BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan
dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.
Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal
yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM
lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era
sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup
tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai
kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau
pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dan pemerintah mengupayakan agar hak-hak
tersebut dimiliki oleh warganya.
Menurut UU no 26
Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM
merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun
oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain
tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakanya.
1.2 Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah
sebagai berikut:
1.
Upaya Pencegahan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
2.
Pengakuan dan Upaya
Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
3.
Upaya Pemerintah dalam
Penegakan HAM
4.
Pemerintah Masih Harus
Bekerja Keras dalam Penegakan HAM
1.3 Batasan Masalah
Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih
terfokus pada masalah dan tujuan dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka
dengan ini penyusun membatasi masalah hanya pada pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan solusi yang
harus diambil dalam menangani pelanggaran HAM tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia
di Indonesia
Setiap manusia selalu
memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan berbuat
jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada pelanggaran
hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah
dan lain-lain. Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi
antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun,
yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat. Apabila
dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiwa
besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang
tinggi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti :
a. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984
antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur
politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat ratusan
korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja
wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban
pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong
Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban
pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari
harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad
Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik,
dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
d. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak
tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk
sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik
dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
e. Peristiwa penculikan para aktivis
politik (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan
orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan
Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang
lainnya masih hilang).
2.2 Upaya Pemerintah dalam Penegakan HAM
Hak asasi manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai
perwujudan faham individualisme dan liberalisme. Hak asasi manusia lebih
dipahami secara humanistis sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit,
jenis kelamin dan pekerjaannya. Dewasa ini pula banyak kalangan yang berasumsi
negatif terhadap pemerintah dalam menegakkan HAM. Sangat perlu diketahui bahwa
pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menegakkan HAM. Hal ini dapat
kita lihat dari upaya pemerintah sebagai berikut;
1. Indonesia menyambut baik kerja sama internasional
dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara dan Indonesia
sangat merespons terhadap pelanggaran HAM internasional hal ini dapat
dibuktikan dengan kecaman Presiden atas beberapa agresi militer di beberapa
daerah akhir-akhir ini contoh; Irak, Afghanistan, dan baru-baru ini Indonesia
juga memaksa PBB untuk bertindak tegas kepada Israel yang telah menginvasi
Palestina dan menimbulkan banyak korban sipil, wanita dan anak-anak.
2. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
penegakan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas pembangunan
Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan kelembagaan yang
berkaitan dengan HAM. Dalam hal kelembagaan telah dibentuk Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia dengan kepres nomor 50 tahun 1993, serta pembentukan Komisi Anti
Kekerasan terhadap perempuan
3. Pengeluaran Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
hak asasi manusia , Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM,
serta masih banyak UU yang lain yang belum tersebutkan menyangkut penegakan hak
asasi manusia.
Menjadi titik berat adalah hal-hal yang tercantum dalam
UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia adalah sebagai berikut;
1. Hak untuk hidup.
2. Hak berkeluarga.
3. Hak memperoleh keadilan.
4. Hak atas kebebasan pribadi.
5. Hak kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak wanita
10. Hak anak
Hal-hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa Indonesia tidak main-main dalam penegakan HAM.
1. Hak untuk hidup.
2. Hak berkeluarga.
3. Hak memperoleh keadilan.
4. Hak atas kebebasan pribadi.
5. Hak kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak wanita
10. Hak anak
Hal-hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa Indonesia tidak main-main dalam penegakan HAM.
2.3 Pengakuan dan Upaya
Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum
diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang
sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat
maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung
sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik
bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950),
pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan
dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan
tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk
melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung
sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan
dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS
1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat
bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu
besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa
konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO)
yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan
Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli
1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun
1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan
mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia
mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD
1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru,
Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai
HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan
Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan
perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM
dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan
lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu
dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung
oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan
bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang
otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti
karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru,
gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus
bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh
impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan
peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan
diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang
memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM
yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di
Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya
berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga
bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice
(keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan
administratif), political justice (keadilan politik), economic
justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan
bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian,
perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice
karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang
berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban
maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk
penegakan transitional criminal justice merupakan elemen yang sangat
menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.
Upaya penegakan transitional criminal justice
umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui
proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur
yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad
Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah
diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc
diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian
haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat
menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta
merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri
utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan
kebebasan fundamental.
2.4 Upaya Pencegahan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan
mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi
hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis
harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi
kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat,
memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan
menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan
hukum.
Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu
dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan.
Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh
berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas
kekurangan yang selama ini masih terjadi.
Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma
penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural,
infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh
pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai
konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan
berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar
permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan
perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus
bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi
orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat
dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat.
Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana
fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan
baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak
asasi anak.
Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control
(pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah.
Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No.
XVII/MPR/1998.
Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada
dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun
menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM
merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan
yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di
masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.
Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara
(pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu
terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih
banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, sedangkan
pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang
mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu
menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1.
Meningkatkan
profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2.
Menegakkan hukum secara
adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3.
Meningkatkan kerja sama
yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling
memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
4.
Memperkuat dan melakukan konsolidasi
demokrasi.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia
sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya
terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar
atau menindas HAM orang lain.
HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam
Islam, Islam sudah lebih dulu memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang Islam
dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam itu yaitu Al-Qur’an dan Hadits
yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan
umat Islam.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh
perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan
oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan
diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses
pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam
Undang-Undang pengadilan HAM.
3.2 Saran-saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan
dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa
menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran
HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan
mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Granmedia Pustaka Utama.
Kusnardi, Muhammad
Ibrahim.1984. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara
UI Dan C.V. Sinar Bakti.
Srijanti, A. Rahman
H.I, PurwantoS.K, 2009, Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta : Graha Ilmu
No comments:
Post a Comment