Wednesday, November 21, 2018

Pengertian Pelaku Usaha


            Pasal 1 angka (3) UU No. 8 Tahun 1999 menentukan, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
            UU No. 8 Tahun 1999 tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata “konsumen”. Untuk itu digunakan kata “pelaku usaha”, yang bermakna lebih luas.
            Istilah terakhir dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penye­dia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan. Bahkan untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga meliputi perusahaan media, tempat iklan itu ditayangkan.
1.   Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
            Menurut Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999, pelaku usaha mempunyai hak-hak sebagai berikut :
a.   hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.   hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.   hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.   hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.   hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
            Hak pelaku usaha pada huruf (a) tersebut di atas menunjukkan, bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.
            Mengenai hak pelaku usaha tersebut pada huruf (b), (c), dan (d) di atas, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/Pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa.
            Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari. Satu-satunya hak pelaku usaha yang berhubungan dengan kewajiban konsumen adalah kewajiban konsumen untuk mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
            Adapun yang menjadi kewajiban dari pelaku usaha, menurut Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
a.   beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.   memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c.   memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.   menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.   memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji. dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan. pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.   memberi kompensasi. ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
            Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya adalah sejalan dengan ketentuan dalam hukum perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (3) BW bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
            Dalam UU No. 8 Tahun 1999, pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
            Sehubungan dengan itikad baik ini, Ahmadi Miru & Sutarman Yodo menyatakan :
            “Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian pada konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.”

            Tentang adanya kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha, merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen.
            Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa peringatan atau yang berupa instruksi.
            Seperti telah disebutkan sebelumnya, UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha.
            Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa, Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan larangan-larangan berikut ini :
1)      Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
         a)   tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
         b)   tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
         c) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenamya;
         d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan. keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
         e)   tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
         f)   tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
         g)   tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
         h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pemyataan "halal' yang dicantumkan dalam label;
         i)    tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai. tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
         j)    tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang -undangan yang berlaku.
2)      Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3)      Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar .
4)      Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
            Pada intinya, substansi Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tertuju pada 2 (dua) hal, yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud.
            Larangan-larangan di atas dimaksudkan untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakatmerupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.
2.   Tanggung Jawab Pelaku Usaha
            Pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Karena itu, kepada pelaku usaha dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha.
            Dalam UU No. 8 Tahun 1999 pengaturan mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha dapat dijumpai dalam Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999, yang menetapkan ketentuan sebagai berikut :
1.      Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya. atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4.      Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5.      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
            Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :
a.   tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
b.   tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan
c.   tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
            Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang secara garis besarnya hanya ada 2 (dua) kategori, ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
            Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum.
            Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dan penggugat (pelaku usaha dan konsumen) terikat dengan suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi..
            Menurut R. Subekti, wanprestasi dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu :
1)   tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2)   melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3)   melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4)   melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
            Kreditur dapat mengajukan tuntutan-tuntutan berikut sebagai akibat dari wanprestasinya debitur, yaitu :
a)   pemenuhan perjanjian;
b)   pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
c)   ganti rugi saja;
d)   pembatalan perjanjian;
e)   pembatalan disertai ganti rugi.
            Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi), tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) tidak perlu didahului dengan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen. Oleh karena itu, tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen. Dengan kata lain, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.
            Pasal 1365 BW menetapkan, setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
            Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus harus merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum. Hal ini berarti, bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum, harus dipenuhi unsur-unsur berikut :
(1)  ada perbuatan melawan hukum;
(2)  ada kerugian;
(3)  ada hubungan kausalitas (sebab akibat) antara perbuatan melawan hukum dan kerugian; dan
(4)  ada kesalahan.
            Berbeda dengan pengertian perbuatan melawan hukum sebelum tanggal 31 Januari 1919 dimana perbuatan melawan hukum diartikan secara sempit (melawan hukum adalah melawan undang-undang), maka setelah tanggal 31 Januari 1919 perbuatan melawan hukum diartikan secara luas.
            Menurut arrest Hoge Raad (HR = Mahkamah Agung Belanda) tanggal 31 Januari 1919, berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum jika :
(a)  melanggar hak orang lain; atau
(b)  bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat; atau
(c)  bertentangan dengan kesusilaan; atau
(d) bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat, baik terhadap disi atau barang orang lain.
            Sehubungan dengan tuntutan ganti kerugian yang dilakukan oleh konsumen terhadap pelaku usaha, ketentuan Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 menentukan bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
            Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tersebut di atas merupakan hal yang baru dan dapat dikatakan sebagai langkah maju yang dilakukan oleh Pemerintah dalam memberdayakan konsumen menuntut haknya atas ganti kerugian terhadap pelaku usaha. Dikatakan demikian karena :
            Sebagai suatu hal baru, bukan hanya karena telah adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, tetapi lebih dari itu karena adanya pengaturan tempat pengajuan gugatan ganti kerugian “di tempat kedudukan konsumen” baik itu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen maupun melalui badan peradilan, di mana sangat membantu konsumen dalam menuntut haknya. Hal ini merupakan pengembangan dari ketentuan Pasal 118 HIR, sebab secara umum pengajuan gugatan ganti kerugian dilakukan di wilayah hukum tergugat, dan ini berarti di tempat pelaku usaha berdomisili. Pengaturan seperti itu akan banyak membawa kesulitan bagi konsumen. Dengan ditentukannya tempat pengajuan gugatan ganti kerugian “di tempat kedudukan konsumen”, maka dengan sendirinya banyak memberikan kemudahan kepada konsumen.
            Selanjutnya ketentuan Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.  
            Berdasarkan ketentuan Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 ini beban pembuktian unsur “kesalahan” dalam gugatan ganti kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini memberikan konsekuensi hukum bahwa pelaku usaha yang dapat membuktikan bahwa kerugian bukan merupakan kesalahannya, dibebaskan dari tanggung jawab ganti kerugian.

            Ketentuan Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 tersebut merupakan penyimpangan terhadap asas umum tentang beban pembuktian sebagaimana terdapat dalam Pasal 163 HIR yang menentukan barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive