Hukum acara atau hukum
formil, merupakan salah satu jenis norma hukum dalam kesatuan sistem norma
hukum. Hukum acara menentukan
berjalan tidaknya proses penegakan hukum dan pelaksanaan kewenangan berdasarkan
hukum dari suatu lembaga. Hukum materiil
tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya hukum acara yang
dipahami dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu proses
hukum. Hukum acara Mahkamah
Konstitusi meliputi materi-materi terkait dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi, kedudukan hukum pemohon, dan dan proses persidangan mulai dari
pengajuan permohonan, pembuktian, hingga putusan.
Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi memiliki 2 (dua) arti :
Pertama, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi sebagai ilmu yang mempelajari Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, yaitu ilmu hukum acara (=hukum formil) yang berkaitan langsung
dengan kewenangan-kewenangan dan kewajiban-kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia, di samping
Mahkamah Agung
Kedua, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi sebagai hukum positif (positieverecht), yaitu hukum
yang mengatur dan menegakkan hukum materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B
ayat (1) dan 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 mengatur tentang 4 (empat) kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi,
meliputi : (1) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (2) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
|
Pasal 7B ayat (1) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang mengatur 2 (dua)
kewajiban konstitusional, yaitu: (1) memberi putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar; dan (2) memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden
Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi merupakan ’contentieus procesrecht’ – hukum acara
sengketa/perselisihan yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah
badan peradilan tata negara yang berwenang untuk memutuskan sengketa (nemo
index in causa sua) melalui kegiatan hakim (peradilan) untuk menerapkan
hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) in concreto, sehingga berfungsi untuk
menjamin ditaatinya hukum materiil. Dengan demikian, terlihat benang merah
tentang kedudukan dan hubungan antara hukum materiil dengan hukum formil.
Pentingnya hukum materiil
dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum formil itu tercermin pada
kenyataan, bahwa sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, Mahkamah
Konstitusi akan lumpuh tanpa adanya hukum materiil, dan sebaliknya peradilan Mahkamah Konstitusi
tanpa adanya hukum formal (hukum acara) akan liar, sebab tidak ada
ukuran-ukuran hukum atau batas-batas hukum yang jelas bagi Mahkamah Konstitusi
dalam menjalankan wewenangnya.
Perselisihan yang dibawa
ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda
dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa. Putusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan
oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai
orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah
atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).
Nuansa public interest yang melekat pada
perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara
pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan
pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah.
Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi
dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.
Praktek hukum acara yang
merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang
kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang
memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan
dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum
acara pidana, acara TUN dan acara perdata maka secara mutatis mutandis tidak
akan diberlakukan.
Aturan ini meskipun tidak
dimuat dalam UU Mahkamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk
undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.
Gambaran umum proses beracara di Mahkamah
Konstitusi berdasarkan Peratuan MK PMK
No. 06/PMK/2005, Pasal 16 sebagai berikut
:
1)
Dalam hal
Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan
undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah dapat menghentikan
sementara pemeriksaan permohonan atau menunda putusan;
2)
Dalam hal
dalil mengenai dugaan perbuatan pidana yang dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan bukti-bukti, Mahkamah dapat menyatakan menunda pemeriksaan dan
memberitahukan untuk menindaklanjuti adanya persangkaan tindak pidana yang
diajukan oleh Pemohon;
3)
Dalam hal
dugaan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) telah diproses secara
hukum oleh pejabat yang berwenang, untuk kepentingan pemeriksaan dan
pengambilan keputusan, Mahkamah dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak
berwenang yang melakukan penyidikan dan/atau penuntutan;
4)
Penghentian
proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan sebagaimana dimaksud ayat
(1) ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah yang diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
Jenis – Jenis Putusan
yang dihasilkan oleh Mahkamah konstitusi yaitu :
§
Putusan
sela/provisional
§ Putusan akhir - menolak, mengabulkan dan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
§ Putusan tanpa/dengan dissenting opinion
§ Putusan bersyarat (conditionally
constitutional)
Putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah
Konstitusi akan memiliki akibat hukum. Akibat Hukum Putusan MK yaitu :
§
Final
dan Mengikat (Pasal 60 MK –
setelah diuji akan menjadi jurisprudence tetap dan tak dapat diuji lagi)
§
Putusan
yang bersifat Declaratoir (Pasal 56 ayat (3))
§
Prospektif
/ Non Retroaktif (Pasal 58 ) –
Tidak Berlaku Surut, harus ada pengecualian seperti kasus Bom Bali ataupun
Irian Jaya
§
Erge
Omnes –didalam pengujian
undang-undang, putusannya akan mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Bandingkan dengan putusan dari wewenang MK yang lain yang mengikat hanya kepada
para pihak – interparte
§
Pembatalan
suatu UU – maka undang-undang
yang berlaku adalah undang-undang yang berlaku sebelumnya. Meskipun hal
tersebut tidak diatur didalam UU MK, tetapi sudah menjadi praktek umum MK di
dunia (e.g. Putusan Ketenagalistrikan)
§
Praktik
di Masa Datang – Temporary
Constitutional dengan grace period tertentu Pembuat UU harus memperbaiki
No comments:
Post a Comment