Menurut Pasal 1
angka (2) UU Nomor 8 Tahun 1989 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya
disingkat UU No. 8 Tahun 1999), Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU No. 8 Tahun 1999
menentukan bahwa :
“Di
dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai
bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam
Undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
Dari Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU No. 8 Tahun 1999 di
atas dapat diketahui bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal
dalam kepustakaan ekonomi.
Menurut Az. Nasution, konsumen adalah setiap pengguna
barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan
tidak untuk memproduksi barang/jasa lain atau memperdagangkannya kembali.
Kriteria pokok barang atau jasa konsumen adalah bahwa
barang atau jasa itu lazimnya digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga dan
rumah tangga di dalam masyarakat.
Sehubungan dengan kata “orang” dalam definisi konsumen
menurut Pasal 1 angka (2) UU No. 8 Tahun 1999, Shidarta menanggapinya bahwa
istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual
(natuurlijke persoon) atau termasuk
juga badan hukum (rechts persoon).
Dikemukakannya lebih lanjut, bahwa :
“Hal
ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1
angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas,
dengan menyebutkan kata-kata : “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian
konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup
juga badan usaha, dengan makna yang lebih luas daripada badan hukum.”
Dari kutipan di atas terlihat, bahwa
yang dimaksud dengan “orang” dalam pengertian konsumen sebagaimana dimaksudkan oleh
Pasal 1 angka (2) UU No. 8 Tahun 1999 meliputi orang pribadi (individual) dan
badan usaha.
Bertalian dengan kata “pemakai”
dalam definisi konsumen menurut Pasal 1 angka (2) UU No. 8 Tahun 1999, Shidarta
memberikan tanggapannya secara panjang lebar sebagaimana berikut ini :
Istilah “pemakai” dalam hal ini
tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang
dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.
Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan
prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa
itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha
tidak perlu harus kontraktual (the
privity of contract). Sebagai ilustrasi dapat diberikan contoh berikut.
Seseorang memperoleh paket hadiah atau parsel pada hari ulang tahunnya. Isi
paketnya berupa makanan dan minuman kaleng yang dibeli si pengirim dari pasar
swalayan. Pertanyaannya, apakah penerima paket termasuk seorang konsumen juga?
Jika ia akan menggugat pasar swalayan itu, apakah ada dasar gugatan yang cukup
kuat baginya ? Hal ini patut dipertanyakan. Jika menggunakan prinsip the privity of contract tentu tidak ada
hubungan kontraktual antara penerima hadiah dan pihak pasar swalayan karena si
pembeli parsel ialah orang lain. Dengan demikian, UUPK sudah selayaknya
meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen.
Dijelaskannya lebih lanjut bahwa :
Konsumen menang tidak sekadar
pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan
atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Jadi, yang paling
penting ialah terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa,
termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. Transaksi konsumen memiliki
banyak metode. Dewasa ini, sudah lazim terjadi sebelum suatu produk dipasarkan,
terlebih dulu dilakukan pengenalan produk kepada konsumen. Untuk itu, dibagikan
sampel yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjualbelikan. Orang yang
mengkonsumsi produk sampel juga merupakan konsumen. Oleh karena itu, wajib
dilindungi hak-haknya.
Berkaitan dengan istilah barang
dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut dapat digunakan kata
produk, karena pada saat ini kata “produk” sudah berkonotasi pada barang atau
jasa.
UU No. 8 Tahun 1999 mengartikan
barang sebagai setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Sementara itu, jasa diartikan
sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Pengertian “disediakan bagi masyarakat”
menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih
dari satu orang. Selanjutnya, “ditawarkan kepada masyarakat” harus diartikan
sebagai bagian dari transaksi konsumen.
Dengan demikian, seseorang yang
karena kebutuhan mendadak lalu menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat
dikatakan perbuatannya itu sebagai transaksi konsumen. Si pembeli tidak dapat
dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UU No. 8 Tahun 1999.
Transaksi konsumen ditujukan untuk
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur
yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian
kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan
keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu dipergunakan bagi orang lain (di
luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti
hewan dan tumbuhan.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa konsumen tidak lagi diartikan sebagai
pembeli dari suatu barang dan/atau jasa, tetapi termasuk juga bukan pemakai
langsung, asalkan ia memang dirugikan sebagai akibat dari penggunaan suatu
produk.
No comments:
Post a Comment