Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang
Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang
informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU
ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di
wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat
hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia.
Sembilan pasal UU ITE mengamanatkan pembentukan Peraturan
Pemerintah:
- Lembaga Sertifikasi
Keandalan (Pasal 10 ayat 2);
- Tanda Tangan Elektronik
(Pasal 11 ayat 2);
- Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik (Pasal 13 ayat 6);
- Penyelenggara Sistem
Elektronik (Pasal 16 ayat 2);
- Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik (Pasal 17 ayat 3);
- Penyelenggara Agen
Elektronik (Pasal 22 ayat 2);
- Pengelolaan Nama Domain
(Pasal 24);
- Tata Cara Intersepsi
(Pasal 31 ayat 4);
- Peran Pemerintah dalam
Pemanfaaatan TIK (Pasal 40);
peraturan perundang-undangan terkait kegiatan e-commerce
masih berpusat pada Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Elektronik (“UU ITE”).
Dalam perjalanannya, poin no. 1-7 dijadikan satu peraturan
pemerintah, dan juga sudah disahkan yaitu Peraturan Pemerintah no. 82 tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik ('PP PSTE'). Peraturan
Pemerintah ini disusun sejak pertengahan tahun 2008 dan disampaikan ke
Kemkumham awal tahun 2010. Kemudian dilakukan harmonisasi pertama, dan
Menkumham menyerahkan hasilnya ke Menkominfo pada 30 April 2012. Menkominfo
menyerahkan Naskah Akhir RPP ini ke Presiden pada 6 Juli 2012 dan ditetapkan
menjadi PP 82 tahun 2012 pada 15 Oktober 2012. PP ini mengatur sistem
elektronik untuk pelayanan publik dan nonpelayanan publik, sanksi
administratif, tanggungjawab pidana serta perdata penyelenggara, sertifikasi,
kontrak, dan tanda tangan elektronis, serta penawaran produk melalui sistem
elektronik. (Aspek Hukum Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik,
Ronny, 2013)
Salah satu tujuan diterbitkannya UU ITE memang untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku di sektor e-commerce.
Namun, banyak anggapan bahwa undang-undang ini belum mampu mewujudkan tujuannya
tersebut, sebagaimana akan dibahas dalam artikel ini.
Pembahasan mengenai ketidakmampuan tersebut dapat dimulai
dari fakta bahwa tidak adanya definisi khusus untuk e-commerce dalam kerangka
UU ITE, sebab kegiatan perdagangan yang dilakukan secara elektronik tersebut
dipahami sebagai “transaksi elektronik”. Padahal, definisi “transaksi
elektronik” yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (2) UU ITE begitu luas, yaitu
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan computer,
dan/atau media elektronik lainnya.
Sebagai perbandingan, UU Perdagangan memahami e-commerce
sebagai “perdagangan melalui sistem elektronik”, yaitu perdagangan yang
transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
(Pasal 1 nomor 24 UU Perdagangan).
Selain itu, banyak ketentuan dalam UU ITE yang masih
“kosong” dan oleh karenanya memerlukan peraturan pelaksana. Beberapa di
antaranya sangat berkaitan dengan perkembangan kegiatan e-commerce, seperti:
1. Ketentuan mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik
Terlepas dari adanya ketentuan-ketentuan lain tentang
transaksi elektronik dalam Bab V, UU ITE tetap mengamanatkan diterbitkannya
peraturan pemerintah untuk mengatur penyelenggaraan transaksi elektronik dalam
ringkup publik ataupun privat. Walau demikian, UU ITE tidak menjelaskan cakupan
ketentuan penyelenggaraan yang dapat diatur dalam peraturan pemerintah tersebut
(Pasal 17 dan penjelasannya dalam UU ITE).
2. Ketentuan mengenai lembaga sertifikasi keandalan dan
penyelenggara sertifikasi elektronik
UU ITE mengatur bahwa setiap
pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi
oleh lembaga sertifikasi keandalan. Lembaga tersebut merupakan lembaga
independen yang dibentuk oleh para profesional untuk mengaudit dan mengeluarkan
sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik, di mana kegiatannya harus
disahkan dan diawasi oleh pemerintah (Pasal 10 UU ITE).
Sertifikat keandalan adalah bukti
bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak melakukan
usahanya tersebut, setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang
berwenang (penjelasan Pasal 10 UU ITE). Keberadaan lembaga sertifikat keandalan
jelas penting untuk memberikan ukuran kelayakan pelaku usaha di bidang
e-commerce dan pada akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam
bertransaksi melalui sistem elektronik.
Sejalan dengan ketentuan di atas,
UU ITE juga mengamanatkan penerbitan peraturan pemerintah mengenai
penyelenggara sertifikasi elektronik, yaitu badan hukum yang memberikan dan
mengaudit sertifikat elektronik. Sertifikat ini memuat tanda tangan elektronik
dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi
elektronik. Sama halnya dengan sertifikat keandalan, sertifikat elektronik juga
penting untuk meningkatkan kepastian dalam melakukan transaksi e-commerce dan
mencegah penyalahgunaan data dari para pelaku dalam kegiatan perdagangan
elektronik.
Sayangnya, kedua peraturan pelaksana tersebut tak kunjung
diterbitkan. Padahal, UU ITE telah mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU
ITE wajib diterbitkan dalam waktu selambat-lambatnya 2 tahun sejak UU ITE
diundangkan (Pasal 54 ayat (2) UU ITE).
Selain kekurangan yang dijelaskan di atas, perlu juga
dilakukan sosialisasi yang lebih mendalam mengenai ketentuan-ketentuan dalam UU
ITE sehingga masyarakat lebih memahami hak dan kewajibannya dalam bertransaksi
sebagaimana yang sudah diatur dalam UU ITE. Misalnya, hak mengajukan gugatan
atas kerugian yang dialami atas penggunaan suatu sistem elektronik. Bukan
sedikit kasus penipuan yang terjadi di bidang e-commerce, tapi tidak banyak
konsumen yang menindaklanjuti hal tersebut sehingga tidak banyak yang
mengetahui celah-celah penipuan yang dapat terjadi, apalagi cara mengatasinya.
No comments:
Post a Comment