Gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah
tergantung jaman. Gaya hidup bisa dilihat dari pakaian, bahasa, kebiasaan, dan
lain sebagainya. Gaya hidup juga bisa dianggap sebagai perilaku seseorang yang ditunjukkan
dalam perilakunya, terutama yang berkaitan dengan citra dan penampilan. Gaya
hidup merupakan frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku
yang membentuk pola perilaku tertentu.
Pengertian "gaya hidup" menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam
masyarakat. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan
pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan usaha menjadikan
dirinya unik. Gaya hidup atau life style dapat diartikan juga sebagai segala
sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan
suatu masyarakat tertentu.
David Chaney (2004: 40) juga menyatakan bahwa, “Gaya hidup adalah
pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain”. Intinya,
gaya hidup adalah bagaimana seseorang tersebut ingin dipersepsikan oleh orang
lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image
di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Untuk
merefleksikan image inilah, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu, yang
sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Status sosial bisa
dibilang adalah merupakan penghargaan masyarakat atas prestasi yang dicapai.
Jika seseorang telah mencapai suatu prestasi tertentu, ia layak di tempatkan
pada lapisan tertentu dalam masyarakatnya.
Gaya hidup masyarakat Indonesia saat ini sangatlah beragam, dan
semua orang berlomba-lomba mencapai tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai gaya
hidup impian ini, masyarakat Indonesia berusaha menampilkan citra yang dirasa
dapat merepresentasikan tingkat mereka dalam masyarakat.
Pandemi virus corona di Indonesia memberikan dampak tidak hanya pada
kesehatan masyarakatnya, akan tetapi juga pada gaya hidup akibat berbagai
kebijakan yang berlaku untuk panganan Covid-19.
Perubahan yang paling mencolok terlihat dari cara orang menjalani
kehidupan sosial dan menggerakkan roda perekonomian. Kini masyarakat lebih
mengandalkan teknologi digital untuk tetap dapat menjalani kehidupan sosial dan
ekonomi di tengah kebijakan physical distancing dan PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar).
Dampak Covid-19 yang paling terasa mengganggu adalah (1) kehidupan
sosial, menempati urutan paling tinggi yakni 48%, diikuti (2) kekhawatiran akan
karir dan pekerjaan 44%, kemudian (3) buyarnya rencana liburan dan wisata 39%,
selanjutnya (4) kekhawatiran terbatasnya kegiatan keagaamaan 31%, dan (5) tidak
bisa melakukan kebiasaan berbelanja 24%. Gaya hidup kaum urban, seiring
berkembangnya teknologi, menjadikan mereka sibuk dengan aktivitasnya
sendiri-sendiri, sehingga kehidupan sosial di dunia maya dianggap lebih menarik
daripada di dunia nyata. Namun di survei
ini hasil yang diperoleh kebalikannya, hampir setengah responden baik pria dan
wanita, muda dan tua merasa kehidupan sosialnya terganggu karena tidak bisa
berkumpul bersama keluarga dan teman, karena harus menjaga jarak (physical
distancing) dan mengikuti anjuran untuk #DiRumahAja. 44% responden merasa
khawatir akan karir dan pekerjaan mereka; untuk hal ini laki-laki lebih
khawatir dibandingkan wanita. Sebanyak
39% responden yang sebagian besar wanita merasa khawatir dengan rencana liburan
mereka yang tertunda untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Belajar. bekerja, berkomunikasi, bahkan berbelanja kini dapat
dilakukan dari rumah dengan menggunakan smartphone ataupun laptop. Benar, kini
hampir semuanya serba online. Tentunya hampir semua gaya hidup masyakarat
menjadi berubah semenjak virus ini timbul. Jika dikaitkan dengan ekonomi, maka perubahan
gaya hidup dalam berbelanja online adalah contoh nyata yang paling sesuai. Pada
tahun 2020, BPS telah melakukan Survei Sosial Demografi Dampak COVID-19 dan
salah satu hal yang dibahas adalah perilaku berbelanja online. Hasilnya, 9 dari
10 responden berbelanja online dan pola berbelanja masyarakat berubah selama
pandemi COVID-19. Sebanyak 31% responden mengalami peningkatan dalam belanja
online mereka, sedangkan hanya 28% dari mereka yang mengalami penurunan.
Namun, terlepas dari peningkatan berbelanja online ini, tidakkah
Anda juga menyadari bahwa hal ini tentu memiliki dampak negatif di baliknya?
Kemudahan dalam berbelanja online memanglah dapat menguntungkan pihak produsen,
namun bagi Anda seorang konsumen hal ini dapat menjerumuskan Anda ke dalam gaya
hidup konsumtif. Dalam artian luas, konsumtif merupakan perilaku konsumsi yang
boros dan berlebihan, lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta
tidak ada skala prioritas (Vicynthia, 2010). Menurut Rossanty dan Nasution
(2018), tanda-tanda perilaku konsumtif dapat timbul jika Anda mulai sering
tertarik mengikuti suatu gaya hidup atau membeli barang-barang tertentu demi
image. Ditambah lagi, situs atau aplikasi belanja online hampir setiap harinya
menawarkan berbagai macam promo yang menggiurkan konsumennya, seperti flash
sale, promo tahun baru, promo saat tanggal ‘cantik’ (misalnya promo 8.8 atau
promo di tanggal 8 Agustus), promo kemerdekaan, dan lain sebagainya.
Promo-promo inilah yang terkadang membuat Anda tidak bisa menahan diri untuk tidak
membelinya, padahal jika dipikir dengan bijak barang promo tersebut bukanlah
kebutuhan Anda saat ini.
Saat pandemi COVID-19 seperti ini, berbelanja secara online
memanglah solusi yang paling tepat untuk dilakukan ketika akan membeli sesuatu.
Meskipun demikian, Anda harus tetap bijak dalam berbelanja online agar Anda
terhindar dari perilaku konsumtif. Sederhana saja, Anda hanya perlu membedakan
manakah yang benar-benar menjadi kebutuhan Anda, dan manakah yang hanya menjadi
keinginan Anda semata. Selain itu, Anda harus memilih cara terbaik untuk
melakukan konsumsi. Menurut Waringin (2015), ada empat level konsumtif :
1.
Cara konsumtif yang terburuk
adalah dengan cara berhutang di bank untuk dapat mendapatkan sesuatu, kemudian
melakukan cicilan pembayaran ke bank tersebut. Inilah yang biasa dilakukan oleh
orang kebanyakan.
2.
Cara konsumtif yang cukup baik
adalah menabung dan memiliki uang tunai, kemudian membeli sesuatu dengan cara
tunai atau cash.
3.
Cara konsumtif yang baik adalah
mempunyai uang dengan bunga yang cukup untuk membayar cicilan ke bank. Dengan
kata lain, Anda melakukan investasi atas uang yang Anda punya, dan bunga yang
Anda peroleh cukup untuk membayar cicilan ke bank.
4.
Cara konsumtif yang terbaik
adalah ketika Anda memiliki uang, dan bunga yang Anda peroleh cukup untuk
membeli sesuatu yang Anda inginkan secara tunai. Artinya, Anda tidak perlu
membelanjakan uang pokok Anda.
Cara atau kiat di atas secara tak langsung menjelaskan bahwa Anda
tidak perlu berhutang untuk mendapatkan barang yang Anda inginkan. Alih-alih
berhutang, sebaiknya Anda melakukan investasi atas uang yang Anda miliki hingga
uang Anda mencukupi untuk memenuhi segala kebutuhan maupun keinginan Anda.
Meskipun Anda hanya dapat di rumah akibat COVID-19, pemasukan Anda akan tetap
berjalan berkat adanya investasi Anda.
Di masa pandemi Covid-19, banyak masyarakat yang mencari informasi
mengenai cara mencegah virus korona dan usaha meningkatkan kekebalan tubuh.
Sejak kasus pertama pada 2 Maret 2020 di Indonesia, hingga kini terus terjadi
peningkatan jumlah positif Covid-19. Pemerintah membentuk Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 untuk menekan penyebarannya. Namun, sebagai
individu, kita juga perlu berbuat sesuatu untuk mencegah penyebaran virus ini.
Berdasarkan data WHO, angka kematian dari infeksi Covid-19 lebih
rendah dibandingkan dengan MERS, SARS, dan ebola. Namun, penyebaran pasien
positif lebih cepat dibandingkan dengan Mers dan SARS, sehingga terjadi
lonjakan jumlah penderita dalam waktu singkat.
Korona yang memasuki tubuh akan menempel pada reseptor yang dikenal
sebagai Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2), kemudian virus menyuntikkan
RNA-nya sehingga mengubah sel tubuh menjadi virus dan bereplikasi. Virus
tersebut dapat merusak jaringan pada paru sehingga terjadi pembengkakan yang
membuat kesulitan bernapas dan dapat terjadi Acute Respiratory Distress
Syndrome yang mengakibatkan pasien meninggal. Selain pada paru-paru, korona
juga dapat menginfeksi organ lain contohnya pada saluran pencernaan. Gejala
yang ditimbulkan bergantung seberapa kuatnya sistem imunitas.
Pada sistem imunitas manusia, ketika ada sel aneh yang masuk ke
tubuh, akan langsung mengaktifkan respons imun bawaan dan respons imun adaptif
untuk melawan virus dengan memproduksi sel pembunuh T. Orang yang lebih tua dan
penderita komorbid seperti diabetes atau penyakit kronis lainnya kemungkinan
besar akan mengalami gejala yang lebih berat dan biasanya tidak menghasilkan
respons sel-T yang baik.
Hingga kini, vaksin untuk mencegah infeksi korona baru ini belum
ditemukan. Karena itu, upaya yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan sistem
kekebalan yaitu menerapkan gaya hidup sehat dan mengonsumsi makanan bergizi.
WHO telah mengeluarkan beberapa anjuran cara hidup sehat di masa pandemi ,
seperti mengonsumsi makanan sehat dan bergizi, menghindari merokok dan minuman
beralkohol, berolahraga dan berjemur di pagi hari, menjaga kesehatan mental
(mengelola stres dengan baik), serta menerapkan hidup bersih dengan menjaga
kebersihan. Menurut data dari Kemenkes, masih banyak masyarakat Indonesia yang
kekurangan gizi dan menderita diabetes. Mereka inilah yang lebih berisiko
mengalami gejala yang fatal apabila terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Fatharani, Afrida. (2013). Pengaruh Gaya Hidup (Lifestyle), Harga
(Price), dan Kelompok Referensi (Reference Group) Terhadap Keputusan Pembelian
Telepon Seluler Blackberry (Studi pada Mahasiswa Program S1 Angkatan 2009
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro). Skripsi.
Universitas Diponegoro
https://www.antaranews.com/berita/1933904/gaya-hidup-sehat-kunci-bertahan-di-tengah-pandemi
https://www.itera.ac.id/gaya-hidup-sehat-saat-pandemi/
Puspita, Dian Ayu. (2013). Pengaruh Gaya Hidup, Fitur, dan Harga
terhadap Keputusan Pembelian Blackberry Curve 9300 (Studi Kasus di WTC Surabaya).
Jurnal Ilmu Manajemen. Universitas Negeri Surabaya
Sugihartati, Rahma. (2010). Membaca, Gaya Hidup dan Kapitalisme.
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu
No comments:
Post a Comment