotifasi kelurga supaya menjadi orang yang berpikiran positif dan terhindar dari trauma.

 

 

4. Tahap Perkembangan Perilaku Moral Anak

 

            Menurut Piaget dan Kohlberg seorang pakar dari Psikologi Kognitif dan Moral, sebenarnya setiap anak sejak bayi telah ditanamkan perilaku – perilaku moral dari keluarga ataupun lingkungannya, tetapi perkembangan moral mulai dapat dipahami perlahan sejak usia 4 tahun. Tahap – tahap tersebut adalah :

1. Tahap I (4 – 10 tahun) = Moralitas pra konvensional

            Pada tahap ini seorang anak akan memperhatikan ketaatan dan hukuman, sehingga anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Pada tahap ini focus anak hanya pada kebutuhannya sehingga ia hanya memahami bahwa perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Tentunya pada tahap ini anak terlihat cenderung mementingkan keinginannya sendiri, bagaimana peranan orang tua dalam memberikan penjelasan dan pemahaman tentang kebutuhan dan makna yang terkandung sebagai akibat perilaku baik perlu menjadi perhatian.

2. Tahap II (11 – 14 tahun) = Moralitas konvensional

            Seorang anak dimasa ini sudah mulai tahu tentang “citra anak baik” dan memperhatikan pelaksanaan hukuman dan peraturan, sehingga anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman, dan perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya. Jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan dalam setiap perilaku. Bagi keluarga yang menerapkan aturan yang konsisten, anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan aturan. Anak dan remajapun merasa bahwa hokum harus ditaati oleh semua orang termasuk orang tuanya, jadi anak akan merasa kecewa kalau ia dipaksa harus bangun pagi, tetapi justru orang tuanya jarang bangun pagi dan orang tuanya tidak pernah dihukum seperti dirinya.

3. Tahap III (diatas 14 tahun) = Moralitas pasca konvensional

            Anak akan memperhatikan hak perseorangan dan memperhatikan prinsip – prinsip etika, remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan social, sehingga perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal – hal yang paling baik. 

            Ketiga tahapan pada anak itu harus diperhatikan oleh orang tua. Lebih baik orang tua menekankan pentingnya disiplin secara bertahap dibandingkan hukuman. Hukuman mengajarkan suatu pelajaran melalui pemaksaan emosional atau kekerasan fisik, hukuman mungkin terlihat bisa menghentikan perilaku yang tidak diinginkan saat ini namun belum tentu bisa mencegahnya terulang kembali di masa mendatang. Berdasarkan berbagai riset hukuman bukan cara efektif agar anak bertingkah laku baik di masa mendatang. Kadang hal ini juga bisa memunculkan trauma kecil pada anak, terutama bila hukuman diterapkan pada tahap pra konvensional dengan penjelasan dan aturan yang tidak konsisten. Sedangkan disiplin menggunakan kebijaksanaan untuk mengajarkan nilai – nilai yang memperlihatkan betapa seorang anak dapat menentukan sendiri pilihannya dengan baik sesuai dengan perkembangan emosinya saat itu.

 

 

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive