Kepala sekolah sebagai pimpinan adalah
subjek yang harus melakukan transformasi kepemimpinan melalui pemberian
bimbingan, tuntutan atau anjuran kepada yang dipimpinnya agar tujuan sekolah
tercapai. Penerapan pola kepemimpinan transformasional dapat menunjang
terwujudnya perubahan sistem persekolahan.
Dalam kenyataan, berbagai tuntutan
terhadap kinerja kepala sekolah masih belum dapat dipenuhi, serta masih
banyaknya sekolah yang siswanya berprestasi rendah, ketidakdisiplinan siswa dan
guru, kurangnya kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, penguasaan
sebagaian guru terhadap bidang keilmuan/ mata pelajarannya belum memadai, dan
lambannya staf pengajar dan tata usaha dalam melayani kebutuhan siswa.
Masalah-masalah ini merupakan cerminan kurangnya kemampuan kepala sekolah
memberdayakan komunitasnya untuk berkinerja tinggi. Kepala sekolah seharusnya
mampu mengelola semua sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan pendidikan di sekolahnya. Adanya perubahan paradigma baru
pendidikan, diperlukan juga perubahan paradigma kepemimpinan kepala sekolah
yang profesional.
Untuk menjawab berbagai permasalahan
yang dihadapi di sekolah, pola kepemimpinan transformasional merupakan salah
satu pilihan bagi kepala sekolah untuk memimpin dan mengembangkan sekolah yang
berkualitas. Kepemimpinan transformasional memiliki penekanan dalam hal
pernyataan visi dan misi yang jelas, penggunaan komunikasi secara efektif,
pemberian rangsangan intelektual, serta perhatian pribadi terhadap permasalahan
individu anggota organisasinya. Dengan penekanan pada hal-hal seperti itu,
diharapkan kepala sekolah akan mampu meningkatkan kinerja staf pengajarnya
dalam rangka mengembangkan kualitas sekolahnya. Penerapan kepemimpinan
transformasional juga diperlukan karena berbagai informasi terkini seyogianya dapat
ditransformasikan kepada guru, tenaga administrasi, siswa, dan orang tua
melalui sentuhan persuasif, psikologis, dan edukatif dari kepala sekolah.
Ide teori kepemimpinan transformasional
atau transformational leadership theory diawali
oleh James McGregor Burns (1979) dalam bukunya yang mendapat Pulitzer Price dan National Book Award yang berjudul Leadership. Dalam buku ini Burns menggunakan istilah
mentransformasi kepemimpinan (transforming
leadership), dimana yang ditransformasikan adalah kepemimpinannya dari
pemimpin ke pengikut. Istilah kepemimpinan transformasional (transformasional leadership) adalah
proses memengaruhi secara transformasional dikemukakan oleh Bass (1985) dalam
bukunya berjudul Leadership and
Performance Beyond Expectations. Selanjutnya kepemimpinan transformasional
menjadi istilah yang lebih banyak dipakai secara umum dalam ilmu kepemimpinan.
Berkaitan dengan kepemimpinan
transformasional, Leithwood dkk, seperti dikutip oleh Danim (2003)
mengemukakan:
Transformational
leadership is seen to be sensitive to organization building, developing shared
vision, distributing leadership and building school culture necessary to
current restructuring efforts in schools”. (Kepemimpinan
transformasional memiliki sensitivitas terhadap pengembangan organisasi,
mengembangkan visi bersama antarkomunitas organisasi, mendistribusikan peran kepemimpinan,
mengembangkan kultur sekolah, dan melakukan usaha-usaha restrukturisasi di
sekolah).
Menurut Hater dan Bass (Arief dan Heny,
2001:9) mengemukakan bahwa:
Pemimpin
transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral
dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin
transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa
depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang
lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.
Sedangkan menurut Yammarino dan Bass (Arief
dan Heny 2001:10) menyatakan bahwa:
Pemimpin
transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik,
menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh perhatian pada
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh
bawahannya. Pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan
tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan
organisasi yang lebih besar.
Kepemimpinan transformasional merupakan
gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan dan atau mendorong
semua unsur yang ada di sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang
luhur, sehingga semua unsur yang ada disekolah (guru, siswa, staf pengajar dan
staf lainnya, orang tua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa
paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam rangka menjapai tujuan sekolah.
Menurut Luthans sebagaimana yang telah dikutip oleh Suyanto (Sudarwan Danim,
2009:53) ada ciri-ciri dominan seorang yang telah berhasil menerapkan gaya
kepemimpinan transformasional. Ciri-ciri dimaksud sebagai berikut:
a.
Mengidentifikasi dirinya sebagai agen
pembaruan,
b.
Memiliki sifat pemberani,
c.
Mempercayai orang lain,
d.
Bertindak atas dasar sistem nilai (bukan
atas dasar kepentingan individu, atas dasar kepentingan dan desakan kroninya),
e.
Meningkatkan kemampuannya secara terus
menerus,
f.
Memiliki kemampuan untuk menghadapi
situasi yang rumit, tidak jelas dan tidak menentu, dan
g.
Memiliki visi ke depan.
Kepemimpinan transformasional dapat
dikatakan berupaya menggiring SDM yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas
pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama,
pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi
sekolah yang menjadi keharusan dalam restrukturisasi sekolah dan menurut apa
yang dirasakan oleh guru. Kontribusi ini diperoleh dengan dukungan orang lain,
peristiwa-peristiwa, dan faktor-faktor organisasi, seperti komitmen guru,
kepuasan kerja guru, praktik-praktik pembelajaran atau kultur sekolah. Hal ini
disebabkan karena kepemimpinan transformasional memiliki fokus transformasi
pada guru sebagai ujung tombak proses pembelajaran.
Pada setiap tahap proses
transformasional, keberhasilan seorang pimpinan sebagian akan tergantung kepada
sikap, nilai, dan keterampilannya. Menurut Yukl (Sudarwan Danim, 2009:55),
pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai berikut:
a.
Mereka melihat diri mereka sendiri
sebagai agen perubahan,
b.
Mereka adalah pengambil resiko yang
berhati-hati,
c.
Mereka yakin pada orang-orang dan sangat
peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka,
d.
Mereka mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku
mereka,
e.
Mereka fleksibel dan terbuka terhadap
pelajaran dan pengalaman,
f.
Mereka mempunyai keterampilan kognitif,
g.
Mereka memiliki keyakinan pada pemikiran
yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati, dan
h.
Mereka adalah orang-orang yang mempunyai
visi yang mempercayai intuisi mereka.
Berbeda dengan pendekatan kepemimpinan
yang lain menuntut bawahannya untuk mengikuti arahan yang diberikan pemimpin,
pemimpin transformasional lebih “memotivasi bawahan untuk berbuat lebih dari
apa yang sesungguhnya diharapkan”. Dengan meningkatkan pemahaman bawahan akan
arti penting dan nilai tugas, akan mendorong mereka mau berkorban demi
kepentingan organisasi atau negara, dan menaikkan tingkat kebutuhan ke taraf
yang lebih tinggi, seperti aktualisasi diri. Berkaitan dengan kepemimpinan
transformasional ini, Burn
mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan yang
diterapkan dalam rangka mempertahankan pemimpin dan organisasinya dengan cara
penggabungan tiga unsur, yaitu strategi, kepemimpinan, dan budaya.
Strategi, merupakan kemampuan menetapkan
arah yang akan dituju, mendefinisikan dan menerapkan rencana strategi untuk
pencapaian tujuan atau misi, membangun visi, membangun kesamaan visi,
menterjemahkan visi dan misi ke dalam aksi, mengembangkan komitmen untuk
prestasi kerja, dan menerapkan strategi secara operasional keorganisasian. Upaya
mewujudkan visi menjadi realita menuntut kapasitas kepemimpinan yang kuat, juga
unggul. Salah satu keunggulan yang harus ditampilkan oleh kepala sekolah adalah
kemampuan untuk mewujudkan lembaganya sebagai suatu organisasi pembelajaran
yang berdampak pada rekulturisasi sekolah, sehingga organisasi sekolah yang
awalnya bersifat hierarkis dan birokratis berubah cenderung “datar” dan “akomodatif”.
Kepemimpinan, kemampuan kepemimpinan
kepala sekolah tercermin dari realisasi semua program berdasarkan strategi
sesuai dengan fungsi dan situasi yang dihadapi. Seorang kepala sekolah sejati
dapat mempengaruhi dan diakui oleh bawahan, memotivasi anggota komunitas
sekolah untuk mengkaderkan-dirimenjadi pimpinan masa depan, menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan organisasi, mempertahankan kejayaan
organisasi sekolah, dan membuat cara kerja yang lebih mudah.
Budaya, mencakup kemampuan dalam hal
memotivasi bawahan untuk menerapkan strategi, memahami kerja yang tumbuh,
berlaku adil pada semua orang, cepat menerima perubahanyang bersifat inovatif,
menjadi teladan sebagai pekerja yang lebih baik, dan menyempurnakan semangat
tim kerja.
Kemudian Bass sebagaimana
dikutip oleh Robin (Sudarwan Danim, 2009:56-57) mengemukakan empat ciri kepemimpinan
transformasional, yaitu karismatik, inspiratif, memiliki rangsangan intelektual
dan kepekaan individual.
Keempat ciri kepemimpinan dimaksud dijelaskan dengan ringkas berikut ini:
a.
Karismatik (Idealized influence), yaitu memberikan visi dan misi organisasi
dengan jelas, menanamkan kebanggaan, memperoleh respek, dukungan dan
kepercayaan dari bawahan atau rekan kerjanya.
b.
Inspiratif (Inspirational motivation), yaitu mengkomunikasikan harapan yang
tinggi, menggunakan lambang-lambang untuk memfokuskan upaya mengungkapkan
maksud-maksud penting dengan cara yang sederhana.
c.
Memiliki rangsangan intelektual (Intellectual stimulation), yaitu menggalakkan perilaku yang cerdas, membangun
organisasi belajar, rasionalitas, dan memberikan pemecahan masalah yang teliti.
d.
Kepekaan individual (Individualized consideration), yaitu
memberikan perhatian pribadi, memperlakukan setiap karyawan secara individual,
melatih dan menasihati.
Menyimak pendapat Bass, kepemimpinan
transformasional bersinggungan erat dengan ciri kepemimpinan karismatik.
Keduanya memang memiliki keterkaitan, tetapi kepemimpinan transformasional
lebih dari sekedar pemimpin karismatik. Pemimpin karismatik menginginkan para
pengikutnya atau bawahannya mengadopsi pandangan yang dikemukakan pemimpin
tanpa atau dengan sedikit perubahan. Sebaliknya, kepemimpinan transformasional
menanamkan dan mendorong para pengikut atau bawahannya untuk bersikap kritis
terhadap pendapat, pandangan yang sudah mapan di organisasi dan yang ditetapkan
oleh pemimpin. Pemimpin transformasional juga merangsang pengikut untuk lebih
kreatif dan inovatif, serta lenbih meningkatkan harapan dan mengikatkan diri
pada visi.
Johnson dan Johnson menggambarkan
kepemimpinan transformasional menciptakan suasana kekeluargaan di dalam dan
diantara anggota, saling merawat satu dengan lainnya, memiliki visi dan mencoba
mengaktualisasikannya.
Dari berbagai kajian mengenai
kepemimpinan transformasional, Olga Epitropaki
(2001:1) mengemukakan enam hal mengapa kepemimpinan transformasional
penting bagi suatu organisasi, yaitu:
a.
Secara signifikan meningkatkan kinerja
organisasi,
b.
Secara positif dihubungkan dengan
orientasi pemasaran jangka panjang dan kepuasan pelanggan,
c.
Membangkitkan komitmen yang lebih tinggi
para anggotanya terhadap organisasi,
d.
Meningkatkan kepercayaan pekerjja dalam
manajemen dan perilaku keseharian organisasi,
e.
Meningkatkan kepuasan pekerja melalui
pekerjaan dan pemimpin, dan
f.
Mengurangi stres para pekerja dan
meningkatkan kesejahteraan.
Kepemimpinan transformasional
sesungguhnya sejalan dengan kepemimpinan tokoh pendidikan Indonesia yakni Ki
Hajar Dewantoro yang dikenal dengan semboyan “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.
Slogan kepemimpinan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantoro ini dapat diterapkan
pada berbagai bentuk organisasi, baik organisasi perkantoran, perusahaan,
maupun pendidikan.
No comments:
Post a Comment