Friday, November 17, 2017

PRAKTEK HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI



Hukum acara atau hukum formil, merupakan salah satu jenis norma hukum dalam kesatuan sistem norma hukum. Hukum acara menentukan berjalan tidaknya proses penegakan hukum dan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hukum dari suatu lembaga. Hukum materiil tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya hukum acara yang dipahami dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu proses hukum. Hukum acara Mahkamah Konstitusi meliputi materi-materi terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum pemohon, dan dan proses persidangan mulai dari pengajuan permohonan, pembuktian, hingga putusan.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi memiliki 2 (dua) arti :
Pertama, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai ilmu yang mempelajari Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, yaitu ilmu hukum acara (=hukum formil) yang berkaitan langsung dengan kewenangan-kewenangan dan kewajiban-kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia, di samping Mahkamah Agung
Kedua, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum positif (positieverecht), yaitu hukum yang mengatur dan menegakkan hukum materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (1) dan 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengatur tentang 4 (empat) kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi, meliputi : (1) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
7
 
Pasal 7B ayat (1) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang mengatur 2 (dua) kewajiban konstitusional, yaitu: (1) memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar; dan (2) memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi merupakan ’contentieus procesrecht’ – hukum acara sengketa/perselisihan yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah badan peradilan tata negara yang berwenang untuk memutuskan sengketa (nemo index in causa sua) melalui kegiatan hakim (peradilan) untuk menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) in concreto, sehingga berfungsi untuk menjamin ditaatinya hukum materiil. Dengan demikian, terlihat benang merah tentang kedudukan dan hubungan antara hukum materiil dengan hukum formil.
Pentingnya hukum materiil dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum formil itu tercermin pada kenyataan, bahwa sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi akan lumpuh tanpa adanya hukum materiil,  dan sebaliknya peradilan Mahkamah Konstitusi tanpa adanya hukum formal (hukum acara) akan liar, sebab tidak ada ukuran-ukuran hukum atau batas-batas hukum yang jelas bagi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan wewenangnya.
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa. Putusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.
Praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana, acara TUN dan acara perdata maka secara mutatis mutandis tidak akan diberlakukan.
Aturan ini meskipun tidak dimuat dalam UU Mahkamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.
Gambaran umum proses beracara di Mahkamah Konstitusi berdasarkan Peratuan MK PMK No. 06/PMK/2005, Pasal 16 sebagai berikut :
1)        Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau menunda putusan;
2)        Dalam hal dalil mengenai dugaan perbuatan pidana yang dimaksud pada ayat (1) disertai dengan bukti-bukti, Mahkamah dapat menyatakan menunda pemeriksaan dan memberitahukan untuk menindaklanjuti adanya persangkaan tindak pidana yang diajukan oleh Pemohon;
3)        Dalam hal dugaan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) telah diproses secara hukum oleh pejabat yang berwenang, untuk kepentingan pemeriksaan dan pengambilan keputusan, Mahkamah dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak berwenang yang melakukan penyidikan dan/atau penuntutan;
4)        Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.


Jenis – Jenis Putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah konstitusi yaitu :
§  Putusan sela/provisional
§  Putusan akhir - menolak, mengabulkan dan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
§  Putusan tanpa/dengan dissenting opinion
§  Putusan bersyarat (conditionally constitutional)

Putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi akan memiliki akibat hukum. Akibat Hukum Putusan MK yaitu :
§  Final dan Mengikat (Pasal 60 MK – setelah diuji akan menjadi jurisprudence tetap dan tak dapat diuji lagi)
§  Putusan yang bersifat Declaratoir (Pasal 56 ayat (3))
§  Prospektif / Non Retroaktif (Pasal 58 ) – Tidak Berlaku Surut, harus ada pengecualian seperti kasus Bom Bali ataupun Irian Jaya
§  Erge Omnes –didalam pengujian undang-undang, putusannya akan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Bandingkan dengan putusan dari wewenang MK yang lain yang mengikat hanya kepada para pihak – interparte
§  Pembatalan suatu UU – maka undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang berlaku sebelumnya. Meskipun hal tersebut tidak diatur didalam UU MK, tetapi sudah menjadi praktek umum MK di dunia (e.g. Putusan Ketenagalistrikan)
§  Praktik di Masa DatangTemporary Constitutional dengan grace period tertentu Pembuat UU harus memperbaiki


No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive