A. RABI’AH AL-ADAWIAH
1.
Riwayat Rabi’ah Al-Adawiah
Nama
lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah.
Diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M atau 99 H/717 M, di suatu
perkampungan dekat kota Basrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H /
801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin.
Itulah sebabnya, orangtuanya menamakan Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal
masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan
penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Disinilah
ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja
keras, namun kemudian dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di
atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang
beribadah.
Setelah
dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai
seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak
tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala
bantuan materi yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Bahkan dalam do’anya, ia tidak meminta hal-hal
yang bersifat materi.
2.
Ajaran Rasawuf Rabi’ah Al-Adawiah
Untuk
memperjelas pengertian Al-Hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu Al-Hawa dan Hub
anta ahl lahu, perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib
Al-Makiy dalam Qat Al-Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi memberikan penafsiran
bahwa makna Hubb Al-Hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan
kebaikan yang diberikan Allah. Adapun yang dimaksud dengan nikmat-nikmat adalah
material, tidak spiritual karenanya hubb disini bersifat hubb indrawi.
Walaupun demikian, hubb Al-Hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah,
tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini
karena Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada
dibalik nikmat tersebut. Adapun Al-Hubb anta ahl lahu adalah cinta yang
tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai.
B. DZU
AL-NUN AL-MISHRI
1.
Riwayat Hidup Dznu Al-Mishri
Dzun
An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar
pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Fatidh Tsauban bin
Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/776 M,
dan wafat pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya
sehubungan dengan berbagai keramatannya yang Allah berikan kepadanya.
Diantaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di Sungai Nil
dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Dalam
perjalanan hidupnya Al-Mishri selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat yang
lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait
Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan
Lembah Kan’an. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang
ilmu Fiqh, Ilmu Hadist dan guru sufi sehingga ia dapat berhubungan dan
mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Ahmad.
Ia mengambil riwayat hadist dari Malik Al-Laits, dan lain-lainnya. Sebelum
Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang
pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun
merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para
wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang
bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan
pemikiran tasawuf.
2.
Ajaran-ajaran Tasawuf Dzun Al-Nun Al-Mishri
Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak
baru tentang ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan antara
ma’rifat sufiyah dengan ma’rifat aqliyah. Kedua, menurut
Al-Mishri, ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian
hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali.
Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan
menjadi tiga macam yaitu :
1.
Pengetahuan untuk seluruh muslim
2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan
ulama
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah
Dalam perjalanan rohani, Al-Mishri
mempunyai sistematika sendiri tentang jalan menuju ma’rifat.
Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut
Al-Misri adalah sebagai berikut :
a. Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya
kewara’annya
b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu bathin
merusak hukum lahir
c. Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya
menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.
3.
Pandangan Dzu An-nun Al-Mishri tentang Maqamat dan Ahwal
Pandangan Al-Misri tentang Maqamat,
dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu At-Taubah, Ash-Shabr, At-tawakul, dan
Ar-Rida. Tentang At-Taubah Al Mishri membagi menjadi dua macam yaitu taubat
Awwam dan taubat khawas tentang maqam ash-shabr adalah
menghadapi segala cobaan dengan rasa kesabaran. Berkenaan dengan At-tawakal
mengartikan sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya
dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai
perasaan tidak memiliki kekuatan kemudian tentang Ar-Rida adalah kegembiraan
hati menyambut ketentuan Tuhan baginya.
Berkenaan dengan ahwal adalah Al-Mishri
menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari
empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Menurutnya tanda-tanda
orang-orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya dalam akhlak,
perbuatan dan ucapan segala perintah dan juga mengikuti sunnah Rasul.
No comments:
Post a Comment