1. Biografi singkat Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us
Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali karena
dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M,
tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah
Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama,
dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayah
menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada orang sufi. Selang
beberapa tahun kemudian, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin
Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian memasuki Sekolah Tinggi Nizhamiyah di Naisabur,
dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat tahun 478 H /
1086 M), hingga ia menguasai ilmu Mantiq, Ilmu Kalam, Fiqh, Ushul Fiqh,
Filsafat, Tasawuf, dan Retorika perdebatan.
Selama
di Naisabur, Al-Ghazali tidak saja belajar kepada Al-Juwaini, tetapi juga
mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori Tasawuf kepada Yusuf Al-Nasaj
kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf sekalipun hal itu belum
mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya. Al-Juwaini menjuluki
Al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’riq” (Lautan yang menghanyutkan). Setelah
Imam Haramain wafat (478 H / 1086), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota
tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485 H/1091 M). Kota ini
merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan
antara ulama-ulama terkenal.
Sejak
saat itu, Nama Al-Ghazali menjadi termasyur di kawasan Kerajaan Saljuk. Kemasyuran itu menyebabkan dipilihnya
oleh Nizam Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah,
Baghdad, pada tahun 483 H / 1090 M, meskipun usianya baru 30 tahun.
Karena menimbulkan pergolakan dalam ini
Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan batin. Ia pun memutuskan
pergi menuju Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekah untuk
mencari kepuasan. Maka, setelah memperoleh kebenaran, ia mengembuskan nafas terakhir
di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi atau pada hari Senin 14 Jumadil
Akhir tahun 505 Hijriah dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali, jalan untuk
menuju tasawufnya dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa,
serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari
segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa
sosok sufi menempuh jalan kepada Allah. Perjalanan hidup mereka adalah yang
terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang
paling bersih. Sebab, gerak, dan diam mereka, baik lahir maupun bathin, diambil
dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya
yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali
sangat menolak paham hulul dan ijtihad. Untuk itu, ia menyodorkan
paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (Taqarrub ila
Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan
ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Ringkasnya Al-Ghazali patut
disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah SWT. Ma’rifat menuju versi
Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh
fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan
(ahwal).
a.
Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui
rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb dan roh. Harun
Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi
bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya
Tuhan, Qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan Sir, Qalb
dan roh yang telah suci dan kosong. Pada saat itulah, ketiganya menerima
iluminasi (Kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi
sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Disinilah sampailah ia ke
tingkat ma’rifat.
Ringkasnya, Ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti
Ma’rifat menurut orang awam, maupun ma’rifat ulama/mutakallimin, tetapi
ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf Illahi.
Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya tanpa melalui
perantara atau langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh
langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berbeda antara Nabi
dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali
mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari
Allah.
b.
Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Di dalam Kitab Kimlya ‘As-Sa’adah, ia menjelaskan
bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabi’at), sedangkan
watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata terletak ketika
melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika
mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh mempunyai
kenikmatan tersendiri. Kenikmatan Qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat
terletak ketika melihat Allah. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi
kenikmatan yang lainnya.
No comments:
Post a Comment