MESKI
nama Silas Papare tak sebesar nama Jenderal Soedirman, perjuangannya dalam
membela bangsa tak boleh diragukan. Lelaki kelahiran Serui Papua, 18 Desember
1918, itu dengan gigih berjuang menyatukan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah
Indonesia dari cengkeraman kolonial Belanda.
Silas
Papare merupakan seorang pejuang yang berlatar pendidikan sebagai perawat.
Setelah tamat Sekolah Rakyat Tiga, Silas melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Perawat Empat di Serui, dan lulus pada tahun 1935.
Selain
menjadi perawat, Silas pun dipercaya Belanda sebagai tenaga intelijen. Sebab,
meski tak didukung dengan pendidikan militer secara khusus, tetapi Silas
memiliki penguasaan medan yang cukup bagus. Tak ayal pada 4 Juni 1944, Silas
diberi bintang jasa pangkat Sersan Kelas II oleh Belanda.
Dalam
hal memberikan pelayanan, Silas juga berhasil mengeluarkan rakyat Indonesia
dari hutan semasa pendudukan Jepang, yakni dari Serui, Biak, dan Manokwari.
Pada 5 April 1945, Silas mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda
berupa Bintang Perunggu, yang diberikan oleh Koningin Wilhelmina.
Karier
militer Silas pun kian cemerlang. Berkat pertolongannya atas tentara Sekutu
melawan Jepang di Irian Jaya, ia kembali memperoleh penghargaan dari bagian OPS
Perang Pasifik dari Biro Intelijen tentara Sekutu yang ditandatangani oleh GA
Willongbym Mayor Jenderal USA (US ARMY) pada 31 Oktober 1945.
Namun,
sejak Sekutu meninggalkan Irian Jaya, dan digantikan lagi oleh kolonial
Belanda, keadaan mulai berubah. Menurut Onnie Lumintang dalam buku Biografi Pahlawan Nasional; Marthin
Indey dan Silas Papare menjelaskan, sebelum proklamasi
diumumkan, Irian Barat (Irian Jaya) telah dibebaskan oleh tentara Sekutu dari
kekuasaan bala tentara Jepang.
Pada
saat tentara Sekutu melakukan pembebasan Irian barat, ikut pula Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA,
Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) bersama pasukannya. Tak pelak jika pada
kemudian hari NICA menguasai Irian Barat meski sudah Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaan.
Di
lain sisi, rakyat Irian Barat justru sudah mendengar berita proklamasi
kemerdekaan melalui radio dan pamflet-pamflet yang dikirim oleh orang-orang
Indonesia di Australia, yang tergabung dalam Political Axile Association.
"Berita
proklamasi tersebut mendorong rakyat Irian Barat untuk mempertahankan
proklamasi tersebut di daerahnya," kata Onnie Lumintang dalam bukunya.
Hal
tersebut, kata Onnie, terbukti dengan munculnya perlawanan yang dilakukan
rakyat Irian Barat, yaitu dengan mendirikan organisasi-organisasi seperti
Komite Indonesia Merdeka (KIM), dan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)
yang didirikan oleh Silas Papare.
Pada
25 Desember 1945, Silas dan beberapa kawannya berupaya mengajak pemuda-pemuda
Irian yang tergabung dalam Batalyon Papua untuk bergabung dan memberontak
terhadap Belanda. Sayangnya, rencana tersebut bocor ke telinga Belanda,
sehingga Silas Papare ditangkap dan dipenjarakan di Serui, Jayapura.
Ketika
menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan dr Sam Ratulangi,
Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat yang sama.
Perkenalannya tersebut semakin menambah keyakinan Silas bahwa Papua harus bebas
dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Akhirnya,
Silas mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya, pejuang
Papua itu kembali ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun, ia
kemudian melarikan diri menuju Yogyakarta.
Pada
Oktober 1949, Silas mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta dalam
rangka membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian
Barat ke dalam wilayah RI.
Di
Yogyakarta, Silas Papare membentuk Badan Perjuangan Irian yang berusaha keras
untuk memasukkan wilayah Irian Jaya ke dalam negara Indonesia. Silas Papare
kemudian ditunjuk menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New
York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang mengakhiri perseteruan antara Indonesia
dan Belanda perihal Irian Barat.
Perjanjian
itu ditindaklanjuti dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969,
di mana rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan NKRI.
Pada
7 Maret 1978, akhirnya pejuang dari ujung timur Indonesia itu wafat. Untuk
menghormati segala jasa-jasanya, Silas Papare dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional berdasarkan Keppres No. 077/TK/1993, Tgl. 14 September 1993.
Bahkan,
salah satu kapal perang milik TNI AL mendapat kehormatan menggunakan nama KRI
Silas Papare yaitu sebuah korvet kelas Parchim, yang dibuat untuk
Volksmarine/AL Jerman Timur pada akhir 70-an. Penamaan menurut Pakta Warsawa
adalah Project 133.
Silas Papare merupakan pejuang
yang dipercaya Presiden Soekarno menjadi delegasi RI yang mewakili Irian Barat
dalam Perjanjian New York, perjanjian yang merupakan awal kebebasan Irian Barat
dari cengkeraman penjajahan Belanda.
Saat Indonesia merdeka pada 17
Agustus 1945, Papua masih berada dalam cengkeraman Belanda. Bahkan Belanda yang
semakin terpojok oleh dunia internasional, tidak tinggal diam dengan membentuk
negara boneka Papua, yang kemudian menetapkan nama Papua sebagai Papua Barat.
Ada seorang laki-laki dari
tanah Papua yang berpikir bahwa masyarakat Papua harus bebas dari jajahan
Belanda dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu
Silas Papare. Seorang pejuang dari timur Indonesia, yang berlatar pendidikan
sebagai juru rawat.
Hidup dalam alam Irian Jaya
yang terkenal ganas akan nyamuk malaria dan hidup dalam jajahan Belanda,
menjadi awal mula mengapa Silas Papare jadi seorang juru rawat. Tenaga medis
pada saat itu begitu dibutuhkan, perang pun masih berlangsung kala itu. Maka,
setelah tamat Sekolah Rakyat tiga, Silas melanjutkan ke Sekolah Perawat Empat
di Serui.
Semasa menjadi juru rawat,
meskipun tidak didukung dengan pendidikan militer secara khusus, Silas Papare
ternyata memiliki penguasaan medan yang bagus, sehingga beliau pun dipercaya
Belanda sebagai tenaga intelijen. Prestasi yang pernah diraih pada masa Belanda
adalah keberhasilannya melayani dan mengeluarkan rakyat Indonesia dari hutan
semasa pendudukan Jepang, yaitu dari Serui, Biak, dan Manokwari. Atas keberhasilannya,
pemerintah Belanda memberikan penghargaan berupa bintang perunggu yang
diberikan oleh Koningin Wilhelmina di London pada 5 April 1945.
Pada masa pendudukan Sekutu dan
Belanda, sesudah perang dunia kedua, berkat pengabdiannya di bidang intelijen,
Silas Papare diangkat menjadi tentara Sekutu dengan pangkat sersan Persteklas.
Pada tanggal 4 Juni 1944, Silas Papare dengan berani mengkoordinasi gerakan
rakyat membantu tentara sekutu bertepatan dengan pendaratan sekutu pertama
kalinya di Teluk Wombai, yang saat itu beliau diberi bintang jasa pangkat
Sersan Kelas II.
Karir militer ini Ia tekuni
sampai tahun 1945. Berkat kesuksesannya menolong Sekutu melawan Jepang di Irian
Jaya, Silas Papare memperoleh penghargaan dari bagian OPS Perang Pasifik dari
Biro Intelijen tentara Sekutu yang ditandatangani oleh G.A Willongbym Mayor
Jenderal USA (US ARMY) pada 31 Oktober 1945.
Sejak Sekutu meninggalkan Irian
Jaya dan digantikan oleh Belanda, Silas Papare tidak lagi sebagai tentara dan
kembali sebagai tenaga medis di Serui. Pada akhir tahun 1945 Silas Papare
diangkat sebagai Kepala Rumah Sakit Zending di Serui.
Karena punya beberapa teman di
Pulau Jawa, Silas Papare pun sering pergi ke Jakarta. Sambil berjuang, Silas
Papare pun mengabdikan diri di kantor Kementerian Kesehatan Kota Praja, Jakarta
Raya. Ia menjalani profesi sebagai tenaga medis selama tiga tahun, dari tahun
1951-1954.
Pada masa akhir perang dunia,
Silas terlibat dalam pekerjaan palang merah sedunia. Tepat pada 25 Desember
1945, Silas dan beberapa kawannya berupaya mengajak pemuda-pemuda Irian yang
tergabung dalam Batalyon Papua untuk bergabung dan memberontak terhadap
Belanda. Meski sayangnya, rencana tersebut bocor ke telinga Belanda, sehingga
Silas Papare ditangkap dan dipenjarakan di Jayapura.
Takdir mempertemukan Silas
Papare dengan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan Belanda.
Melalui perkenalannya tersebut, Silas Papare semakin yakin bahwa Papua memang
harus bebas dan bergabung dengan NKRI.
Setelah bebas dari penjara,
Silas Papare tak gentar dan terus berupaya. Beliau mendirikan partai pertama di
Irian Barat yang bernama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada tanggal
29 November 1946. Akibatnya, beliau kembali ditangkap oleh Belanda dan
dipenjarakan di Biak.
Meskipun begitu, dalam
perjalanan ke Biak, Silas berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di
Yogyakarta. Bahkan, Presiden Soekarno terkejut saat menyadari ada putera asli
Irian yang mempunyai semangat berlayar selama dua bulan untuk sampai ke Pulau
Jawa, demi mewujudkan cita-cita putera puteri Irian untuk bergabung dengan
NKRI. Silas Papare pun kemudian ditunjuk sebagai wakil rakyat Japen
Waropen/Serui untuk terus mengikuti jalannya perundingan KMB di Den Haag
Belanda, pada 17 Agustus 1949.
Pada Oktober 1949, Silas Papare
mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta untuk membantu Pemerintah
Republik Indonesia dalam memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI.
Namun, pada 27 Desember 1949 di
Konferensi Meja Bundar, Belanda tetap tidak mau mengakui kedaulatan Indonesia
atas Irian Barat.
Cara lain ditempuh Pemerintah
RI, dengan mengumumkan Trikora pada tanggal 19 Desember 1961, sebagai upaya
pembebasan Irian Barat dari Belanda. Silas pun membentuk Kompi Irian di Mabes
Angkatan Darat.
Perjuangan Berbuah Manis Perang
ternyata tidak pernah terjadi. Belanda bersedia menyelesaikan masalah Irian
dengan jalan perundingan, yakni melalui Persetujuan New York pada tanggal 15
Agustus 1962 di kota New York. Silas menjadi delegasi RI pada perjanjian
tersebut dan menjadi saksi sejarah diresmikannya Irian Barat secara de facto
dan de jure menjadi bagian dari wilayah kesatuan Republik Indonesia. Kemudian,
Irian Barat diganti namanya menjadi Irian Jaya.
Di dalam perjanjian itu
disebutkan bahwa Irian Barat resmi masuk wilayah RI pada 1 Mei 1963. Setelah
itu, akan dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Perjuangan
Silas Papare pada akhirnya terbayar sudah.
Karier terakhir Silas Papare
adalah sebagai anggota DPRS menggantikan almarhum Dr Radjiman Widiodiningrat.
Tahun 1956 Silas Papare diangkat menjadi anggota DPR wakil rakyat Irian Jaya.
Pada tahun yang sama diangkat sebagai anggota Dewan Perancang Nasional
Sementara Republik Indonesia dan anggota MPRS. Ia menjalani hidup sebagai wakil
rakyat hingga pensiun tahun 1960.
Silas Papare meninggal dunia di tanah kelahirannya
Serui, Irian pada tanggal 7 Maret 1973, pada usia 54 tahun. Namanya diabadikan
sebagai salah satu kapal selam perang, yakni KRI Silas Papare. Ia mendapat
gelar pahlawan nasional pada 14 September 1993. Selain itu di Serui didirikan
pula monumen Silas Papare.