Tuesday, February 19, 2019

Konsep feminisme dalam Cerita

Berangkat dari sejarahnya, feminisme dapat dilacak dengan kelahiran era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Concorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middleburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelan abad 19, feminisme lahie menjadi gerakan yang cukup endapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme gelombang pertama.
Dari latar belakang demikianlah, di Eropa berkembang gerakan untuk ‘menaikkan derajat kaum perempuan’, tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792, Mary Wolltonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme di kemudian hari. Pada tahun 1830-1840, sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja  dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum lelaki.
Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempun-perempuan dunia ketiga. Meliputi Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua negara-negara terjajah dipimpin elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu, kelahiran feminisme mengalami puncaknya, tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan asumsi itu, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, mereka berpikir bahwa semua perempuan adalah sama.
Indonesia sendiri sebagai negara dunia ketiga, mengenal sosok Kartini. Sejak di bangku SD, warga Indonesia sudah diperkenalkan pada perintis emansipasi ini. Justru, gagasan emansipasinya muncul jauh sebelum gelombang feminisme mulai lebih keras bergaung pada era perubahan di Amerika Serikat pada tahun 1963. Gagasannya muncul lewat tulisan surat-suratnya yang dikirim kepada teman-teman wanitanya di Belanda. Itu terjadi pada awal-awal tahun 1900-an. Beberapa tahun sebelum dia meninggal. Belanda sendiri kaget, mengetahui ada wanita pribumi di  Hindia yang berpikiran mendahului zamannya. Dia antara lain protes bahwa di negerinya kaum perempuan sangat termarginalkan, tidak boleh sekolah, ataupun melakukan sesuatu yang hanya dilakukan oleh kaum lelaki saja. Beberepa tahun setelah dia meninggal, barulah surat-suratnya dibuat menjadi buku. Inilah cikal bakal emansipasi wanita di Indonesia yang mendorong adanya feminisme di negara ini.
Gelombang demokratisasi yang sudah bergulir sejak tahun 1980-an telah membawa ide-ide perubahan bagi nasib kaum perempuan di Indonesia. Gerakan demokrasi dan gerakan perempuan pun seakan tak dapat dipisahkan untuk merubah tatanan sosial orde baru yang menindas rakyat dan meminggirkan kaum perempuan.
Akan tetapi setelah reformasi terjadi, nampaknya belum ada perubahan yang mendasar pada nasib perempuan di Indonesia. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan ketertindasan perempuan ternyata juga masih berhadapan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang ada. Kasus kekerasan terhadap perempuan, misalnya, masih banyak menghiasi masyarakat. Sejak disahkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUP KDRT) di tahun 2004, jumlah kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga ternyata juga tidak berkurang dengan signifikan.
Hingga saat ini,pengendalian laki-laki atas reproduksi perempuan menjadikan kaum perempuan tidak punya kebebasan menentukan kapan harus hamil dan melahirkan, berapa anak yang diinginkan, kontrasepsi apa yang cocok dipakai. Pengendalian atas gerak perempuan berbentuk diberlakukannya pembatasan untuk meninggalkan wilayah rumah tangga, pemisahan yang ketat sektor publik dan domestik, pembatasn interaksi antar dua jenis kelamin. Sedang kontrol atas harta milik pada kenyataan sebagian besar harta milik dan sumber daya produktif dikendalikan dan diwariskan laki-laki pada anak laki-laki karena menganggap laki-laki adalah pencari nafkah utama.
Sepuluh tahun reformasi justru membuat gerakan perempuan menjadi kesulitan untuk melakukan penyadaran terhadap kaum perempuan. Masalahnya, struktur sosial baru yang dihasilkan oleh reformasi adalah liberalisme ekonomi yang juga berimbas pada liberalisme kebudayaan. Aliran Feminisme-Liberal yang mengagung-agungkan individualisme dan kepemilikan pribadi membatasi kaum perempuan untuk mengakses pemenuhan kebutuhan hidup demi mengembangkan kesadaran dan pengetahuannya. Dihilangkannya peran negara untuk memberikan kesejahteraan rakyat, pelayanan kesehatan dan pendidikan pada perempuan dan anak-anak mengakibatkan perempuan semakin terpinggirkan.
Para tokoh liberal tentu saja dapat dengan mudah dilihat di kalangan artis-selebritis yang gaya hidupnya memang liberal Karena posisinya sangat dekat dengan kapitalis, atau bahkan mereka juga berasal dari keluarga kapitalis itu sendiri. Karena itu dominasi feminisme liberal ini tak terelakkan ketika masyarakat lebih banyak mendapat intervensi kesadaran dari para selebritis yang paling sering muncul di Infotainment (bahkan semua acara TV) serta tabloid dan majalah-majalah. Bacaan-bacaan itu adalah sarana yang paling dekat dengan perempuan mulai dari gadis-gadis yang bersekolah dan membawa majalah serta tabloid sebagai referensinya, hingga ibu-ibu yang disesla-sela kesibukannya melayani suami tiap waktu dapat menonton televisi dengan infotainment sebagai menu utamanya.
Yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminisme adalah memiliki kesadaran akan ketidakadilan gender (gender inequalities). Menurut analis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bias diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara laki-laki tidak.
Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sector publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi

No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive