Wednesday, November 29, 2017

MAKALAH DASAR PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM MASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, di samping mencerminkan kehendak rakyat Indonesia untuk menentukan sendiri masa depan bangsanya, juga mengandung tekad untuk melakukan pembaharuan dan pembenahan di segala bidang kehidupan yang sebelumnya terbengkalai, guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Bangsa Indonesia dengan diraihnya kemerdekaan tersebut.
Cita-cita dan tujuan yang ingin diwujudkan dari kemerdekaan ini dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu:
  1. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
  2. memajukan kesejahteraan umum,
  3. mencerdaskan kehidupan bangsa,
  4. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila.
Secara umum keempat tujuan di atas bermakna bahwa negara berupaya untuk memberikan perlindungan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tujuan umum tersebut harus senantiasa dijadikan landasan berpijak dalam menentukan kebijakan di segala bidang, termasuk pula kebijakan memiliki hukum nasional guna menggantikan hukum kolonial yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman melalui upaya pembaharuan hukum.
1
 
Inilah garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Ini pulalah yang menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaharuan hukum termasuk pembaharuan di bidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia”.

Lebih lanjut dikatakan oleh Arief bahwa:
“Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social-welfare policy) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social-defence policy).
Dari hal tersebut di atas, terkandung tekad dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan.
Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana. Hal demikian penting, karena hukum pidana merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga berubah.
Menurut Arief, dilihat dari sudut dogmatis normatif, permasalahan pokok dari hukum pidana adalah :
  1. Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau biasa disingkat dengan masalah “tindak pidana”.
  2. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan /mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau biasa disingkat dengan masalah “kesalahan”.
  3. Sanksi (pidana) apa yang yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, atau biasa disebut dengan masalah “pidana”.
Berkaitan dengan sanksi pidana, maka jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara merupakan jenis pidana yang kerap dikenakan terhadap pelaku tindak pidana oleh hakim. Dalam perjalanannya, sehubungan dengan perkembangan tujuan pemidanaan yang tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih manusiawi, maka pidana penjara banyak menimbulkan kritikan dari banyak pihak terutama masalah efektivitas dan adanya dampak negatif yang ditimbulkan dengan penerapan pidana penjara tersebut.
Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pidana penjara saat ini sedang
mengalami “masa krisis” karena termasuk salah satu jenis pidana yang “kurang disukai”, sehingga banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang.
Selanjutnya Arief mengatakan :
“Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional. Dalam Kongres PBB kelima tahun 1975 di Geneva mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan.”

B.     Rumusan Masalah

Dengan berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis membuat makalah dengan judul “DASAR PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM MASYARAKAT”. Dari judul tersebut akan dikaji permasalahan utama yaitu :

1.      Apa dasar pembenaran penerapan hukum Pidana dalam masyarakat ?
2.      Apa tujuan penerapan hukum pidana dalam masyarakat ?




C.    Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui dasar pembenaran penerapan hukum pidana dalam kehidupan masyarakat.
2.    Untuk mengetahui tujuan penerapan hukum pidana dalam masyarakat.
                                                      
D.    Sistematika Penulisan
Pembuatan makalah ini terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Sistematika Uraian

BAB II. PEMBAHASAN

  1. Dasar Pembenaran Hukum Pidana
  2. Tujuan Penerapan Hukum Pidana
BAB III. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA


BAB II 

PEMBAHASAN



A. Dasar Pembenaran Hukum Pidana
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
5
 
Penjatuhan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana oleh Negara adalah semata-mata suatu cara pemerintah (negara) agar untuk melindungsi kepentingan hukum seseorang/warga negara. Menurut Stahl, bahwa Tuhan menciptakan negara sebagai wakil-Nya di dunia untuk menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Kejahatan berarti pelanggaran terhadap tata tertib yang diciptakan Tuhan itu. Untuk meniadakan kejahatan itu maka kepada negara diberikan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan. Dalam kenyataannya penjatuhan pidana itu adalah penderitaan bagi si pelaku tindak kejahatan, oleh karena itu timbul persoalan apa dasar hukumnya negara menjatuhkan hukuman yang dapat menimbulkan penderitaan seseorang pelaku tindak pidana ?
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori antara lain :
1. Teori Absolut atau teori pembalasan
Teori ini membenarkan pemidaan karena seseorang telah melakukan sutu tindak pidana. Pembalasan yang berupa pidana mutlak harus diberikan kepada pelaku tindak pidana tanpa mempersoalkan akibat dan masa depan terpidana, seperti kata pepatah: darah bersabung darah, nyawa bersabung nyawa atau oog o moog, tand om tand.
Teori ini muncul pada akhir abad ke-18 yang menurut teori absolute ini adalah penjatuhan pidana diberikan semata-mata kepada orang telah melakukan suatu kejahatan, karena kejahatan itu mengakibatkan pendetitaan kepada orang yang terkena kejahatan, maka teori absolute pidana itu merupakan hukum yang mutlak harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan tindak pidana. Jadi dasar pembenaran pemidaannya terletak pada kejahatan itu sendiri.
Pada dasarnya tindakan pembalasan ini dapat diihat dari dua sudut yaitu :
a)      Sudut subyektif yang pembalasannya ditujukan langsung kepada pembuat salah.
b)      Sudut Obyektif yang pembalasannya ditujukan untuk memenuhi rasa balas dendam masyarakat.
Menurut Stahl, bahwa Tuhan menciptakan negara sebagai wakil-Nya di dunia untuk menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Kejahatan berarti pelanggaran terhadap tata tertib yang diciptakan Tuhan itu. Untuk meniadakan kejahatan itu maka kepada negara diberikan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan.

2. Teori Relatif/ Teleologis (Teleological Theory)
Teori ini membenarkan pemidaan berdasarkan atau bergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk perlindungan masyarakat dan mencegah terjadinya kejahatan. Teori ini mempersoalkan akibat dari pemidanaan terhadap penjahat di samping kepentingan masyarakat serta pencegahan untuk masa mendatang.

3. Teori Gabungan
Penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan bagi hakim, penjahat, maupun masyarakat. Harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang dilakukan. Dengan mempertimbangkan masa lalu (seperti pembalasan) juga mempertimbangkan masa depan (seperti tujuan), maka teori ini ingin memperbaiki kelemahan pada dua teori sebelumnya.

B. Tujuan Hukum Pidana
            Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan masyarakat, serta Negara. Di Indonesia (yang mengalami penjajahan oleh bangsa Asing berkali-kali) setelah merdeka, sudah seharusnya bila hukum pidana Indonesia (bukan hukum pidana di Indonesia) disusun dan dirumuskan sedemikian rupa, agar semua kepentingan Negara, masyarakat, dan individu sebagai warga negara dapat diayomi dalam keseimbangan yang serasi berdasarkan Pancasila. Dengan demikian tujuan hukum pidana Indonesia adalah pengayoman semua kepentingan secara serasi.
            Tujuan hukum pidana memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum, azas-azas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis yuridis. Peninjauan bahan-bahan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban manusia tentang perbuatan yang dapat dihukum. Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai huum publik tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan - kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.
            Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah memidana seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Dasar pembenar penjatuan pidana bertolak pangkal dan pemikiran sebagai berikut :
1)      Ketuhanan (Theologis)
Pidana adalah tuntutan keadilan dan kebenaran Tuhan. Tidak boleh ada pemindahan karena dendam dan rasa pembalasan, melainkan karena petindak telah berdosa. Hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya, sedang Negara sebagai pembuat undang-undang. Penguasaan adalah abdi Tuhan untuk melindungi yang baik dan menghukum yang jahat dengan pidana.
2)      Falsafah
Berdasarkan ajaran “kedaulatan rakyat” dari J.J. Rouseau yang berarti ada persetujuan fiktif antara rakyat dengan Negara, rakyat berdaulat dan menentukan bentuk pemerintahan. Kekuasaan Negara adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Setiap warga Negara menyerahkan sebagian dari hak asasinya dengan imbalan perlindungan kepentingan hukumnya dari Negara.
3)      Perlindungan Hukum (Juridis)
Dasar pemindahan adalah karena penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin ketertiban hukum. Ajaran ini dipelopori oleh Bentham, van Hammel dan Simons.



BAB III
KESIMPULAN
 



Memang pada dasarnya tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan masyarakat, serta Negara. Di Indonesia (yang mengalami penjajahan oleh bangsa Asing berkali-kali) setelah merdeka, sudah seharusnya bila hukum pidana Indonesia (bukan hukum pidana di Indonesia) disusun dan dirumuskan sedemikian rupa, agar semua kepentingan Negara, masyarakat, dan individu sebagai warga negara dapat diayomi dalam keseimbangan yang serasi berdasarkan Pancasila. Akan tetapi dalam kenyataannya tetap saja terjadi pelanggaran atas aturan-aturan serta hukum yang berlaku dan ditetapkan oleh Negara termasuk hukum pidana.
Hukum pidana seakan tidak memiliki manfaat dalam masyarakat karena selalu terjadi pelanggaran atas hukum tersebut. Akan tetapi justru dengan adanya hukum tersebut akan meminimalisasi serta berusaha melindungi berbagai kepentingan baik secara individu, kelompok maupun Negara dari berbagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku pidana tersebut. Tidak dapat dibayangkan apabila di suatu Negara tidak memiliki sebuah system hukum seperti hukum pidana, maka akan berlaku hukum rimba, yaitu siapa yang kuat maka dia yang menang.


9
 

DAFTAR PUSTAKA

 




Arief, B.N. (2002). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.   

Asshidiqie, J. (1997). Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Angkasa.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, (2002). Konsep Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 2000, Jakarta.

Hamzah, A. (1994). Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi. (1989). Jenis-Jenis Pidana Pokok dalam KUHP Baru, Majalah BHN No. 2, Jakarta.

Prodjodikoro, W. (1976). AsasAsas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT Eresco.

Soekanto, S. (1982). Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: Rajawali




10
 
 

No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive