E-Learning termasuk model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Dengan ini, peserta didik dituntut mandiri dan bertanggung jawab
terhadap proses pembelajarannya,
sebab ia dapat belajar di mana saja, kapan saja, yang penting tersedia
alatnya. E-Learning menuntut keaktifan
peserta didik. Melalui
E- Learning, peserta didik dapat mencari
dan mengambil informasi
atau materi pembelajaran berdasarkan silabus atau
kriteria yang telah ditetapkan pengajar atau
pengelola pendidikan. Peserta didik akan memiliki kekayaan informasi,
sebab ia dapat mengakses informasi dari mana saja yang berhubungan dengan materi pembelajarannya. Peserta
didik juga dapat berdiskusi secara online dengan pakar-pakar pada bidangnya, melalui e-mail atau chatting. Dengan demikian, jelas
bahwa keaktifan peserta didik dalam E-Learning
sangat menentukan hasil belajar yang mereka peroleh. Semakin
ia aktif, semakin
banyak pengetahuan atau kecakapan yang akan
diperoleh.
Dengan sistem semacam ini diharapkan bahwa hasil akhir
proses belajar dengan E-Learning akan
lebih baik, sebab tuntutan belajar
tuntas (mastery learning) dapat
dipenuhi. Peserta didik juga bebas mengakses bahan pembelajaran E-Learning dari
mana saja ia suka. Bahan pembelajaran E-Learning yang
dirancang dengan baik dan profesional akan memperhatikan dan menggunakan ciri-ciri
multimedia. Artinya,
dalam bahan pembelajaran tersebut di samping
memuat teks, juga dapat memuat gambar, grafik, animasi, simulasi, audio,
dan video. Pemilihan warna yang baik
dan tepat juga akan meningkatkan penampilan di layar monitor. Hal ini menjadikan bahan pembelajaran E-Learning menjadi
lebih menarik,
berkesan, interaktif dan atraktif. Dari keadaan semacam
ini memungkinkan peserta
didik selalu ingat tentang
apa yang dipelajari.
Model pengembangan TIK di pendidikan dapat dilakukan dalam empat tahapan, yaitu emerging, applying, infusing, dan transforming
(Majumdar (2005) dalam Budi Murtiyasa (2012)).
Emerging adalah tahap dimana semua insan pendidikan
menjadi memiliki perhatian terhadap TIK. Hal ini ditandai dengan kebutuhan akan dukungan terhadap performa
kerja. Applying adalah tahapan dimana para insan pendidikan mulai belajar
menggunakan TIK. Pada tahapan ini kebutuhan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran tradisional dengan TIK mulai dirasakan sebagai suatu kebutuhan.
Infusing adalah tahap dimana para
insan pendidikan mulai mengetahui
bagaimana dan kapan menggunakan TIK. Hal ini
ditunjukkan dengan kemampuan menyediakan fasilitas belajar berbasis TIK
bagi para peserta didik Akhirnya
tahap transforming adalah secara spesifik dapat menggunakan TIK untuk membantu
menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang dihadapinya. Dengan TIK dapat diciptakan lingkungan belajar
yang inovatif, sehingga merangsang peserta didik untuk berpikir dan berkreasi untuk memecahkan masalah.
Menurut Sudirman Siahaan (2004) dalam Edhy Sutanta (2009),
setidaknya ada tiga fungsi E-Learning terhadap kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom
instruction) :
a.
Suplemen (tambahan). Dikatakan
berfungsi sebagai suplemen
apabila peserta didik
mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini tidak ada
keharusan
bagi peserta didik untuk mengakses materi. Sekalipun sifatnya opsional,
peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki
tambahan pengetahuan atau wawasan.
b.
Komplemen (pelengkap). Dikatakan
berfungsi sebagai komplemen
apabila materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta
didik di dalam kelas. Sebagai komplemen
berarti materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi
materi pengayaan atau remedial. Dikatakan sebagai pengayaan (enrichment), apabila
kepada peserta didik yang dapat dengan cepat menguasai/
memahami materi pelajaran yang disampaikan pada saat tatap muka diberi kesempatan untuk mengakses
materi pembelajaran elektronik yang
memang secara khusus dikembangkan untuk mereka. Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat penguasaan
terhadap materi pelajaran yang telah diterima
di kelas. Dikatakan
sebagai program remedial,
apabila peserta didik yang mengalami kesulitan memahami materi
pelajaran pada saat tatap muka diberikan
kesempatan untuk memanfaatkan materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dirancang
untuk mereka. Tujuannya agar
peserta didik semakin mudah memahami materi pelajaran yang disajikan di kelas.
c.
Substitusi
(pengganti). Dikatakan sebagai substitusi apabila E-Learning
dilakukan sebagai pengganti
kegiatan belajar, misalnya
dengan menggunakan model-model
kegiatan pembelajaran. Ada tiga model yang dapat
dipilih, yakni : (1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional), (2)
sebagian
secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau (3) sepenuhnya melalui internet.
Kelebihan E-Learning
menurut Elangoan (1999),
Soekartawi (2002), Mulvihil (1997), Utarini (1997) dalam
Asep Herman Suyanto 2005, antara lain tersedianya
fasilitas e-moderating di mana guru
dan siswa dapat berkomunikasi secara
mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan dengan tanpa
dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu. Kedua,
guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan terjadual melalui
internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari. Ketiga, dapat belajar
atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan
mengingat bahan ajar tersimpan di komputer. Bila siswa memerlukan tambahan informasi yang berkaitan
dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah. Baik guru maupun siswa
dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti
dengan jumlah peserta
yang banyak, sehingga
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Poin penting
adalah bahwa peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif.
Walaupun demikian pemanfaatan E-Learning juga
tidak terlepas dari berbagai
kekurangan (Bullen, 2001; Beam, 1997 dalam Asep Herman Suyanto 2005), antara lain kurangnya interaksi
antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa
itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam
proses belajar dan mengajar. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek komersial. Proses
belajar dan mengajarnya cenderung
ke arah pelatihan daripada pendidikan. Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai
teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut
mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT.
Kemudian, tidak semua tempat tersedia fasilitas internet dan kurangnya
tenaga yang mengetahui dan memiliki
keterampilan internet.
No comments:
Post a Comment