Pada masa silam,
media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting.
Kinipenampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan
Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini
antara lain karena:
1.
Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak,
bioskop, radio, dan televisi.
2. Penggunaan
bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan
dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3.
Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh
minat pada pengembangan media tradisional ini, dan
4.
Berubahnya selera generasi muda.
Di
Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan
sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya
mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat
penonton, setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa
persaingan media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang,
terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern
seperti kaset video.
Pertunjukkan
rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang,
terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak
lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan
pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi
baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan
pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Surutnya
media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti
komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976)
melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian
komunikasi yang diterbitkan dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan
penelitian itu tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat
pada media tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut
oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat
itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang
dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai
digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi
menjadi linear dan satu arah.
Untuk
mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia
ketiga menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan
televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake,
dalam Jahi, 1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi
itu, jika tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya,
akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekuarangan ini menjadi
kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media
besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan
dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam
pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber
daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang
kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.
Situasi
ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan
jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju.
Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya
sangat berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang
tumbuhnya konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.
Perhatian para
peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah menyaksikan
kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia ketiga
dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji
kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan
Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai ditelusuri.
UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional secara
terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja bersama
masyarakat. Yang tujuan utamanya tidak hanya bersifat pengembangan sosial dan
ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976)
Kemudian
Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh
perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi
pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East
West Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi
komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami
kerugian besar, jika tidak didukung oleh media tradisional.
No comments:
Post a Comment