Kesadaran untuk menghadirkan guru
dan tenaga kependidikan yang profesional sebagai sumber daya utama pencerdas bangsa,
barangkali sama tuanya dengan sejarah peradaban pendidikan. Di Indonesia, khusus untuk guru, dilihat dari dimensi
sifat dan substansinya, alur untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, yaitu: (1) penyediaan guru berbasis
perguruan tinggi, (2) induksi guru
pemula berbasis sekolah, (3) profesionalisasi guru berbasis prakarsa institusi,
dan (4) profesionalisasi guru
berbasis individu atau menjadi guru madani.
Berkaitan dengan penyediaan
guru, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan
guru menjadi
kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut
sebagai penyediaan
guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua produk hukum ini, lembaga
pendidikan tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang
diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan
guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan
ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
Guru dimaksud harus memiliki
kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan bersertifikat
pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh
negara sebagai
guru profesional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74
tentang Guru,
telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan
dan nonkependidikan yang memenuhi syarat sebagai guru. Itu pun jika mereka
telah menempuh
dan dinyatakan lulus pendidikan profesi. Dua produk hukum ini menggariskan
bahwa peserta
pendidikan profesi ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin didasari atas
kuota kebutuhan
formasi.
Khusus untuk pendidikan
profesi guru, beberapa amanat penting yang dapat disadap dari dua produk
hukum ini. Pertama, calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi
S1/D-IV. Kedua, sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan
profesi yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi,
baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga, sertifikasi pendidik bagi calon guru harus
dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Keempat,
jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
Kelima, program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi
pendidik. Keenam, uji kompetensi pendidik dilakukan
melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi.
Ketujuh, ujian
tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan: (1) wawasan
atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum
atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar; (2) materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata
pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan (3)
konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi
materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang
diampunya. Kedelapan, ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam
bentuk ujian praktik
pembelajaran
yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional,
dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008 mengisyaratkan
bahwa ke depan hanya seseorang yang
berkualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1 atau D-IV dan memiliki sertifikat pendidiklah yang “legal” direkruit
sebagai guru. Jika regulasi ini dipatuhi secara taat asas, harapannya tidak ada alasan calon guru yang
direkruit untuk bertugas pada sekolah-sekolah di Indonesia berkualitas
di bawah standar. Namun demikian, ternyata setelah mereka direkruit untuk
menjadi guru, yang dalam skema kepegawaian negara untuk pertama kali berstatus
sebagai calon pegawai negeri sipil (PNS)
guru, mereka belum bisa langsung bertugas penuh ketika menginjakkan kaki pertama kali di kampus sekolah. Melainkan,
mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang disebut dengan induksi.
Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan
guru akan dibimbing dan dipandu oleh mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun,
agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas profesional. Ini pun tentu tidak mudah, karena di daerah
pinggiran atau pada sekolah-sekolah yang nun jauh di sana, sangat mungkin akan menjadi tidak jelas
guru seperti apa yang tersedia dan bersedia
menjadi mentor sebagai tandem itu. Jadi, sunggupun guru yang direkruit telah
memiliki kualifikasi minimum dan sertifikat
pendidik, yang dalam produk hukum dilegitimasi sebagai telah memiliki kewenangan penuh, masih diperluan
program induksi untuk memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar
profesional.
Pada banyak literatur akademik, program induksi diyakini merupakan
fase yang harus dilalui ketika seseorang
dinyatakan diangkat dan ditempatkan sebagai guru. Program induksi merupakan
masa transisi bagi guru pemula (beginning
teacher) terhitung mulai dia petama kali menginjakkan kaki di sekolah atau satuan pendidikan hingga
benar-benar layak dilepas untuk menjalankan tugas pendidikan dan
pembelajaran secara mandiri.
Kebijakan ini memperoleh legitimasi akademik,
karena secara teoritis dan empiris lazim dilakukan di banyak negara. Sehebat apapun pengalaman
teoritis calon guru di kampus, ketika menghadapi
realitas dunia kerja, suasananya akan lain. Persoalan mengajar bukan hanya
berkaitan dengan materi apa yang akan
diajarkan dan bagaimana mengajarkannya, melainkan semua subsistem yang
ada di sekolah dan di masyarakat ikut mengintervensi perilaku nyata yang harus ditampilkan oleh guru, baik di dalam maupun di luar
kelas. Di sinilah esensi progam induksi yang tidak dibahas secara detail
di dalam buku ini.
Ketika guru selesai menjalani proses induksi dan
kemudian secara rutin keseharian menjalankan tugas-tugas profesional, profesionalisasi
atau proses penumbuhan dan pengembangan profesinya
tidak berhenti di situ. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar guru tetap
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
sesuai dengan tuntutan kurikulum serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sinilah esensi
pembinaan dan pengembangan profesional guru. Kegiatan ini dapat dilakukan atas prakarsa institusi, seperti pendidikan
dan pelatihan, workshop, magang, studi
banding, dan lain-lain adalah penting. Prakarsa ini menjadi penting, karena
secara umum guru pemula masih
memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment