Kekhalifahan
bani Umayyah, adalah kekhalifahan pertama setelah masa khulafaur rasyidin yang
memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756
sampai 1031 di Kordoba, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin
‘Abd Asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah
bin Abu Sufyan.
Beliau pada
mulanya hanyalah gubernur Syam. Akan tetapi setelah terjadi pembunuhan Khalifah
Ustman bin Affan, maka situasi itu dimanfaatkannya untuk melawan kekuasaan Ali
bin Abi Thalib. Sehingga timbul perang Siffin.
Hampir semua
sejarawan membagi Dinasti Umayah menjadi dua (2), yaitu ; pertama Dinasti
Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat
di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah system
pemerintahan dari system khalifah pada system mamlakat (kerajaan/monarki).
Dan kedua,
Dinasti Umayyah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah
taklukan Umayyah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid Ibn Abd
Al-Malik; kemudia diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti
Bani Abbasiyah setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayyah di Damaskus.
Daulah Bani
Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang
politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman politik Muawiyah
sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi
dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya.
Muawiyah bin
Abu sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai
gubernur Syam pada masa khalifah Utsman bin Affan cukup mengantar dirinya mampu
mengambil alih kekuasaan dari genggaman keluarga Ali bin Abi Thalib.
Perintisan
Dinasti Umayyah dilakukan oleh Muawiyah dengan cara menolak membaiat Ali bin
Abi Thalib, berperang melawan Ali, dan melakukan perdamaian (Tahkim) dengan
pihak Ali yang secara politik sangat menguntungkan Muawiyah.
Keberuntungan
Muawiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak Khawarij membunuh Khalifah Ali
r.a. jabatan khalifah dipegang oleh putranya, Hasan Ibn Ali selama beberapa
bulan. Akan tetapi, karena tidak didukung oleh pasukan yang kuat, sedangkan
pihak Muawiyah semakin kuat, akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian dengan
Hasan Ibn Ali. Isi perjanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan
diserahkan kepada umat Islam setelah masa Muawiyah berakhir.
Perjanjian
ini dibuat pada tahun 661 M (41 H). dan pada tahun tersebut dinamakan ‘amu
Jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan umat Islam kembali menjadi satu
kepemimpinan politik, yaitu Muawiyah. Pada masa itu, umat Islam telah
bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium.
Oleh karena
itu, Muawiyah juga bermaksud meniru cara suksesi kepemimpinan yang ada di
Persia dan Bizantium, yaitu monarki (kerajaan).
Pada masa
dinasti Umayyah politik telah mengalami kamajuan dan perubahan, sehingga lebih
teratur dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama dalam hal Khilafah
(kepemimpinan), dibentuknya Al-Kitabah (Sekretariat Negara), Al-Hijabah
(Ajudan), Organisasi Keuangan, Organisasi Keahakiman dan Organisasi Tata Usaha
Negara.
Kemajuan
dalam bidang pendidikan yang dicapai pada masa ini berkaitan sekali dengan
mantapnya system pemerintahan Islam sebagai suatu Negara. Pada masa ini,
perhatian Kaum Muslimin diarahkan kepada pembangunan peradaban, ilmu
pengetahuan dan lain-lain. Hal ini tiada lain adalah karena adanya hubungan
atau persentuhan dan kontak budaya dengan bangsa-bangsa lain yang telah
ditaklukkan.
Pada masa
Dinasti Muawiyah pendidikan Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat, baik di
bidang ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu berkembang
pesat pada masa itu. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculnya
figure-figur ilmuan yang cemerlang di bidangnya masing-masing dan sampai
sekarang, buah pikiran mereka menjadi bahan rujukan para akademis, baik dibarat
maupun di timur.
Islam pada
masa Dinasti Muawiyah telah mencatat satu lembaran peradaban dan kebudayaan
yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan
penyebrangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad XII.
Minat
terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan serta filsafat mulai dikembangkan pada
abad IX M selama pemerintahan penguasa Bani Umayah yang ke-5, Muhammad ibn Abd
Al-Rahman (832-886 M).
Pada masa
ini, lembaga pendidikan adalah masjid dan kuttab. Mesjid telah memegang peranan
sebagai lembaga pendidikan sejak zaman Rasulullah. Di Masjidlah Rasulullah
menyampaikan ajaran-ajaran keislaman. Kemudian para khulafaur Rasyidin juga
memfungsikan masjid sebagai tempat pendidikan, begitu juga sampai kepada zaman
Bani Umayyah.
Di masjid
para ulama memberikan pendidikan agama dalam berbagai cabang ilmu keagamaan.
Dalam Masjid terdapat dua tingkatan sekolah, tingkatan menengah dan tingkatan
perguruan tinggi. Pelajaran yang diberikan dalam tingkat menengah dilakukan
secara perorangan, sedangkan pada tingkat perguruan tinggi dilakukan secara
halaqah, murid duduk bersama mengelilingi guru.[9] Secara garis besarnya pola
pendidikan pada masa Dinasti Muawiyah dapat digambarkan sebagai berikut :
Kuttab
Umat muslim
pada masa Umayyah telah menoreh catatan sejarah yang mengagumkan dalam bidang
intelektual, banyak perestasi yang mereka peroleh khususnya perkembangan
pendidikan Islam. Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam sangat
tergantung pada penguasa yang menjadi pendorong utama bagi kegiatan pendidikan.
Menurut
Abuddin Nata, di Andalusia menyebar lembaga pendidikan yang dinamakan
Kuttab.[10] Kuttab termasuk lembaga pendidikan terendah yang sudah tertata
dengan rapi dan para siswa mempelajari berabagai macam disiplin Ilmu
Pengetahuan diantaranya Fiqih, Bahasa dan sastra, serta music dan kesenian :
Fiqih
Dalam bidang
fiqih, karena Spanyol Islam menganut mazhab Maliki, maka para ulama
memperkenalkan materi-materi Fiqih dari mazhab Imam Maliki. Para Ulama yang
memperkenalkan mazhab ini adalah Ziyad ibn Abd Al-Rahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn Abd
Rahman. Ahli-ahli fiqih lainnya adalah Abu bakar idn Al-Quthiyah, Munzir ibn
Said Al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
Bahasa dan
Sastra
Bahasa Arab
telah menjadi bahasa resmi dan bahasa administrasi dalam pemerintah Islam di
Andalusia. Bahasa Arab ini diajarkan kepada murid-murid dan para pelajar, baik
yang Islam maupun non-Islam. Dan hal ini dapat diterima oleh masyarakat, bahkan
mereka rela menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan
mahir dalam bahasa Arab, sehingga mereka terampil dalam berbicara maupun dalam
tatabahasa. Di antara ahli bahasa tersebut yang termasyhur ialah Ibnu Malik
pengarang kitab Alfiah, Ibn Sayyidih, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajjjj, Abu Ali
Al-Isybili, Abu Al-hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Garnathi.
Seiring
dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra banyak bermunculan, seperti
Al-‘Iqd al-Farid karya Ibn Abidin Rabbih, al-Dzakhirah fi Mahasin Ahl
al-Jazirah oleh Ibn Basam, kitab al-Qalaid buah karya Al-Fath Ibn Khaqan dan
banyak lagi yang lainnya.
Musik dan
Kesenian
Sya’ir
merupakan ekspresi utama dari peradaban Andalusia. Pada dasarnya sya’ir mereka
didasarkan pada model-model sya’ir Arab yang membangkitkan sentiment prajurit
dan interes faksional para penakluk Arab.[14] Dalam bidang musik dan suara,
Islam di Andalusia mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan ibn Nafi
yang dijuluki Zaryab.Ia selalu tampil mempertunjukan kebolehannya.
Kepiawaiannya bermusik dan seni membuat ia menjadi orang termasyhur dikala itu,
ilmu yang dimilikinya diajarkan kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan dan juga kepada para budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.[
Pendidikan Tinggi
Masarakat
Arab yang berada di Andalusia merupakan pelopor peradaban dan kebudayaan juga
pendidikan, antara pertengahan abad kedelapan sampai dengan akhir abad
ketigabelas. Melalui usaha yang mereka lakukan, ilmu pengetahuan kuno dan ilmu
pengetahuan Islam dapat ditransmisikan ke Eropa.
Bani Umayah
yang berada dibawah kekuasaan Al-Hakam menyelenggarakan pengajaran dan telah
memberikan banyak sekali penghargaan terhadap para sarjana. Ia telah membangun
Universitas Cordova berdampingan dengan Masji Abdurrahman III yang selanjutnya
tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang terkenal diantara jajaran lembaga
pendidikan tinggi lainnya didunia.
Universitas
Coedova menandingi dua Universitas lainnya yaitu Al-Azhar di Cairo dan
Nizhamiyah di Bagdhad, dan telah menarik perhatian para pelajar tidak hanya
dari Spanyol ( Andalusia), tetapi juga dari Negara-negara Eropa lainnya, Afrika
dan Asia.
Di antara
para ulama yang bertugas di Universitas Cordova adalah Ibn Qutaibah yang
dikenal sebagai ahli tata bahasa dan Abu Ali Qali yang dikenal sebagai pakar
filologi. Universitas ini memiliki perpustakaan yang menampung koleksi sekitar
Empat Juta buku.
Universitas
ini mencakup jurusan yang meliputi Astronomi, Matematika, Kedokteran, Teologi
dan Hukum. Jumlah muridnya mencapai Seribu orang. Selain itu di Andalusia juga
terdapat Universitas Sevilla, Malaga dan Granada yang didalamnya mengajarkan Mata
Kuliyah Teologi, Hukum Islam, Kedokteran, Kimia, Filsafat dan Astronomi.
No comments:
Post a Comment