BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Setiap Negara yang merdeka dan berdaulat sudah barang
tentu memiliki dasar Negara yang berbeda. Perbedaan dasar Negara yang
diterapkan didalam suatu Negara sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
social-budaya, patriotism dan nasionalisme yang telah terkritalisasi dalam
perjuangan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara yang hendak dicapainya.
Bagi bangsa Indonesia, dasar Negara yang dianut adalah Pancasila. Dalam
tinjauan yudiris konstitusional, Pancasila sebagai dasar Negara berkedudukan
sebagai norma objektif dan norma tertinggi dalam Negara, serta sebagai sumber
segala sumber hukum sebagaimana tertuang di dalam TAP. MPRS No. XX/MPRS/1996,
jo. MPR No. V/MPR/1973, jo. TAP. MPR No. IX/mpr/1978. Penegasan kembali Pancasila
sebagai dasar Negara tercantum dalam TAP. MPR No. XVIII/MPR/1998.
Para ahli memiliki pandangan yang bervariasi mengenai
“konstitusi” dan “Undang-Undang Dasar”. Ada yang berpendapat sama, tetapi ada
juga yang berpendapat berbeda. Kata konstitusi secara etimologis berasal dari
bahasa Latin (constitutio), Inggris (constitution), Prancis (constituer),
Belanda (constitutie), dan Jerman (Konstitution). Dalam
pengertian ketatanegaraan, istilah konstirusi mengandung arti undang-undang
dasar, hukum dasar atau susunan badan. Suatu konstitusi menggambarkan seluruh
sistem ketatanegaraan suatu Negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang
membentuk, mengatur dan memerintah Negara. Peraturan-peraturan tersebut ada
yang berbentuk tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, ada pula yang
bersumber dari peraturan yang tidak tertulis seperti norma, kebiasaan adat
istiadat, dan konvensi di dalam masyarakat.
Sifat pokok konstitusi Negara adalah flexible (luwes)
dan rigid (kaku). Konstitusi dikatakan fleksibel, bila pembuat konstitusi
menetapkan cara mengubahnya tidak berat, mempertimbangkan perkembangan
masyarakat sehingga mudah mengikuti perkembangan masyarakat sehingga mudah
mengikuti perkembangan zaman ( contoh Inggris dan Selandia Baru ). Konstitusi
bersifat rigid apabila pembuat konstitusi menetapkan cara perubahan yang sulit
dengan maksud agar tidak mudah di ubah hukum dasarnya ( contoh Amerika, Kanada,
Jerman dan Indonesia).
Fungsi pokok konstitusi dan Undang-Undang Dasar adalah
untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Menurut Carl J. Friedrich,
konstitusionalisme merupakan gagasan di mana pemerintah dipasang sebagai suatu
kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat.
Meskipun Undang-Undang Dasar bukan merupakan salah
satu syarat untuk berdirinya suatu Negara beserta dengan penyelenggaranya yang
baik, tetapi dalam perkembangan zaman modern dewasa ini, Undang-Undang Dasar
mutlak adanya. Sebab dengan adanya Undang-Undang Dasar baik penguasa Negara
maupun masyarakat dapat mengetahui aturan atau ketentuan pokok atau dasar-dasar
mengenai ketatanegaraannya.
1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apa
substansi adanya UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia ?
2. Bagaimana
gerak pelaksanaan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia sejak awal sampai saat
ini ?
1.3.Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui substansi UUD 1945 sebagai
konstitusi Indonesia.
2.
Untuk mengetahui perbedaan prinsipil khususnya
mengenai otonomi daerah antar periode pelaksanaan UUD 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Substansi UUD 1945 (termasuk UUD 1945 Setelah Perubahan)
UUD 1945 berkedudukan sebagai: (1) hukum dasar
tertulis, (2) sumber hukum positif tertinggi, (3) UU tentang
pembentukkan/pendirian NKRI, (4) wujud kontrak-sosial tertinggi bangsa
Indonesia. Karena sebagai hukum, ia mengikat dan memaksa: (1) setiap
lembaga negara, (2) setiap warganegara Indonesia, (3) setiap penduduk
Indonesia, dan (4) setiap lembaga/organisasi kemasyarakatan (LSM, ormas, partai
politik). UUD 1945 bersifat fleksibel dan singkat. Fleksibel karena dapat
dirubah (Pasal 37) sesuai dengan perkembangan zaman. Singkat karena hanya
memuat aturan-aturan pokoknya saja (37 pasal); kecuali UUD Setelah
Perubahan, karena ia sudah tidak singkat lagi.
1. Pembukaan UUD 1945
Pada Sidang Istimewa MPR tahun 1998, Sidang Umum MPR
1999, dan Sidang Tahunan MPR 2000; Pembukaan UUD 1945 disepakati untuk tidak
dirubah. Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat (4) alinea. Alinea I sebagai
konsekuensi dari Teks Proklamasi. Alinea II sebagai konsekuensi dari Alinea I.
Alinea III sebagai konsekuensi dari Alinea II. Alinea IV sebagai konsekuensi
dari Alinea III. Terakhir, Alinea IV memberi konsekuensi pada Pokok-pokok
Pikiran Pembukaan UUD 1945.
Dalam Alinea I, bangsa Indonesia menyatakan: (1) anti
terhadap penjajahan, dan (2) menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Dalam
Alinea II, bangsa Indonesia menyatakan: (1) perjuangan kemerdekaan sudah di
depan pintu gerbang, dan (2) cita-cita bangsa selanjutnya (merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur). Dalam Alinea III, bangsa Indonesia menyatakan:
(1) kemerdekaan sudah diproklamasikan, (2) kemerdekaan itu atas rahmat Tuhan,
(3) selain itu, kemerdekaan itu sebagai hasil perjuangan sendiri. Dalam Alinea
IV, bangsa Indonesia menyatakan: (1) susunan pemerintahan negara, (2)
tujuan/fungsi negara, (3) UUD negara Indonesia, (4) sistem pemerintahan
republik, (5) bentuk kedaulatan rakyat, (6) ideologi Pancasila.
Keempat alinea itu harus dipahami menurut tuntunan Pokok-pokok
Pikiran Pembukaan (lihat Penjelasan UUD 1945), yaitu bahwa setiap
penyelenggara negara di Indonesia harus mendahulukan persatuan dan kesatuan
(Pokok Pikiran I), setelah itu baru menjalankan pembangunan nasional (Pokok
Pikiran II), yang dilaksanakan secara demokratis (Pokok Pikiran III), yang
dilandaskan pada taqwa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (bertaqwa
secara beradab) (Pokok Pikiran IV).
Nilai-nilai yang terdapat pada ideologi Pancasila
berkedudukan sebagai Nilai Luhur (NL), sementara nilai-nilai lainnya yang
terdapat pada Pembukaan berkedudukan sebagai Nilai Dasar (ND). Kedua derajat
nilai ini bersifat universal dan lestari, tetapi pemahamannya bersifat
eksklusif Indonesia. Nilai-nilai (NL dan ND) itu selanjutnya diwujudkan dan
dijabarkan dalam bentuk pasal-pasal/ayat-ayat pada Batang Tubuh UUD 1945.
Penafsiran dan/atau perubahan Batang Tubuh UUD 1945 (sebagaimana ternyata telah
dirubah untuk yang Pertama (1999) dan Kedua (2000) oleh MPR) tidak boleh
menyimpang dari semangat NL dan ND yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945.
Tegasnya, perubahan (dalam Batang Tubuh) itu dapat dilakukan sejauh masih dalam
kerangka penjabaran/pewujudan nilai-nilai (NL dan ND) yang terdapat pada Pembukaan
UUD 1945. Itulah hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
2 Batang Tubuh UUD 1945
Dalam Batang Tubuh UUD 1945 dia tur hal-hal sebagai
berikut. Sistem Pemerintahan Negara (UUD 1945) didasarkan pada tujuh
kunci pokok (tucipok):
(1) NKRI sebagai negara hukum;
(2) NKRI menganut sistem konstitusional;
(3) MPR sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat (sudah dirubah);
(4) Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di
bawah MPR;
(5) DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden; Presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh DPR;
(6) Menteri Negara sebagai Pembantu Presiden; dan
(7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Untuk kunci yang ketujuh terkandung makna bahwa kekuasaan
Presiden selaku Kepala Negara dibatasi. Ia dibatasi oleh: (1) Kewenangan
MPR, (2) Peraturan perundang-undangan (Tap MPR dan UU), (3) Kedudukan DPR yang
kuat, dan (4) Pengaruh para Menteri. Kedudukan DPR itu kuat, karena ia: (1)
semua anggotanya adalah juga anggota MPR, (2) setiap UU harus disetujui oleh
DPR, (3) APBN harus disetujui oleh DPR, (4) setiap perjanjian dengan Luar
Negeri harus diratifikasi oleh DPR, (5) setiap pemberian amnesti dan abolisi,
pengangkatan dan penerimaan duta, pernyataan perang, dan beberapa hal yang
lainnya harus disetujui oleh DPR.
Berdasarkan hal tersebut dan pokok-pokok kaidah hukum
dalam Batang Tubuh UUD 1945 (termasuk setelah Perubahan), negara Republik
Indonesia: (1) lebih banyak menerapkan prinsip-prinsip sistem pemerintahan
presidentil, (2) berbentuk negara kesatuan, (3) berbentuk pemerintahan
republik, (4) bersistem politik demokrasi, (5) berbentuk kedaulatan rakyat, (6)
berpemilihan Presiden, (7) semakin terdapat keseimbangan kekuasaan antara
Legislatif (DPR) dan Eksekutif (Presiden) dengan koridor tetap sistem
presidensil, (8) semakin melindungi dan menegakkan HAM (melalui perincian
Pasal-pasal 26—34) , (9) dan seterusnya.
Perubahan UUD 1945, dengan demikian, sebagaimana yang
termuat dalam UUD 1945 Setelah Perubahan, pada dasarnya lebih banyak
mengurangi kekuasaan Presiden (yang executive-heavy) yang dominan,
yang kemudian “diserahkan” kepada DPR
(menjadi legislative-heavy) untuk meningkatkan fungsi kontrolnya
terhadap Presiden (Pemerintah).
3 Gerak Pelaksanaan UUD 1945
Di zaman Revolusi Fisik (1945—1959), UUD 1945 lebih
banyak ditafsirkan dan dipraktekkan secara parlementer baik kedalam bentuk
peraturan perundang-undangan maupun gerak kenegaraan. Hal ini ditunjukkan
dengan pernah berlakunya KRIS 1949 dan UUDS 1950. Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) ketika berlaku UUD 1945 (1945—1949) yang berposisi sebagai
Pembantu/Penasehat Pemerintah (Presiden) telah berubah menjadi menjalankan
fungsi-fungsi Parlemen.
Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput
dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia.
Belanda berusaha memecahbelah bangsa Indonesia dengan cara membentuk
negaranegara ”boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur,
Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia.
Bahkan, Belanda kemudian melakukan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota
Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi
Militer II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948.
Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik
Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan
menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23
Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari
RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu
gabungan negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta sebuah
komisi PBB untuk Indonesia.
Namun begitu, terdapat satu hal yang tetap, yaitu
dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara dalam ketiga konstitusi/UUD itu. Di
zaman Orde Lama (1959—1966), UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959. Secara formal berlaku segala kaidah yang termuat
dalam UUD 1945, tetapi secara praktek ternyata berlaku peraturan
perundang-undangan yang melanggar isinya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya:
(1) Penetapan Presiden (Penpres) yang mengganti posisi UU, (2) Ketua DPA
dirangkap oleh Presiden, (3) DPR dibubarkan oleh Presiden karena telah menolak
RAPBN untuk menjadi APBN, (4) Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan UUD
1945 dipahamkan sebagai Trisila (Nasakom) dan bahkan Ekasila (Gotong Royong),
(5) Pidato-pidato Presiden dijadikan “GBHN”, (6) dan yang lainnya.
Di zaman Orde Baru (1966—1998), UUD 1945 dikukuhkan sebagai tekad Orde
Baru—bersama-sama dengan Pancasila—untuk dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. Permasalahannya adalah: (1) Pancasila dan UUD 1945 diposisikan
secara “sakral” sehingga jauh dari wacana dan proses demokratis, (2) KKN
semakin merusak kepercayaan rakyat dan dunia internasional terhadap Pemerintah,
(3) Pemilu yang seringkali cenderung formalitas, (4) Alat pertahanan dan
keamanan negara (ABRI) berposisi tidak netral dan independen terhadap semua
kekuatan sosial politik, (4) Pegawai Negeri Sipil beserta Birokrasinya
diposisikan untuk “monoloyalitas”, (5) kebijakan massa mengambang, (6) Presiden
sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, (7) dan yang lainnya. Tegasnya, kekuasaan
tidak terdistribusi secara demokratis.
Di era Global, UUD 1945 sedang dituntut direformasi, yang prosesnya
masih sedang diperjuangkan, sekurang-kurangnya masih menunggu sampai bulan
Agustus 2002 tatkala UUD 1945 selesai dirubah secara “menyeluruh” oleh MPR.
Pelaksanaannya kini, ternyata berada pada posisi transisi/dilematis. Di satu
sisi, prakteknya ingin serba reformatif; di lain sisi, peraturan perundang-undangannya—sebagai
penjabaran dari UUD 1945—belum begitu memadai. Sehingga, yang tampak adalah
seakan-akan terjadi perebutan pengaruh untuk saling menafsirkan UUD 1945 antara
Legislatif (MPR, DPR) dan Eksekutif (Presiden). Di sisi ketiga, Mahkamah Agung
(MA) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap
hukum di atas UU (yaitu Ketetapan MPR dan UUD).
B. Penerapan UUD 1945
Di dalam UUD 1945 (setelah Perubahan) terdapat
Pembukaan dan Batang Tubuh. Di dalam Pembukaan terdapat Pancasila sebagai dasar
negara, tetapi juga ia sebagai ideologi negara. Sebagai ideologi negara—menurut
studi Filsafat—, Pancasila berperanan sebagai pandangan hidup, dasar
negara, dan tujuan nasional. Karenanya, penerapan UUD 1945 dapat
dilakukan melalui cara berpikir filsafati.
Beberapa
karakteristik yang harus ditampilkan dari warga negara yang berkarakter dan
berjiwa demokratis, yaitu ; Memilki sikap rasa hormat dan tanggung jawab,
bersikap kritis, membuka diskusi dan dialog, bersikap terbuka, bersikap rasional,
adil, dan selalu bersikap jujur. Warga negara yang otonom harus melakukan tiga
hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional, yaitu menciptakan kultur taat
hukum yang sehat dan aktif (culture of law), ikut mendorong proses pembuatan
hukum yang aspiratif (process of law making), mendukung pembuatan materi-materi
hukum yang responsif (content of law), ikut menciptakan aparat penegak hukum
yang jujur dan bertanggung jawab (structure of law).
BAB III
KESIMPULAN
UUD 1945 bersifat fleksibel dan
singkat. Fleksibel karena dapat dirubah (Pasal 37) sesuai dengan perkembangan
zaman. Singkat karena hanya memuat aturan-aturan pokoknya saja (37 pasal);
kecuali UUD Setelah Perubahan, karena ia sudah tidak singkat lagi.
Di zaman Orde Baru (1966—1998), UUD 1945 dikukuhkan
sebagai tekad Orde Baru—bersama-sama dengan Pancasila—untuk dilaksanakan secara
murni dan konsekuen. Permasalahannya adalah: (1) Pancasila dan UUD 1945
diposisikan secara “sakral” sehingga jauh dari wacana dan proses demokratis,
(2) KKN semakin merusak kepercayaan rakyat dan dunia internasional terhadap
Pemerintah, (3) Pemilu yang seringkali cenderung formalitas, (4) Alat
pertahanan dan keamanan negara (ABRI) berposisi tidak netral dan independen
terhadap semua kekuatan sosial politik.
Pelaksanaan UUD 1945 kini,
ternyata berada pada posisi transisi/dilematis. Di satu sisi, prakteknya ingin
serba reformatif; di lain sisi, peraturan perundang-undangannya—sebagai
penjabaran dari UUD 1945—belum begitu memadai. Sehingga, yang tampak adalah
seakan-akan terjadi perebutan pengaruh untuk saling menafsirkan UUD 1945 antara
Legislatif (MPR, DPR) dan Eksekutif (Presiden). Di sisi ketiga, Mahkamah Agung
(MA) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap
hukum di atas UU (yaitu Ketetapan MPR dan UUD).
DAFTAR
PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Pemikiran UUD
Negara Kesatuan Rl. Jakarta: The Habibie Center. 2001
Manan, Bagir. (2004). Teori dan Politik Konstitusi.
Yogyakarta: UII Press
Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim. Hukum
Tata Negara Indonesia. Jakarta:PSHTN FH-UI. 1983.
RM. A.B. Kusuma,
(2004). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sabon, Max B. (1991). Fungsi Ganda Konstitusi Suatu Jawaban
Alternatif Tentang Tepatnya Undang-Undang Dasar 1945 Mulai Berlaku. Bandung:
Grafitri
No comments:
Post a Comment