Aku
remaja usia 14 tahun. Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Kedua
kakakku sudah berkeluarga. Aku tinggal berdua dengan ibuku, “mamah” biasa
kupanggil. Bapakku pergi meninggalkan rumah waktu umurku masih sangat kecil
sekitar + 2 tahun.
Sosok
yang harusnya ada menjadi panutan bagiku tak pernah sekalipun menjenguk aku.
Hanya bisa mendoakan dimanapun bapak berada. Beliau selalu sehat. Mamah
mengurus aku seorang diri sampai saat ini dengan kasih sayang dan kesabarannya.
Kadang aku seringkali membuatnya kesal atau ucapanku bikin menyakitkan. Ya aku
sebenarnya tak bermaksud membuat mamah kesal hanya saja caraku ingin bergurau
terlalu berlebihan. Caraku berkomunikasi seperti ini adanya. Setiap orang
memiliki karakternya masing-masing begitupun aku. Di usiaku remaja ini tak
banyak aku memiliki teman dekat. Aku termasuk remaja yang suka menyendiri,
lebih suka diam di rumah dengan game onlineku.Sepulang sekolah kubuka kembali
pelajaran yang sudah kudapat di sekolah. Cukup mengulang beberapa bacaan, dalam
seminggu dua kali mengikuti les tambahan.
Di
hari liburpun aku jarang sekali pergi berkumpul dengan teman-teman. Pergi ke
tempat wisata hanya bersama keluarga. Itu pun hanya sebulan sekali. Di setiap
minggunya kakak-kakakku selalu datang berkunjung. Rumah menjadi ramai karena
keponakan-keponakanku yang masih balita. Itulah sedikit cerita dariku.
Dan
pagi ini saat hendak aku berangkat sekolah hujan amat deras. Mamah yang pagi
mengantarkanku ke sekolah dengan motornya. Pagi ini tak dapat mengantarku. Aku
khawati matanya yang sudah mulai rabun tak bisa melihat jalan dengan jelas
karena derasnya hujan. Akhirnya aku dengan membawa payung usang pergi ke
sekolah berjalan kaki jarak yang lumayan jauh lalu dilanjut menaiki, angkutan
umum.
Di
tengah perjalanan angkot, biasa disebut begitu di kotaku, yang kunaiki mogok
dan beberapa penumpang ada yang beralih ke angkot lain. Aku tak ikut pindah
angkot aku hanya duduk dipojok menunggu sopir membetulkan angkotnya. Kulihat
jam di tangan sudah terlambat untuk masuk ke sekolah. Hujan pun reda, angkotpun
suda selesai diperbaiki. Laju angkot cukup kencang karena ada penumpang yang
meminta sopir untuk cepat-cepat. Sekolahku terlewati aku tidak menghentikan
angkotnya. Dalam hati aku pikir percuma, sudah terlambat. Aku tak mau dihukum
karena terlambat.
Tiba-tiba
terlintas dipikiranku untuk mencari rumah bapakku. Beramodal informasi seadanya
aku nekad untuk mencarinya. Kuhentikan angkot di daerah yang katanya di sana
bapakku tinggal. Kulewati hamparan sawah, daerah yang masih dipenuhi pohon
bambu, jarang sekali kutemukan rumah warga. Di perjalanan aku bertemu petani
yang memikul pacul dan menenteng karung. Kuhentikan dia kutanyakan mengenai
bapakku, kusebutkan namanya, ciri-cirinya tapi sayang petani itu tak
mengenalinya.
Kulanjutkan perjalanan, kutemui
rumah panggung dengan dinding dibilik yang sudah usang. Ada beberapa anak kecil
sedang bermain di halamannya. Kuhampiri salah satu dari mereka kutanyakan
mungkin dia tahu nama yang kusebutkan, tapi anak itu hanya diam tak menjawab.
Anak itu berlari ke dalam rumah memanggil ibunya. Keluarlah ibu-ibu paruh baya,
dia menghampiriku dan bertanya, adek siapa? Mau cari siapa? Saya pun
menjawabnya. Saya sebutkan nama Bapak saya Toyib Agus. Ibu itupun mengerutkan dahinya
berpikir sejenak lalu dia mengajak saya masuk ke rumahnya. Sayapun menurutinya
di dalam saya disuguhkan teh hangat dan ibu itu mulai membuka pembicaraan.
Ade ini putra Bapak Toyib Agus?
Iya, kujawab singkat.
Lalu ibu itu pun menangis terisak.
Nak bapakmu sudah meninggal
setahun lalu dia tinggal di belakang rumah ibu ini, hanya seorang diri. Di
hari-hari menjelang ajalnya, karena sejak Pak Toyib pensiun beliau
sakit-sakitan sampai ajal menjemputnya
No comments:
Post a Comment