Ketentuan
hukum positif yang memberikan pengaturan tentang perjanjian
dapat kita temukan dalam Buku III BW (Burgerlijk
Wetboek – Kitab Undang-undang Hukum Perdata) tentang Perikatan. BW, yang
nota bene merupakan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda, diberlakukan di Indonesia
berdasarkan asas konkordansi (concordantie
beginsel).
Pasal 1313 BW memberikan rumusan perjanjian sebagai suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
Menurut R. Setiawan rumusan perjanjian tersebut di atas
selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan
persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan
“perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. [1]
Lebih lanjut dikemukakan, sehubungan
dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu :
[2]
“1. perbuatan harus diartikan
sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan
akibat hukum.
2. menambahkan
perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313.
Sehingga
perumusannya menjadi : persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih”.
Perlu kiranya penulis kemukakan
bahwa R. Setiawan menggunakan istilah “persetujuan” dan bukannya “perjanjian”
sebagai terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “overeenkomst”.
Sementara menurut Subekti, yang
dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.[3]
Perihal hubungan antara perjanjian
dengan perikatan dapat dinyatakan bahwa suatu perjanjian itu melahirkan suatu
perikatan di antara para pihak yang membuat perjanjian. Bahkan perjanjian
merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
BW tidak memberikan definisi tentang
apa yang dimaksud dengan perikatan. Untuk keperluan itu, marilah kita berpaling
pada doktrin yang memberikan penjelasan tentang makna perikatan.
Menurut Pitlo, sebagaimana dikutip
oleh R. Setiawan, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.[4]
Dari rumusan perikatan yang
diberikan oleh Pitlo di atas dapat diketahui, bahwa prestasi adalah sesuatu
yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Singkatnya, prestasi
itu tidak lain dari obyek perikatan.
Dalam hukum perdata, kewajiban
debitur untuk memenuhi prestasi selalu disertai dengan jaminan harta kekayaan
debitur. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1131 BW yang menetapkan bahwa :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Pada umumnya
suatu perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu. Hal ini berarti,
perjanjian dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Apabila dibuat dalam bentuk
tertulis, maka perjanjian ini berfungsi sebagai alat pembuktian dalam hal
terjadi perselisihan di antara para pihak yang membuat perjanjian.
Untuk
beberapa perjanjian, pembuat
undang-undang menentukan bentuk tertentu, yang apabila bentuk yang ditentukan
tadi tidak diikuti, maka perjanjian itu tidak sah. Dalam hal terakhir ini,
bentuk tertulis tadi tidak semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tapi
juga merupakan syarat bagi adanya (het bestaanwaarde) perjanjian.
Misalnya, Pasal 1851 ayat (2) BW dengan tegas menetapkan, bahwa perjanjian
perdamaian adalah tidak sah kecuali jika dibuat secara tertulis[5].
No comments:
Post a Comment