Trauma
1.
Pengertian
Trauma adalah hal sering dikaitkan
dengan tekanan emosional dan psikologis yang besar, biasanya karena kejadian
yang sangat disayangkan atau pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan. Namun,
dalam konteks ini, yang dimaksud dengan “trauma” adalah trauma sebagai penyakit
atau trauma pada fisik seseorang. Dalam istilah kesehatan, “trauma” adalah
cedera yang parah dan sering membahayakan jiwa yang terjadi ketika seluruh atau
suatu bagian tubuh terkena pukulan benda tumpul atau tiba-tiba terbentur. Jenis
cedera yang seperti ini berbahaya karena tubuh dapat mengalami shock sistemik,
dan organ vital dapat berhenti bekerja secara cepat. Oleh karena itu,
penolongan secara medis tidak hanya dibutuhkan, namun juga harus cepat
diberikan agar dapat meningkatkan kemungkinan pasien selamat dari trauma.
Trauma memiliki banyak jenis, yang
dibedakan berdasarkan bagian tubuh yang mengalami trauma dan seberapa parah
trauma yang dialami. Beberapa jenis cedera yang paling sering diderita adalah cedera pada
otak, tulang belakang, perut, dan dada. Jenis cedera ini juga dapat
dikategorikan sebagai cedera tertutup atau tembus. Cedera dianggap tertutup
ketika trauma terjadi di dalam tubuh. Contohnya, cedera otak traumatis dapat
terjadi karena trauma akibat benda tumpul pada kepala. Sementara itu, cedera
dianggap menembus dalam kasus seperti luka akibat tusukan pisau atau gunting.
Patah tulang dan luka bakar juga merupakan cedera traumatis, sama halnya dengan
memar, terutama ketika terjadi pada organ vital seperti jantung.
2.
Gejala, Penyebab dan Cara Mengobati Trauma
a) Gejala Trauma
Berikut beberapa reaksi atau gejala yang muncul pada anak usia 0-6 tahun
yang terkena stres traumatik. :
Anak usia 0-2 tahun
·
Menyendiri
·
Menuntut perhatian melalui perilaku yang positif
maupun negatif
·
Perkembangan kemampuan berbahasa/lisan yang minim
·
Emosi yang berlebihan
·
Perilaku agresif
·
Masalah memori
·
Pengalaman mimpi buruk, kesulitan tidur atau
memiliki kebiasaan tidur yang buruk
·
Memiliki nafsu makan yang buruk, sehingga sikecil
memiliki berat badan rendah atau bermasalah dengan berat badan
·
Mempunyai masalah dengan pencernaan
·
Sering menjerit atau menangis secara berlebihan
·
Lebih mudah marah, sedih dan cemas
Anak usia 3-6 tahun
·
Menyendiri
·
Berbuat diluar kontrol
·
Sering marah yang berlebihan
·
Menuntut perhatian melalui perilaku
positif dan negatif
·
Merasa cemas, takut dan menghindar
·
Tidak dapat mempercayai orang lain atau
teman-temannya
·
Kasar secara verbal
·
Perilaku agresif
·
Pengalaman mimpi buruk, kesulitan tidur,
atau memiliki kebiasaan tidur yang buruk
·
Mempunyai pengalaman sakit kepala dan
sakit perut
·
Takut pada orang yang mengingatkan
tentang trauma tersebut
·
Ketakutan jika terpisah dari orangtua
atau pengasuh
·
Kesulitan fokus dan belajar di sekolah
·
Meniru perbuatan kasar akibat dari
traumatik
b) Penyebab
Trauma
Penyebab dari
trauma meliputi 2 faktor yaitu:
1.Faktor
internal (psikologis)
Bentuk gangguan dan kekacauan fungsi
mental, atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan bereaksinya
mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli ekstern dan
ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur
dari satu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental. Merupakan totalitas
kesatuan ekspresi proses kejiwaan/mental yang patologis terhadap stimuli
sosial, dikombinasikan dengan factor faktor kausatif sekunder lainnya (patalogi
= ilmu penyakit ).
Secara
sederhana, Trauma dapat dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan akiba ketidak
mampuan seseorang mengatasi persoalan hidup yang harus dijalaninya, sehingga
yang bersangkuan bertingkah secara kurang wajar.
Sebab-sebab
timbulnya Trauma yaitu :
• Kepribadian
yang lemah atau kurang percaya diri sehingga menyebabkan yang bersangkutan
merasa rendah diri, ( orang-orang melankolis)
• Terjadinya
konflik sosial – budaya akibat dari adanya norma yang berbeda antara dirinya
dengan lingkungan masyarakat.
• Pemahaman yang
salah sehingga memberikan reaksi berlebihan terhadap kehidupan sosial
(overacting) dan juga sebaliknya terlalu rendah diri (underacting).
Proses – proses
yang diambil oleh sesorang dalam menghadapii kekalutan mental, sehingga
mendorongnya kearah :
• Positif, bila
trauma (luka jiwa) yang dialami seseorang, akan disikapi untuk mengambil hikmah
dari kesulitan yang dihadapinya, setelah mencari jalan keluar maksimal, tetapi
belum mendapatkannya tetapi dikembalikan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT,
dan bertekad untuk tidak terulang kembali dilain waktu.
• Negatif, bila
trauma yang dialami tidak dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan
mengalami frustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang dicita-citakan.
Contohnya :
1. Agresi,
yaitu : Meluapkan rasa emosi yang tidak terkendali dan cenderung melakukan
tindakan sadis yang dapat mambahayakan orang lain.
2. Regresi,
yaitu : Pola reaksi yang primitif atau kekanak-kanakan. (menjerit, menangis
dll)
3. Fiksasi,
yaitu : Pembatasan pada satu pola yang sama (membisu, memukul dada sendiri dll)
4. Proyeksi,
yaitu : Melemparkan atau memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada
orang lain.
5. Indentifikasi,
yaitu : Menyamakan diri dengan sesorang yang sukses dalam imajinasi, (kecantikan,
dengan bintang film .dll)
6. Narsisme,
self love yaitu : Merasa dirinya lebih dari orang lain.
7. Autisme
yaitu : Menutup diri dari dunia luar dan tidak puas dengan pantasinya sendiri.
Penderita Trauma
lebih banyak terdapat dalam lingkungan ;
-
Kota- kota besar yang banyak memberikan
tantangan hidup yang berat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
-
Anak-anak usia muda tidak berhasil dalam
mencapai apa yang dikehendakinya. Para korban bencana alam dan di tempat-tempat
konflik, karena setres terhadap harta bendanya yang hilang.
2.Faktor
eksternal (fisik)
• Faktor orang
tua dalam bersosialisasi dalam kehidupan keluarga, terjadinya penganiyayaan yang
menjadikan luka atau trauma fisik.
• Kejahatan atau
perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang mengakibat kan trauma Fisik dalam
bentuk luka pada badan dan organ pada tubuh korban.
c) Cara
Mengobati Trauma
Salah satu penanganan trauma yaitu
dengan konseling trauma. Konseling trauma merupakan kebutuhan mendesak untuk
membantu mengatasi beban psikologis yang diderita akibat bencana mapun hal yang
linnya. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang-orang yang
dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi
kestabilan emosi para korban. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah
dalam menghadapi petaka, bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan
berujung pada stres berat yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka lupa
ingatan atau gila.
Konseling trauma dapat membantu
menata kestabilan emosinya sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup
sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konseling trauma juga
sangat bermanfaat untuk membantu penderita trauma untuk lebih mampu mengelola
emosinya secara benar dan berpikir realistik.
Dengan modal emosi yang stabil dan
keterampilan mengelola kehidupan emosionalnya, maka konseling trauma dapat
dilanjutkan untuk membantu para korban untuk menemukan kembali rasa percaya
diri yang sempat terkoyak tak berdaya dirampas bencana. Tidak mudah bagi setiap
orang untuk bisa menerima kenyataan kehilangan istri, anak, atau pun suami.
Bahkan ketika perasaan kehilangan yang amat dalam itu muncul, seseorang akan
merasa hidupnya tidak berarti lagi. Keadaan inilah yang memicu munculnya
kondisi putus asa (hopeless) dan tak berarti (meaningless) (Fromm, 1999). Hidup
tanpa arti dan tanpa harapan akan sulit. Membangun rasa percaya diri ditopang
kestabilan emosional menjadi awal untuk berkembangnya kemampuan berpikir
rasional dan realistik. Kestabilan emosional dan kemampuan berpikir rasional
dan realistik merupakan dua tonggak utama yang sangat menentukan pikologi
seseorang.
Semangat hidup menjadi modal utama
bagi para korban untuk sanggup bertahan dan menatap masa depan dari balik
kehancuran hidup dan kesendirian. Dengan semangat hidup yang kuat, para
penderita akan terbebas dari belenggu keputusasaan dan ketidakberdayaan.
Konseling trauma juga sangat bermanfaat dalam membantu para korban untuk mampu
memecahkan masalah secara kreatif melalui hubungan timbal balik dan dukungan
lingkungan.
Dalam penyembuhan trauma,juga
terdapat tahap demi tahap dalam penyembuhan trauma, antara lain :
PERATURAN DASAR
1. Kerahasiaan
mutlak (tentang perasaan, pengakuan rasa bersalah, dll.).
2. Kehadiran
dibatasi hanya untuk orang-orang yang terlibat dan teampewawancara (dan orang
tua yang ditinggalkan).
3. Aktif
mendengarkan (meminta umpan balik, minta lebih banyak informasi[jangan pernah
menanyakan pertanyaan tertutup yang hanya dijawab dengan ya atau tidak), beri
umpan balik tentang apa yang saudara pikirkan mengenai apa yang mereka
katakan).
4. Setiap
orang dalam kelompok yang terlibat dalam peristiwa tersebut, berbicara untuk
diri mereka sendiri saja – jangan ijinkan orang lain mengatakan apa perasaan
dari orang lain, menanggapi, atau apa yang mereka rasakan sekarang.
5. Jangan
mengkritik perasaan atau reaksi orang lain.
6. Bersikap
positif, mendukung, suasana pengertian, didasari pada keprihatinan
Dibawah ini adalah tahap-tahap dari pewawancaraan kembali:
TAHAP PERTAMA:
TAHAP PENGENALAN
Tujuan dari pewawancaraan kembali
harus dijelaskan, demikian juga dengan pentingnya kerahasiaan. Bagikan
peraturan dasar dari pertemuan itu – Ceritakan dan jelaskan bahwa,
peraturan-peraturan dasar ini dirancang untuk membantu perkembangan rasa aman
dan rasa percaya. Pastikan bahwa, ruangan itu sendiri bisa meningkatkan rasa
percaya diri dan sikap moral yang baik. Pastikan bahwa, pada tahap ini
orang-orang yang tepat berada dalam ruangan – jangan ijinkan siapapun yang
tidak terlibat secara langsung dalam krisis / apa yang terjadi berada dalam
ruangan (kecuali orang yang melakukan pewawancaraan kembali). Kita perlu
menjadikan pewawancaraan kembali itu sebagai keharusan bagi mereka yang
terlibat dalam peristiwa-peristiwa kritis. Beberapa orang tidak akan suka
berada disitu – beritahukan ini sejak awal – teknik yang efektif adalah dengan
memberitahukan bahwa, mereka mungkin tidak perlu berada di ruangan itu, tetapi
sangat mungkin akan menolong mereka jika ada orang lain yang juga berada dalam
ruangan itu.
TAHAP KEDUA :
TAHAP FAKTA
Orang yang diwawancarai kembali
berbicara tentang apa yang terjadi – fakta-fakta mengenai kejadian tersebut.
Biasanya cukup mudah untuk mengatakan apa yang terjadi (fakta-fakta dan
detail-detail ), tetapi membagikan perasaan kita tentang apa yang terjadi, itu
lebih sulit. Biarkan orang itu menggambarkan fakta-fakta mengenai diri mereka
dan kejadian tersebut:
1. Dimana
mereka berada
2. Apa
yang mereka lihat, dengar, dan cium.
3. Apa
yang mereka lakukan di dalam dan disekitar kejadian tersebut.
Jika situasinya
telah menjadi sangat menyakitkan maka akan tidak nyaman untuk menceritakan
fakta-fakta, tapi keuntungan besarnya adalah jika suatu hal telah diceritakan
secara terbuka maka orang yang menceritakan hal itu akan merasa ada kuasa yang
memampukan dia mengatasi situasi tersebut dan tidak akan dikalahkan oleh hal
itu. Memori-memori yang menekan menuntun pada pengembangan sejumlah
perasaan-perasaan menyakitkan secara berkesinambungan yang tidak penting bahkan
merusak. Pada tahap ini kelompok mengkontribusikan semua fakta-fakta yang
diperlukan untuk membuat kejadian tersebut menjadi nyata kembali di dalam
ruangan.
TAHAP KETIGA:
TAHAP PEMIKIRAN
Orang tersebut diminta mendiskusikan
pemikiran pertamanya selama peristiwa tersebut. Atau pemikiran pertama ketika
mereka berhenti memikirkan secara otomatis. Ini menolong untuk masuk ke dalam
aspek-aspek pribadi dari situasi tersebut. Pemikiran pribadi seringkali
tersembunyi dibalik fakta-fakta dan membawa mereka keluar kepada penegasan terbuka
kepada pewawancara yang pemikirannya sendiri penting dan tidak boleh dilupakan
atau dikuburkan dibawah fakta-fakta dari situsi itu. Contohnya, pemikiran pertama
yang mereka ingat ialah “Saya akan mati. Apa yang akan terjadi dengan isteri
dan anak saya?”
TAHAP KEEMPAT:
TAHAP REAKSI / EMOSIONAL / PERASAAN
Hal ini menolong orang itu berpindah
dari tingkat kognitif kepada tingkat emosi dari proses ini. Tingkat kognitif
adalah apa yang kita pikirkan dan tingkat emosional ialah apa yang kita
rasakan. Orang yang mengabaikan tingkat emosional seringkali berakhir pada
menderita penyakit-penyakit yang berhubungan dengan stress. Pertanyaan khas
yang menggerakkan orang dari tingkat kognitif ke tingkat emosional dari proses
adalah: “Hal terburuk apa yang terjadi dari peristiwa itu?” atau "Apa hal
yang paling Anda ingat dari peristiwa itu?" Mengejutkan sekali mendapati
pernyataan-pernyataan rumit yang keluar karena dipicu oleh pertanyaan ini. Hal
ini menolong orang menyadari bahwa, adalah wajar untuk memiliki perasaan,
selain pemikiran, mengenai pengalaman tertentu. Tahap ini merupakan tahap
penyebaran. Pada posisi ini mereka mungkin akan berbicara tentang perasaan
takut, rasa bersalah, sikap kaku ataupun kemarahan. Mereka dapat juga
melaporkan tentang ingatan-ingatan tertentu seperti “Saya ingat bunyi suara
senapan yang dikokang”. "Saya ingat tatapan matanya dan ketika saya tutup
mata, saya tetap dapat melihat dia menatapku, dan berteriak meminta
pertolongan."
Pertanyaan-pertanyaan yang Anda perlu tanyakan pada tahap ini adalah:
1. “Bagaimana
perasaanmu sekarang?”
2. “Bagaimana
perasaanmu pada waktu hal itu terjadi?”
3. “Pernahkah
Anda merasakan hal seperti ini sebelumnya?”
Pastikan tidak
seorangpun yang mendominasi, tidak ada yang diabaikan, dan tidak ada yang
meninggalkan ruangan. Kemungkinan di tahap inilah seseorang ingin pergi, karena
mereka takut pada emosi mereka sendiri, sangat menginginkan mengontrol emosi
mereka dengan segala cara, dan mereka pikir satu-satunya cara untuk mengontrol
emosi mereka hanya dengan pergi.
TAHAP KELIMA:
TAHAP GEJALA DAN HASIL-HASIL
Tanda-tanda dan gejala-gejala
kognitif, fisik, emosional dan tingkah laku apakah yang diakibatkan oleh
penderitaan yang dulu telah dialami dan terus dialami hingga kini? Mencakup
tiga periode waktu: selama peristiwa terjadi, setelah peristiwa terjadi dan
keadaan sekarang ini. Tanyakan mereka untuk membicarakan dampakdampak dari
stress seperti; sulit tidur, nafsu makan yang rendah, ketidakmampuan untuk
kembali bekerja, perasaan muak, rasa bersalah, tidak dapat berdoa, dll. Tolong
mereka untuk melihat bahwa gejala-gejala mereka itu normal, wajar dalam
menanggapi tekanan, bahkan bersifat universal. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa
Anda tanyakan selama tahap ini:
1. “Apakah
Anda mengalami hal-hal yang tidak biasa pada saat mengalami insiden itu?”
2. “Apa
hal-hal yang tidak biasa yang Anda alami sekarang?”
3. “Apakah
kehidupan Anda berubah sejak kejadian tersebut? Berubah bagaimana?”
Pada tahap ini,
orang-orang sering menggambarkan “gejala menanggapi tekanan” yang normal.
TAHAP KEENAM: TAHAP PENGAJARAN ATAU PENJAMINAN KEMBALI
Pada waktu tanda-tanda kesusahan
telah didiskusikan, maka sekarang sang pewawancara mulai memberi informasi
mengenai reaksi-reaksi stress dan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi hal
itu. Katakan pada mereka bahwa, hal tersebut adalah normal – dukungan,
pengertian, penjaminan kembali mengenai tanggapan-tanggapan yang wajar. Titik
permulaan yang baik adalah mengatakan kepada orang yang diwawancarai bahwa,
gejala-gejala yang dialami adalah normal dan umumnya akan berkurang seiring
berjalannya waktu. Pengajaran khusus mengenai reaksi-reaksi terhadap stress dan
teknik-teknik untuk mengurangi dan menanggulangi stress perlu diberikan.
Pertanyaan-pertanyaan adalah informasi pengundang yang berhubungan dengan
proses dukacita atau hal-hal spesifik yang sewajarnya diberikan. Selebaran
seringkali dipergunakan pada tahap ini. Berilah masukan-masukan tentang hal-hal
yang dapat menolong, cara-cara untuk memelihara diri Anda sendiri
TAHAP KE TUJUH:
TAHAP RANGKUMAN DAN RE-ENTRY
Ini adalah tahap rangkuman –
ringkasan pertemuan dan menjawab semua pertanyaan. Mengenali hal-hal spesifik
berkenaan dengan jaminan akan tindak lanjut. Mengembangkan perencanaan tindakan
mengenai bagaimana orang tersebut atau kelompok tersebut akan berkembang
kedepan. Tawarkan lebih banyak bantuan kepada individu-individu jika mereka
ingin berbicara lagi sekarang atau besok atau minggu depan. Undang mereka untuk
berbicara dan yakinkan mereka yang akan berbicara tersebut. Selalu mendoakan
dan melayani orang yang diwawancarai itu sebelum dia pulang. Kita bisa
berbicara panjang lebar, tapi pada akhirnya hanya Allah yang akan membawa
pemecahan, pemulihan, kesembuhan dan pertumbuhan. Janji untuk bertemu kembali
dibuat jika diperlukan.
Diskusikan hal-hal mengenai
bagaimana peristiwa tersebut mempengaruhi masa transisi kembali ke sekolah,
pekerjaan atau keluarga. Pernyataan rangkuman perlu dibuat oleh Pewancara.
Bahan bacaan mengenai bagaimana mengendalikan stress dapat diberikan kepada
orang yang diwawancarai itu. Pewawancara mengulangi lagi bahwa, ia bersedia
untuk melanjutkan sesi selanjutnya yang diperlukan, secara khusus bertemu
secara pribadi.
TAHAP KE
DELAPAN: TAHAP TINDAK LANJUT
Setiap Insiden mempunyai potensi
membangkitkan perasaan yang memerlukan lebih dari satu sesi pertemuan untuk
menyelesaikannya.
1. Sesi
lanjutan dapat dibuat sesuai keperluan untuk seluruh kelompok atau sebagian
kelompok atau untuk individu tertentu. Buatlah janji pertemuan lanjutan jika
itu diperlukan.
2. Individu-individu
mungkin menyadari perlunya pertolongan dari konselor atau penasehat jika
perasaan terluka atau gejala-gejalanya itu kelihatannya telah berlangsung lama,
tidak terkendalikan lagi, kelihatannya semakin memburuk, menjadi mimpi buruk
yang berkelanjutan, atau sudah merasuki kehidupan keluarga dan pekerjaan.
3.
Peran Orang Tua
Dampak besar dari trauma kecil yang
nyata adalah pada cara berpikir dan perubahan perilaku individu. Tentunya bila
kedua hal ini menjadi semakin ekstrim akan berpengaruh kepada cara pandangnya
terhadap masa depan dan penerus keturunan mereka. Seorang anak yang terus
menerus mendapat tekanan, secara tidak dia sadari muncul defence untuk dapat
bertahan dari tekanan tersebut. Walaupun dari luar secara fisik ia terlihat kuat,
tapi karena pemahaman yang keliru terhadap kejadian negative yang dia alami,
didukung pemahaman moral dan lingkungan yang secara rasional belum dipahami
anak, secara berangsur – angsur akan mempengaruhi pola pikirnya dan tentu saja
perubahan perilaku. Ada yang berdampak pada munculnya sikap tertutup, acuh,
apatis, tidak percaya diri, agresif dan sebagainya. Tentunya pasti berpengaruh
pada cara pandang terhadap masa depannya.
Secara umum sikap orang tua yang
bijaksana dapat mempengaruhi pembentukan karakter anak. Apa yang mesti
dilakukan?
1.
Sosialisasi tindakan
Sejak dini sosialisasikan setiap
tujuan yang diharapkan dalam perilaku yang ingin dibentuk ketika anak – anak
itu bertumbuh dan berkembang, tentunya tergantung dari persepsi yang dimiliki orang
tua tentang berbagai aspek kehidupan. Secara bertahap sesuai dengan
perkembangan mereka ajarkan kebaikan, pentingnya menghargai kebutuhan dan
pendapat orang lain serta kasih saying. Jangan menetapkan sesuatu tanpa
sosialisasi terlebih dahulu karena membuat anak kaget dan kadang muncul rasa
takut.
2.
Buat batasan
Kunci
penting disini adalah keberanian dan kesadaran orang tua. Ingatlah bahwa semua
anak itu menguji batasan yang ditetapkan untuk dirinya, terutama pada anak yang
masih kecil. Hall ini menjadi bagian dari proses perkembangan mereka. Tips yang
bisa berguna untuk dikembangkan orang tua adalah :
- Batasan yang ditetapkan harus
adil
- Aturan yang dibuat harus
beralasan dan sesuai dengan kemampuan anak
- Perintah yang diberikan harus
jelas, positif, dan tegas. Perintah tidak jelas contohnya, “Mama mau kamu jadi
anak baik!” bagi seseorang anak usia 6 tahun pun ini masih membingungkan.
Ia tidak tahu maksud dari “baik” itu apa. Kata ini sangat relative. Orang
tua harus menjelaskan poin – poin yang dimaksud dengan kata “baik”. Apakah
yang orang tua maksud meletakkan kembali mainan yang telah selesai
digunakan atau mengucapkan terimakasih bila diberi sesuatu atau permisi
jika hendak lewat di depan orang yang lebih tua. Hal ini juga berlaku
untuk kata “sopan”. Seringkali orangtua mengatakan pada anaknya “Kamu
harus sopan Nak”. Tanpa dibarengi dengan penjelasan dan batasan tentang
kesopanan.
3.
Beri kesempatan mereka mengalami akibat dari perilakunya
Ijinkan
mereka menanggung akibat dari perilakunya jika mereka mencoba melanggarnya.
Mereka akan belajar dari pengalaman buruknya. Yang penting setelah mereka
mengalami akibatnya jangan diolok – olok. Olokan semacam, “Nah, rasakan sendiri
akibatnya kalau tidak mau menurut Papa/Mama!”, kata – kata ini justru akan menimbulkan
kesedihan mendalam dan bahkan luka batin dalam diri anak. Cukup katakan,
“Mama/papa ikut sedih kamu mengalami hal ini. Apa yang bisa kamu pelajari dari
hal ini agar lain kali kamu bisa lebih baik lagi? Bagaimana Mama/papa
membantumu agar lain kali tidak terulang lagi?”. Setelah itu jika perlu
peluklah dirinya untuk membuatnya tetap merasa aman dan diterima apa adanya.
Tentunya ini akan membantu anak untuk tidak memicu munculnya trauma kecil.
4.
Penghargaan
Pelukan
hangat dan ciuman selalu merupakan sebuah penghargaan besar bagi seorang anak.
Penghargaan berupa hadiah secara perlahan perlu orang tua gantikan dengan
perhatian positif saat perilakunya mengalami kemajuan. Kita harus waspada
terhadap situasi ketika anak – anak hanya akan melakukan sesuatu demi
mendapatkan penghargaan. Upayakan bersikap peka terhadap kejadian dan
pengalaman anak setiap kurun waktu yang ia jalani.
5.
Otoritas
Tegakkan
otoritas anda sebagai orangtua pada saat yang tepat. Gunakan bahasa tubuh dan
intonasi suara yang tepat pula untuk menunjukkan bahwa Anda serius dengan
ucapan Anda. Ingatlah selalu “seorang anak senantiasa menguji batasan terhadap
dirinya dengan perilakunya”
Peran-peran
orang tua dalam pencegahan antara lain;
1. Membangun
mental dan keperibadian anak supaya anak tidak mudah stres yang akan
mengakibatkan trauma.
2. Hindari
kekerasan keluarga karena akan mengakibatkan trauma.
3. Memotifasi
kelurga supaya menjadi orang yang berpikiran positif dan terhindar dari trauma.
4.
Tahap Perkembangan Perilaku Moral Anak
Menurut Piaget dan Kohlberg seorang pakar dari Psikologi
Kognitif dan Moral, sebenarnya setiap anak sejak bayi telah ditanamkan perilaku
– perilaku moral dari keluarga ataupun lingkungannya, tetapi perkembangan moral
mulai dapat dipahami perlahan sejak usia 4 tahun. Tahap – tahap tersebut adalah
:
1. Tahap I (4 – 10 tahun) = Moralitas pra konvensional
Pada tahap ini seorang
anak akan memperhatikan ketaatan dan hukuman, sehingga anak menentukan
keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Pada
tahap ini focus anak hanya pada kebutuhannya sehingga ia hanya memahami bahwa
perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa
mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Tentunya pada tahap ini anak terlihat cenderung
mementingkan keinginannya sendiri, bagaimana peranan orang tua dalam memberikan
penjelasan dan pemahaman tentang kebutuhan dan makna yang terkandung sebagai
akibat perilaku baik perlu menjadi perhatian.
2. Tahap II (11 – 14 tahun) = Moralitas konvensional
Seorang anak dimasa ini
sudah mulai tahu tentang “citra anak baik” dan memperhatikan pelaksanaan
hukuman dan peraturan, sehingga anak dan remaja berperilaku sesuai dengan
aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk
menghindari hukuman, dan perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan
tujuannya. Jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan dalam
setiap perilaku. Bagi keluarga yang menerapkan aturan yang konsisten, anak dan
remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan aturan. Anak dan remajapun
merasa bahwa hokum harus ditaati oleh semua orang termasuk orang tuanya, jadi
anak akan merasa kecewa kalau ia dipaksa harus bangun pagi, tetapi justru orang
tuanya jarang bangun pagi dan orang tuanya tidak pernah dihukum seperti
dirinya.
3. Tahap III (diatas 14 tahun) = Moralitas pasca konvensional
Anak akan memperhatikan
hak perseorangan dan memperhatikan prinsip – prinsip etika, remaja dan dewasa
mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan
social, sehingga perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan
untuk mencapai hal – hal yang paling baik.
Ketiga tahapan pada anak itu harus diperhatikan oleh
orang tua. Lebih baik orang tua menekankan pentingnya disiplin secara bertahap
dibandingkan hukuman. Hukuman mengajarkan suatu pelajaran melalui pemaksaan
emosional atau kekerasan fisik, hukuman mungkin terlihat bisa menghentikan
perilaku yang tidak diinginkan saat ini namun belum tentu bisa mencegahnya
terulang kembali di masa mendatang. Berdasarkan berbagai riset hukuman bukan
cara efektif agar anak bertingkah laku baik di masa mendatang. Kadang hal ini
juga bisa memunculkan trauma kecil pada anak, terutama bila hukuman diterapkan
pada tahap pra konvensional dengan penjelasan dan aturan yang tidak konsisten.
Sedangkan disiplin menggunakan kebijaksanaan untuk mengajarkan nilai – nilai
yang memperlihatkan betapa seorang anak dapat menentukan sendiri pilihannya
dengan baik sesuai dengan perkembangan emosinya saat itu.