Monday, January 31, 2022

Pernikahan Suku Baduy

 

Suku Baduy adalah salah satu etnis yang tidak dapat terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan posisi geografis dan administratif berada di sekitar Pegunungan Kendeng Desa Kanekes. Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Bukanlah merupakan suku terasing, tetapi suatu suku yang sengaja mengasingkan dirinya dari kehidupan dunia luar (menghindari modernisasi), menetap dan menutup dirinya dari pengaruh kultur luar yang dianggap negatif dengan satu tujuan untuk menunaikan amanat leluhur dan pusaka karuhun yang mewasiatkan untuk selalu memelihara keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Pengaruh kesehariannya lebih mengarah pada ciri-ciri kebegawanan, yaitu hidup sederhana apa adannya, membatasi hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan keduniaan atau materi yang berlebihan, hidup dengan berpedoman pada pikukuh dan kaidah-kaidah yang sarat nasihat dan penuh makna.

Kesederhanaan tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari rumah tempat tinggal yang seragam arah dan bentuknya, yaitu nyulah nyanda menghadap arah Utara-Selatan; bentuk dan warna pakaian yang khas, hanya dua warna, putih dan hitam; keseragaman dalam bercocok tanam, yaitu (ngahuma); dan yang tak kalah pentingnya tentang kepatuhan dan ketaatan mereka pada satu keyakinan, yaitu yakin pada agama Slam Sunda Wiwitan, dan keyakinan itu tidak untuk disebarluaskan kepada masyarakan luar komunitas adat Baduy.

Kepatuhan masyarakat Suku Baduy dalam melaksanakan amanat leluhurnya (ngamumule pikukuh karuhun) sangat kuat, ketat serta tegas, tetapi tidak ada sifat pemaksaan kehendak (bernuansa demokrasi). Ini terbukti dari filosofi hidup yang begitu arif bijaksana dan berwawasan jauh ke depan serta sikap waspada yang luar biasa (waspada permana tinggal) dari para leluhur . Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya dua komunitas generasi penerus kesukuan, sekaligus dengan aturan hukum adatnya masing-masing yang sarat dengan ciri khas perbedaan, namun mampu mengikat menjadi satu kesatuan Baduy yang utuh.

Pertama, komunitas yang menamakan dirinnya Suku Baduy Dalam (Tangtu) atau disebut Baduy Asli, dimana pola kehidupan sehari-harinya benar-benar sangat memegang hukum adat serta kukuh pengukuh dalam melaksanakan amanat leluhurnya. Baduy Dalam lebih menunjukkan pada replika Baduy masa lalu. Kedua, Komunitas yang menamakan dirinya Suku Baduy Luar yang pada kehidupan sehari- harinya mereka itu diberikan suatu kebijakan atau kelonggaran dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum adat, tetapi ada batas-batas tertentu yang tetap mengikat mereka sebagai suatu komunitas adat khas Baduy.

Masyarakat Suku Baduy adalah masyarakat yang unik, kehidupan itu tampak dalam berbagai aspek kehidupan seperti di atas, satu sisi mereka mengasingkan diri untuk menghindari pengaruh- pengaruh negatif dunia modern, namun disisi lain terjadi hubungan yang serasi dan berkesinambungan dengan dunia luar. Mereka sangat menghargai program-program pemerintah dan bekerjasama dengan baik, tetapi dengan catatan harus disesuaikan dengan tatanan hukum adat. Hubungan dan kerjasama dengan masyarakat sekitar tanah ulayat (masyarakat luar Baduy) juga sangat harmonis, saling menghargai satu sama lain bahkan terjadi komunikasi yang aktif dalam membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di luar Baduy. Masyarakat Baduy sangat menghargai para pengunjung (wisatawan). Karena itu dikatakan, bahwa Baduy itu tertutup tetapi terbuka, kaku tapi fleksibel.

Masyarakat Baduy bukanlah masyarakat yang bodoh, lugu, dan tabu dengan hal yang modern. Mereka bukan tidak tahu tentang hukum dan politik bahkan tentang pemerintahan, bukan pula tidak respek terhadap kejadian-kejadian kehidupan bernegara dan berbangsa; juga bukan suku yang tidak bisa apalagi tidak mau bisa baca tulis hitung, serta bukan suku yang lupa akan perjalanan sejarahnya dan bukan suku yang tidak berfikir tentang masa depannya, tetapi measyarakat Baduy adalah satu suku yang lebih meyakini dan memahami tentang keberadaan kesukuannya untuk percontohan budaya bagi saudara-saudara sebangsannya sebagaimana amanat leluhurnnya. Masyarakat Baduy bukan suku terasing yang tidak berbudaya karena sejak lahir mereka memiliki perangkat hukum adat yang lengkap dengan sebutan Perangkat Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh, adalah masyarakat yang sangat yakin kukuh pengkuh terhadap tugas dan fungsi kesukaannya dan sangat menikmati pilihan hidupnya dengan segala konsekuen.1

Suku Baduy atau masyarakat Kanekes secara umum terbagi kepada tiga kelompok; 1. Kelompok Tangtu yaitu Kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam paling ketat mengikuti dan menjalankan hukum Adat, yang bermukim di tiga kampung; Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana. Ciri khas Baduy Dalam adalah; Pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. 2. Kelompok Panamping, mereka dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam. Seperti di kampung Cikadu, Kaduketug, Kadukolot, Gajeboh dan lain sebagainya dengan ciri khasnya memakai pakaian dan ikat kepala hitam, mereka telah mengenal teknologi seperti peralatan elektronika.

3.   Kelompok Dangka kelompok ini tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini hanya tinggal dua kampung yang tersisa, yaitu Kampung Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam), kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai penyangga pengaruh dari luar.

Daerah Baduy, merupakan salah satu Kawasan Hutan Lindung/Tanah Ulayat di Desa Kanekes dalam wilayah Kabupaten Lebak, tepatnya sekitar lebih kurang 46 Km ke arah Selatan dari Rangkasbitung berada di Kecamatan Leuwidamar. Daerah ini hampir secara keseluruhannya merupakan daerah Pegunungan dan Hutan Belantara seluas lebih kurang 5.101,85 HA berpenduduk sekitar 7.265 jiwa yang terdiri dari :

a.      Laki-laki : Usia 0-14 Tahun = 1.371 jiwa

Usia 15-70 Tahun = 2.265 jiwa

b.     Wanita    : Usia 0-14 Tahun = 1.390 jiwa

Usia 15 -70 Tahun = 2.239 jiwa

Dari 53 kampung dengan 1.865 Kepala Keluarga. (hasil pendataan sampai dengan 26 Maret 2004).

 

Didasarkan pada Peraturan Hukum Adat yang merupakan perwujudan serumpun amanat leluhurnya dalam manentukan sikap, batasan-batasan dan pedoman hidup yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan, ketentraman, kedamaian dan ketenagaan antara karya cipta dan kreativitas untuk dapat berkesinambungan yang berlaku di wilayah itu. Sistim pemerintahannya dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

1.     Baduy Jero, meliputi Kp. Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana masing-masing dipimpin oleh seorang Puun

2.     Baduy Luar, yaitu Penduduk Baduy yang berada di luar ketiga perkampungan tersebut dengan istilah Baduy Panamping (Baduy Pasisian) masing-masing dipimpin oleh seorang Jaro Dangka

Menurut kepercayaan orang Baduy, para Puun di Baduy merupakan Pimpinan Hukum Adat yang paling tinggi kekuasaannya, dipilih oleh masyarakat dari Garis keturunan dan mempunyai titisan darah dari Sang Hyang Batara Tunggal untuk menyampaikan amanat dan petunjuk hidup untuk anak-anak keturunannya disamping memiliki kemampuan (kharismatik dan spesifik) serta keyakinan beragama yang kuat (Sunda Wiwitan).

Yang menjabat Puun Cikeusik, adalah yang memiliki darah Keturunan yang dititiskan oleh anak laki-laki Pertama Batara Tunggal sehingga sampai sekarang mempunyai hak untuk menentukan, memutuskan, dan mengambil sikap dalam urusan yang menyangkut tata tertib tatanan adat juga bertindak sebagai Ketua Pengadilan Adat.

Kemudian yang menjabat sebagai Puun Cibeo, adalah wargannya yang memiliki garis keturunan yang dititiskan dari anak perempuan kedua Batara Tunggal yang hanya berhak menata, mengaturm menertibkan dan membina wargannya yang menyangkut sistem tatanan adat serta bertanggungjawab memberikan pelayanan kepada warga dan tamu-tamu yang datang kekawasannya. 

Sedangkan urusan-urusan kesejahteraan, keamanan dan ketahanan berada pada tanggungjawab Puun Cikertawana yang merupakan keturunan dari anak ketiga Laki-laki Batara Tunggal dan hanya membantu tugas-tugas dari Puun Cikeusik dan Puun Cibeo. 2

Mereka dibantu oleh para Jaro Tangtu, Girang Serat, Baresan Salapan, Tangkesan, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan XII dan Tokoh Adat.

Kepercayaan masyarakat Baduy yang populasi penduduknya sekitar 5000-8000 orang adalah Sunda Wiwitan yaitu ajaran leluhur turun temurun yang bersumber pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam yaitu; merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, mata air, sungai dan segala ekosisten didalamnya).

Salah satu tradisi yang dianggap lumrah dan masih dilakukan Suku Baduy Dalam adalah tata cara perkawinan, seorang gadis yang sudah berumur 14 tahun akan dijodohkan dengan laki-laki sesama Baduy Dalam, Selama masa perjodohan, orang tua dari calon pengantin laki-laki bebas memilih calon pengantin perempuan yang disukainya. Namun jika belum menemukan pilhan yang cocok, laki-laki maupun perempuan harus menuruti pilihan orang tua atau pilihan yang diberikan oleh Puun (tokoh Adat) 

Perkawinan merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tak terkecuali, hal tersebut merupakan pemahaman masyarakat di Suku Baduy. memiliki praktik pernikahan yang cukup unik. Sistem pernikahan di Suku Baduy Dalam yaitu perkawinan Monogami yang artinya seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang, tidak diperbolehkan bercerai dan perkawinan poligami merupakan suatu yang dilarang oleh hukum adat.

Tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga diatur dalam ketentuan lembaga adat Baduy yang mengikat. Calon pengantin di pilihkan oleh orang tua, pada praktiknya proses pernikahan mempelai akan mengucapkan syahadat (seperti ijab qabul), disaksikan olen Naib sebagai penghulunya. Perkawinan yang mereka laksanakan tidak tercatat atau tidak mempunyai buku nikah sebagaimana umumnya pernikahan yang dilakukan warga masyarakat di Indonesia, hal ini karena terbentur dengan yang mereka yakini (hukum adat). Adapun pelaksanaan akad nikah dan resepsi bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai Adat yang dipimpin oleh Pu‟un untuk mengesahkan pernikahan tersebut. Dalam ketentuan sistem pernikahan masyarakat Suku Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Akan tetapi mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka meninggal.

Sistem perkawinan di masyarakat Baduy dikenal dua jenis, yaitu perkawinan yang berlaku di masyarakat Baduy Dalam dan perkawinan di masyarakat Baduy Luar. Kedua sistem perkawinan tersebut memiliki perbedaan dan persamaan. Pernikahan di masyarakat Baduy Dalam adalah pernikahan yang dijodohkan oleh kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak dengan restu serta petunjuk tokoh adat masing-masing kampung dengan melalui proses dan tahapan tertentu yaitu tiga tahapan lamaran. Secara singkat dan jelas Ayah Mursid mengatakan bahwa: “Perkawinan nu berlaku di adat kami aya dua, kahiji perkawinan di Baduy Dalam sistemna dijodohkeun, pelaksanaanna tilu tahapan lamaran, jarak waktu ti lamaran kahiji nepi ka lamaran katilu lilana satahun, di Baduy Dalam teu dikenal bobogohan seperti ilaharna urang luar. Sedangkeun di Baduy Luar mah carana aya dua, kahiji dijodohkeun, nu kadua neangan sorangan tapi kudu disatujui ku kolotna.

Artinya: “Perkawinan yang berlaku di adat Baduy ada dua, pertama, perkawinan di Baduy Dalam sistemnya dijodohkan, proses pelaksanaannya tiga tahapan lamaran, dari lamaran kesatu sampai lamaran ketiga lamannya satu tahun. Di Baduy Dalam tidak dikenal adanya masa pacaran seperti umumnya di luar Baduy. Sedangkan di Baduy Luar caranya ada dua, pertama dengan dijodohkan, dan yang kedua memilih sendiri, tetapi harus disetujui oleh orang tuanya.”3

Pandangan Hukum Islam perkawinan sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul.

Sunnah Allah, berarti menurut qudrat dan iradat suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.

Pernikahan merupakan perbuatan hukum yang sudah melembaga dalam kehidupan di masyarakat. Lembaga pernikahan merupakan faktor penting sebagai sendi kehidupan dan tatanan masyarakat Indonesia, pernikahan itu merupakan persoalan hukum, agama dan masyarakat. Di dalam peradaban manusia di dunia, pernikahan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dan berdasarkan aturan- aturan baik secara yuridis formal (Undang-undang Hukum Positif) atau secara religious (aturan agama yang dianut) yang dilakukan selama hidupnya sesuai dengan ketentuan dalam lembaga pernikahan.

Oleh karena itu, pelaksanaan pernikahan harus berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah telah disepakati untuk dipatuhi, dan bagi yang melanggar akan mendapat sanksi. Aturan perundangan-undangan tentang perkawinanUndang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1989 Tentang Pelaksanaan dari Undang-undang Perkawinan dan kompilasi Hukum Islam.

Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qobul („aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang duicapkan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam Al-Qur‟an bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataa ini bermaksud di dalam Al-Qur‟an bermaksud Allah S.W.T menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan menghalalkan zina.4 Adapun nikah menurut syari‟at berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan bdan itu hanya metafora saja.

Islam adalah agama yang universal, agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam. Agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulia bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta perkawinan yang meriah namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunah Rasullullah Shallahu „alaihi wa sallam. Begitu pula dengan perkawinan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Perkawinan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanankan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti sunnah rosul.

Arti dari perkawinan disini adalah bersatunnya dua insan dengan jenis berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad. Suatu perkawinan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturuna merupakan generasi bagi orang tuannya.5

Thursday, January 27, 2022

Contoh Teks Eksplanasi

 Tsunami

Tsunami atau secara etimologi berarti “ombak besar di pelabuhan”, adalah gelombang air besar yang diakibatkan oleh gangguan di dasar laut, seperti gempa bumi. Gangguan ini membentuk gelombang yang menyebar ke segala arah dengan kecepatan gelombang mencapai 600–900 km/jam. Awalnya gelombang tersebut memiliki amplitudo kecil (umumnya 30–60 cm) sehingga tidak terasa di laut lepas, tetapi amplitudonya membesar saat mendekati pantai.

Saat mencapai pantai, tsunami kadang menghantam daratan berupa dinding air raksasa (terutama pada tsunami-tsunami besar), tetapi bentuk yang lebih umum adalah naiknya permukaan air secara tiba-tiba. Kenaikan permukaan air dapat mencapai 15–30 meter, menyebabkan banjir dengan kecepatan arus hingga 90 km/jam, menjangkau beberapa kilometer dari pantai, dan menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang besar.

Sebab tsunami yang paling umum adalah gempa bumi bawah laut, terutama yang terjadi di zona penunjaman dengan kekuatan 7,0 skala magnitudo momen atau lebih. Penyebab lainnya adalah longsor, letusan gunung, dan jatuhnya benda besar seperti meteor ke dalam air.

Secara geografis, hampir seluruh tsunami terjadi di kawasan Lingkaran Api Pasifik dan kawasan Palung Sumatra di Samudra Hindia. Risiko tsunami dapat dideteksi dengan sistem peringatan dini tsunami yang mengamati gempa-gempa berkekuatan besar dan melakukan analisis data perubahan air laut yang terjadi setelahnya. Jika dianggap ada risiko tsunami, pihak berwenang dapat memberi peringatan atau mengambil tindakan seperti evakuasi. Risiko kerusakan juga dapat dikurangi dengan rancangan tahan tsunami, seperti membuat bangunan dengan ruang luas, serta penggunaan bahan beton bertulang, maupun dengan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara menyelamatkan diri dari tsunami, seperti pentingnya mengungsi dan menyiapkan rencana darurat dari jauh-jauh hari.


Tuesday, January 25, 2022

PEMANFAATAN TANAMAN BERBUNGA SEBAGAI BAHAN DASAR PRODUK SUNSCREEN

 

PENDAHULUAN

            Sunscreen atau tabir surya merupakan salah satu produk kosmetika yang berfungsi untuk merawat kulit tubuh atau wajah dari paparan sinar ultraviolet (UV)  yang berlebih. Paparan sinar uv yang berlebih dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai macam permasalahan kulit seperti penuaan dini (photoaging), sunburn yang menyebabkan eritema, hiperpigmentasi, melasma, letigos surya, penyakit lupus, bahkan kanker kulit (Ismail, 2013; Kunh et al., 2011). Permasalahan kulit tersebut merupakan efek samping paparan sinar uv dalam jangka panjang, karena sering dijumpai pada orang yang sudah berumur atau memasuki usia 50 tahunan (Ismail, 2013).

            Namun, seiring perubahan iklim akibat adanya pemanasan global, permasalahan kulit tersebut tidak sedikit dijumpai pada orang yang terbilang masih muda yaitu pada umur 20 tahunan. Permasalahan kulit yang sering dijumpai tersebut diantaranya kulit kering, pecah-pecah, dan penuaan dini. Untuk mencegah terjadinya permasalahan kulit akibat paparan sinar uv dalam jangka pendek ataupun panjang, maka penggunaan sunscreen merupakan hal yang mutlak (Kunh et al., 2011).

            Dewasa kini, seiring berkembangnya beauty and health trend di Indonesia, kesadaran akan melindungi kulit dari paparan sinar uv pun meningkat. Hal tersebut ditandai dengan bertambahnya pengguna sunscreen dari berbagai kalangan usia baik remaja maupun dewasa serta berubahnya stigma masyarakat Indonesia mengenai penggunaan sunscreen yang hanya digunakan saat akan berenang untuk mencegah belang pada warna kulit. Meskipun kesadaran akan penggunaan sunscreen untuk melindungi kulit terutama kulit wajah meningkat, tetapi tidak sedikit masyarakat Indonesia yang belum menggunakan sunscreen secara rutin setiap harinya.

            Faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia enggan menggunakan  sunscreen secara rutin setiap harinya, disebabkan oleh faktor tekstur sunscreen serta kandungan sunscreen yang dirasa kurang nyaman untuk kulit masyarakat Indonesia dengan keadaan suhu serta cuaca di Indonesia. Tipe kulit wajah manusia secara umum dibedakan menjadi tiga jenis yaitu kulit kering, kulit normal, dan kulit berminyak (Wulandari,2019). Namun, baru-baru ini diketahui bahwa jenis kulit, ada yang berjenis sensitif, kombinasi (kering dan berminyak) serta jenis kulit acne prone. Maka dari itu, pemilihan jenis produk sunscreen yang tepat sangat perlu diperhatikan untuk menghindari efek samping lain seperti timbulnnya jerawat akibat penggunaan sunscreen yang tidak cocok dengan keadaan kulit kita masing-masing.

            Alasan saya ingin mengembangkan produk sunscreen berbahan dasar tanaman berbunga sebab, kebanyakan sunscreen yang beredar di pasaran merupakan sunscreen dengan kandungan bahan aktif sintetik. Bahan aktif sintetik tersebut diantaranya PABA (p-amino benzoic acid) dan turunannya, benzhopenone dan turunanya, octyl methoxycinnamate, dan octyl salycate (Fitriana, 2007). Pada beberapa jenis kulit seperti kulit sensitif, penggunaan bahan aktif sintetik tersebut dapat menyebabkan alergi pada ruam-ruam kulit. Alasan kedua, saya tertarik mengembangkan produk sunscreen dari tanaman berbunga ialah karena berdasarkan pengalaman pribadi saya serta hal layak umum yang merasakan bahwa tekstur sunscreen yang beredar di pasaran ini kurang cocok untuk jenis kulit serta cuaca di Indonesia. Alasan terakhir ialah harga sunscreen yang beredar di pasaran relatif mahal terutama sunscreen berbahan dasar herbal diketahui pada kisaran harga diatas Rp 100.000 – 200.000 dan kebanyakan produk sunscreen  yang beredar di pasaran merupakan produk import. Oleh karena itu, saya tertarik untuk mengembangkan produk sunscreen yang aman untuk digunakan oleh berbagai jenis kulit untuk dipakai sehari-hari, menggunakan bahan alami seperti tumbuhan yang dapat dibudidayakan di Indonesia serta dengan harga yang dapat dijangkau oleh berbagai kalangan usia seperti pelajar.

 

PEMBAHASAN

            Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayatinya, baik tingkat gen, spesies ataupun ekosistem. Salah satu tanaman berbunga yang menurut saya cocok untuk dikembangkan menjadi produk sunscreen ialah tanaman bunga matahari. Tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.) sudah mulai diteliti di Indonesia sejak tahun 1970. Oleh karena itu, tanaman ini sangat terkenal dikalangan masyarakat Indonesia dan dimanfaatkan kedalam berbagai macam bidang seperti bidang pangan dan obat-obatan. Namun, pemanfaatan bunga matahari  dalam bidang kosmetika masih belum begitu dilirik dan dikembangkan. Hal ini sangat disayangkan, karena menurut saya bunga matahari memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk kosmetika, salah satunya sunscreen, karena memiliki kandungan aktif yang baik untuk merawat kesehatan kulit.

            Kandungan aktif yang terdapat dalam bunga biji matahari (Helianthus annuus L.)  diantaranya omega 9, omega 6, vitamin E, lecitin, tocopherol, dan karotenoids.(Kulkarni et al., 2014)(Donglikar and Deore, 2016)(Mishra, Mishra and Chattopadhyay, 2011). Kandungan aktif yang dapat berperan sebagai bahan dasar sunscreen ialah vitamin E, tocopherol, dan karotenoid karena bersifat antioksidan. Tochoperol sendiri merupakan jenis senyawa kimia yang mengandung vitamin E didalamnya. Vitamin E bekerja sebagai antioksidan karena ia mudah teroksidasi (Lamid, 1995). Salah satu fungsi zat antioksidan yang terkandung dalam zat karotenoid ialah mencegah proses penuaan dini (Shui et al., 2004).  Selain ketiga zat tersebut yang peranannya sangat besar sebagai bahan aktif sunscreen, zat lainnya seperti omega 9, omega 6, dan lecitin juga sama bermanfaatnya untuk merawat kesehatan kulit. Omega 6 dapat mencegah timbulnya kemerahan pada kulit serta permasalahan kulit lain seperti penyakit eksim (Diana, 2012). Sedangkan, lecitin sendiri dalam dunia kosmetika berfungsi sebagai zat pengemulsi (Farset, 2020). Dengan begitu, proses pembuatan sunscreen akan lebih mudah, karena pada bunga matahari sudah memiliki zat pengemulsi alami.

             Berdasarkan hasil penelitian beberapa ahli sebelumnya, diketahui bahwa pembuatan sunscreen berbahan dasar tanaman bunga matahari ialah dengan cara mengekstrak bagian biji bunga matahari. 10kg biji bunga matahari dapat menghasilkan 1 liter ekstraksi minyak biji bunga matahari. Dari 1 liter ekstrak minyak tersebut, dilakukan ujicoba antioksidan dan SPF dengan cara mengujikan setiap 4 ml ekstrak minyak tersebut. Dari hasil ujicoba, diketahui bahwa ekstrak minyak biji bunga matahari memiliki antioksidan yang tinggi karena bahan aktif yang terkandungnya yaitu, vitamin E dan karotenoids sehingga sangat baik untuk merawat kulit dari paparan sinar uv dan permasalahan kulit lainnya serta SPF yang terbilang cukup tinggi yaitu 1,25 pada konsentrasi 125 µg/mL (Susanti, 2020).

            Hasil uji coba antioksidan serta SPF pada kandungan bahan aktif tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.)  menunjukan bahwa tanaman bunga matahari memiliki potensi kualitas yang unggul untuk dijadikan produk sunscreen. Namun, keunggulan produk sunscreen tidak hanya dipengaruhi oleh bahan aktif yang terkandungnya yang aman untuk kulit, tetapi juga tekstur sunscreen menjadi salah satu faktor yang membuat produk sunscreen unggul dan nyaman untuk dipakai semua jenis kulit dengan kondisi cuaca Indonesia. Tekstur sunscreen yang kebanyakan beredar di pasaran ialah sunscreen dengan tekstur krim ataupun lotion (Anief, 2003). Kelemahan dari kedua tekstur tersebut ialah, tekstur krim pada sunscreen dapat memicu orang berkulit berminyak untuk memproduksi minyak berlebih sehingga menyebabkan pori-pori kulit tersumbat dan menimbulkan jerawat. Selain itu, tekstur krim juga meninggalkan jejak white cast atau semacam lapisan berwarna putih keabuan setelah pemakaian. Dimana hal tersebut, dirasa tidak nyaman bagi masyarakat Indonesia yang rata-rata kulitnya ialah sawo matang. Karena hal tersebut dapat menyebabkan kulit terlihat kusam. Sedangkan kekurangan tekstur lotion ialah tekstur nya yang lebih cair menyebabkan daya perlindungan pada kulit tidak begitu maksimal.

            Melihat kekurangan tekstur pada sunscreen yang beredar di pasaran, saya tertarik untuk mengembangkan produk sunscreen berbahan dasar tanaman bunga matahari ini memiliki tekstur gel. Pemilihan tekstur ini didasarkan pada keadaan kondisi cuaca di Indonesia, yaitu beriklim tropis, sehingga diharapkan dengan menggunakan sunscreen bertekstur gel dapat memberikan rasa nyaman pada kulit, seperti dapat memberikan kelembaban pada kulit, tidak muncul rasa panas dan lengket saat diaplikasikan, serta dapat merawat kulit dari paparan sinar uv berlebih dengan cara menyerap uv tetap berada pada gel (permukaan kulit), sehingga aman untuk setiap jenis kulit karena tidak menyebabkan pori-pori tersumbat, tidak memengaruhi respirasi kulit, serta tidak menimbulkan komedogenic, jerawat pada kulit ataupun permasalahan kulit lainnya.

 

KESIMPULAN

            Dengan melihat adanya potensi pada tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.)  serta melakukan perbaikan pada aspek kualitas, maka diharapkan kedepannya sunscreen tanaman bunga matahari ini dapat menjadi produk sunscreen unggulan yang dapat cocok pada semua jenis kulit, dapat merawat kulit dan mencegah permasalahan kulit akibat paparan sinar uv yang berlebih dengan tekstur yang nyaman untuk digunakan menyesuaikan iklim dan cuaca Indonesia serta dapat dijangkau oleh setiap kalangan usia serta memajukan perekonomian Indonesia dengan melakukan bioprospeksi tanaman hasil budidaya petani lokal Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Diana, Fivi. (2012). Omega 6. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1): 26-31.

Dienayati, Dara. (2012). Pembuatan Sunscreen Berbahan Dasar Nanopropolis Isolat Lokal Bagi Penderita Penyakit Lupus. Skripsi. Fakultas Teknik. Program Studi Teknologi Bioproses. Universitas Indonesia.

Faster. (2020). “Leesitin Sebagai Emulgator Dalam Sediaan Emulsi”. Artikel. Tersedia (online) gudangilmu.farmasetika.com (Diakses pada 23-11-2020 pukul 22.00 WIB).

Fitriana, Eva. (2007). Formulasi Sediaan Sunscreen Ekstrak Rimpang Kunir Putih (Curcuma mangga Val.) dengan Carbopol Sebagai Gelling Agent dan Sorbitol sebagai Humectant. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanatha Darma.

Ismail, Isriany. (2013). Potensi Bahan Alam Sebagai Bahan Aktif Tabir Surya. Jurrnal Farmasi UINAM. 1(1): 45-55.

Lamid, Astuti. (1995). Vitamin E Sebagai Antioksidan. Media Litbangkes. 5(1): 14-16.

Susanti, Yanthy., Purba, A.V., & Rahmat, Deni. (2020). Nilai Antioksidan dan SPF dari Kombinasi Minyak Biji Wijen (Sesamun indicum L.) dan Minyak Biji Bunga Matahari (Helianthus annuus L.). Majalah Farmaseutik. 16(1): 107-110.

Wulandari, Sari. (2019). Pengelompokan Jenis Kulit Normal, Berminnyak dan Kering Menggunakan 4-Connectivity dan 8-Connectivity Region Properties Berdasarkan Ciri Rerata Bound.  Jurnal Transformatika. 17(1).

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive