A. HASAN AL-BASHRI
1.
Riwayat Hidup
Hasan
Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang
zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada
tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H
(728M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang
sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dan 600 sahabat lainnya.
Dialah yang mula-mula
menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian
akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Mesjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang
kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi, sahabat Nabi yang masih
hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Suatu ketika seseorang datang
kepada Anas bin Malik sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan persoalan agama.
Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain
dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata : “Bergurulah kepada Syekh ini.
Saya sudah saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang Tabi’in pun
yang menyerupai sahabat Nabi selainnya.”
Karir pendidikan Hasan
Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh Ulama di sana.
Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur
dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana.
2.
Ajaran-ajaran Tasawufnya
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri
sebagai berikut : “Takut (Khauf) dan pengharapan (Rafa’) tidak akan dirundung
kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu ingat Allah.”
Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh
perintah Allah dan menjadi seluruh larangan-Nya. Sya’ram pernah berkata :
“Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya
dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri).”
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran Tasawuf Hasan
Al-Bashri seperti :
a.
“Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang
menimbulkan perasaan takut”
b.
“Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa
bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan
memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan
rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan
dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.”
c.
“Dunia ini adalah seorang janda yang telah tua renta
bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati oleh suaminya.”
d.
“Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang
senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih
janjinya.”
e.
“Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal
saleh.”
B. AL MUHASIBI PANDANGAN TASAWUFNYA
Al-Harits
bin Asad Al-Muhasibi (W. 243 H), menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar
dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut
umat Islam, Al-Muhasibi menemukan kelompok di dalamnya. Diantara mereka ada
sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka
sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu
karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula orang-orang yang terkesan sedang melakukan
ibadah karena Allah, tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan
keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah SWT,
melaksanakan kewajiban-kewajiban wara’ dan meneladani Rasulullah. Al-Muhasibi,
tatkala sudah melaksanakan hal-hal di atas, maka seseorang akan diberi petunjuk
oleh Allah berupa penyatuan antara Fiqh dan Tasawuf. Ia akan meneladani
Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
1. Pandangan Al-Muhasib tentang Ma’rifat
- Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan semata. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
- Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
- Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
- Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
2.
Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Pangkal wara’, menurutnya adalah
ketakwaan, pangkal ketakwaaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs),
pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah
pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah.
No comments:
Post a Comment