Friday, August 31, 2018

Makalah Pendidikan Seni Tari Sebagai Proses Peningkatan Kecerdasan Emosional Anak

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dunia pendidikan saat ini begitu mudah terpengaruh, oleh monolitisme/rasio modern–kapitalistik, yang menempatkan materi sebagai justifikasi dan kaukus orientasinya, sehingga wajah dunia pendidikan telah sedemikian jauh tereduksi maknanya dari konsep pendidikan sebagai proses humanisasi (Freire 1973) menjadi semata-mata persoalan teknis dan administratif yang tersubordinasikan ke dalam mainstream kapitalisme maupun jargon developmentalism. Ekspansi kapital dan industri telah memaksa institusi pendidikan menyesuaikan diri dengan “kebutuhan pasar” yang akibatnya adalah proses pendidikan tidak lagi diselenggarakan dalam nuansa intens yang penuh kedalaman makna (in depth quality), melainkan cenderung parsial dan dangkal, semata-mata agar match dengan kebutuhan dan instrumen pasar.
Bidang kajian yang menjanjikan muatan makna yang mendekatkan pada segmentasi pasar, kemudian menjadi primadona dan seolah-olah segala-galanya, dan sebaliknya pendidikan yang berdimensikan kekentalan pada nuansa nilai-nilai menjadi marjinal–negasi. Dari sinilah hulu perihal konsep penomorsatuan IQ (Intelectual Quotions) yang kemudian menjadi jargon segala-galanya dalam ekspansi sistem dan kinerja pendidikan menjadi “kegilaan” pada decission maker dan pendidik. Sedangkan pada sisi lain, konsep pendidikan pada dimensi EQ (Emotional Quotions) “diketepikan” dan bahkan nyaris dipersepsi tanpa adanya ikon, kebermaknaan.
Pendidikan dengan dimensi EQ (Emotional Quotions) dapat ditemukan dalam konsep pendidikan seni, termasuk didalamnya seni tari. Pendidikan seni dapat mengolah kecerdasan emosi seorang anak, karena di dalam pendidikan seni mengolah semua bentuk kegiatan tentang aktivitas fisik dan cita rasa keindahan, yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berkreasi dan berapresiasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran. Pendidikan seni dapat mengembangkan kemampuan dasar manusia seperti fisik, perseptual, intelektual, emosional, sosial, kreativitas dan estetik (V. Lownfeld dalam Kamaril 2001: 2-3). Pendidikan seni lebih efektif apabila diberikan sejak anak usia dini, sejalan dengan proses perkembangan intelektual dan emosional anak.
Fenomena tersebut di atas, menarik bagi peneliti untuk melakukan pengkajian lebih mendalam lagi dan menemukan jawaban bagaimana proses peningkatan kecerdasan emosional anak usia dini melalui pendidikan seni tari.

B. Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana konsep pendidikan seni tari ?
2.      Bagaimana pengaruh pendidikan seni tari dalam mengembangkan kecerdasan emosional anak usia dini ?

C. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui konsep pendidikan seni tari.
2.      Untuk mengetahui pengaruh pendidikan seni tari dalam mengembangkan kecerdasan emosional anak usia dini.












BAB II
PEMBAHASAN


A. Konsep Pendidikan Seni Tari
Studi terhadap dunia anak yang secara gencar dilakukan pada penghujung abad ke 19 (Mac Donald 1970: 38) menyadarkan orang bahwa anak merupakan pribadi yang unik yang memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dengan orang dewasa. Salah satu bentuk dan kemampuan anak yang khas tersebut adalah dalam hal mengekspresikan diri.
Disadarinya kebutuhan anak untuk mengekspresikan rasa keindahan, mendorong pendidik untuk menyediakan fasilitas berupa kegiatan yang memungkinkan anak untuk secara lancar dapat mengungkapkan rasa keindahan serta juga dapat mengapresiasikan gejala keindahan yang ada disekelilingnya. Kegiatan untuk memfasilitasi anak dalam diri inilah yang ditawarkan oleh pendidikan seni, khususnya di sekolah. Jelaslah, pendidikan seni dalam konteks ini, hadir untuk memenuhi kebutuhan anak yang azasi yang tidak mampu diemban oleh kegiatan lain.
Pendidikan seni yang diajarkan di sekolah saling berkaitan antara seni suara, gerak, rupa dan drama, karena seni memiliki sifat multilingual, multidimensional dan multikultural. Pendidikan seni dapat mengembangkan kemampuan manusia dalam berkomunikasi secara visual atau rupa, bunyi, gerak dan keterpaduannya (Goldberg 1997: 8). Selain itu, pendidikan seni juga dapat menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman budaya lokal dan global sebagai pembentukan sikap menghargai, toleran, demokratis, beradab dan hidup rukun dalam masyarakat dan budaya majemuk (Kamaril 2001: 4).
Pendidikan seni sangat penting diberikan sejak anak usia dini. Perkembangan anak usia dini dapat dibagi menjadi lima fase, yaitu fase orok, fase bayi, fase prasekolah (usia Taman Kanak-Kanak), fase anak sekolah (usia anak Sekolah Dasar) dan fase remaja (Yusuf 2001: 149). Salah satu fase perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan anak adalah tahap prasekolah yang berlangsung sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training) dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Yusuf 2001: 162-163). Pada masa usia prasekolah ini, berbagai aspek perkembangan anak sedang berada pada keadaan perubahan yang sangat cepat, baik dalam kemampuan fisik, bahasa, kecerdasan, emosi, sosial dan kepribadian.
Perkembangan motorik anak pada usia ini, ditandai dengan bertambah matangnya perkembangan otak yang mengatur sistem syaraf otot (neoromuskuler), sehingga memungkinkan anak lebih lincah dan aktif bergerak. Dalam masa ini tampak adanya perubahan dalam gerakan yang semula kasar menjadi lebih halus yang memerlukan kecermatan dan kontrol otot-otot yang lebih halus serta terkoordinir. Untuk melatih ketrampilan dan koordinasi gerakan, dapat dilakukan dengan beberapa permainan dan alat bermain yang sederhana seperti kertas koran, kubus-kubus, bola, balok titian, dan tongkat.
Menurut Yusuf (2001: 164), kemampuan motorik anak dapat dideskripsikan sebagai berikut.Kemampuan motorik kasar usia 3-4 tahun adalah naik turun tangga, meloncat dengan dua kaki, melempar bola, meloncat,sedangkan kemampuan motorik halus anak adalah menggunakan krayon, menggunakan benda/alat, menirukan bentuk (gerakan orang lain). Kemampuan motorik kasar anak usia 4-6 tahun adalah mengendarai sepeda anak, menangkap bola, bermain olah raga. Kemampuan motorik halus anak usia 4-6 tahun adalah menggunakan pensil, menggambar, memotong dengan gunting, menulis huruf cetak.
Sementara itu, gerakan yang sering dilakukan anak-anak dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu (1) motorik statis, yaitu gerakan tubuh sebagai upaya memperoleh keseimbangan gerak pada saat berjalan, (2) motorik ketangkasan, yaitu gerakan untuk melakukan tindakan yang berwujud ketangkasan dan ketrampilan, (3) motorik penguasaan, yaitu gerak yang dilakukan untuk mengendalikan otot-otot tubuh sehingga ekspresi muka terlihat jelas (Zulkipli 1992 : 32).
James Mark Baldwin (dalam Suryabrata 1993: 182-183) menerangkan, perkembangan sebagai proses sosialisasi dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi. Adaptasi dan seleksi ini berlangsung atas dasar hukum efek (law of effect). Juga tingkah laku pribadi diterangkan sebagai imitasi. Kebiasaan adalah imitasi terhadap diri sendiri, sedangkan adaptasi adalah peniruan terhadap orang lain.
Mengacu pada pendapat tersebut, Baldwin (dalam Suryabrata 1993: 183-184) membagi proses peniruan menjadi tiga tahap, yaitu: (1) tahap proyektif (projective stage) adalah tahap dimana anak mendapatkan kesan mengenai model (obyek) yang ditiru, (2) tahap subyektif (subjective stage) adalah tahap dimana anak cenderung untuk meniru gerakan-gerakan, atau sikap model atau obyeknya, (3) tahap efektif (efective stage) adalah tahap dimana anak telah menguasai hal yang ditirunya, dia dapat mengerti bagaimana orang merasa, berangan-angan, dan berfikir.
John Martin dalam Soedarsono (1978: 1) menyatakan bahwa substansi baku tari adalah gerak dan ritme. Gerak tidak hanya terdapat di dalam denyutan-denyutan seluruh tubuh manusia untuk tetap dapat memungkinkan manusia hidup, tetapi gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala pengalaman emosional. Sach dalam Soedarsono (1978: 1) menyatakan bahwa substansi dasar tari adalah gerak, tetapi gerak-gerak yang ada di dalam tari itu bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif. Langer (1988: 14) menekankan bentuk ekspresif itu adalah sebuah bentuk yang diciptakan manusia untuk bisa dirasakan (dinikmati dengan rasa).
Pada dasarnya gerak terungkap atau terwujud dengan adanya elemen-elemen dasar dari gerak yang membuat tari dapat menjadi ekspresi seni. Doris Humprey (1983: 23) mengatakan bahwa ruang, waktu dan tenaga adalah elemen-elemen dasar dari gerak. Disamping elemen-elemen dasar gerak, tari juga mengandung nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai keindahan ini terletak pada wiraga, wirama dan wirasa (Rusliana 1984: 14-15).

B. Pendidikan Seni Tari Sebagai Proses Peningkatan Kecerdasan Emosional Anak
Dari sejak awal perihal kehadiran dan keberadaan pendidikan seni (tari) dalam konteks sekolah umum di Indonesia, yang dalam sepanjang sejarahnya sering mengalami perubahan (baca: pembaharuan) nama, paradigmanya lebih diorientasikan dalam perspektif pemaknaan seni sebagai media atau alat pendidikan. Dalam artian, lewat atau melalui kegiatan atau aktivitas berkesenian, diyakini dapat difungsikan sebagai media yang cukup efektif untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan segenap potensi individu secara optimal dalam format kesetimbangan (equilibrium) yang penuh. Disini, yang menjadi orientasi dan stretching point-nya dari pemaknaan aktivitas berkesenian bukan berada pada persoalan produk karya atau hasil, melainkan lebih pada dimensi proses (Goeldberg 1997: 17-20). Proses yang terbingkai dalam makna pendidikan seni, yang lebih dikenal dengan sebutan “pengalaman estetik” (aesthetic experience) menurut pendapat dan hasil penelitian para pakar pendidikan (Plato, Herbert Read, Victor Lowenfeld, Malcom Ross, Elizabeth Hurlock, Ki Hadjar Dewantara), ternyata mempunyai korelasi positif terhadap perkembangan berbagai potensi diri individu, misalnya: imajinasi, intuisi, berpikir, kreativitas, dan juga rasa sensitivitas.
Dalam pandangan psikologi kontemporer tentang belajar (“konstruktivisme”), diisyaratkan bahwa belajar adalah mengkonstruksikan pengetahuan yang terjadi from within. Jadi tidak dengan memompakan pengetahuan itu ke dalam kepala pembelajar, melainkan melalui suatu dialog yang ditandai oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi (two sided experience), untuk memberikan pemahaman dan menyulut minat dalam mengadakan eksplorasi lebih lanjut tentang apa yang ingin dijadikan perolehannya (Buber 1970 dalam Sindhunata 2001). Ini berarti bahwa, penekanan belajar tidak lagi seharusnya pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar siswa menggunakan peralatan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien, sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan terutama juga oleh keterlibatan emosional dan kreatif.
Daniel Goleman, Ph.D dari Harvard University, melalui hasil action research di dalam bukunya Emotional Intelligence (1995) dan Working with Emotional Intelligence (1999), mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental, yaitu berasal dari kepala (head) yang cirinya kognitif, dan berasal dari hati sanubarinya (heart), yaitu segi afektifnya. Kehidupan afektif ini sangat mempengaruhi kehidupan kognitif yang dikelola oleh otak, yang memiliki dua belahan (kiri dan kanan) dan disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Berpikir holistik, kreatif, intuitif, imajinatif, dan humanistik merupakan tugas serta ciri dan fungsi belahan otak kanan (right hemisphere), dan berpikir kritis, logis, linier, serta mememorisasi terutama terkait dengan respon, ciri, dan fungsi belahan otak kiri (left hemisphere) (Semiawan 1999).
Pengalaman belajar yang menjanjikan adanya kualitas equilibrium pada pengembangan otak secara optimum, baik pada belahan kiri dan kanan akan memberikan kebebasan aktivitas mental (free mental work) pebelajarnya, dan hal ini kiranya merupakan quality assurancy yang perspektifnya sangat strategis bagi keberadaan individu secara holistik dalam kehidupan dan masyarakatnya. Sebaliknya pembelajaran yang hanya dan terutama membebankan berfungsinya belahan otak kiri, terutama dengan mememorisasi fakta atau rumus tertentu, yang menurut hasil penelitian, diantaranya akan mensupress dirinya–sangat mendorong adanya hostile attitude (sikap permusuhan) (Semiawan 1999). Tindak agresivitas massa dan konflik multidimensional yang menjadi salah satu beban terberat bangsa akhir-akhir ini, adalah salah satu kemungkinan akibat dari kehidupan yang tidak sehat dan terkait erat dengan cara pembelajaran yang salah, sebagaimana diisyaratkan oleh penelitian tersebut.
Namun, jauh sebelum Goleman melakukan penelitiannya itu, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara bahkan sudah sejak lama menjadikan unsur rasa sebagai poros trilogi pendidikan dalam bentangan pikir (cipta)–rasa– karsa. Ki Hadjar Dewantara secara intens menekankan pentingnya olah rasa disamping olah pikir dan olah raga. Melalui olah rasa inilah akan memekarkan sensitivitas hingga terbentuk manusia-manusia yang berwatak mulia, seperti: terintegrasinya antara pikir, kata, dan laku, sikap jujur, rendah hati, disiplin, setia, menahan diri, bertenggang rasa, penuh perhatian, belas kasih, berani, adil, terbuka, dan sebagainya. Oleh karenanya proses internalisasi atau pengakaran, pengasahan dan pemekaran rasa seyogyanya menjadi concern sejak pendidikan di tingkat dini.
Ketika pendidikan moral dan nilai-nilai yang tersaji dalam format pendidikan agama baik formal maupun informal, ternyata dalam ekspresinya berkecenderungan lebih mengedepankan pengasahan aspek kognitif dan bukannya penajaman dan penghayatan pada dimensi religiousitas, maka sesungguhnya nilai-nilai yang termuat dalam pendidikan yang berbasiskan seni dan sastra merupakan salah satu alternatif oasis. Sayangnya selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian yang besar dalam sistem pendidikan formal, karena para decission maker pendidikan, sampai saat ini begitu gandrung dengan ranah pendidikan yang berbasiskan kemampuan intelektual semata sebagaimana dimaksud diatas.
Pendidikan seni yang pada hakekatnya merupakan pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman apresiasi estetik, disamping mampu memberikan dorongan ber-“ekstasi” lewat seni, juga memberi alternatif pengembangan potensi psikis diri serta dapat berperan sebagai katarsis jiwa yang membebaskan. Ross mengungkapkan bahwa kurikulum pendidikan seni termasuk kurikulum humanistic yang mengutamakan pembinaan kemanusiaan, bukan kurikulum sosial yang mengutamakan hasil praktis (Ross 1983). Sedangkan menurut Read (1970) pendidikan seni lebih berdimensikan sebagai “media pendidikan” yang memberikan serangkaian pengalaman estetik yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan jiwa individu. Sebab melalui pendidikan ini akan diperoleh internalisasi pengalaman estetik yang berfungsi melatih kepekaan rasa yang tinggi. Dengan kepekaan rasa yang tinggi inilah, nantinya mental anak mudah untuk diisi dengan nilai-nilai religiousitas, budi pekerti atau jenis yang lain. Definisi dan pemaknaan “kearifan” diperlukan syarat-syarat: pengetahuan yang luas (to be learned), kecerdikan (smartness), akal sehat (common sense), tilikan (insight), yaitu mengenali inti dari hal-hal yang diketahui, sikap hati-hati (prodence, discrete), pemahaman terhadap norma-norma dan kebenaran, dan kemampuan mencernakan (to digest) pengalaman hidup (Buchori 2000 dalam Sindhunata 2001: 25). Semua nilai-nilai itu terkandung dengan sarat dalam dimensi pendidikan seni, karena berorientasi pada penekanan proses pengalaman olah rasa dan estetis.
Proses Perubahan Perilaku Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini melalui Pembelajaran Seni Tari
Peningkatan kecerdasan emosional anak usia dini melalui pembelajaran seni tari dapat dilihat melalui: (1) timbulnya perasaan bangga, (2) memiliki sifat pemberani, (3) mampu mengendalikan emosi, (4) mampu mengasah kehalusan budi, (5) mampu menumbuhkan rasa bertanggung jawab, (6) mampu menumbuhkan rasa mandiri, (7) mudah berinteraksi dengan orang lain, (8) memiliki prestasi yang baik, (9) mampu mengembangkan imajinasi, dan (10) menjadi anak yang kreatif.
1. Timbulnya Perasaan Bangga
Perasaan bangga pada anak dapat dilihat pada saat anak tampil menari dengan ekspresi tersenyum, tenang, dan gembira. Seorang anak membutuhkan kesepakatan pujian dari orang yang dikagumi, dicintai dan dihormatinya. Mendapat pujian dari orang yang dicintai, dikagumi, akan dapat membuat anak menjadi merasa lebih berarti dan berguna. Pujian tersebut bisa berupa kalimat verbal maupun non verbal sebagai pernyataan kekaguman atas diri anak. Pujian yang disampaikan kepada anak akan menimbulkan sugesti positif bagi anak, sehingga anak terpengaruh untuk menjadi lebih tenang, gembira, aman, optimis dan sebagainya.
Perasaan bangga pada anak dapat dilihat melalui penampilan anak dalam melakukan gerakan tari yang selalu disertai dengan senyuman, kelincahan dan kegembiraan. Kemampuan menari dan peningkatan gerak motorik anak dapat menimbulkan perasaan bangga pada anak, yang menunjukkan anak memiliki kecerdasan emosional yang baik. Kecerdasan emosional anak terbentuk pada saat anak memulai belajar menari dari gerakan awal yang tidak begitu dikuasai, sampai akhirnya menguasai gerakan tari secara keseluruhan.


2) Memiliki Sifat Pemberani
Proses pembelajaran seni tari mengajarkan anak berani bergerak dengan bebas, berani bertanya, berani melakukan perintah gurunya, berani menunjukkan kemampuannya, dan berani untuk tampil di hadapan orang lain. Sikap berani anak ditunjukkan melalui cara anak menari dengan bebas tanpa tekanan, selalu tersenyum, tatapan mata yang penuh percaya diri. Selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari sikap pemberani anak dalam menari tersebut tercermin dari sikap anak yang berani untuk bertemu dengan orang lain, berani menjawab pertanyaan orang lain, berani bertanya, berani bermain dengan teman sebayanya, berani berada di lingkungan yang baru dan berani mengikuti perintah guru.
3) Mampu Mengendalikan Emosi
Perilaku anak, baik itu meliputi perilaku yang baik ataupun buruk merupakan bagian dari pengembangan kecerdasan emosional anak. Sesungguhnya anak cenderung memiliki emosi yang lebih kuat daripada orang dewasa, karena anak belum mampu mengembangkan kemampuan menalar sampai dengan usia 9 tahun. Anak yang memiliki kecerdasan emosional kuat akan mampu menciptakan dan mempertahankan hubungan sehat dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri. Kecerdasan emosional anak terlihat pada anak yang benar-benar dididik dan diarahkan untuk menjiwai dan menghargai terhadap kemampuan dalam melakukan suatu tarian. Anak yang secara rutin belajar tari, secara tidak langsung telah belajar berbuat, merasa, dan menghargai orang lain. Kemampuan anak tersebut sangat berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sementara itu, perlu diperhatikan pula, bahwa faktor dukungan dari sekolah, orang tua dan masyarakat juga mempengaruhi pengendalian emosi anak yang sudah terarah dan terbentuk dengan baik, senantiasa akan berubah dan luntur oleh lingkungan dimana anak berada.
4) Mampu Mengasah Kehalusan Budi
Pelaksanaan pembelajaran seni tari tidak hanya mengajarkan, melatih dan membimbing anak untuk bergerak mengikuti alunan musik, melainkan dapat juga membimbing dan mengarahkan perilaku anak dengan etika yang baik. Seni tari mengajarkan anak untuk dapat menyesuaikan gerakan dengan musik sehingga anak secara tidak langsung berlatih untuk menggunakan kepekaan dan kehalusan budi/perasaannya agar dapat bergerak sesuai dengan musik. Anak belajar untuk mentaati dan melaksanakan perintah guru dalam pembelajaran seni tari, yang tercermin pada saat guru memberikan contoh gerak dan menyuruh anak untuk memperhatikan, menirukan dan mempraktekkan. Anak belajar untuk mengingat gerakan yang diberikan guru, sehingga anak juga belajar mengasah kognitifnya. Selain kognitifnya terasah, anak juga belajar menanamkan nilai-nilai etika yang mengasah kehalusan budinya melalui kegiatan menari dengan cara belajar menghargai teman, bekerjasama dengan teman, menolong sesama teman, mengikuti perintah guru, menghormati guru, dan memiliki sopan santun.
5) Mampu Menumbuhkan Rasa Bertanggung jawab
Anak yang bertanggungjawab adalah anak yang mampu melakukan apa yang diinginkannya sekaligus juga mampu melakukan apa yang diinginkan orang lain, mampu memilih mana yang baik dan buruk serta berani menanggung resiko. Untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak harus dilakukan dengan lemah lembut, halus, tegas tetapi penuh pengharapan. Bentuk tanggung jawab yang diajarkan guru kepada anak melalui pembelajaran seni tari adalah: (1) belajar mentaati waktu, apabila waktunya belajar tari sudah tiba maka anak-anak diminta segera untuk menuju ruang berlatih, (2) belajar mengatur dirinya sendiri melalui berbaris rapi, berjajar dengan teman-temannya pada saat mengikuti pelajaran tari, (3) belajar memperhatikan guru pada saat guru menerangkan dan mengikuti semua perintah guru, dan (4) belajar menghafalkan gerakan yang diberikan guru.
6) Mampu Menumbuhkan Rasa Mandiri
Salah satu ciri anak yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi adalah mempunyai sifat mandiri. Sifat mandiri pada anak dapat ditanamkan melalui pembelajaran tari, caranya dengan mengajarkan anak untuk melakukan tugas-tugasnya secara mandiri. Tugas-tugas anak tersebut antara lain yaitu: mencari tempat di dalam barisan pada saat belajar menari, berjalan tertib menuju ruang latihan menari, menirukan gerak yang diberikan oleh gurunya tanpa disuruh, berani menari sendiri tanpa diberi contoh, berani mengambil tempat minum sendiri, berani menari didepan banyak orang tanpa didampingi gurunya.
7) Mudah Berinteraksi dengan orang lain
Dalam pembelajaran seni tari, anak diajarkan untuk berinteraksi dengan orang lain, misalnya menjawab pertanyaan guru, memperhatikan guru dalam menjelaskan materi, menirukan gerak yang diberikan oleh guru, mempraktekkan gerak yang diajarkan guru, bertanya pada guru apabila mempunyai kesulitan, menyapa teman, berbaris rapi bersama teman, menari bersama teman, mau berbagi dengan teman. Kebiasaan yang diajarkan guru dalam proses belajar menari tersebut dapat diterapkan di dalam perilaku sehari-hari, misalnya mau menjawab pertanyaan orang lain, memperhatikan orang lain yang berbicara dengannya, bertanya atau menyapa pada orang lain, mau bermain dengan teman, berbagi dengan teman, membantu teman yang dalam kesulitan.
8) Memiliki Prestasi Yang Baik
Belajar menari tidak hanya membuat anak mempunyai tubuh yang lentur dan bugar, akan tetapi lebih jauh lagi, menari mampu membentuk kecerdasan emosional dan logika anak yang dibuktikan dengan prestasi yang baik di dalam pelajaran lainnya. Berdasarkan wawancara dengan Heny guru kelas A2, bahwa anak-anak yang suka menari dan sering mengikuti pentas menari cenderung memiliki prestasi yang tinggi jika dibandingkan dengan anak yang tidak suka kegiatan menari. Anak yang suka menari mempunyai sifat mudah diajak berkomunikasi, mudah tanggap terhadap materi pelajaran yang diberikan oleh guru dan cepat selesai mengerjakannya. Anak juga mempunyai konsentrasi yang baik dalam mengikuti pelajaran. Hal ini disebabkan karena di dalam proses belajar menari, anak tidak hanya dituntut untuk bisa menghafalkan gerak, tetapi juga dituntut untuk mampu mempraktekkannya sesuai dengan iringan dan mampu mengeskpresikan gerak tersebut dengan baik. Artinya di dalam proses belajar menari, anak belajar 3 hal sekaligus yang tidak didapatkan dalam mata pelajaran lain, yaitu menghafalkan, menyesuaikan gerak dengan musik, dan menjiwai gerakan tersebut.
9) Mampu Mengembangkan Imajinasi
Dalam pembelajaran tari, pengembangan imajinasi anak dilakukan melalui cerita yang disampaikan oleh guru sebelum memberikan contoh gerak. Selain cerita, foto, gambar, film, keadaan disekeliling anak juga dapat menjadi media pengembangan imajinasi anak. Misalnya, guru akan mengajarkan tari burung, terlebih dahulu anak diberikan cerita mengenai burung, bagaimana burung itu mencari makan, minum, terbang, bertengger, berjalan dan tidur. Kemudian anak diajarkan menirukan perilaku burung tersebut sesuai dengan imajinasi anak sendiri. Guru hanya mengarahkan gerakan yang dibuat anak berdasarkan imajinasinya tersebut supaya menghasilkan gerak yang baik. Guru harus menghargai karya anak tersebut, tidak boleh mencela atau mengatakan buruk, karena hanya akan mematahkan daya imajinasi anak.
10) Menjadi Anak Yang Kreatif
Proses pengembangan daya imajinasi anak, akan mengarah atau membentuk perilaku kreatif anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya anak. Dalam proses belajar tari, anak cenderung menjadi lebih kreatif, karena anak diberi kebebasan untuk bergerak, menirukan gerak, menafsirkan gerak sesuai dengan kemampuannya. Artinya dalam proses belajar tari, tidak ada istilah benar dan salah, sehingga anak bebas menirukan gerak yang diberikan gurunya. Bebas artinya gerakan yang dilakukan anak tidak harus sama persis yang dilakukan gurunya, misalnya gerak tangan ke atas, seharusnya gerak tangan tersebut dilakukan dengan lurus ke atas, tetapi anak bisa melakukannya tidak lurus mungkin agak serong. Selain itu, anak juga diberikan kebebasan untuk menafsirkan cerita yang diberikan guru untuk mengekspresikannya kedalam gerak sesuai dengan imajinasinya. Dengan membiarkan anak melakukan gerak tari sesuai dengan kemampuan dan imajinasinya, guru secara tidak langsung sudah mengajarkan anak untuk mengembangkan kreativitasnya. Kreativitas gerak yang dimiliki anak, merupakan salah satu ciri kecerdasan emosional anak.






BAB III
SIMPULAN DAN SARAN


A.    Simpulan
Proses pelaksanaan pendidikan seni tari pada anak usia dini tidak terlepas dari proses belajar mengajarnya, yang meliputi: tujuan, materi pembelajaran, metode kegiatan belajar mengajar, sarana dan prasarana, evaluasi, kondisi sosial dan budaya.
Peningkatan kecerdasan emosional anak usia dini melalui pembelajaran seni tari dapat dilihat melalui: (1) timbulnya perasaan bangga, (2) memiliki sifat pemberani, (3) mampu mengendalikan emosi, (4) mampu mengasah kehalusan budi, (5) mampu menumbuhkan rasa bertanggung jawab, (6) mampu menumbuhkan rasa mandiri, (7) mudah berinteraksi dengan orang lain, (8) memiliki prestasi yang baik, (9) mampu mengembangkan imajinasi, dan (10) menjadi anak yang kreatif.

B.     Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, saran yang disampaikan sebagai berikut.
1. Bagi Sekolah, hendaknya lebih memperhatikan dan mendukung proses pembelajaran seni tari pada anak usia dini dengan cara menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan, memberikan kesempatan bagi anak untuk menampilkan hasil dari pembelajaran seni tari baik dalam lomba-lomba tari ataupun dalam kegiatan pementasan sekolah, memberikan kesempatan bagi guru untuk meningkatkan kemampuannya di bidang seni tari.
2. Bagi Anak, hendaknya lebih rajin mengikuti pembelajaran seni tari sehingga kecerdasan emosionalnya semakin meningkat.
3. Bagi Orang tua anak, hendaknya lebih mendukung proses pembelajaran seni tari dengan cara mengikut sertakan anak dalam kegiatan menari, lomba-lomba tari maupun pementasan tari baik yang diadakan pihak sekolah maupun luar sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, H.A. 1992. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta.

Freire, Paulo. 1973. Pedagogy of The Oppressed. London: Penguin Books (Ir. Myra Bergman Ramos).

Goldberg, Merryl. 1997. Arts and Learning. An Integrated Approach to Teaching and Learning in Multicultural and Multilingual Setting. New York: Longman.

Humprey, Doris. 1983. Seni Menata Tari. Terjemahan. Sal Murgianto. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Jazuli M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Kamaril, Cut. 2001. Konsep Pendidikan Seni Tingkat SD-SLTP-SMU. Makalah. Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Seni. 18-20 April 2001. Jakarta: Hotel Indonesia.

Langer, Susane K. 1988. Problematika Seni. Terjemahan. FX. Widaryanto. Bandung: ASTI Bandung.

Mac Donald, Smart. 1970. History and Philosophy of Art Education. New York: American Elsevier.

Miles, Mattew B dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Terjemahan. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI.

Read, Herbert. 1970. Education Through Art. New York: Faber and Faber Culure Macmillan.

Rohendi, Tjetjep Rohidi. 2001. Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa.

Ross, Malcolm. 1983. The Aesthetic Impuls. Oxford: Pergamon Press.

Rusliana, Iyus. 1984. Seni Tari untuk KPG. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Semiawan, Cony. 1999. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: Grasindo.

Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan : Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, dan Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.

--------------------. 2001. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita : Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius.

Soedarsono. 1978. Pengantar Pengetahuan Tari. Yogyakarta: ASTI.

Suryabrata, Sumadi. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Yusuf LN, Syamsu. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.


Zulkipli. 1992. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive