• Raga Mulya
• Ratu Nilakendra
• Ratu Sakti
• Surawisesa
1. Raga Mulya
disebut
juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita
Parahiyangan dikenal
dengan
nama Nusya Mulya.
Prabu
Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu,
ia
dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari
(mungkin raja ini berkedudukan di
Kaduhejo,
Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).
Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan,
Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus
punjul siki ikang
Śakakala
yang
artinya,
"Pajajaran
lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka."
Tanggal
tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Naskah
Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan
penyerangan ke
Pakuan
dalam pupuh Kinanti yang artinya,
"Waktu
keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun
Alif
inilah
tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Walaupun
tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan
perhitungan
mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru
hanyalah
hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada
hari Sabtu.
Yang
terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan bahwa benteng kota
(pakuan)
Pajajaran
baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng
Pakuan
Pajajaran
merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara
Ki Jongjo,
seorang
kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus
menyelinap
ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah itu
mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya
benteng
Pakuan Pajajaran yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama
12 tahun,
pasukan
Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Dan
berakhirlah zaman Pajajaran (1482 - 1579). Itu ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana,
tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten
oleh
pasukan
Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten
karena
tradisi
politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan
dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan
tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu,
Maulana Yusuf merupakan
penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya
adalah puteri Sri Baduga
Maharaja.
Dalam
Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri
Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati,
inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
Artinya:
"Sang
Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga
Maharaja
ratu
penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura
Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Kata
"palangka" secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara
kontekstual
bagi kerajaan berarti "tahta". Dalam hal ini adalah tahta
penobatannya itu tempat duduk
khusus
yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon)
raja diberkati (diwastu)
oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam
istana.
Sesuai
dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu
tahta seperti ini
oleh
penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan
dilengkapi dengan kaki
seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam
kuno dekat Situ Sangiang
di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang
dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada
petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka
Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surasowan di
Banten.
Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti
mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata sriman.
2. Ratu Nilakendra
Nilakendra
atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada
saat itu
situasi
kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan
masyarakat. Carita
Parahiyangan
memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan
pepelakan"
(Petani
menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu).
Ini
merupakan
berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi
di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi
kemungkinan
serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para
pembesarnya memperdalam
aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi
dengan mempersatukan
Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara
laki-laki dan
perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaa Singhasari juga penganut ajaran ini.
"Lawasnya
ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup
ka
sangkan
beuanghar"
(Karena
terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali
perihal makanan lezat
yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain
itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur
berbatu
("dibalay")
mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale
bobot)
sebanyak
17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai
musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia
membuat
sebuah
"bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera
inilah yang diandalkannya menolak musuh.
Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena
mereka tidak takut
karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan
nitih ring kadatwan" (kalah
perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra
sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku
Sejarah
Banten
tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya
Yusuf,
dapatlah
disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera
Mahkota Yusuf.
Peristiwa
kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru
wafat tahun 1568 dan
Fadillah wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah,
sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan
nasibnya berada pada
penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup
bertahan 12 tahun lagi.
3. Ratu Sakti
Raja
Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan
Ratu Dewata
yang
bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan
pendek Carita
Parahiyangan
melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu
salah
tidaknya.
Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama
sekali.
Kemudian
raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini
"estri
larangan
ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah
lagi dengan berbuat skandal
terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan
dari tahta kerajaan.
Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan
Fadillah sedang membantu
Sultan Trenggana menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu
Sakti dipusarakan
di Pengpelengan.
4. Sri Baduga Maharaja
Sri
Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang
memerintah
selama 39
tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan
mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri
Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata
menerima tahta Kerajaan Galuh dari
ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar
Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya,
Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan
dinobatkan dengar
gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan
untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan
rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan
situasi kepindahan
keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran
Di Jawa
Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi
sudah
tercatat
dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga
masih
hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini
menjadi raja di Pakuan.
Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan
yang sama
besarnya
dengan Wastu Kancana (kakeknya)
alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga
Sunda).
Menurut
tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang
sesungguhnya, maka juru pantun
memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur
Sunda.
Wangsakerta
pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira
wwang Jawa Kulwan
anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran
swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat
yang menyebut
Prabu
Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
5. Sura Wisesa
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari
Mayang Sunda dan juga
cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan
dengan sebutan "kasuran"
(perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen"
(pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia
melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan
memang berkaitan dengan hal ini.
Nagara
Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus
ayahnya
menghubungi
Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua
kali
(1512 dan
1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada
tahun
1513 yang
diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan
utusan
Portugis
yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan Pajajaran
atau
disingkat
Pakuan atau Pajajaran (sekarang kota Bogor). Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan
antara Kerajaan Sunda dan Portugis mengenai
perdagangan dan keamanan.
Dari
perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang
satu) Menurut
Soekanto
(1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa
perjanjian itu hanya
lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan
"Van deze overeenkomst
werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".
Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap
kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan
barang-barang keperluan
yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak
Sunda akan
menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak
dua "costumodos"
(kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian
Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Selat
Malaka,
pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang
berkedudukan di
Malaka
dan Samudra Pasai. Bila
Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan
juga
dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan
ekonomi Demak terancam
putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi
Senapati Demak.
Fadillah
Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun
menikah
dengan
Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah
menjadi menantu Raden
Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah
masih terhitung
keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul
Amin, kakek
Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan
Ampel (Ali Rakhmatullah)
sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri
adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros
menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk
Fadillah Khan.
Tome
Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi
I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase)
terletak
di puncak
Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati.
Hoesein
Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama
Fadillah
sendiri
baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita
Parahiyangan
menyebut
Fadillah dengan Arya Burah]
Pasukan
Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang.
Sasaran
pertama
adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului
dengan huruhara di Banten
yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan
pasukan Fadillah
menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan
pembesar keratonnya
mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin
kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526).
Setahun kemudian,
Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa.
Bupati
Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan
gugur. Pasukan bantuan
dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada
penggunaan
meriam yang justru tidak dimiliki
oleh laskar Pajajaran.
Bantuan
Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun
benteng diangkat menjadi
Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda
dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal.
Galiun
yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa
ditinggalkan
karena
armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi
ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena
Banten sudah dikuasai
Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa
memancangkan
padrao pada tanggal 30 Juni 1527
dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge".
Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte
Coelho)
yang
langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho
terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai
dan menjadi
mangsa
sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak,
kapal
Portugis
ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah
kapal untuk
melakukan
serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho
demikian
menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah
Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar.
Meskipun yang berkuasa
di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana
(Walasungsang atau
bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu
Surawisesa. Dengan demikian,
keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi
hilang.
Meskipun,
Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak,
kedudukannya
menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke
Pasuruan
dan Panarukan (bahkan
Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang
perebutan
tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan
kedudukan Cirebon
terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang
Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke
darat, yang
satunya
lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai
kota-kota
pelabuhan.
Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran dengan Galuh
terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon
terjadi berkat bantuan
Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar
Galuh tidak berdaya
menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan
bersuara seperti guntur
serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena
meriam.
Maka
jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir
Kerajaan
Galuh.
Sumedang
masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya
Pangeran Santri
menjadi
Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu
Pangeran
Panjunan,
kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi
pendiri
pesantren
pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih,
Pucuk Umum (Unun?)
Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.
Dengan
kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan.
Selain itu,
karena
gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua
pihak
mengambil
jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531
tercapai
perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri
sebagai
negara
merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran
Pasarean (Putera Mahkota
Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian
damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam
negerinya.
Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan
menerawang
situasi
dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun
tanpa
pelabuhan
pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan
1000
orang
pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah
inti
kerajaannya.
Dalam
suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai
dengan Cirebon memberi
kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya.
Mungkin
juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan
keutuhan
wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12
tahun
setelah
ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya.
Ditampilkannya di situ
karya-karya
besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis
yang
diletakkannya
di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan.
Penempatannya
sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat.
Si anak
ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui
(dibaca) orang. Ia sendiri
tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu
diletakkan agak ke
belakang
di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa
tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di
depan
prasasti
itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala
ukiran jejak kaki.
Mungkin
pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu
"penyempurnaan sukma"
yang
dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang
yang meninggal dianggap
telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa
dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau
Munding Laya Dikusuma.
Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di
daerah Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding
Kawati yang kesemuanya
penguasa di Tanjung Barat.
Baik
Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Di antara dua kerajaan
ini terletak
kerajaan
kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in
bertemu
silang
jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari
Banten ke
daerah
Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini zaman dahulu merupakan titik
silang.
Menurut
Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut
jalan
Banten
lama (oude Bantamsche weg)].
Surawisesa
memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti
sebagai
sasakala
untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja zaman
Pajajaran,
hanya dia
dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun.
Babad
Pajajaran
atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan" Surawisesa
(Guru
Gantangan)
dengan sebuah cerita Panji.
No comments:
Post a Comment