A. PENDAHULUAN
Pendidikan anak sudah sepatutnya dilakukan oleh orangtua sedini dan
sebaik mungkin. Hal ini karena hanya dengan pendidikan yang baiklah orang tua
dapat membimbing anaknya untuk menjadi seorang anak yang shaleh sehingga
terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat menjerumuskan mereka
kedalam api neraka. Dalam hal ini Allah swt berfirman:
”Wahai orang-orang yang beriman peliharalah diri-diri kamu dan
keluarga kamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS.
At-Tahrim : 6)
Oleh karena itu, gagasan tentang pendidik dan pendidikan anak
merupakan sebuah hal yang patut dibicarakan. Dalam tulisan ini akan diangkat
tentang sosok orang tua sekaligus pendidik yang diabadikan Al-Qur’an yakni Luqman
al-Hakim. Tulisan ini diharapkan dapat mengangkat isyarat-isyarat dan
pesan-pesan moral Luqmanul al-Hakim yang dapat diaplikasikan dalam pendidikan
anak.
B. KARAKTERISTIK SURAH LUQMAN DAN SEBAB TURUNNYA AYAT
Menurut Ibnu Abbas Surah Luqman termasuk surah Makkiyah. Sedangkan
Atha’ dan Qatadah menyebutkan bahwa surah Luqman termasuk kelompok surah
Makkiyah, kecuali ayat 27-28, keduanya Madaniyyah.[2] Dinamakan surah Luqman
karena dalam surah ini terdapat kisah Luqman. Surah ini mengandung tentang keutamaan
hikmah, rahasia pengenalan kepada Allah dan sifat-sifat-Nya, celaan terhadap
syirik, perintah dengan akhlak dan perbuatan yang terpuji dan larangan terhadap
akhlak dan perbuatan yang tercela. Kandungan tersebut termasuk tujuan-tujuan
Al-Qur’an yang terpenting.[3]
Terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kedudukan
Luqman, apakah ia seorang Nabi ataukah hanya hamba Allah yang shalih yang
diberi kelebihan hikmah. Ibnu Katsir mengatakan mayoritas ulama salaf
berpendapat bahwa Luqman bukan seorang Nabi. Ibnu Katsir juga menyebutkan satu
riwayat yang disandarkan kepada ’Ikrimah yang mengatakan bahwa Luqman adalah
Nabi, akan tetapi menurut Ibnu Katsir perawinya ada yang dinilai lemah
(dhaif).[4] Dikatakan bahwa nama lengkapnya adalah Luqman bin Ba’ura. Sedangkan
Abdurrahman as-Suhaili berpendapat bahwa ayahnya bernama ’Unaqa’ bin Sarun.
Menurut Wahab ia salah seorang putra dari saudari Nabi Ayyub. sedangkan kata
Muqatil ia adalah anak dari bibi Nabi Ayyub dari pihak ibu. Luqman adalah
seorang hakim bani Israil yang diperkirakan hidup pada masa Nabi Daud dengan
julukan Al-hakim (yang bijak).[5] Mengenai dirinya Abu ad-Darda menggambarkan
bahwa Luqman adalah sosok yang tidak banyak bicara, banyak berpikir, memiliki
pandangan yang dalam, tidak tidur disiang hari, tidak suka mengulang-ulang
perkataan kecuali perkataan yang mengandung hikmah itu pun apabila seseorang
meminta kepadanya untuk diulang, ia sering mendatangi para hukama untuk
bertukar pendapat dan pikiran serta untuk mendapatkan i’tibar.[6]
Mengenai latar belakang (asbab an-nuzul) turunnya Surah ini, Al-Alusi
menerangkan bahwa ada seorang Quraisy datang kepada Rasulullah, yang meminta
agar dijelaskan kepadanya berkaitan dengan kisah Luqman al-Hakim dan anaknya
serta tentang kebaktiannya kepada orangtua. Rasulullah pun membacakan Surah
Luqman.[7] Sebagai Surah yang nota bene merupakan surah Makkiyah surah ini
memiliki karakteristik Makkiyah yakni ajaran tentang tauhid, iman kepada para
Nabi dan hari kiamat. Surah ini juga menjelaskan karakteristik manusia
pembangkang karena memang turun kepada orang-orang Mekah yang keras
perlawanannya terhadap Islam. Selain itu, ditinjau dari aspek pendidikan, surah
ini mengangkat cerita tentang Luqman sebagai sosok orang tua bijak dalam
mendidik anaknya.
C. PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ANAK
Lukman adalah seorang hamba yang shaleh yang dikarunia al-Hikmah.
Hikmah menurut Ibnu Abbas adalah akal, pemahaman dan kecerdasan. Senada dengan
itu, mujahid mengartikan hikmah dengan akal, pemahaman dan kesesuaian antara
perkataan dan tindakan. Sedangkan menurut Ar-Raghib, hikmah adalah pengetahuan
segala yang ada dan pengetahuan tentang perbuatan baik. Masih menurutnya,
hikmah adalah kesesuaian tentang ilmu dan amal. Lain lagi dengan Abu Hayyan, ia
menafsirkan hikmah dengan manthiq yang dengannya seseorang dapat memberikan
nasehat dan peringatan sehingga orang-orang datang kepadanya untuk meminta
nasehat-nasehatnya.[8] Dari sini jelaslah, bahwa Luqman adalah seorang bijak
yang dianugerahkan kecerdasan dan pemahaman tentang kebaikan serta sosok
teladan yang memiliki kesesuaian antara ilmu dan amal maupun perkataan dan
tindakan.
Kisah Luqman merupakan potret orang tua dalam mendidik anaknya dengan
ajaran keimanan dan akhlak mulia. Dengan pendekatan persuasif, Luqman dianggap
sebagai profil pendidik bijaksana, sehingga Allah mengabadikannya dalam
Al-Qur’an dengan tujuan agar menjadi ibrah bagi para pembacanya. Setidaknya ada
empat pesan moral yang dapat diambil dari kisah Luqman ini yang dapat dijadikan
sebagai dasar dan acuan dalam mendidik anak. Keempat pesan moral itu adalah
menanamkan aqidah pada anak, mengajarkannya bersyukur dan berbakti kepada Allah
dan orang tua, membiasakannya beramal shaleh sejak usia dini, dan
mengajarkannya akhlak mulia dan etika berinteraksi dengan sesama.
1. MENANAMKAN AQIDAH PADA ANAK
Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi
pelajaran kepadanya, “Anakku sayang, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
karena sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang
besar.” (Q.S. Luqman: 13)
Redaksi ayat di atas berbicara tentang nasihat Luqman kepada putranya
yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik. Kata ya’izhu terambil
dari kata wa’zh yaitu nasihat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang
menyentuh hati. Ada juga yang mengartikannya sebagai ucapan yang mengandung
peringatan dan ancaman. Penggunaan kata ini, memberikan gambaran tentang
bagaimana perkataan atau nasihat itu beliau sampaikan, yakni tidak membentak,
tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada
anak.[9] Kata ini juga mengisyaratkan bahwa nasehat itu dilakukannya dari saat
kesaat, sebagaimana dipahami dari redaksi kata kerja ya’izhu yang mengambil
bentuk fi’il mudhari’ yang menunjukkan makna rutinitas (li ad-dawam).
Kata bunayya (anakku) dalam bentuk tasghir (pemungilan) dari kata
ibny, mengisyaratkan sebutan atau ungkapan kasih sayang. Jadi bunayya disini
dapat diterjemahkan dengan ungkapan ”anakku sayang”. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa ayat diatas memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari
oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik begitupun pendidik hendaknya
senantiasa memberikan nasihat yang baik setiap saat.
Lukman memulai nasehatnya dengan menekankan perlunya menghindari
syirik/mempersekutukan Allah. Isyarat ini terlihat ketika Luqman menggambarkan
syirik sebagai ”kezaholiman yang besar”. Isyarat ini dapat dipahami dari
penyebutan kata (zhulmun azhim) yang dirangkai dengan lam at-tawkid. Kesan lain
yang dapat diambil dari penggunaan redaksi pesan yang menggunakan fi’il nahi
(bentuk larangan), yakni ”janganlah kamu mempersekutukan Allah” menunjukkan
bahwa meninggalkan sesuatu yang buruk lebih layak didahulukan sebelum
melaksanakan yang baik.
Menurut M. Ali ash-Shabuni, perbuatan syirik merupakan sesuatu yang
buruk dan tindak kezhaliman yang nyata. Karena itu, siapa saja yang
menyerupakan antara Khalik dengan makhluk, tanpa ragu-ragu, orang tersebut bisa
dipastikan masuk ke dalam golongan manusia yang paling bodoh. Sebab, perbuatan syirik
menjauhkan seseorang dari akal sehat dan hikmah sehingga pantas digolongkan ke
dalam sifat zalim; bahkan pantas disetarakan dengan binatang.[10] Dengan
demikian menghindarkan anak dari syirik dengan memberikan pemahaman kepada
mereka tentang syirik pada hakikatnya adalah menjauhkan mereka terjatuh dalam
kezaliman dan kebodohan yang terbesar.
Larangan syirik pada dasarnya merupakan pengajaran tentang tauhid.
Perlunya tauhid diajarkan pada anak sedini mungkin adalah agar ia tumbuh dengan
kejernihan pikiran dan kekuatan iman sesuai dengan fithrah yang Allah berikan
padanya sejak lahir. Jadi, pendidikan tauhid usia dini pada hakikatnya adalah
melanjutkan dan menggiring fithrah anak yang terlahir dalam keadaan suci kepada
agama yang hanif. Disinilah letak peranan orang tua sebagai pendidik pertama
bagi anaknya setelah ia lahir kedunia. Kelalaian orang tua dalam fase ini
dengan membiarkan mereka lebih dahulu menerima seruan syaithan ketimbang tauhid
merupakan kesalahan fatal. Karena itu Rasulullah mengingatkan:
Oleh karena itu, Nabi saw menekankan pentingnya pendidikan Aqidah pada
usia dini bahkan pada saat detik-detik kelahirannya ke dunia meskipun hal
tersebut terkesan sederhana. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh hadis Nabi
saw. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.
Bacakanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian kalimat Lâ ilâha
illâ Allâh dan talqinlah mereka ketika menjelang mati dengan Lâ ilâha illâ
Allâh. (HR al-Hakim).
Berdasarkan hadis di atas, kalimat tauhid (Lâ ilâha illâ Allâh) hendaknya
merupakan sesuatu yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak dan kalimat
pertama yang dipahami anak. Hal ini seiring pula dengan anjuran azan di telinga
kanan anak dan iqamah di telinga kirinya sesaat setelah kelahirannya di dunia
ini.
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, rahasia dianjurkannya
mengumandangkan adzan kepada bayi yang baru lahir adalah supaya ucapan yang
pertama kali didengar oleh seseorang manusia adalah kalimat-kalimat adzan.
Kalimat-kalimat tersebut meliputi kebesaran dan keagungan Allah. Didalamnya
terdapat kalimat syahadat (persaksian) yang merupakan ikrar pertama bagi
seseorang yang masuk Islam. Tidak diragukan bahwa dampak dari kalimat-kalimat
adzan tersebut akan sampai padanya dan membekas di hatinya, mekipun saat itu ia
tidak merasakannya. Hikmah lainnya, masih menurutnya, yaitu agar ajakan untuk
beribadah kepada Allah dan berikrar untuk memeluk Islam lebih dulu diterima
oleh seorang anak dari ajakan dan bujuk rayu setan sebagaimana halnya fitrah
(agama) Allah lebih dulu diterima oleh seorang anak dari ajakan dan bujuk rayu
setan dan sebagaimana halnya fithrah Allah lebih dulu mewatak pada diri seorang
anak dari usaha setan untuk merubahnya.[14]
Salah satu usaha agar anak terhindar dari gangguan syaithan adalah
dengan doa. Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis tentang doa Nabi saw
untuk Hasan dan Husein agar mereka dilindungi Allah SWT dari syaithan. Doa itu
adalah doa Nabi Ibrahim buat kedua putranya Ismail dan Ishaq.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم يعوذ الحسن
والحسين ويقول ( إن أباكما كان يعوذ بها إسماعيل وإسحاق أعوذ بكلمات الله التامة من
كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة)[15]
Selanjutnya, upaya menanamkan kalimat tauhid dapat ditempuh dengan
berbagai cara dan media. Di antaranya mendengar, mengucapkan, dan menghapalkan
kalimat-kalimat tauhid, ayat-ayat al-Quran, serta al-Hadis yang terkait
dengannya; kemudian memahamkan maknanya serta menjelaskan berbagai jenis
perbuatan syirik yang pernah dilakukan manusia, khususnya yang terjadi saat
ini; selanjutnya menceritakan berbagai azab yang ditimpakan Allah kepada
umat-umat terdahulu akibat perbuatan syirik mereka.
Adapun mengenai metode pendidikan Aqidah, Imam Al-Ghazali berpandangan
bahwa pendidikan akidah bagi anak harus dilakukan step by step. Upaya menanamkan
Aqidah kepada anak pada masa pertumbuhannya sepatutnya diawali dengan
menghafal. Kemudian seiring dengan kedewasaannya pemahaman tentang Aqidah akan
tersingkap dengan sendirinya sedikit demi sedikit. Setelah menghafal akan
muncul pemahaman yang diiringi oleh i’tikad, keyakinan, dan pembenaran. Semua
itu akan terwujud dengan sendirinya dalam diri anak tanpa memerlukan
dalil-dalil filosofis.
Al-Ghazali juga mengakui bahwa metode talqin yang meniscayakan taklid
dalam akidah anak atau pun orang awam masih memiliki kelemahan dan rentan
menerima hal-hal yang dapat merusaknya jika dilontarkan kepadanya
pemahaman-pemahaman akidah yang keliru. Untuk memperkuat akidah anak ataupun
orang awam, al-Ghazali tidak setuju digunakannya metode kalam dan jadal (debat)
karena metode ini justru dapat menggoncangkan keyakinannya dan menambah
keraguannya. Oleh karena itu, menurutnya, metode yang tepat untuk memperkuat
dan memantapkan akidah mereka adalah menyibukkan mereka dengan membaca
al-Qur’an dan mengkaji tafsirnya serta membaca hadis dan mendalami maknanya.
Akidah mereka akan senantiasa bertambah mantap dengan sebab mendengar
dalil-dalil maupun hujjah Al-Qur’an begitu pula dengan bukti-bukti dan
pesan-pesan yang disampaikan hadits. Selain itu, anak juga harus digemarkan
melakukan praktek-praktek ibadah dan bergaul dengan orang-orang shaleh sehingga
mereka dapat meneladani sikap tanduk dan akhlak mereka yang mulia.
Penggunaan cara dan media belajar hendaknya disesuaikan dengan usia
dan perkembangan anak. Pendidiknya hendaknya lebih arif dalam memilih cara yang
memudahkan anak untuk mengingat dan memahami pelajaran yang hendak diberikan
serta memilih media yang disukai anak-anak agar mereka tidak merasa terpaksa
menerima suatu pengajaran yang diberikan. Dengan begitu, pembelajaran akidah
tauhid ini berjalan dengan lancar dan anak tidak merasa dibebani sesuatu.
Contohnya adalah dengan cara memperdengarkan nyanyian yang di dalamnya
terkandung pemahaman tauhid, membacakan ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi
saw. yang menjelaskan pemahaman tauhid, serta mengajak anak untuk sama-sama
melafalkannya bila anak sudah mampu berbicara. Oleh karena itu, menanamkan
tauhid kepada anak tidak harus dalam suasana belajar, bisa dilakukan kapan
saja; pada saat anak bermain, makan, ataupun ketika menidurkannya. Dengan
demikian, para orangtua sangat dibutuhkan perannya untuk menanamkan pemahaman
tauhid ini di sepanjang hari-hari dan aktivitas anak.
2. MENGAJARKAN ANAK BERSYUKUR DAN BERBAKTI KEPADA ALLAH DAN ORANG TUA
“Kami memerintahkan kepada
manusia untuk berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Kulah
kembalimu. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya;
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Luqman [31]: 14-15).
Allah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua
orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pengorbanan keduanya dalam
memelihara dan mengasuh si anak sejak dalam kandungan. Demikian pula
pengorbanan ketika menyusui si anak selama dua tahun, terutama sang ibu. Karena
itu, sekalipun kedua orangtuanya kafir, seorang anak tetap harus berbuat baik
kepada keduanya. Hanya saja, seorang anak tidak boleh menaati keduanya dalam
hal-hal yang melanggar perintah Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam kemaksiatan kepada Allah.
Ayat diatas tidak menyebut jasa bapak, tetapi menekankan pada jasa
ibu. Ini disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak
karena kelemahan ibu, berbeda dengan bapak. Disisi lain, peranan bapak dalam
konteks kelahiran anak, lebih ringan dibanding dengan peranan ibu[18].
Begitupun soal pendidikan anak, ibu memiliki peranan penting karena waktu yang
diberikan ibu kepada anaknya kadang lebih besar daripada bapaknya. Oleh karena
itu adalah wajar kalau ibu didahulukan.
Al-Manawi memberikan definisi birr al-Walidain sebagai berikut
”Birrul Walid (berbakti kepada orang tua), yaitu memperluas kebaikan
kepada orang tua, memperhatiakan yang disukai orang tua, menghindari yang
dibenci orang tua dan berlaku lembut atau sopan dengan orang tua”
Bakti anak kepada orang tua menurut Al-Qur’an adalah sebuah hak orang
tua kepada anaknya karena mereka sebagai wakil Allah diamanahi mengemban
tugas-tugas pemeliharaannya (tarbiyyah) dari mulai lahir sampai dewasa. Oleh
karena itu Allah mengajari setiap muslim untuk berterima kasih kepada
orangtuanya dengan mengajarkan kepada mereka untuk selalu berbuat baik kepada
mereka, tidak berkata-kata kasar dan selalu mendoakan mereka lantaran jasa-jasa
mereka yang besar yang telah bersusah payah menghantarkan mereka menuju
kedewasaan.
Kesan lain yang dapat ditangkap dari ayat diatas (QS Luqman [31]:
14-15) bahwa dalam materi pendidikan tentang kebaktian kepada orang tua harus
disuguhkan kebenarannya dengan argumentasi yang dapat dibuktikan oleh manusia
melalu penalarannya dan pengalamannya tentang realitas. Sedangkan kalau
dipahami munasabah dari larangan mempersekutukan Allah yang disandingkan dengan
bersyukur dengan orang tua melalui kebaktian kepada mereka akan terlihat
bagaimana Allah memberikan pengajaran kepada manusia bahwa beriman kepada-Nya
adalah hal yang sudah semestinya dilakukan oleh manusia sebagai tanda syukur
kepada-Nya atas limpahan karunia-Nya yang banyak sebagaimana ia juga layak
berbakti kepada orang tua mereka lantaran jasa-jasa orang tua yang besar.
Rasa syukur kepada Allah harus didahulukan dari rasa syukur kepada
manusia, termasuk kepada kedua orangtua. Artinya, sekalipun orangtua sangat
berjasa dalam memelihara dan mengasuh kita sejak dalam kandungan, rasa syukur
kepada mereka tidak boleh mendahului rasa syukur kepada Allah. Sebab, tempat
kembali semua makhluk hanyalah kepada Allah.
Upaya menancapkan rasa syukur kepada Allah bisa dilakukan dengan
mengajak anak mengamati dan memikirkan karunia Allah yang diperoleh si anak,
keluarganya, serta lingkungan sekitarnya. Di mulai dari hal yang paling
sederhana dan mudah diamati sampai hal-hal yang membutuhkan pengamatan cermat.
3. MENDIDIK DAN MELATIH ANAK BERAMAL SHALEH
Luqman berkata, “Anakku, sesungguhnya jika ada suatu perbuatan seberat
biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya
Allah akan mendatangkannya (balasannya). Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Mahatahu.
Anakku, dirikanlah shalat, suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah
mereka dari perbuatan yang mungkar, serta bersabarlah atas apa saja yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
oleh Allah. (QS Luqman [31]: 16-17).
Ayat diatas merupakan lanjutan wasiat Luqman kepada anaknya. Pesannya
kali ini adalah tentang kedalaman ilmu Allah SWT. yang luar biasa. Luqman
memberikan pelajaran kepada Anaknya bahwa Allah mengetahui perbuatan baik atau
buruk walau seberat biji sawi, dan berada pada tempat yang paling tersembunyi,
misalnya dalam batu karang sekecil, sesempit dan sekokoh apapun batu itu, atau
dilangit yang demikian luas dan tinggi, atau di dalam perut bumi yang
sedemikian dalam di mana pun keberadaannya, niscaya Allah akan mendatangkannya
lalu memperhitungkan dan memberinya balasan.[20]
Selanjutnya dapat dipahami, dari munasabah ayat ini dengan ayat lalu
yang berbicara tentang keesaan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya, maka
ayat ini (QS Luqman [31]: 16) menggambarkan Kuasa Allah melakukan perhitungan
atas amal-amal perbuatan manusia diakhirat nanti. Dengan demikian, ada dua tema
akidah yang diangkat melalui ayat ini dan sebelumnya yaitu tentang keesaan
Allah dan keniscayaan hari Kiamat. Dua prinsip ini termasuk dari rukun Iman
yang mendasari Aqidah Islam.
Kesan lain yang dapat diambil dari ayat diatas adalah bahwa Luqman
berupaya untuk membuka kesadaran dan keyakinan anaknya bahwa Allah selalu
mengawasinya dan amal perbuatannya. Jika seseorang telah merasa dekat dengan
Allah dan sadar akan pengawasan-Nya yang tidak pernah putus maka hal itu akan
dapat menjauhkannya dari perbuatan yang buruk dan selalu mendorongnya berupaya
melakukan amal shaleh. Hal ini seiring dengan hadis Nabi saw yang diriwayatkan
oleh Imam at-Thabrani:
“Iman yang paling utama adalah
engkau yakin bahwa Allah menyertai kamu di mana pun kamu berada” (H.R.
At-Thabrani)
Setelah kekuatan akidah tertanam dalam jiwa anak, maka kekuatan
tersebut merupakan pondasi yang kuat dan landasan utama bagi anak untuk
menerima pengajaran pendidik menaati semua perintah Allah berupa taklif hukum
yang harus dijalankan sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu, perlu
motivasi yang kuat, ketekunan yang sungguh-sungguh, serta kreativitas yang
tinggi dari para orangtua terhadap upaya penanaman akidah yang kuat kepada anak
sebagaimana dicontohkan oleh Luqman. Selain itu, orang tua juga jangan sampai
melupakan berharap dan berdoa kepada Allah agar anaknya menjadi orang yang
taat.
Allah memberikan gelar “’Ibâdurrahmân” kepada hamba-hamba-Nya yang
mana diantara salah satu ciri-cirinya adalah mereka yang selalu berkomitmen dan
berdoa agar dianugerahkan istri dan anak yang menyejukkan mata.
Imam al-Hasan ketika ditanya tentang maksud قُرَّةَ أَعْيُنٍ pada ayat
ini beliau menjawab dengan mengatakan “orang mukmin yang melihat istri dan
anaknya taat kepada Allah”.
Kalau setiap orang mukmin ingin melihat anak dan istrinya taat kepada
Allah, maka sudah sepatutnya baginya memberikan pengajaran yang baik kepada
mereka mengenai amal-amal shaleh yang mesti dilakukan sebagai bentuk ketaatan
kepada Allah. Pada ayat (QS Luqman [31]: 17) diatas, setelah memberikan
bimbingan tentang Akidah, Luqman melanjutkan nasihat kepada anaknya menyangkut
amal-amal shaleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal-amal kebajikan yang
tercermin dalam amr ma’ruf dan nahi munkar, juga nasihat berupa perisai yang
membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan tabah karena semua itu
merupakan hal-hal yang telah diwajibkan oleh Allah untuk dibulatkan atasnya
tekad manusia.[22] Tidak disebutkan amal shaleh lain bukan berarti bahwa
pengajaran terhadap anak hanya dibatasi dengan ini bahkan kewajiban-kewajiban
yang mampu dilaksanakan oleh anak seperti shaum, menutup aurat, dan lain-lain
juga perlu diajarkan sejak dini.
Kewajiban pertama yang diajarkan dan diperintahkan kepada anak adalah
kewajiban shalat, karena shalat merupakan tiang agama dan amal pertama yang
akan dihisab pada Hari Kiamat nanti. Pada usia 7 tahun anak sudah harus
diperintahkan menjalankan ibadah shalat, bahkan kalau sampai usia 10 tahun anak
masih meninggalkan shalat, diperintahkan kepada orangtua untuk memukulnya. Imam
Ahmad menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
”Ajarilah anak kalian shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia
(jika tidak mau melaksanakannya) jika melewati usia sepuluh tahun dan
pisahkanlah mereka pada tempat tidur.” (HR Ahmad).
Berdasarkan hadis di atas, dapat digali pemahaman bahwa anak sudah
seharusnya dilatih menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim
sejak usia 7 tahun. Anak diberi sanksi bila meninggalkan kewajiban-kewajibannya
pada saat usianya sudah mencapai 10 tahun. Hal ini berarti masa pembiasaan anak
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, selama 3 tahun, sejak usia tujuh tahun sampai
10 tahun. Sedangkan usia 10 tahun sampai menjelang balig bisa dikatakan masa
pemantapan, karena si anak tidak boleh lagi meninggalkan
kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, seorang anak sudah dipersiapkan sejak
awal agar pada usia balig siap menjalankan semua taklif yang dibebankan Allah
kepadanya.
ٍSedangkan perintah Luqman kepada anaknya untuk ber-amar ma’ruf dan
nahi munkar mengisyaratkan bahwa tentulah Luqman sebelumnya telah mengajarkan
kepada anaknya perbuatan-perbuatan yang ma’ruf dan menggambarkan seperti apa
perbuatan yang munkar. Karena bagaimana ia memerintahkan anaknya tanpa ada
pengetahuan tentang itu sebelumnya. Ma’ruf adalah segala perbuatan yang
dipandang baik oleh norma-norma masyarakat dan nilai-nilai agama sedangkan
munkar sebaliknya.
Adapun perintah sabar mengisyaratkan agar dalam melakukan amar ma’ruf
dan nahi munkar setiap orang harus memiliki kesabaran, ketabahan dan komitmen
yang tinggi karena tentu saja hal tersebut tidak bebas dari rintangan, halangan
dan ujian.
4. MENGAJARKAN KEPADA ANAK AKHLAK MULIA DAN SOPAN SANTUN DALAM BERINTERAKSI
DENGAN SESAMA.
”Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Sederhanalah kamu
dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai”. (QS Luqman [31]: 18-19).
Pembelajaran selanjutnya yang ditanamkan oleh Luqman kepada anaknya
adalah akhlak mulia, yakni sifat-sifat mulia yang harus menghiasi kepribadian
anak. Ayat ini mengisyaratkan bahwa pendidikan akidah dan akhlak merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan akhlak anak merupakan
kewajiban orang tua bagi anaknya dan merupakan pemberian paling utama orangtua
kepada anaknya sebagaimana sabda Nabi saw.
Muliakanlah anak-anak kamu dan baguskanlah akhlaknya. (H.R. Ibnu
Majah)
”Tidak ada yang diberikan orang tua kepada anaknya yang lebih utama
dari budi pekerti yang baik.”
Budi pekerti yang harus diajarkan pertama kali kepada anak adalah budi
pekerti sehari-hari yang dengannya ia berinteraksi dengan orangtua, keluarga
dan orang lain. Luqman mengawali pelajaran akhlak kepada anaknya agar tidak
berlaku sombong terhadap sesama manusia, tidak bersikap angkuh, sederhana dalam
berjalan, dan lunak dalam bersuara. Semua ini ditujukan agar mereka memiliki
kecerdasan berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Etika berinteraksi ini
sangat berfaedah bagi anak sebab diperlukan dan dipraktikkan setiap saat
sepanjang hayatnya.
Ibnu katsir ketika menjelaskan ayat ini mengatakan: ”Janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia ketika kamu berbicara kepada mereka atau ketika
mereka berbicara kepadamu karena itu merupakan sebuah penghinan dan salah satu
bentuk kesombongan. Sudah seharusnya kita berkomunikasi seperti yang diajarkan
Rasulullah, ketika berbicara menghadapkan seluruh tubuhnya, dan dengan wajah
yang berseri-seri.[25]
Ada sebuah hadits Rasulullah yang dikutip Ibnu Katsir, dimana setiap
muslim dianjurkan untuk bersedekah walaupun hanya dengan menjumpai saudaranya
dengan wajah berseri-seri, dan tidak memakai pakaian yang terseret (isbalul
ijar) karena itu bentuk ketakaburan yang tidak disukai Allah.
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan La tusha’ir adalah: Janganlah
kamu bersifat takabur merendahkan hamba Allah dengan berpaling muka tidak mau
berhadapan ketika mereka berbicara kepadamu.[26] Sebetulnya orang menampakan
ketakaburan itu tujuannya agar dirinya dihormati tapi dengan sikapnya seperti
itu justru orang menjadi tidak simpati, kalau ingin dihormati kita harus
memuliakan orang lain.
Pelajaran selanjutnya yang diajarkan Luqman kepada anaknya adalah
etika berjalan yakni hendaknya ia jangan menyombongkan diri dan melangkah
angkuh ketika berjalan. Seseorang harus menyederhanakan jalannya jangan terlalu
pelan begitu pun jangan terlalu cepat. Ibnu Asyur sebagaimana dikutip oleh M.
Quraish Shihab memperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan semua orang,
yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, penguasa dan rakyat
jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi pejalan yang sama,
menyombongkan diri dan merasa melebihi orang lain.[27] Padahal ia juga akan
kembali ketempat yang sama yakni tanah.
Pelajaran penting lain yang juga ditekankan oleh Luqman adalah etika
berbicara, menurut Luqman salah satu diantara adab berbicara yang baik adalah
melunakkan suara ketika berbicara kepada orang lain. Menurut Ibnu Katsir,
maksud perintah ughdhudh min shautika pada QS Luqman [31]: 19 tersebut adalah
perintah agar jangan melampaui batas dalam berbicara dan tidak mengangkat
suara/ berteriak yang tidak ada faidahnya layaknya suara keledai. Dalam hal ini
Mujahid berpendapat, seperti dilansir Ibnu Katsir, suara keledai adalah suara
yang paling buruk oleh karenanya tidak patut seseorang mengangkat suaranya
seperti suara keledai. Penyerupaan ini dengan suara keledai menurut Ibnu Kasir
menunjukkan keharamannya.[28]
Disisi lain, khususnya bagi para orang tua, ada satu hal yang sangat
penting didapatkan si anak dalam proses pembelajarannya menjalankan berbagai
kewajiban serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia, yakni
keteladanan dari para orangtua maupun pendidik. Inilah yang saat ini jarang dan
sulit didapatkan si anak. Bahkan, tidak jarang si anak melihat sesuatu yang
bertentangan dengan pemahaman yang sedang ditanamkan kepadanya dilakukan oleh
orang-orang di sekelilingnya, termasuk orangtua maupun para pendidik. Padahal,
sudah merupakan tabiat manusia membutuhkan teladan, karena manusia lebih mudah
menerima dan memahami apa yang dilihat dan dirasakannya daripada apa yang
didengarnya. Karena itulah, kepada manusia diturunkan seorang Rasul di setiap
generasi dari kalangannya sendiri (manusia juga), untuk mengajarkan dan
mencontohkan pelaksanaan ajaran-Nya.
Oleh karena itu, para orangtua hendaklah mempersiapkan lingkungan yang
kondusif bagi perkembangan si anak agar proses pembelajarannya bisa berjalan
efektif. Janganlah membiarkan lingkungan anak, khususnya lingkungan rumah,
merobohkan bangunan kepribadian anak yang sedang dibangun, karena ini sangat
berbahaya bagi perkembangan si anak untuk berproses menjadi anak yang shalih.
D. KESIMPULAN
Kisah Luqman merupakan potret orang tua dalam mendidik anaknya dengan
ajaran keimanan dan akhlak mulia. Dengan pendekatan persuasif, Luqman dianggap
sebagai profil pendidik bijaksana, sehingga Allah mengabadikannya dalam
Al-Qur’an dengan tujuan agar menjadi ibrah bagi para pembacanya. Setidaknya ada
empat pesan moral yang dapat diambil dari kisah Luqman ini yang dapat dijadikan
sebagai dasar dan acuan dalam mendidik anak. Keempat pesan moral itu adalah
menanamkan aqidah pada anak, mengajarkannya bersyukur dan berbakti kepada Allah
dan orang tua, membiasakannya beramal shaleh sejak usia dini, dan
mengajarkannya akhlak mulia dan etika berinteraksi dengan sesama. Jadi
pelajaran yang bisa diambil dari QS Luqman [31]: 13-19 di atas mencakup
pelajaran bagi orangtua dalam mendidik anak-anaknya, dan pelajaran bagi anak
untuk menjadi anak yang shaleh.
Mengenai materi pengajaran yang harus diajarkan kepada anak sejak usia
dini, setidaknya ada beberapa aspek yang harus di perhatikan orang tua meliputi
aspek akidah, bakti kepada orang tua, pendidikan ibadah dan akhlak. Adapun
metode pendidikan akidah khususnya anak dapat digunakan metode talqin dengan
berbagai bentuk variasinya. Sedangkan dalam menguatkan keimanan anak yang perlu
ditanamkan adalah rasa syukur kepada Allah SWT sehingga anak mengerjakan ibadah
tidak menganggapnya sebagai beban tetapi sebagai sesuatu yang memang sepatutnya
ia kerjakan. Begitu pula mengenai pengajaran tentang kebaktiannya kepada orang
tua, yang perlu digambarkan kepada mereka adalah argumen dan kebenaran yang
dapat mereka terima dan rasakan berdasarkan kemampuan pemahaman mereka dan
pengalaman. Sejalan dengan pendidikan akhlak, orang tua juga harus memberikan
nasehat setiap saat dengan pengajaran yang jelas kongkrit dan dapat
dipraktekkan.
Lukman Al-hakim
adalah seorang yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Lukman diabadikan sebagai nama
surah di Al-Qur’an dan kisahnya disebutkan dalam Al-Qur’an. Luqman Al-Hakim
memiliki kepribadian bijaksana memiliki kecerdasan dan kearifan dalam
menghadapi masalah. Luqman pernah memberikan nasihat kepada anaknya untuk tidak
berbuat syirik, tidak mungkar dan berbuat sederhana. Hikmah yang bisa diambil
dari kisah Luqman Al-Hakim adalah : bersikap sederhana dan suka memberikan
nasihat tentang kebenaran dan hidup sederhana serta tidak mudah tersinggung
(sabar).
No comments:
Post a Comment