Muhammad Roem merupakan Tokoh Nasional Indonesia
yang dikenal gigih dalam perundingan Roem-Royen. Ia pernah mengalami tempaan
masa muda di Pekalongan. Roem lahir di Temanggung pada tanggal 16 Mei 1908,
dari putra ke enam seorang Lurah Klewongan bernama Djulkarnain Djojosasmito di
daerah Parakan, Temanggung. Ia menamatkan pendidikannya di HIS Pekalongan
(Sekarang SMP Negeri 01).
Roem pindah ke Pekalongan saat berusia 11 tahun.
Saat itu wabah korela, influenza, dan pest melanda desanya. Roem dan adiknya
yang bernama Siti Chadijah ikut tinggal bersama kakaknya Mut’iah yang dinikahi
oleh seorang Tokoh PSII Pekalongan, yaitu Ranuwiharjo.
Mulanya Roem tinggal sementara bersama keluarga
Ranuwiharjo didaerah Dherpowangsan (salah satu pendukuhan di Kelurahan
Sugiwaras atau tepatnya di gang depan Pasar Banjarsari). Ketika Ayah Roem
meninggal, ia kemudian menetap di Pekalongan sampai menyelesaikan sekolah di
HIS Negeri Pekalongan.
Ranuwiharjo semula seorang guru di Parakan, yang
kemudian menjadi pegawai pegadaian saat di Pekalongan. Ia juga seorang anggota
Sarekat Pekerdja Pegadaian yang pimpinan pusatnya diketuai oleh Suryopranoto,
HOS Cokroaminoto, dan H. Agus Salim. Melalui Sarekat Pekerdja Pegadaian,
Ranuwiharjo semakin tertarik oleh perjuangan memperbaiki kaum pekerja dengan
saluran politik di PSII. Pada akhirnya, Ranuwiharjo sempat mendapat kesempatan
menjabat sekretaris cabang PSII Cabang Pekalongan.
Semangat perjuangan Muhammad Roem mulai bersemi
sejak di HIS di Pekalongan. Kisahnya bermula pada saat seorang gurunya yang
berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!” Dasar Pribumi!, begitu
kira – kira artinya. Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai seorang
Pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah
papan larangan di gedung bioskop kapitol, di rumah – rumah makan, dan lain –
lain tempat yang melarang orang pribumi masuk.
Penghinaan itu belum selesai. Pada waktu istirahat
ada seorang murid Belanda yang mendorongnya sambil mengolok – olok, “Inlander!
Inlander!”. Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Roem segera bangkit
lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak
Belanda itu hingga ia muntah – muntah.
Roem juga seringkali mengikuti berbagai kegiatan
ormas yang dilakukan oleh Ranuwiharjo. Bahkan Roem sering diajak mengikuti
kegiatan pengajian maupun kegiatan organisasi PSII. Karena sering mengikuti
kegiatan itu, Roem kemudian mengidolakan tokoh – tokoh nasional yang
sering berkunjung ke Pekalongan. Roem mengaku sangat terpukau, ketika
mendengarkan Pidato Haji Oemar Said Cokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan yang
digelar pengajian di gedung pertemuan Irama (Eks. Bioskop Irama) Sampangan.
“ Saya masih ingat ketika ikut pengajian umum
bersama kakak saya di sebuah gedung bioskop di Pekalongan. Pada waktu itu Pak
Cokro berpidato politik dengan berapi – api. Demikian juga Kyai Ahmad Dahlan
yang berbicara tentang keagamaan dengan tenang tetapi mampu memikat yang
mendengarkan,” ungkap Roem.
Roem juga sering melihat tokoh – tokoh pergerakan
mengalang dana untuk perjuangan di Pekalongan. Masa muda Roem benar – benar
ditempa oleh tokoh – tokoh pergerakan yang datang ke Pekalongan.
Roem menamatkan sekolah HIS (Holland Indische
School) di Pekalongan pada tahun 1924. Adapun keinginannya besar untuk menuntut
ilmu lebih tinggi, memaksa Muhammad Roem meninggalkan Pekalongan menuju
Batavia. Hal itu ia lakukan demi melanjutkan sekolah di STOVIA sebelumnya
akhirnya pindah ke AMS. Di Batavia ketika masih berstaus sebagai pelajar,
Roem menjadi anggota Jong Jawa. Jong Java merupakan kumpulan dari sekelompok
pemuda Jawa yang semula bernama Tri Darmo Kondo. Hal ini sebagai salah satu
inspirasi dari aktivitas yang dilakukan oleh kakak iparnya Ranuwiharo di
Organisasi PSII di Pekalongan.
Peristiwa penghinaan di HIS itu sangat membekas
pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi
dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah, Roem
kemudian bergabung dengan Organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Pada 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare
School (AMS) atau Sekolah Menengah Atas. Roem melanjutkan ke Rechts Hoge Scholl
(RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Pada 1939 dia pun akhirnya meraih gelar Mester
in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum. Roem kemudian membuka Kantor Pengacara
di Jakarta.
Mr. Roem meninggal di usia 75 tahun di Jakarta pada
24 September 1983. Roem telah membuat nama negeri ini harum. Siapapun yang
belajar sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia pasti tak akan lupa menyebut
namanya. Roem juga pernah diajukan salah satu nama untuk menjadi Residen
Pekalongan menggantikan Mr. Besar. Namun, Presiden Soekarno masih
membutuhkannya untuk kepentingan diplomasi Indonesia. Bung Karno lalu menunjuk
Wali Al Fatah sebagai Residen Pekalongan.
Jabatan pernah diamanatkan kepada Roem, antara lain
:
Menteri Dalam Negeri Kabinet Sjahrir III (1946 –
1947) ;
Menteri Dalam Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin II
(1947 – 1948) ;
Menteri Negara Kabinet RIS (1949 – 1950) ;
Menteri Luar Negeri Kabinet Natsir (1950 – 1951) ;
Menteri Dalam Negeri Kabinet Wilopo (1952 – 1953) ;
Wakil Perdana Menteri I Kabinet Ali Sastroamidjojo
II (1956) .
Mr. Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah
Republik Indonesia sebagai ketua tim juru runding dalam perundingan dengan
Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van Royen. Akhirnya perundingan
yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama “Perundingan Roem
Royen”.
Gelar pahlawan tidak serta merta diberikan pada
Roem. Kerja keras dan jasa – jasanyalah yang membuatnya dikenang sebagai
pahlawan. Roem yang pernah ditempa di Pekalongan ini kemudian menjadi nama
sebuah jalan di Kota Pekalongan. Hal ini bertujuan agar kita dapat selalu
mengingat jasa dan perjuangan mereka. Selain itu, keteladanannya dapat
dijadikan motivasi setiap orang untuk mengetahui dan belajar apa yang sudah
dilakukannya untuk tanah kelahirannya.
No comments:
Post a Comment