William
Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai
media tradisional adalah sebagai berikut:
- Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi
angan-angan atau impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish
fulfilment) masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe
dongeng. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini
hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu,
menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu
tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja, cerita
ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain
dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
- Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di
daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram.
Seseorang harus dihormati karena mempunyai kekuatan luar biasa yang
ditunjukkan dari kemapuannya memperistri ”makhluk halus”. Rakyat tidak
boleh menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada pemimpinnya harus
dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika
masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di
Pantai Parang Kusumo.
- Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita
Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika
orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang
layak.
- Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar
norma-norma masyarakat dipatuhi. Cerita ”katak yang congkak” dapat
dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian sosial terhadap norma dan
nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak bicara
namun sedikit kerja.
Sifat kerakyatan
bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan rakyat yang
hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini biasanya sangat
komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam
penyajiannya, pertunjukkan iniini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat
(Direktorat Penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988).
Ranganath (1976),
menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya akan
variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik pria
ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini
dikenal sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar
bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera.
Ranganath juga memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa pesan-pesan
modern.
Eapen (dalam
Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu
diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media ini tidak akan
menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing.
Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karana ia mempertunjukkan kebolehan
orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari
pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat
menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang
bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum
media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan budaya yang
ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel,
memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah,
dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi,1988) menambahkan bahwa media
tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dipahami
oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi yang berada di luar jangkauan
pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses
komunikasi.
No comments:
Post a Comment