Tuesday, January 23, 2018

Raja – Raja Sunda


Raga Mulya
Ratu Nilakendra
Ratu Sakti
Surawisesa
1. Raga Mulya
Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta
disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal
dengan nama Nusya Mulya.
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu,
ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di
Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).
Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan,
Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang
Śakakala
yang artinya,
"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka."
Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Naskah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke
Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya,
"Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Walaupun tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan
perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru
hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan bahwa benteng kota (pakuan)
Pajajaran baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan
Pajajaran merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo,
seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus
menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya
benteng Pakuan Pajajaran yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun,
pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Dan berakhirlah zaman Pajajaran (1482 - 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena
tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati,
inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
Artinya:
"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja
ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Kata "palangka" secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara
kontekstual bagi kerajaan berarti "tahta". Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk
khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. 
Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini
oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di
Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman.
2. Ratu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu
situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita
Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan"
(Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini
merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi
kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaa Singhasari juga penganut ajaran ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka
sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu
("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot)
sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat
sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah
Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf,
dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf.
Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
3. Ratu Sakti
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata
yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita
Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah
tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri
larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
4. Sri Baduga Maharaja
Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah
selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah
tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga
masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama
besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga
Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.
Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan
anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut
Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
5. Sura Wisesa
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga
cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran"
(perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia
melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya
menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali
(1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun
1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan
Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan Pajajaran atau
disingkat Pakuan atau Pajajaran (sekarang kota Bogor). Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan
antara Kerajaan Sunda dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut
Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Selat
Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di
Malaka dan Samudra Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan
juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.
Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah
dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan.
Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak
di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati.
Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah
sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan
menyebut Fadillah dengan Arya Burah]
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran
pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huruhara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa.
Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada
penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal.
Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan
karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa
memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho)
yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi
mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal
Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk
melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho
demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.
Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak,
kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke
Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang
perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang
satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota
pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam.
Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan
Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri
menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran
Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri
pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu,
karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak
mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531
tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai
negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam
negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang
situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa
pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000
orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti
kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya.
Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan
keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun
setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ
karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang
diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan.
Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke
belakang di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan
prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki.
Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma"
yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Di antara dua kerajaan ini terletak
kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu
silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke
daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini zaman dahulu merupakan titik silang.
Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan
Banten lama (oude Bantamsche weg)].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai
sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja zaman Pajajaran,
hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad
Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru

Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive