Wednesday, November 21, 2018

Syarat-syarat Sahnya Perjanjian


            Salah satu ketentuan umum hukum perjanjian yang paling penting adalah Pasal 1320 BW yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Semua perjanjian, baik perjanjian bernama maupun perjanjian tidak bernama, harus dilakukan dengan berpedoman pada Pasal 1320 BW. Pasal 1320 BW menegaskan, bahwa :

            “Untuk syahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat :
            1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
            2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
            3. suatu hal tertentu.
            4. suatu sebab yang halal”.
           
            Paragraf di bawah akan menguraikan secara ringkas perihal ke empat syarat sahnya perjanjian tersebut.
1)   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan, atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa paksaan, kekhilafan, dan penipuan.
      Persetujuan tersebut dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam. Saat kesepakatan terjadi selalu menjadi persoalan. Hal ini disebabkan karena untuk perjanjian-perjanjian yang tunduk pada asas konsensualitas, saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya perjanjian.
2)   Kecakapan untuk membuat perikatan.
      Kecakapan merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal dan pikirannya, serta tidak dilarang oleh suatu peraturan  perundang-undangan untuk melakukan perbuatan hukum, kecuali dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang (Pasal 1329 BW).
      Pasal 1330 BW menyebutkan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu :

      a.   Orang yang belum dewasa.
      b.   Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
      c.   Wanita dalam status nikah.
      Dengan menggunakan konstruksi hukum argumentum a contrario, maka orang yang cakap untuk membuat perjanjian adalah mereka yang tidak termasuk dalam kategori tersebut di atas.
      Berdasarkan ketentuan Pasal 330 BW, orang dewasa adalah mereka yang telah berumur 21 tahun, atau belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah. Sementara itu, dalam Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia dewasa adalah 18 tahun atau belum mencapai usia 18 tahun tetapi telah menikah (disimpulkan dari ketentuan Pasal 47 dan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974).
      Dengan adanya dua ketentuan di atas, patut dipermasalahkan, batas usia dewasa yang mana yang sekarang berlaku. Mengingat UU Perkawinan adalah undang-undang yang berlaku bagi WNI, maka menurut hemat penulis batas usia dewasa yang disebut dalam UU No. 1 Tahun 1974 itu yang berlaku.
      Yang dimaksud dengan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang tidak sehat pikirannya, sehingga perlu diasuh oleh seorang pengampu. Orang yang di bawah pengampuan diwakili oleh pengampunya bia ia melakukan tindakan hukum.
      Dewasa ini, wanita bersuami telah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini mulai dicanangkan sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963, yang antara lain mencabut ketentuan Pasal 108 dan Pasal 110 BW. Kedudukan wanita yang bersuami tersebut selanjutnya dipertegas kembali oleh Pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.
3)   Suatu hal tertentu.
      Dalam perjanjian, suatu hal tertentu bertalian dengan barang yang menjadi obyek perjanjian. Menurut Pasal 1333 BW, barang yang menjadi obyek suatu perjanjian haruslah tertentu, atau setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan perihal jumlahnya tidak perlu ditentukan atau diperhitungkan.
4)   Suatu sebab yang halal. 
      Sebab (causa/oorzaak) yang halal merupakan syarat yang keempat bagi sahnya suatu perjanjian. Sebab atau causa dalam suatu perjanjian itu menyangkut soal isi atau tujuan perjanjian. Mengenai syarat ini, Pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Suatu sebab atau causa dinyatakan tidak halal apabila bertentangan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 BW).
      Suatu perjanjian dikatakan tanpa sebab jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada saat membuat perjanjian tidak akan tercapai. Misalnya, apabila dibuat perjanjian novasi atas perjanjian utang-piutang yang sebelumnya tidak ada.
      Sebab yang palsu adalah sebab yang dibuat oleh para pihak untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari perjanjian itu. Misalnya, apabila dibuat perjanjian jual beli morphin untuk pengobatan, padahal sebenarnya akan dipakai secara bebas.
      Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang misalnya adalah, perjanjian yang dibuat antara orang tua dan anak untuk tidak saling mewarisi, atau perjanjian bahwa sang anak tidak berkewajiban untuk mengurus orang tuanya apabila mereka sudah tua dan memer­lukannya.
      Perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum misalnya adalah perjanjian di mana salah satu pihak menyanggupi untuk membunuh seseorang dengan mendapat sejumlah uang sebagai imbalannya. Sedangkan contoh dari perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan misalnya adalah perjanjian di mana seorang suami bersedia untuk menceraikan isterinya yang akan kawin lagi dengan bekas pacarnya yang kaya raya, dan setelah bercerai sang mantan suami akan memperoleh sebuah mobil mewah dari mantan isterinya itu.
      Syarat syahnya perjanjian yang pertama dan kedua di atas merupakan syarat subyektif, karena bertalian dengan subyek yang membuat perjanjian. Apabila salah satu dan/atau kedua syarat subyektif tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan (vernietigbaarheid). Hal ini berarti, bahwa perjanjian tersebut masih berlaku atau mengikat para pihak sepanjang belum dibatalkan. Pihak yang membatalkan perjanjian tersebut adalah hakim, atas permintaan pihak yang memberikan persetujuan tanpa kata sepakat atau pihak yang tidak cakap.

      Syarat yang ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif, karena menyangkut soal obyek perjanjian. Apabila salah satu dan/atau kedua syarat obyektif tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang bersangkutan batal demi hukum (nietig). Hal ini berarti, dari sejak semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive