Media tradisional
mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi
khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi yang
dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks
kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit
menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal,
material, maupun musik yang ditampilkan (Compton, 1984).
Kesulitan
tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang
ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak
memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi
yang hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian dari
media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan
pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan
fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk
menyampaikan pengetahuan kepada khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga
menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah
sosial (Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).
Walaupun
demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli memperingatkan
bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan bagi
maksud-maksud pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak
selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah
merusak media itu, sehingga kita harus waspada (Dissanayake, 1977).
Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk
maksud pembangunan, sebanrnya ialah bagaimana menjaga agar media tersebut tidak
mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional ini memadukan berbagai
unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut kecanggihan maka dukungan
seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan pembangunan yang akan
disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi 1988).
Meskipun banyak
kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional bagi
kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin
dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada
pertunjukkan-pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat
monolog maupun dialog, dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita.
Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa,
Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai
media penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episode-episode
cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang
biasanya disampaikan dalam bahasa daera misalnya bahasa jawa, Sunda, atau Bali
yang diiringi nyanyian dan musik yang spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih
tradisional, wayang lebih daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang
sebagai perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan
tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya
yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan
mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara
memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan
untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun,
pesan-pesan pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang
dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam
kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan semangat rakyat
dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, integrasi bangsa, dan
sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen
Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan.
Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa,
pejuang, serdadu Belanda, Presiden Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini,
pada dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia
menuju Kemerdekaan.
No comments:
Post a Comment