Tuesday, January 23, 2018

Sejarah Pakuan Pajajaran


Pengantar
Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:
1. Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan
bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon
Pakujajar.
2. K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor),
Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta
sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut
Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran
berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
3. G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919.
Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der
wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam.
"Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai
"berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar
atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan
Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut
pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja)
Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran
didirikan tahun 1433.
4. R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat
Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno
"pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis).
Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau
istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen
staande hoven).
5. H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosialekonomi
petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam
tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian
"Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti
Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebutsebut
tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai
pengertian "paku".
Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota
(hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan
topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana
Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal
sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul
karena untuk beberapa kilometer Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran
dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis
(nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna
palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan
Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang
Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu
Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. 
Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana,
Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada"
(lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama
keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa
silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau
Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik.
Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama
"Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di
muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi
jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud
menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam
kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota kerajaan.
Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan "Pajajaran" untuk nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
Lokasi Pakuan
Naskah kuno
Salinan gambar "Lokasi dan Tempat Ibu Kota Pakuan Pajajaran" dari buku Kabudayaan Sunda Zaman Pajajaran Jilid 2, 2005)
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga
Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga
Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan
Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja
Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat
Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci
Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman
Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti "peucang".
Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan
VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa
kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni
Inggris.
Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur,
kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan
dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak
sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan
pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota
pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah"
kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di
Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut
kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers
bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali
team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.
Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :
Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke
selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut "twee lanen". Hal ini tidak bertentangan
Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku.
Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan
berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung
dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul
10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia
sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti "tanam, tanaman atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan "Kebon Gede atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan.
Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.
Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709)
dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat
pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama
sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung).
Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks
perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.
Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan
para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het conincklijke huijs soude daerontrent
gestaen hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana
ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin.
Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah.
Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis
perjalanan dilanjutkan ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka lokasi jalan itu harus terletak di
bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah
dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale
Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale
kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di
Bali.
Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan
Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi
timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat
gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana
Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8
1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda
penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah
terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th
1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.
Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte
masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan
Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini
terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran
Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui
beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687
mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu
Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak
tidak jauh dari alun-alun.
Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
Abraham adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di
daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali
sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703
disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondok Cina - Depok -
Pondok Pucug (Citayam) - Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung Halang - Parung Angsana (Tanah Baru).
Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanah Abang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondok Cina
dan seterusnya sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanah Abang - Karet - Serengseng - Pondok Pucung - Bojong
Manggis - Pager Wesi - Kedung Badak - Panaragan.
Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang "de toegang" (jalan masuk) atau "de opgang" (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari
benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung
Lolongok sampai Ci Pakancilan).
Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit
dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan
kaki.
Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan
dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang
dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota
Pakuan pada sisi Ci Sadane.
Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah
mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat
menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.
Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk
Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853.
Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis
Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903).
Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,
"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige
dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen,
kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis
yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah
menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi
keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan
Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima
Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha"
(Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan
benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas)
Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang
sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber
sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur
dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah
klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat
perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal
ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan
kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota
Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya
bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota
yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini
"Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.
Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang
pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte inen uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak
terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci
Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading.
Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan
pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi
sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.
Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan
Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng
tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan
Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran
PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya
menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung
Lawang Gintung.
Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci
Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan
membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi
Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada
tebing Kampung Cincaw.
Pemerintahan di Pakuan Pajajaran
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah memengaruhi
jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya
ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian
dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang
isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur.
Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang
kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat
keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundangundangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.
Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini
(Jayadewata).
Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Masa akhir kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran dihitung dari masa Sri Baduga Maharaja berlangsung
selama 97 tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh
1. Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521)
2. Surawisesa (1521 - 1535)
3. Ratu Dewata (1535 - 1534)
4. Ratu Sakti (1543 - 1551)
5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
6. Raga Mulya (1567 - 1579)


No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive