Friday, November 17, 2017

Makalah Sejarah Konstitusi Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang
Setiap Negara yang merdeka dan berdaulat sudah barang tentu memiliki dasar Negara yang berbeda. Perbedaan dasar Negara yang diterapkan didalam suatu Negara sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai social-budaya, patriotism dan nasionalisme yang telah terkritalisasi dalam perjuangan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara yang hendak dicapainya. Bagi bangsa Indonesia, dasar Negara yang dianut adalah Pancasila. Dalam tinjauan yudiris konstitusional, Pancasila sebagai dasar Negara berkedudukan sebagai norma objektif dan norma tertinggi dalam Negara, serta sebagai sumber segala sumber hukum sebagaimana tertuang di dalam TAP. MPRS No. XX/MPRS/1996, jo. MPR No. V/MPR/1973, jo. TAP. MPR No. IX/mpr/1978. Penegasan kembali Pancasila sebagai dasar Negara tercantum dalam TAP. MPR No. XVIII/MPR/1998.
Para ahli memiliki pandangan yang bervariasi mengenai “konstitusi” dan “Undang-Undang Dasar”. Ada yang berpendapat sama, tetapi ada juga yang berpendapat berbeda. Kata konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa Latin (constitutio), Inggris (constitution), Prancis (constituer), Belanda (constitutie), dan Jerman (Konstitution). Dalam pengertian ketatanegaraan, istilah konstirusi mengandung arti undang-undang dasar, hukum dasar atau susunan badan. Suatu konstitusi menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan suatu Negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur dan memerintah Negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang berbentuk tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, ada pula yang bersumber dari peraturan yang tidak tertulis seperti norma, kebiasaan adat istiadat, dan konvensi di dalam masyarakat.
Sifat pokok konstitusi Negara adalah flexible (luwes) dan rigid (kaku). Konstitusi dikatakan fleksibel, bila pembuat konstitusi menetapkan cara mengubahnya tidak berat, mempertimbangkan perkembangan masyarakat sehingga mudah mengikuti perkembangan masyarakat sehingga mudah mengikuti perkembangan zaman ( contoh Inggris dan Selandia Baru ). Konstitusi bersifat rigid apabila pembuat konstitusi menetapkan cara perubahan yang sulit dengan maksud agar tidak mudah di ubah hukum dasarnya ( contoh Amerika, Kanada, Jerman dan Indonesia).
Fungsi pokok konstitusi dan Undang-Undang Dasar adalah untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Menurut Carl J. Friedrich, konstitusionalisme merupakan gagasan di mana pemerintah dipasang sebagai suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat.
Meskipun Undang-Undang Dasar bukan merupakan salah satu syarat untuk berdirinya suatu Negara beserta dengan penyelenggaranya yang baik, tetapi dalam perkembangan zaman modern dewasa ini, Undang-Undang Dasar mutlak adanya. Sebab dengan adanya Undang-Undang Dasar baik penguasa Negara maupun masyarakat dapat mengetahui aturan atau ketentuan pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraannya.

1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1.      Apa substansi adanya UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia ?
2.      Bagaimana gerak pelaksanaan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia sejak awal sampai saat ini ?

1.3.Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui substansi UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia.
2.      Untuk mengetahui perbedaan prinsipil khususnya mengenai otonomi daerah antar periode pelaksanaan UUD 1945.



BAB II
PEMBAHASAN



A. Substansi UUD 1945 (termasuk UUD 1945 Setelah Perubahan)
UUD 1945 berkedudukan sebagai: (1) hukum dasar tertulis, (2) sumber hukum positif tertinggi, (3) UU tentang pembentukkan/pendirian NKRI, (4) wujud kontrak-sosial tertinggi bangsa Indonesia. Karena sebagai hukum, ia mengikat dan memaksa: (1) setiap lembaga negara, (2) setiap warganegara Indonesia, (3) setiap penduduk Indonesia, dan (4) setiap lembaga/organisasi kemasyarakatan (LSM, ormas, partai politik). UUD 1945 bersifat fleksibel dan singkat. Fleksibel karena dapat dirubah (Pasal 37) sesuai dengan perkembangan zaman. Singkat karena hanya memuat aturan-aturan pokoknya saja (37 pasal); kecuali UUD Setelah Perubahan, karena ia sudah tidak singkat lagi.

1. Pembukaan UUD 1945
Pada Sidang Istimewa MPR tahun 1998, Sidang Umum MPR 1999, dan Sidang Tahunan MPR 2000; Pembukaan UUD 1945 disepakati untuk tidak dirubah. Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat (4) alinea. Alinea I sebagai konsekuensi dari Teks Proklamasi. Alinea II sebagai konsekuensi dari Alinea I. Alinea III sebagai konsekuensi dari Alinea II. Alinea IV sebagai konsekuensi dari Alinea III. Terakhir, Alinea IV memberi konsekuensi pada Pokok-pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945.
Dalam Alinea I, bangsa Indonesia menyatakan: (1) anti terhadap penjajahan, dan (2) menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Dalam Alinea II, bangsa Indonesia menyatakan: (1) perjuangan kemerdekaan sudah di depan pintu gerbang, dan (2) cita-cita bangsa selanjutnya (merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur). Dalam Alinea III, bangsa Indonesia menyatakan: (1) kemerdekaan sudah diproklamasikan, (2) kemerdekaan itu atas rahmat Tuhan, (3) selain itu, kemerdekaan itu sebagai hasil perjuangan sendiri. Dalam Alinea IV, bangsa Indonesia menyatakan: (1) susunan pemerintahan negara, (2) tujuan/fungsi negara, (3) UUD negara Indonesia, (4) sistem pemerintahan republik, (5) bentuk kedaulatan rakyat, (6) ideologi Pancasila.
Keempat alinea itu harus dipahami menurut tuntunan Pokok-pokok Pikiran Pembukaan (lihat Penjelasan UUD 1945), yaitu bahwa setiap penyelenggara negara di Indonesia harus mendahulukan persatuan dan kesatuan (Pokok Pikiran I), setelah itu baru menjalankan pembangunan nasional (Pokok Pikiran II), yang dilaksanakan secara demokratis (Pokok Pikiran III), yang dilandaskan pada taqwa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (bertaqwa secara beradab) (Pokok Pikiran IV).
Nilai-nilai yang terdapat pada ideologi Pancasila berkedudukan sebagai Nilai Luhur (NL), sementara nilai-nilai lainnya yang terdapat pada Pembukaan berkedudukan sebagai Nilai Dasar (ND). Kedua derajat nilai ini bersifat universal dan lestari, tetapi pemahamannya bersifat eksklusif Indonesia. Nilai-nilai (NL dan ND) itu selanjutnya diwujudkan dan dijabarkan dalam bentuk pasal-pasal/ayat-ayat pada Batang Tubuh UUD 1945. Penafsiran dan/atau perubahan Batang Tubuh UUD 1945 (sebagaimana ternyata telah dirubah untuk yang Pertama (1999) dan Kedua (2000) oleh MPR) tidak boleh menyimpang dari semangat NL dan ND yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945. Tegasnya, perubahan (dalam Batang Tubuh) itu dapat dilakukan sejauh masih dalam kerangka penjabaran/pewujudan nilai-nilai (NL dan ND) yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945. Itulah hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.

2 Batang Tubuh UUD 1945
Dalam Batang Tubuh UUD 1945 dia tur hal-hal sebagai berikut. Sistem Pemerintahan Negara (UUD 1945) didasarkan pada tujuh kunci pokok (tucipok):
(1) NKRI sebagai negara hukum;
(2) NKRI menganut sistem konstitusional;
(3) MPR sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat (sudah dirubah);
(4) Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah MPR;
(5) DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden; Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh DPR;
(6) Menteri Negara sebagai Pembantu Presiden; dan
(7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Untuk kunci yang ketujuh terkandung makna bahwa kekuasaan Presiden selaku Kepala Negara dibatasi. Ia dibatasi oleh: (1) Kewenangan MPR, (2) Peraturan perundang-undangan (Tap MPR dan UU), (3) Kedudukan DPR yang kuat, dan (4) Pengaruh para Menteri. Kedudukan DPR itu kuat, karena ia: (1) semua anggotanya adalah juga anggota MPR, (2) setiap UU harus disetujui oleh DPR, (3) APBN harus disetujui oleh DPR, (4) setiap perjanjian dengan Luar Negeri harus diratifikasi oleh DPR, (5) setiap pemberian amnesti dan abolisi, pengangkatan dan penerimaan duta, pernyataan perang, dan beberapa hal yang lainnya harus disetujui oleh DPR.
Berdasarkan hal tersebut dan pokok-pokok kaidah hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 (termasuk setelah Perubahan), negara Republik Indonesia: (1) lebih banyak menerapkan prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidentil, (2) berbentuk negara kesatuan, (3) berbentuk pemerintahan republik, (4) bersistem politik demokrasi, (5) berbentuk kedaulatan rakyat, (6) berpemilihan Presiden, (7) semakin terdapat keseimbangan kekuasaan antara Legislatif (DPR) dan Eksekutif (Presiden) dengan koridor tetap sistem presidensil, (8) semakin melindungi dan menegakkan HAM (melalui perincian Pasal-pasal 26—34) , (9) dan seterusnya.
Perubahan UUD 1945, dengan demikian, sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945 Setelah Perubahan, pada dasarnya lebih banyak mengurangi kekuasaan Presiden (yang executive-heavy) yang dominan, yang kemudian  “diserahkan” kepada DPR (menjadi legislative-heavy) untuk meningkatkan fungsi kontrolnya terhadap Presiden (Pemerintah).

3 Gerak Pelaksanaan UUD 1945
Di zaman Revolusi Fisik (1945—1959), UUD 1945 lebih banyak ditafsirkan dan dipraktekkan secara parlementer baik kedalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun gerak kenegaraan. Hal ini ditunjukkan dengan pernah berlakunya KRIS 1949 dan UUDS 1950. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ketika berlaku UUD 1945 (1945—1949) yang berposisi sebagai Pembantu/Penasehat Pemerintah (Presiden) telah berubah menjadi menjalankan fungsi-fungsi Parlemen.
Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha memecahbelah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negaranegara ”boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, Belanda kemudian melakukan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948.
Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia.
Namun begitu, terdapat satu hal yang tetap, yaitu dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara dalam ketiga konstitusi/UUD itu. Di zaman Orde Lama (1959—1966), UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Secara formal berlaku segala kaidah yang termuat dalam UUD 1945, tetapi secara praktek ternyata berlaku peraturan perundang-undangan yang melanggar isinya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya:
(1) Penetapan Presiden (Penpres) yang mengganti posisi UU, (2) Ketua DPA dirangkap oleh Presiden, (3) DPR dibubarkan oleh Presiden karena telah menolak RAPBN untuk menjadi APBN, (4) Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 dipahamkan sebagai Trisila (Nasakom) dan bahkan Ekasila (Gotong Royong), (5) Pidato-pidato Presiden dijadikan “GBHN”, (6) dan yang lainnya.
Di zaman Orde Baru (1966—1998), UUD 1945 dikukuhkan sebagai tekad Orde Baru—bersama-sama dengan Pancasila—untuk dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Permasalahannya adalah: (1) Pancasila dan UUD 1945 diposisikan secara “sakral” sehingga jauh dari wacana dan proses demokratis, (2) KKN semakin merusak kepercayaan rakyat dan dunia internasional terhadap Pemerintah, (3) Pemilu yang seringkali cenderung formalitas, (4) Alat pertahanan dan keamanan negara (ABRI) berposisi tidak netral dan independen terhadap semua kekuatan sosial politik, (4) Pegawai Negeri Sipil beserta Birokrasinya diposisikan untuk “monoloyalitas”, (5) kebijakan massa mengambang, (6) Presiden sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, (7) dan yang lainnya. Tegasnya, kekuasaan tidak terdistribusi secara demokratis.
Di era Global, UUD 1945 sedang dituntut direformasi, yang prosesnya masih sedang diperjuangkan, sekurang-kurangnya masih menunggu sampai bulan Agustus 2002 tatkala UUD 1945 selesai dirubah secara “menyeluruh” oleh MPR. Pelaksanaannya kini, ternyata berada pada posisi transisi/dilematis. Di satu sisi, prakteknya ingin serba reformatif; di lain sisi, peraturan perundang-undangannya—sebagai penjabaran dari UUD 1945—belum begitu memadai. Sehingga, yang tampak adalah seakan-akan terjadi perebutan pengaruh untuk saling menafsirkan UUD 1945 antara Legislatif (MPR, DPR) dan Eksekutif (Presiden). Di sisi ketiga, Mahkamah Agung (MA) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap hukum di atas UU (yaitu Ketetapan MPR dan UUD).

B. Penerapan UUD 1945
Di dalam UUD 1945 (setelah Perubahan) terdapat Pembukaan dan Batang Tubuh. Di dalam Pembukaan terdapat Pancasila sebagai dasar negara, tetapi juga ia sebagai ideologi negara. Sebagai ideologi negara—menurut studi Filsafat—, Pancasila berperanan sebagai pandangan hidup, dasar negara, dan tujuan nasional. Karenanya, penerapan UUD 1945 dapat dilakukan melalui cara berpikir filsafati.
Beberapa karakteristik yang harus ditampilkan dari warga negara yang berkarakter dan berjiwa demokratis, yaitu ; Memilki sikap rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, membuka diskusi dan dialog, bersikap terbuka, bersikap rasional, adil, dan selalu bersikap jujur. Warga negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional, yaitu menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law), ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law making), mendukung pembuatan materi-materi hukum yang responsif (content of law), ikut menciptakan aparat penegak hukum yang jujur dan bertanggung jawab (structure of law).




BAB III
KESIMPULAN


UUD 1945 bersifat fleksibel dan singkat. Fleksibel karena dapat dirubah (Pasal 37) sesuai dengan perkembangan zaman. Singkat karena hanya memuat aturan-aturan pokoknya saja (37 pasal); kecuali UUD Setelah Perubahan, karena ia sudah tidak singkat lagi.
Di zaman Orde Baru (1966—1998), UUD 1945 dikukuhkan sebagai tekad Orde Baru—bersama-sama dengan Pancasila—untuk dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Permasalahannya adalah: (1) Pancasila dan UUD 1945 diposisikan secara “sakral” sehingga jauh dari wacana dan proses demokratis, (2) KKN semakin merusak kepercayaan rakyat dan dunia internasional terhadap Pemerintah, (3) Pemilu yang seringkali cenderung formalitas, (4) Alat pertahanan dan keamanan negara (ABRI) berposisi tidak netral dan independen terhadap semua kekuatan sosial politik.
Pelaksanaan UUD 1945 kini, ternyata berada pada posisi transisi/dilematis. Di satu sisi, prakteknya ingin serba reformatif; di lain sisi, peraturan perundang-undangannya—sebagai penjabaran dari UUD 1945—belum begitu memadai. Sehingga, yang tampak adalah seakan-akan terjadi perebutan pengaruh untuk saling menafsirkan UUD 1945 antara Legislatif (MPR, DPR) dan Eksekutif (Presiden). Di sisi ketiga, Mahkamah Agung (MA) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap hukum di atas UU (yaitu Ketetapan MPR dan UUD).



DAFTAR PUSTAKA



Jimly Asshiddiqie. Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan Rl. Jakarta: The Habibie Center. 2001

Manan, Bagir. (2004). Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: UII Press

Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta:PSHTN FH-UI. 1983.

RM. A.B. Kusuma, (2004). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sabon, Max B. (1991). Fungsi Ganda Konstitusi Suatu Jawaban Alternatif Tentang Tepatnya Undang-Undang Dasar 1945 Mulai Berlaku. Bandung: Grafitri




No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive