Wednesday, November 21, 2018

Perjanjian Baku


1.                  Pengertian
            Beberapa ahli telah mencoba memberikan pengertian tentang perjanjian baku / standar . Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku / standar adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.[1] Pendapat lain yang dikemukakan oleh Hondius, yaitu : “Perjanjian dengan syarat-syarat baku adalah syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu tanpa membicarakan lebih dulu isinya.[2]
      Dari definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, yaitu pada dasarnya yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang secara tertulis yang isinya atau ketentuannya dituangkan dalam satu bentuk formulir tertentu.Hubungan hukum yang diwarnai oleh suasana “take – it – or – leave – it” terlihat dari batasan perjanjian baku tersebut di atas perhatikan anak kalimat “tanpa membicarakan terlebih dahulu” tentang isinya. Hampir semua hubungan hukum yang menyangkut barang dan atau jasa konsumen seakan – akan telah dikuasai oleh bentuk perjanjian ini.
      Dalam praktek dunia usaha juga menunjukan bahwa “keuntungan” kedudukan kedua belah pihak sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan atau klausa baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat baku, karena baik perjanjian maupun klausa tersebut tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar – tawar oleh pihak lainnya, maka kita telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian baku,juga termasuk perjanjian kredit pada bank – bank (standar kontrak). Dari pegawai Bank kita menerima formulir perjanjian rekening koran, dari tukang fhoto dan binatu kita akan menerima “tanda terima” yang berbentuk suatu formulir perjanjian baku.
      Ketentuan pencantuman klausa baku yaitu dengan melihat kenyataan bahwa bargaining position konsumen pada prakteknya jauh di bawah para pelaku usaha, maka ditentukan adanya ketentuan perjanjian baku dan atau pencantuman klausa baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh para pelaku usaha. Undang – undang Perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku tetapi merumuskan klausa baku, sebagai berikut :
Setiap aturan atau ketentuan dan syarat – syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang ditungkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. [3]

            Dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditunjukan umtuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausa baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian dimana klausa baku tersebut akan mengakibatkan :
a.       Pengalihan tanggung jawab para pelaku usaha.
b.      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.       Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang akan dibeli oleh konsumen;
f.       Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g.      Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.      Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2.            Pengertian Jual Beli
            Dalam bahasa inggris jual beli disebut dengan “Sale” saja, yang berarti penjualan (hanya dilihat dari sudut si penjual), begitu pila dalam bahasa perancis “Vente”, yang juga berarti penjualan sedangkan dalam bahasa jerman , dipakainya perkataan “Kauf”, yang berate pembelian.
            Jual beli menurut B.W. adalah “suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yng satu (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda / barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.[4]
            Pada bagian lain, R.M. Suryodiningrat, berpendapat bahwa “jual beli adalah perjanjian / persetujuan / kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda / barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual”.[5]
            Dari definisi tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa di dalam perkataan jual beli selalu adanya pihak yang berkepentingan secara timbale balik untuk melakukan suatu perbuatan, yaitu satu pihak melakukan perbuatan menjual sedangkan dari pihak lain membeli. Istilah secara timbale balik sesuai dengan bahasa belanda “Koop en Verkop” yang satu per Verkoop (menjual) sedangkan yang lainnya “Koopt” (membeli).



[1] Mariam Badrus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994, hlm. 47
[2] Ibid, hlm. 47.

[3] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 18
[4] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni, 1985, hlm. 1
[5] RM. Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Penjanjian, Bandung : Tarsito, 1982, hlm. 4. 

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive