Friday, November 17, 2017

AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR RI 1945



Perubahan besar tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa telah berhasil dilakukan oleh bangsa Indonesia melalui Perubahan UUD 1945 bercermin dari kelemahan sistem dan praktik penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu. Hal itu merupakan wujud kesadaran bahwa berbagai penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu tidak semata-mata terjadi karena faktor orang yang berkuasa, melainkan lebih ditentukan oleh sistem yang memungkinkan bahkan mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Kelemahan sistem tersebut antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan “sepenuhnya” kedaulatan rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Hal itu dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden (concentration of power upon the President).
Di sisi yang lain, UUD 1945 sebelum perubahan tidak cukup mengatur pembatasan terhadap kekuasaan sebagai wujud paham konstitusionalisme. Hal itu di antaranya dapat dilihat dari sedikitnya ketentuan yang mengatur jaminan perlindungan, penghormatan, dan pemajuan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara. Bahkan, kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat pun ditetapkan dengan Undang-Undang, yang berarti hak tersebut diposisikan sebagai pemberian negara, bukan melekat sebagai hak asasi manusia.
Selain itu, dalam UUD 1945 sebelum perubahan tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana pembentukan dan pengisian anggota lembaga perwakilan (MPR, DPR, dan DPRD) dan juga tidak ada ketentuan yang mengatur tentang Pemilu. Oleh karena itu, sah jika pada saat itu komposisi anggota DPR dan MPR lebih banyak yang diangkat dari pada yang dipilih sehingga lebih merupakan representasi kehendak penguasa dari pada pilihan rakyat. Bahkan Pemilu pun dilaksanakan oleh pemerintah untuk memperkuat legitimasi sehingga tidak pernah berjalan secara jujur dan adil.
Dengan kondisi yang demikian, berlakulah hukum besi Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan (powers tend to corrupt, absolut powers corrupt absolutly). Konstitusi tidak menjadi aturan hukum tertinggi karena dapat dikesampingkan oleh MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan oleh Presiden sebagai mandataris MPR. Konstitusi dalam konteks demikian telah kehilangan ruh konstitusionalismenya.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, segenap komponen bangsa yang ada dalam MPR hasil Pemilu 1999 yang demokratis, termasuk wakil dari TNI dan Polri, bersepakat melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dengan merumuskan kesepakatan dasar yang meliputi:
a. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
b. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Mempertegas sistem Presidensiil;
d. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan
e. Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Pada tahap awal perubahan di tahun 1999 sesungguhnya telah diinventarisir dan dibahas keseluruhan materi perubahan. Namun demikian, karena setiap perubahan membutuhkan pembahasan mendalam, maka disepakati tahapan pembahasan dan pengesahan dengan mendahulukan hal-hal yang sudah dapat disepakati. Dengan demikian Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999 hingga 2002 adalah satu rangkaian perubahan, hanya pengesahannya saja yang bertahap.
Ketentuan yang sudah diubah sebelumnya tidak ada yang diubah lagi pada perubahan berikutnya. Oleh karena itu adalah keliru jika menyatakan bahwa UUD 1945 sudah diubah empat kali. Dari rangkaian Perubahan UUD 1945, terdapat beberapa substansi pokok yang mempengaruhi tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Pertama, penegasan konstitusi sebagai hukum tertinggi atau supremasi konstitusi (the supreme law of the land) di dalam Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian bagaimana kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi negara yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan, harus merujuk kepada Undang-Undang Dasar, bukan dilaksanakan sesuai kehendak lembaga tertentu. Prinsip supremasi konstitusi ini merupakan salah satu ciri utama negara hukum.
Dengan ditegaskannya prinsip supremasi konstitusi, seluruh aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Semua aturan hukum dan tindakan penyelenggara negara pada hakikatnya adalah untuk melaksanakan ketentuan UUD 1945. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi mengikat seluruh penyelenggara negara dan segenap warga negara.
Kedua, untuk membatasi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, serta sesuai dengan kesepakatan dasar mempertegas sistem presidensiil, organisasi negara ditata ulang berdasarkan prinsip separation of power. Wewenang Presiden dibatasi dengan mengembalikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada DPR serta berbagai bentuk pembatasan lain seperti dalam pemberian grasi, amnesti, dan abolisi; pengangkatan dan penerimaan duta/konsul; penyusunan kementerian negara; dan lain-lain. Kekuasaan kehakiman ditegaskan sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. MPR yang semula berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara diubah menjadi lembaga tinggi negara sederajat dengan lembaga tinggi lainnya dengan tugas dan wewenang sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dengan adanya pemisahan kekuasaan itu akan tumbuh mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi (checks and balances) antara satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan lain sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan berjalan tetap dalam koridor konstitusi.
Ketiga, konstitusi sebagai hukum dasar negara adalah bentuk perjanjian sosial tertinggi dari seluruh warga negara dengan tujuan untuk melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah. Oleh karena itu tidak wajar jika dalam suatu konstitusi tidak memuat hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang menjadi tanggungjawab negara untuk melindungi, menghormati, dan memajukannya. Keberadaan jaminan konstitusional terhadap HAM juga merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara untuk tidak melakukan pelanggaran secara sewenang-wenang baik melalui produk hukum maupun tindakan aparat negara.
Ketiga hal mendasar tersebut membawa konsekuensi diperlukannya mekanisme dan institusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan:
a. Bagaimana menjamin bahwa UUD 1945 dilaksanakan dalam peraturan perundang-undangan, atau bahwa peraturan perundang-undangan tidak saling bertentangan secara hirarkis dan berpuncak pada konstitusi?
b. Dalam posisi kelembagaan negara yang sederajat berdasarkan prinsip separation of powers dan checks and balances, mekanisme apa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara? Dan
c. Bagaimana menjamin bahwa hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara tidak dilanggar oleh aturan hukum yang ada?

Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, teori dan praktik ketatanegaraan dari berbagai negara memiliki satu jawaban, yaitu perlu adanya lembaga pengadilan konstitusi atau Mahkamah Konstitusi (MK). Dari sisi teoretis keberadaan MK dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan tujuan untuk menjamin bahwa suatu undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi. Dari sisi praktis, pada saat MK RI dibentuk, sudah ada 77 negara yang memiliki MK. Selain itu, ada banyak negara yang memberikan wewenang-wewenang konstitusional memutus judicial review dan interbrach dispute (sengketa kewenang lembaga negara) kepada Mahkamah Agung.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive