Wednesday, November 21, 2018

Pengertian Perjanjian


            Ketentuan  hukum  positif  yang memberikan pengaturan tentang perjanjian dapat kita temukan dalam Buku III BW (Burgerlijk Wetboek – Kitab Undang-undang Hukum Perdata) tentang Perikatan. BW, yang nota bene merupakan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda, diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi (concordantie beginsel).  
            Pasal 1313 BW memberikan rumusan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
            Menurut R. Setiawan rumusan perjanjian tersebut di atas selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. [1]
            Lebih lanjut dikemukakan, sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu : [2]
            “1. perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
             2.  menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313.
                                    Sehingga perumusannya menjadi : persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
            Perlu kiranya penulis kemukakan bahwa R. Setiawan mengguna­kan istilah “persetujuan” dan bukannya “perjanjian” sebagai terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “overeenkomst”.
            Sementara menurut Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[3]
            Perihal hubungan antara perjanjian dengan perikatan dapat dinyatakan bahwa suatu perjanjian itu melahirkan suatu perikatan di antara para pihak yang membuat perjanjian. Bahkan perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.   
            BW tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan perikatan. Untuk keperluan itu, marilah kita berpaling pada doktrin yang memberikan penjelasan tentang makna perikatan.
            Menurut Pitlo, sebagaimana dikutip oleh R. Setiawan, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.[4] 
            Dari rumusan perikatan yang diberikan oleh Pitlo di atas dapat diketahui, bahwa prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Singkatnya, prestasi itu tidak lain dari obyek perikatan.
            Dalam hukum perdata, kewajiban debitur untuk memenuhi prestasi selalu disertai dengan jaminan harta kekayaan debitur. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1131 BW yang menetapkan bahwa :
            “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

            Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu. Hal ini berarti, perjanjian dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Apabila dibuat dalam bentuk tertulis, maka perjanjian ini berfungsi sebagai alat pembuktian dalam hal terjadi perselisihan di antara para pihak yang membuat perjanjian.
            Untuk beberapa perjanjian,  pembuat undang-undang menen­tukan bentuk tertentu, yang apabila bentuk yang ditentukan tadi tidak diikuti, maka perjanjian itu tidak sah. Dalam hal terakhir ini, bentuk tertulis tadi tidak semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tapi juga merupakan syarat bagi adanya (het bestaanwaarde) perjanjian. Misalnya, Pasal 1851 ayat (2) BW dengan tegas menetapkan, bahwa perjanjian perdamaian adalah tidak sah kecuali jika dibuat secara tertulis[5].



[1] R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : Binacipta, 1979,  hlm. 49.
[2] Ibid.
[3] Subekti,  Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 1990, hlm. 1.
[4] R. Setiawan, op.cit., hlm. 2.
[5] R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. hlm.

No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive