Wednesday, November 21, 2018

Asas-asas Yang Penting Dalam Perjanjian


            Di dalam ilmu pengetahuan hukum, di samping dikenal hukum dalam pengertiannya sebagai hukum positif, juga dikenal asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum. Asas-asas hukum ini bukan merupakan hukum positif, dan dapat dikatakan bahwa asas-asas hukum ini menjadi dasar atau landasan dari hukum positif. Oleh karena itulah asas-asas hukum ini menempati tempat yang lebih tinggi dari hukum positif.
            Dari asas-asas hukum dapat dikonstruksikan kaidah-kaidah hukum positif, ataupun sebaliknya kaidah-kaidah hukum positif dapat dikembalikan pada asas-asas hukumnya.
            Berkenaan dengan masalah perjanjian tersebut, terdapat beberapa asas yang penting dalam lapangan hukum perjanjian, yang uraian secara ringkasnya akan penulis turunkan dalam paragraf di bawah ini.
1)      Asas Konsensualisme
            Konsensualisme berasal dari perkataan “konsensus”, yang artinya adalah kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan, bahwa di antara para pihak yang bersangkutan tercapai suatu persetujuan kehendak. Maksudnya, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kedua kehendak dimaksud bertemu dalam “sepakat” tersebut.
            Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah juga dikehendaki oleh yang lain, atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”. Misalnya, yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang yang lain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si pemilik barang. Demikian penjelasan R. Subekti tentang makna “konsensus”.[1]
            Lebih lanjut R. Subekti menyatakan sebagai berikut :
            “Asas konsensualisme mengandung arti bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja, dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan di atas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Asas ini harus disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, dan tidak dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata seperti yang diajarkan oleh beberapa penulis”.[2]

2)      Asas Kebebasan Berkontrak
            Sebagaimana diketahui, perjanjian merupakan sumber perikatan yang terpenting, sebab dengan melalui perjanjian para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala macam perjanjian, baik perjanjian bernama maupun perjanjian tidak bernama. Hal ini merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang merupakan salah satu asas yang penting dalam hukum perjanjian.
            Berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak atau sistem terbuka, Subekti menyatakan pendiriannya bahwa :
            “Asas kebebasan berkontrak lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Caranya ialah dengan memberikan penekanan pada perkataan semua, sehingga Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Atau dengan kata lain, dalam soal perjanjian kita diper­bolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu”.[3]
            Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, maka kedudukan rangkaian pasal-pasal yang terdapat dalam buku III BW banyak yang bersifat sebagai hukum pelengkap (aanvullend recht) saja. Artinya, pasal-pasal tersebut dapat dikesampingkan oleh para pihak manakala mereka menghendakinya, dan para pihak tersebut diperkenankan untuk membuat ketentuan-ketentuan sendiri sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Rangkaian pasal-pasal tadi baru mengikat mereka apabila mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya, atau jika mengaturnya dalam perjanjian yang mereka buat tetapi tidak lengkap, maka atas hal-hal yang tidak diatur secara tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal dalam Buku III BW.
            Lebih lanjut, dengan adanya asas kebebasan berkontrak maka perjanjian-perjanjian bernama yang diatur dalam Bab V – Bab XVIII itu hanya sekedar contoh belaka. Artinya, para pihak diperkenankan membuat perjanjian yang lain atau berbeda dengan contoh-contoh perjanjian tersebut.
3)   Asas Kekuatan Mengikat
            Asas kekuatan mengikat dalam suatu perjanjian disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan dengan tegas, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kekuatan seperti itu diberikan kepada “semua perjanjian yang dibuat secara sah” (Pasal 1320 BW).[4]           
            Sebagai konsekuensi logis dari kekuatan mengikat suatu perjanjian adalah bahwa perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat (2) BW).
            Keterikatan para pihak dalam suatu perjanjian tidak hanya terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 BW). Dengan demikian, setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, adat kebiasaan (di suatu tempat dan kalangan tertentu), sedangkan kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus juga diindahkan.
4)   Asas Itikad Baik
            Asas itikad baik dalam lapangan hukum perjanjian tertuang secara eksplisit dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menegaskan, bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
            Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum.[5]
            Ternyata, itikad baik bukan saja terdapat dalam lapangan hukum perjanjian melainkan juga terdapat dalam hukum benda. Perihal ini, Subekti memberikan penjelasan sebagai berikut :[6]
            “…Dalam hukum benda,…itikad baik berarti kejujuran atau bersih. Si pembeli yang beritikad baik adalah orang yang jujur, orang yang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya. Artinya, cacat mengenai asal-usulnya. Dalam hukum benda itu itikad baik adalah suatu anasir subyektif. Bahkan ansir subyektif inilah yang dimaksudkan oleh Pasal 1338 ayat (3) tersebut di atas bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Yang dimaksudkan pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan…”

            Di muka telah pula dijelaskan, bahwa melalui Pasal 1338 ayat (3) BW, hakim berwenang untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjajian, agar jangan sampai pelaksanaan tersebut melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti pula, hakim diberi wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian sebagaimana adanya manakala pelaksanaannya bertentangan dengan itikad baik. Dan pasal ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang membuat perjanjian.



[1] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni, 1981, hlm. 15.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 14.
[4] Ibid.,  hlm. 16.
[5] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1983, hlm. 121.
[6] Subekti, op.cit., hlm. 41.  

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive