(Charles Dickens)
Si Kecil David Copperfield adalah seorang anak yatim berumur
sepuluh tahun. Ia diperlakukan buruk oleh ayah tirinya, dan disuruh bekerja di
sebuah pabrik botol di kota London/ Di sana ia tidak mempunyai teman lain kecuali
keluarga Micawber
Tuan dan Nyonya Micawber beserta keluarga mereka akan
pindah dari kota London, dan perpisahan antara aku dengan mereka sudah hampir
tiba saatnya. Aku sudah sedemikian terbiasa dengan mereka, sehingga tanpa
mereka aku kesepian dan rasanya tidak tahan
untuk hidup lebih lama lagi. Suatu malam aku mempunyai pikiran untuk
pergi. Aku ingin pergi ke rumah satu-satunya saudaraku di dunia ini, yaitu Bibi
Betsey Trotwood. Dan aku hendak menceritakan segalanya kisah hidupku kepada saudaraku itu.
Tetapi,
aku tidak tahu dimana rumah bibiku. Maka aku menulis surat kepada Pegotty,
pelayanku dulu yang sudah tua. Aku bertanya kepada Pegotty apakah ia masih
ingat alamat Bibi Betsey. Dalam suratku aku
juga mengatakan bahwa aku membutuhkan uang sebanyak setengah guinea
untuk sesuatu maksud. Dan aku bertanya pula apakah ia bisa meminjami aku.
Tak lama
setelah surat kukirimkan, aku mendapat balasan dari Pegotty. Seperti biasanya,
isi suratnya selalu penuh kasih sayang. Bersama dengan suratnya itu, ia mengirim
uang setengah guinea yang kuminta. Pegotty memberitahuku bahwa Bibi Betsey
tinggal di dekat kota Dover.
Aku mengambil keputusan untuk
berangkat pada akhir minggu itu.
Koporku masih di tempat kosku. Aku
mondar mandir mencari orang yang mau mengangkakan koporku ke tempat pembelian
karcis kereta. Di Jalan Blackfriars aku melihat seorang laki-laki muda
jangkung, berdiri di dekat keretanya yang masih kosong, yang ditarik oleh
seekor keledai. Aku menanyai orang itu apakah ia mau mengangkatkan koporku.
“Aku akan kausuruh apa?” kata
laki-laki muda jangkung itu.
“Mengangkat kopor,” jawabku.
“Kopor siapa?” Tanya laki-laki
jangkung selanjutnya.
Aku menjawab bahwa itu adalah
koporku sendiri. Dan dia akan kusuruh mengangkatkan ke tempat pembelian karcis
dengan upah enam penny.
“Jadi aku akan kauberi upah enam
penny?” kata laki-laki tadi. Ia pun segera naik kereta, lalu pergi dengan
cepatnya. Aku terpaksa berlari kencang sekali, supaya bisa menyamai kecepatan
kereta yang dinaikinya.
Laki-laki itu memang mempunyai sikap
menantang yang tidak kusukai. Setelah tawar-menawar akhirnya dia kuajak naik ke
ruang atas menuju ke kamar kosku. Selanjutnya koporku dibawa ke keretanya.
Setelah koporku diletakkan di kereta, ia cepat-cepat menjalankan keretanya,
membawa lari koporku. Keledainya berlari kencang sekali. Aku berusaha
mengejarnya dengann berlari secepat mungkin, sambil berteriak-teriak memanggil
Si jangkung itu, Akhirnya setelah sampai di tempat penjualan karcis, aku
berhasil menangkapnya.
Karena waktu itu aku terlalu gembira
dan gugup, uangku yang berjumlah guinea kukeluarkan dari saku. Uang tersebut
segera kumasukkan ke dalam mulut biar tidak hilang. Tapi ketika aku sedang
asyik mengikat kartu yang bertuliskan tempat yang kutuju pada koporku.,
tiba-tiba laki-laki tadi menampar daguku keras sekali. Akibatnya uang yang
kusimpan dalam mulut pun terlempar ke luar dan langsung ditangkap oleh
laki-laki jangkung tersebut.
“Mana uang saya? Berikan kepada saya
lagi, Pak!” kataku ketakutan. Namun orang itu tidak mempedulikan aku sama
sekali. Cepat-cepat ia melompat ke dalam kereta dan menyuruh keledainya berlari
cepat sekali.
Aku berlari pontang-panting
mengejarnya. “Pak, mana uang dan kopor saya! Berikan pada saya lagi!” teriakku
sambil menangis tersedu-sedu.
Aku sudah hampir tertubruk kendaraan
sekurang-kurangnya dua puluh kali dalam jarak setengah mil. Akhirnya aku jadi
bingung karena kepanasan dan takut, hingga laki-laki muda itu kubiarkan pergi
membawa uang serta koporku. Dengan terengah-engah dan menangis aku berlari
terus menuju Dover.
Setelah kupikir lagi, gila benar
rasanya, bila aku berlari terus hingga sampai Dover. Maka kaku lalu berhenti di
sebuah toko di Jalan Kent. Aku duduk di depan pintu toko tersebut. Saat itu
sudah pukul sepuluh malam, Namun cuacanya bagus, sebab saat itu musim panas.
Setelah bisa bernapas normal kembali, aku pun meneruskan perjalanan lagi,
dengan susah payah aku berjalan terus sampai melewati sebuah toko pakaian.
Epmilik toko tersebut sedang duduk di depa pintu sambil merokok. Ia mengankan
kemeja berlengan panjang. Aku tidak langsung berhenti di toko itu, tapi
berjalan dulu beberapa langkah lagi. Kemudian di sebuah tempat yang tidak jauh
dari toko tadi, aku berhenti,. Melepas rompiku, lalu kugulung rapi. Baru
setelah itu aku berjalan kembali ke toko pakaian tadi.
“Permisi, Pak. Apakah Bapak mau
membeli rompi saya ini? Harganya murah, Pak!” kataku
Rompi kuberikan kepada pemilik toko
itu, lalu ia berdiri, meletakkan pipanya pada tiang pintu, lalu masuk ke
tokonya. Aku juga ikut masuk. Kemudian rompiku dibentangkan di atas sebuah meja panjang, dan dilihat-lihat. Beberapa
saat kemudian rompiku diangkat dan didekatkan lampu, lalu dilihat-lihat lagi.
“Mau kaujual berapaa rompi kecil
ini?” tanyanya.
“Kalau delapan belas penny
bagaimana? Apakah Bapak mau?”
“Aku akan merampok keluargaku dulu
seandainya ini kutawar sembilan penny,” katanya sambil memberika rompi kepadaku
lagi.
Lalu aku mengatakan bahwa rompi itu
akan kujual sembilan penny saja, jika ia mau. Dan tanpa mengomel, ia segera
memberi aku sembilan penny.
Tidak akan pernah kulupakan
selamanya, betapa sepi rasanya sewaktu aku untuk pertama kalinya berbaring di
alam bebas. Aku menemukan tumpukan jerami dan kemudian tidur didekatnya. Baru
pagi hari berikutnya aku terbangun karena mearasa hangat terkena sinar
matahari. Aku meneruskan perjalannakaniu lagi, dan berjalan di speanjang jalan
yang ebrdebu. Setahuku, alan itu menuju Dover. Dengan susah payah aku berusaha
berjalan terus, dan waktu itu kudengar bunyi lonceng gereja. Aku melewatiu entah
dua atau tiga buah gerekja, dan didalam gereja-gereja tersebut sedang ada
kebaktian. Alunan suara nyanyian dari dalam gereja terdengar merdu dari luar.
Denganpakaian yang kotor dan berdebu, serta rambut kusust, aku merasa hina.
Hari Minggu itu aku berjalan sejauh
23 mil. Dengan beralan susah payah, akhirnya samailah aku di Chatam. Aku tiba
di jalan mendatar yang ditumbui rumpit-rumput lebat. Di situlah aku berbaring
dan tidur dengan nyenyaknya sampai pagi.
Paginya kakiku terasa sakit dan
kaku. Aku merasa bahwa aku tida akan bisa berjalan jauh hari itu. Aku
memutuskan, yang terpenting pagi itu aku harus menjual jaket yang kupakai. Dan
menurut perkiraanku, tempat aku ebrada saat itu merupakan tepat yang tepat
untuk menjual jaket, sebab kulihat di saa sini banyak toko loka,. Kemudaian aku
emlihat ada sebuha toko loak di pojok hjalan yang kototr. Dengna hati
berdebar-debar aku masuk ke toko tersebu. Eprasaan takutku belum juga
hilangsewaktu melihat pemilik toko itu. Orangnya sudah tua, lagipula berwajah jelaek.
Dari dagu sampai ke dekat telngahya ditumhubuji rambut pendek-pendek berwarna
putih. Ia keluar dari kamar kecil di belakang toko itu, dan langsung menarik
rambutku. Sungguh takut aku melihat pemilik tokom itu. Ia memakai rompi yang
terbuat dari kain flannel, tapi sudah kotor sekali dan baunya busuk memuakkan.
“Oh, kau mau apa?” tanyanya.
“Apakah Bapak mau membeli jaketku?”
tanyaku gemetar.
Dengan katra-katayan it, ia
punmmelaepas tanganya yang gemetar seperti cakar burung raksasa dari rambutky.
“Oh jaketmu mau kaujual berapa?”
eriaknya setelah melihat dan memeriksa jaket itu/ Oh, grooo! Jaket ini berapa harganya?”
“Dua setengah shilling,” jawabku.
“Oh, tidak!” teriak laki-laki tua
itu kenmbali. “Aku tidak mau!”
“Baiklah,” kataku. “Ya suda, delapan
belas penny boleh,” kataku segera.
“OH, limpaku!” teriaknya sambil
melempar jaketku ke rak. “Pergilah dari sani! Oh paru-pariuku, pergila kau dari
tokoku ini!”
Aku takut sekali. Sleam hgidupm,
baru sekali itulah aku merasa begtu ketakutan, hingga aku pun sehgera melangkah
keluar. Aku duduk di tempat yag teduh. Berjam-jam lamanya ajy duduk di sana,
shingga tempat teduh yangkududuki sudah panas, sebaliknya tempat yang tadinya
anas sudah teduh. Sleam itu aku masih duudk di sana menunggu uang jaket yang belum
juga diberi. Dengan banyak cara, pembeli jaketku berusaha membujuk supaya
kaketku boleh ditukar daengan barnag lain. Mula-mula ia keluar dari tokonya
membawa tangkai pancing. Setelah itu ia keluar lagi membawa biola. Kemudian
membawa topi yang berbetnuk ayam jantan. Dan akhinya membawa seruling. Tetapi
aku tetap diam dengan air mata berlinag=-linang dip pipi, meminta uangnya atau
aketnya kembaliu. Akhirnya ua ulau mau membayarkau setengah penny, kemudian
setengah penny lagi, dan genap du jam penuh aku barui memperoleh satu shilling.
“Oh mata, kaki dan tanganku!” terik
laki-laki tua berwajah jelek itu. “Maukah kau pergi dari tempat ini setelah kau
kuberi dua penny lagi?”
“Tidak saya tidak mau pergi, sebba
nanti sayab bbisa mati kelaparan.”
Oh, maukah kau pergi seandauna
kuberi tiga pemnny?”
“Seandainya bisa saya mau saja pergi
dari sisni tanpa diberi aoa-apa,” sahutku kemudian. “Tapi saya betul-betul
membutuhkan uang saya itu.”
“Oh go___roo! Mauah kau pergi
seandainy kuberi empat penny?”
Aku dsudah begitu lemah dan lelah saa itu,
hingga kahinenya aku menyerah pada tawaranya itu. Aku mengambil uang dari
tangannya, dan ergi meninggalkan tempat tersebut dengan lapar dan haus sekali.
Tapi aku segera merasa segar dan tidak lapar lagi, strelah membeli makamn an
dan minuman seharga tiga epenny. Karena bisa berjalan lebih bersemanngat, hari
itu aku mampu berjalan sejauh tujuh mil.
Malam hairnya aku tidur did ekat tumpukan jerami lagi. Di tempat
tidurkayu itu, aku betul-betul bisa beristirahat. Paginya aku meneruskan
perjalann lagi. Aku berjalan menyususri jalan yang terletak diantara kebuhn
buah-buahan. Di kana-kiri jalan itu terdapat banyak tumbuh-tumbuhan hop, yaitu
sejenis tumbuh-tumbuhan yang menjalar tingi. Kebun buah dikanan-kiri jalan yang
kulewati nampak kemeah-merahan , penuh dengan buah apel yang sudah siap
dipetik. Di beberapa tempat sudah banyak pemetik buah hop yang telah mulai
bekerja. Pemandangan dikanan-kiriku nampaak indah sekali, hingga aku memutuskan
untuk tidur di natara pohon-pohon hop pada malam harinya.
Paginya ternyata banayk orang geandangan di jhalan yang kulewati.
Kebanyakan orang-orang gelandangan di sana karsar dan kejam. Mereka menatapku
swewaktu aku lewat di dekat mereka dan tiba-tba salah seorang dianatra merea
berteriak dan menyuruhku keuntuk kembali. Aku pun berhenti dan melihat ke
sekitarku. Ternyata yang memanggil aku tadi seorang tukan patri yang masih
muda.
“Kau akan kemana?” Tanya si tukang patri itu, sambil menarik bajuku
dnegan tangannya yang hitam.
“Aku akan pergi ke Dover,” jawabku.
“dan kau dari mana?” tanyanya lagi dengan memegangku erat-erat memakai
tangannya yang satunya lagi, supaya aku makin tidka bisa bergerak.
“Saya ari London,” jawabku segra.
Si tukag patri itu memandangku dari kaki sampai ke ujung rambut, seolah-olah
hendak memukulku.
“Apa maksudmu?” katanya padaku, “,memkaai sal suera milik kakakku?”
Sambil berkata beritu, ia melepas sal dari leherku. “Berikan sal ini padaku!”
Kejadian tersebut membuat aku merasa takut skelai sehingga setelah itu,
setiap kali kulihat ada orang gelandangan, aku cepat-ceat berbalik dan mencari
tempat persembunyian. Dan aku tetap berada di tempat persembunyianku, sampai
orang helangdangannya sudah tidak namapak lagi.
Akhirnya aku sampai di suatu daerah luas yang gundul, dekat kota Dover.
Dan pada hari keenam dalam perjalananku, aku ebrdiri dengan sepatuku yang sudah
rusak, dan tubuhku yang berdebu, terbakar matahari dan berpakaian
compang-camping, di tempat yang sudah begitu lama kuimpi-impikan.
Aku bertanya tentang bibikuy pertama kali kepada para nelayan. Kemudian
kau bertanya kepada kusir serta para penjaga toko. Dan aketika aku sedang duduk
di depan sebuah toko yang terletak di pojok jalan dekat pasar, tiba-tiba ada
sebubah erlengkapan kuda yang jatuh dari kereta yang kebetulan lewat didpeanku.
Lalu barang yang atuh tadi kuberikan kepada kusir kereta tersebut. Aku bertanya
apakah ia tahu di mana tempat Bibi Betsey Trotwood. Dan karena sudah
berkali-kali aku mengualng pertanyaan itu, maka suaraku sudah hampir terdengar
ketika aku bertanya kepada orang itu.
“Orannya sudah tua?” katanya
“YA.” Jawabku. “Agak.”
“Agak Tegap?’ katanya lagi.
“Ya,” kataku. “Saya kira begitu.”
“Orangnya kasar dna tidak berbelas kasihan?”
Hilang semangatku mendengar itu.
“Coba saha pergilah ke sana,” katanya sambil mengacungkan cambuknya. “Dan
berjalanlah lurus ke kanan sampai kau tiba di rumah-rumah yang mengahdap ke
laut. Setelah sampai di sana, kukira kau akan bisa memperoleh keterangan
tentang orang yag kaucari itu. Tetapi menurut pendapatku, orang tersebut tidak
akan menghiraukanmu, maka inilah satu penny untukmu.”
Aku menerima pemberian tersebut dengan sangat berterima kasih, dan uang
itu kupakai untuk memberku satu iris roti. Stelah itu aku mulai berjalan menuju
ke tempat yang telah ditunjukkan oleh Pak Kusir tadi. Dan akhirnya sampailah
aku di sbeuah toko kecil. Di toko tersebut aku bertanya-tanya kepada
orang-orang yang ada di situ mengani bibiku. Mendengar pertanyaanku, tba-tiba
seorang perempuan muda yang sedang memberli beras ceat-cepat menoleh ke arahku.
“Bu Betsey Trotwood adalah majikanku!” katanya. “Kau ada perlu apa dengan
dia?”
“Saya hendak,” jawabku,”berkata sesuatu kepadana.”
Pelayan bibiku itu lalu memasukkan ebras ke dalam keranjang yang kecil
dan beraan keluar dari toko itu. Ia berkata kepadaku bahwa aku boleh
mengikutinya. Tak lama kemudian sampailah kami disebuah rumah kecil, tapi rapi.
“inila rumah Bu tretwood,” kata perempuan muda itu. Dia kemudian
meninggalkan aku berdiri di pintu gerbang kebun.
Di jendela atas aku melihat ada seorang laki-laki mengedipkan sebelah
matanya, dan mengangguk-angguk ke arahku berkalil-kali, kemudian tertawa lalu
pergi. Kelihatanya orang itu menyenangkan. Kemduian dari rumah tersebut
keluarlah seorang wanita. Dia memakai kaus tangan yang biasa dipakai di kebun.
Seketika itu juga aku tahu bahwa wanita itu pasti Bibi Trowood. Aku tahu sebab
ia berjalan keluar dari ruamhnya angkuh skelai, persis seperti apa yang telah
diceritakan oleh ibuku yang malang kepadaku.
“Sana pergi!” kata bibiku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Pergilah
dari sini! Di sini tidak ada anak kecil!”
Dengan pelan-pelan aku melangkah masuk ke kebun dan berdiri di sampiing
bibiku,. Sementara ia sedang membungkuk menyingai tanaman bunganya.
“Kalau boleh,” kataku pertama-tama.
Bibiku terkejut dan memandangku.
“Eh,” teriak Bibi dnegan nada terkeju.
“Ketahuilah, Bi, saya ini keponakan Bibi.”
Bibi lalu duduk di tanah di kebun bunga itu dengan kaki lurus. Dan ia
menatapku erus-menerus sampai aku mulai menangis. Melihat aku menangis, bibiku
pun ceat-cepat memegangi leherku dan aku diajaknya masuk ke ruang tamu. Karena
aku masih juga menangis, aku didudukkan di atas sebuah kursi panjang. Sedangkan
bibiku sebenatr-sebentar berteriak, “Kasihan!”
Tak lama setelah itu, Bibi mengebel memamgngil pelayannya. “Janet,” kata
bibiku sewaktu seorang pelayannya datang. “Pergilah ke ruang atas sampaikan
salamku kepada Tuan Dick. Dan katakana pula bahwa aku hendak berkata sesuatu
keapdanya.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki yang memandangku dari jendela
atas tadi masuk ke ruang tamu, sambil tertawa-tawa.
“Tuan Dick,” kata Bibiku. “Anda pernah mendengar saya berbicara mengenai
Dabid copperfield, bukan?
“Dabvid Copperfield? Sahut Tuan Dick yan rupanya tidak begitu ingat nama
itu. OH, ya saya saudah pernah mendengar nama itu.”
“Nah,” kata bibiku, “Si kecil inilah anak David Copperfield yang pernah
kubicarkan dulu itu. Anak ini nakal. Dia melarikan diri dari rumah . Kini
pertanyaan saya adalah, anak ini harus saya apakan?”
“Jadi anak ini harus Anda apakan?” kata Tuan Dick dengan suara lemah,
sambil menggaruk-garuk kepala. “Oh! Harus Anda apakan?”
“Ya,” sahut Bibi, dengan pandangan yang suram, agak jengkel, sambil
mengacung-acungkan tangannya. “Tuan Dick, jangan begitu! Saya ini benar-benar
minta nasihat yang baik dari Anda.”
“Ah, seandainya saya menjadi Anda,” kata Tuan Dick sambil berpikir-pikir,
“anak ini akan saya mandikan.”
“Janet,” bibiku mmeanggil pelayannya, “Tuan Dick menyuruh kita memandikn
anak ini. Maka ccepat siapkanlah air hangat untuk memandikannya!”
Tempat mandinya enak sekali. Dan sewaktu mandi itu aku mulai bisa
merasakan pedihnya luka0-lukaku di seluruh badanku, yang disebabkan karena aku
tidur di sawah dan lading. Dan aku merasa capai sekaliu waktu itu, hingga
selama lima menit aku rasanya susdah mau tidur saja. Selesai mandi aku disuruh
memakai pakaian, tapi celama dan bajunya trlalu besar buaku, sebab kepunyaan
Tuan Dick. Di samping itu aku masih disleubungi dengan dua atau tiga buah sal
besar. Entah rupakau seperti apa waktu itu, aku sendiri kurang tahu, trapi aku
betul – betul merasa hangat. Dan aku merasa lemah serta mengantuk sehingga aku
segera menggeletak lagi di kursi panjang dan tertidur.
Setelah bangun, aku segera diajak makan bersama ibi dan Tuan Dick. Di
atas meja makan telah etrsedia ayam panggang serta pudding. Lalui aku duduk di
kursi makan, namun aku betul-betul merasa seperti seekor burung yng diikat. Dan
aku menggerakkan tangan dengan sukar. Selama makan aku gelisah terus
memikirikan aku ini akan diapakan leh bibiku. Tai selama makan, Bibi tidak
mengatakan apa-alpa. Dia dudk dihadapanku, sekali-kali ia memandangku seraya
berkata, “Kasihan.”
Setelah makan, kami duduk di depan jendela hingga menjelang malam,
sewaktu Janet sudah mulai menurunkan kerai dan meletakkan lilin di atas meja.
“Tuan Dick,” kata bibiku dengan pandangan suram, “ sekarang saya ingin
bertanya lagi, coba lihatlah anak ini!”
“Anak David?” sahuut Tuan Dick dan nampak binung.
“Betul,” sahut Bibiku. “Anak ini sebaiknya diapakan?”
“Anak ini sebaiknya diapakan?” kata Tuan Dick mengulangi pertanyaan Bibi.
“Oh! Ya. Saya akan membawa anak in ke tempat tidur.”
“Janet!” teriak bibiku. “Tuan Dick menyuruh kita supaya membawa anak ini
ke tempat tidur. Apabila tempat tidur anak ini sudah kausiapakan., maka ia akan
kusuruh tidur.”
Ruang tidurnya bagus dna menyenangkan. Ruang itu di tingkat teratas,
lagipula menghadap ke laut yang airnya gemerlapan terkena siar blan yang terang
seklai. Setelah aku berda dan memadamkan lilin, aku masih duduk melihat sinar
bulan yang terpancar di dalam air laut. Dan aku seakan-akan berharap bisa
membaca ramalan nasibku di dalam air tersebut. Tapi beberapa waktu kemudina aku
mengalihkan pandangan, melihat tempat tidurku yang berkelambu dan berseprei
begitu putih laksana salju. Melihat kesemuanya itu, aku betul-betul merasa
bersyuur. Dan aku lalu ingat kembali pada tempat-tempat sepi dan terpencil, dan
tak beratap di tempat mana aku telah tidur. Dan aku pun berdoa supaya jangan
sampai aku megngalami tidka mempunyai rumah lagi. Malam itu rasanya aku seperti
hanyut terapung – apung di air laut gemerlapan karena disinari cahaya bulan,
menuju ke dunia mimpi.
No comments:
Post a Comment