Suku Baduy adalah salah satu etnis yang tidak dapat terpisahkan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
posisi geografis dan administratif
berada di sekitar Pegunungan Kendeng Desa Kanekes.
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Bukanlah merupakan
suku terasing, tetapi suatu suku yang sengaja
“ mengasingkan dirinya
“ dari kehidupan dunia luar (menghindari modernisasi), menetap dan menutup
dirinya dari pengaruh kultur luar yang dianggap negatif
dengan satu tujuan untuk menunaikan amanat leluhur dan pusaka
karuhun yang mewasiatkan untuk selalu memelihara keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Pengaruh
kesehariannya lebih mengarah
pada ciri-ciri kebegawanan, yaitu hidup sederhana apa
adannya, membatasi hal-hal yang berkaitan
dengan kebutuhan keduniaan
atau materi yang berlebihan,
hidup dengan berpedoman pada pikukuh dan kaidah-kaidah yang sarat nasihat dan penuh makna.
Kesederhanaan tersebut tercermin
dalam berbagai aspek kehidupan
sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari rumah tempat tinggal yang seragam arah dan bentuknya, yaitu nyulah nyanda menghadap
arah Utara-Selatan; bentuk dan warna pakaian yang khas, hanya dua warna, putih dan hitam; keseragaman dalam bercocok tanam, yaitu (ngahuma); dan yang tak kalah pentingnya tentang kepatuhan dan
ketaatan mereka pada satu keyakinan,
yaitu yakin pada agama Slam Sunda Wiwitan, dan
keyakinan itu tidak untuk disebarluaskan kepada masyarakan luar komunitas
adat Baduy.
Kepatuhan masyarakat Suku Baduy dalam melaksanakan amanat leluhurnya (ngamumule pikukuh karuhun) sangat kuat, ketat serta tegas, tetapi tidak ada sifat pemaksaan kehendak (bernuansa demokrasi). Ini terbukti dari filosofi hidup yang begitu arif bijaksana dan berwawasan jauh ke depan serta sikap waspada yang luar biasa (waspada permana tinggal) dari para leluhur . Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya dua komunitas generasi penerus kesukuan, sekaligus dengan aturan hukum adatnya masing-masing yang sarat dengan ciri khas perbedaan, namun mampu mengikat menjadi satu kesatuan Baduy yang utuh.
Pertama, komunitas yang menamakan dirinnya Suku Baduy Dalam (Tangtu) atau disebut Baduy Asli, dimana pola kehidupan
sehari-harinya benar-benar sangat memegang hukum adat serta kukuh pengukuh dalam melaksanakan amanat
leluhurnya. Baduy Dalam lebih menunjukkan pada replika Baduy masa
lalu. Kedua, Komunitas yang menamakan
dirinya Suku Baduy Luar yang pada kehidupan sehari- harinya mereka itu diberikan suatu
kebijakan atau kelonggaran dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan hukum adat, tetapi ada batas-batas tertentu yang tetap mengikat mereka sebagai suatu komunitas adat
khas Baduy.
Masyarakat Suku Baduy adalah masyarakat yang unik, kehidupan itu tampak dalam berbagai aspek kehidupan seperti di atas, satu sisi mereka mengasingkan diri untuk menghindari pengaruh- pengaruh negatif dunia modern, namun disisi lain terjadi hubungan yang serasi dan berkesinambungan dengan dunia luar. Mereka sangat menghargai program-program pemerintah dan bekerjasama dengan baik, tetapi dengan catatan harus disesuaikan dengan tatanan hukum adat. Hubungan dan kerjasama dengan masyarakat sekitar tanah ulayat (masyarakat luar Baduy) juga sangat harmonis, saling menghargai satu sama lain bahkan terjadi komunikasi yang aktif dalam membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di luar Baduy. Masyarakat Baduy sangat menghargai para pengunjung (wisatawan). Karena itu dikatakan, bahwa Baduy itu tertutup tetapi terbuka, kaku tapi fleksibel.
Masyarakat Baduy
bukanlah masyarakat yang bodoh, lugu, dan tabu dengan
hal yang modern. Mereka bukan tidak tahu tentang hukum dan politik
bahkan tentang pemerintahan, bukan pula tidak respek
terhadap kejadian-kejadian kehidupan bernegara dan berbangsa; juga bukan suku yang tidak bisa apalagi tidak mau bisa baca
tulis hitung, serta bukan suku yang lupa akan perjalanan sejarahnya dan bukan suku yang tidak berfikir
tentang masa depannya,
tetapi measyarakat Baduy adalah satu suku yang lebih meyakini
dan memahami tentang
keberadaan kesukuannya untuk percontohan budaya bagi saudara-saudara sebangsannya sebagaimana amanat
leluhurnnya. Masyarakat Baduy bukan
suku terasing yang tidak berbudaya karena sejak lahir mereka memiliki
perangkat hukum adat yang lengkap
dengan sebutan Perangkat Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh, adalah masyarakat yang sangat yakin kukuh pengkuh terhadap tugas dan fungsi kesukaannya dan sangat menikmati
pilihan hidupnya dengan segala
konsekuen.1
Suku Baduy atau masyarakat Kanekes secara umum terbagi kepada tiga kelompok; 1. Kelompok Tangtu yaitu Kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam paling ketat mengikuti dan menjalankan hukum Adat, yang bermukim di tiga kampung; Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana. Ciri khas Baduy Dalam adalah; Pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. 2. Kelompok Panamping, mereka dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam. Seperti di kampung Cikadu, Kaduketug, Kadukolot, Gajeboh dan lain sebagainya dengan ciri khasnya memakai pakaian dan ikat kepala hitam, mereka telah mengenal teknologi seperti peralatan elektronika.
3. Kelompok Dangka kelompok ini tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini hanya tinggal dua kampung yang tersisa, yaitu Kampung Padawaras
(Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam), kampung
Dangka tersebut berfungsi sebagai penyangga pengaruh dari luar.
Daerah Baduy, merupakan
salah satu Kawasan
Hutan Lindung/Tanah Ulayat di Desa Kanekes dalam wilayah Kabupaten
Lebak, tepatnya sekitar
lebih kurang 46 Km ke arah Selatan
dari Rangkasbitung berada di
Kecamatan Leuwidamar. Daerah ini hampir secara keseluruhannya merupakan daerah Pegunungan dan Hutan Belantara seluas lebih kurang 5.101,85 HA
berpenduduk sekitar 7.265 jiwa yang terdiri
dari :
a. Laki-laki : Usia
0-14 Tahun = 1.371 jiwa
Usia 15-70 Tahun
= 2.265 jiwa
b. Wanita : Usia 0-14
Tahun = 1.390 jiwa
Usia 15 -70 Tahun = 2.239 jiwa
Dari 53 kampung dengan 1.865
Kepala Keluarga. (hasil pendataan sampai dengan 26 Maret 2004).
Didasarkan pada Peraturan Hukum Adat yang merupakan perwujudan serumpun amanat leluhurnya dalam manentukan sikap, batasan-batasan dan pedoman hidup yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan, ketentraman, kedamaian dan ketenagaan antara karya cipta dan kreativitas untuk dapat berkesinambungan yang berlaku di wilayah itu. Sistim pemerintahannya dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
1.
Baduy Jero, meliputi Kp. Cibeo, Cikeusik
dan Cikertawana masing-masing dipimpin oleh seorang Puun
2.
Baduy Luar,
yaitu Penduduk Baduy yang berada di luar ketiga perkampungan tersebut dengan istilah Baduy Panamping (Baduy Pasisian) masing-masing dipimpin oleh seorang
Jaro Dangka
Menurut kepercayaan orang Baduy, para Puun di Baduy merupakan
Pimpinan Hukum Adat yang paling tinggi kekuasaannya, dipilih oleh masyarakat dari Garis keturunan dan mempunyai
titisan darah dari Sang Hyang Batara
Tunggal untuk menyampaikan amanat dan
petunjuk hidup untuk anak-anak keturunannya disamping memiliki kemampuan (kharismatik dan spesifik) serta
keyakinan beragama yang kuat (Sunda
Wiwitan).
Yang menjabat Puun Cikeusik, adalah yang memiliki
darah Keturunan yang
dititiskan oleh anak laki-laki Pertama Batara Tunggal sehingga sampai sekarang
mempunyai hak untuk menentukan, memutuskan, dan mengambil sikap dalam urusan yang menyangkut tata tertib tatanan
adat juga bertindak
sebagai Ketua Pengadilan Adat.
Kemudian yang menjabat sebagai Puun Cibeo, adalah wargannya yang memiliki garis keturunan yang dititiskan dari anak perempuan kedua Batara Tunggal yang hanya berhak menata, mengaturm menertibkan dan membina wargannya yang menyangkut sistem tatanan adat serta bertanggungjawab memberikan pelayanan kepada warga dan tamu-tamu yang datang kekawasannya.
Sedangkan urusan-urusan kesejahteraan, keamanan dan ketahanan
berada pada tanggungjawab Puun Cikertawana yang merupakan
keturunan dari anak ketiga Laki-laki Batara Tunggal dan hanya membantu tugas-tugas dari Puun
Cikeusik dan Puun Cibeo. 2
Mereka dibantu oleh para Jaro Tangtu, Girang Serat, Baresan Salapan, Tangkesan, Jaro Dangka, Jaro
Tanggungan XII dan Tokoh Adat.
Kepercayaan masyarakat Baduy yang populasi
penduduknya sekitar 5000-8000
orang adalah Sunda Wiwitan yaitu ajaran leluhur turun temurun yang
bersumber pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan
alam (animisme). Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan
alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga
dan melestarikan alam yaitu; merawat alam sekitar (gunung, bukit,
lembah, hutan, mata air, sungai dan segala
ekosisten didalamnya).
Salah satu tradisi yang dianggap lumrah dan masih dilakukan Suku Baduy Dalam adalah tata cara perkawinan, seorang gadis yang sudah berumur 14 tahun akan dijodohkan dengan laki-laki sesama Baduy Dalam, Selama masa perjodohan, orang tua dari calon pengantin laki-laki bebas memilih calon pengantin perempuan yang disukainya. Namun jika belum menemukan pilhan yang cocok, laki-laki maupun perempuan harus menuruti pilihan orang tua atau pilihan yang diberikan oleh Puun (tokoh Adat)
Perkawinan merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan
oleh setiap manusia tak terkecuali, hal tersebut merupakan pemahaman masyarakat di Suku Baduy. memiliki praktik pernikahan yang cukup unik. Sistem pernikahan di Suku Baduy Dalam yaitu perkawinan Monogami
yang artinya seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang,
tidak diperbolehkan bercerai dan perkawinan poligami
merupakan suatu yang dilarang
oleh hukum adat.
Tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga
diatur dalam ketentuan lembaga adat Baduy
yang mengikat. Calon pengantin di pilihkan oleh orang tua, pada praktiknya proses pernikahan mempelai
akan mengucapkan syahadat (seperti ijab qabul), disaksikan olen Naib sebagai
penghulunya. Perkawinan yang mereka laksanakan tidak tercatat atau tidak mempunyai
buku nikah sebagaimana umumnya pernikahan yang dilakukan warga masyarakat di Indonesia, hal ini karena terbentur dengan yang mereka yakini (hukum adat).
Adapun pelaksanaan akad nikah dan
resepsi bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai Adat yang dipimpin oleh Pu‟un untuk mengesahkan pernikahan tersebut. Dalam ketentuan
sistem pernikahan masyarakat Suku Baduy tidak mengenal poligami
dan perceraian. Akan tetapi mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali
jika salah satu dari mereka meninggal.
Sistem perkawinan di masyarakat Baduy dikenal dua jenis, yaitu perkawinan yang berlaku di masyarakat Baduy Dalam dan perkawinan di masyarakat Baduy Luar. Kedua sistem perkawinan tersebut memiliki perbedaan dan persamaan. Pernikahan di masyarakat Baduy Dalam adalah pernikahan yang dijodohkan oleh kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak dengan restu serta petunjuk tokoh adat masing-masing kampung dengan melalui proses dan tahapan tertentu yaitu tiga tahapan lamaran. Secara singkat dan jelas Ayah Mursid mengatakan bahwa: “Perkawinan nu berlaku di adat kami aya dua, kahiji perkawinan di Baduy Dalam sistemna dijodohkeun, pelaksanaanna tilu tahapan lamaran, jarak waktu ti lamaran kahiji nepi ka lamaran katilu lilana satahun, di Baduy Dalam teu dikenal bobogohan seperti ilaharna urang luar. Sedangkeun di Baduy Luar mah carana aya dua, kahiji dijodohkeun, nu kadua neangan sorangan tapi kudu disatujui ku kolotna.
Artinya: “Perkawinan yang berlaku di adat Baduy ada dua, pertama, perkawinan di Baduy Dalam
sistemnya dijodohkan, proses pelaksanaannya tiga tahapan lamaran,
dari lamaran kesatu sampai lamaran ketiga lamannya satu tahun. Di
Baduy Dalam tidak dikenal adanya masa
pacaran seperti umumnya di luar Baduy. Sedangkan di Baduy Luar caranya ada dua, pertama dengan dijodohkan, dan yang kedua memilih sendiri, tetapi harus disetujui oleh orang tuanya.”3
Pandangan Hukum Islam perkawinan sebagai
perbuatan ibadah, ia juga
merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul.
Sunnah Allah, berarti menurut qudrat dan iradat suatu
tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri
dan untuk umatnya.
Pernikahan merupakan perbuatan
hukum yang sudah melembaga dalam kehidupan di masyarakat. Lembaga
pernikahan merupakan faktor penting sebagai
sendi kehidupan dan tatanan masyarakat Indonesia, pernikahan itu merupakan persoalan
hukum, agama dan masyarakat. Di dalam peradaban
manusia di dunia, pernikahan merupakan
persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara
formal dan berdasarkan aturan- aturan
baik secara yuridis formal (Undang-undang Hukum Positif) atau secara religious (aturan agama yang
dianut) yang dilakukan selama hidupnya
sesuai dengan ketentuan dalam lembaga pernikahan.
Oleh karena itu, pelaksanaan pernikahan harus berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah telah disepakati untuk dipatuhi, dan bagi yang melanggar
akan mendapat sanksi. Aturan perundangan-undangan tentang
perkawinanUndang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1989 Tentang Pelaksanaan dari Undang-undang Perkawinan dan kompilasi Hukum Islam.
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula
ialah ijab dan qobul („aqad) yang
menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang duicapkan oleh Islam. Perkataan zawaj
digunakan di dalam Al-Qur‟an bermaksud
pasangan dalam penggunaannya perkataa ini bermaksud di dalam Al-Qur‟an bermaksud
Allah S.W.T menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan menghalalkan zina.4 Adapun nikah menurut
syari‟at berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan bdan itu
hanya metafora saja.
Islam adalah agama yang universal, agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam. Agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulia bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta perkawinan yang meriah namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunah Rasullullah Shallahu „alaihi wa sallam. Begitu pula dengan perkawinan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Perkawinan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanankan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti sunnah rosul.
Arti dari perkawinan disini adalah bersatunnya dua insan dengan jenis berbeda
yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu
ikatan dengan perjanjian atau akad. Suatu perkawinan mempunyai
tujuan yaitu ingin membangun keluarga
yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan
keturunan yang solihah. Keturunan
inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah
karena keturuna merupakan generasi
bagi orang tuannya.5