Indonesia adalah negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia
yang digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah, besar
maupun kecil, yang digunakan oleh para anggota masyarakat. Bahasa daerah itu
digunakan untuk keperluan yang bersifat kedaerahan (Chaer, 2012:65). Salah satu
bahasa daerah yang ada di Indonesia, yaitu bahasa Sunda. Bahasa Sunda adalah
bahasa dari cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. Penutur
bahasa ini berjumlah 38 juta orang dan merupakan bahasa ibu dengan penutur
terbanyak kedua di Indonesia setelah bahasa Jawa. Bahasa Sunda dituturkan
hampir di seluruh Provinsi Jawa Barat dan Banten, melebar hingga wilayah barat
Jawa Tengah mulai dari Kali Brebes (Sungai Cipamali) di wilayah Kabupaten
Brebes sampai ke Kali Serayu (Sungai Ciserayu) di Kabupaten Cilacap, di
sebagian kawasan Jakarta, serta di seluruh Provinsi Indonesia dan luar negeri
yang menjadi daerah urbanisasi suku Sunda.
Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sebelum
mengenal bahasa Indonesia sebagian besar bangsa Indonesia
mempelajari dan menggunakan bahasa daerah dalam interaksi kehidupan
masyarakat. Ucapan dan cara penyampaian ide-ide dipengaruhi kebiasaan yang lazim digunakan oleh masyarakat itu. Bahasa daerah tetap dipelihara oleh negara
sebagai bagian kebudayaan yang hidup.Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua
sedangkan bahasa pertama
adalah bahasa ibu, yaitu bahasa daerah, seperti
bahasa Jawa, Sunda, Aceh, Batak,
Minangkabau, Bali dan masih banyak lagi
yang lain. Dalam realitanya bahasa
daerah sangat berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan bahasa
Indonesia yang kita gunakan.
Pembelajaran bahasa kedua seringkali dihadapkan pada kesulitan- kesulitan
yang ditimbulkan oleh asumsi- asumsi pembelajar yang terbawa dari bahasa pertama
atau bahasa ibu. Hal ini dapat diantisipasi dengan pengontrasan bahasa pertama atau bahasa ibu dengan bahasa kedua agar dapat tergambar hal-hal apa saja yang dapat menjadi
hambatan dalam pembelajaran bahasa kedua.
Pengontrasan bahasa pertama
atau bahasa ibu dengan bahasa kedua dapat dilakukan dengan analisis kontrastif. Analisis Kontrastif (Contrastive Analysis) adalah sebuah metode yang digunakan
dalam mencari suatu perbedaan antara bahasa
pertama (B1) dan bahasa target (B2) yang sering membuat pembelajar bahasa kedua mengalami
kesulitan dalam memahami suatu materi bahasa kedua yang dipelajarinya tersebut. Secara umum memahami pengertian analisis kontrastif dapat
diartikan sebagai semacam
pembahasan atau uraian.
Yang dimaksud dengan pembahasan adalah proses atau cara membahas
yang bertujuan untuk mengetahui sesuatu
dan memungkinkan dapat menemukan inti permasalahannya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dikupas, dikritik. diulas, dan akhirnya disimpulkan untuk dipahami.
Menurut (Pranowo, 1996) Analisis kontrastif sering dipersamakan dengan
istilah linguistik kontrastif. Linguistik kontrastif
adalah suatu cabang ilmu bahasa yang tugasnya
membandingkan secara sinkronis dua bahasa sedemikian rupa sehingga kemiripan
dan perbedaan kedua bahasa itu bisa dilihat. Analisis kontrastif diharapkan dapat mengidentifikasikan perbedaan struktur bahasa pertama dengan bahasa kedua dan memperkirakan kesulitan dan kesalahan berbahasa. Setelah
kedua harapan diatas terpenuhi
diharapkan dengan adanya analisis
kontrastif hambatan- hambatan yang muncul pada pembelajaran bahasa kedua dapat teratasi.
Dalam pembelajaran, ketika siswa berbicara
bahasa ibu terkadang
masih terbawa di kelas, banyak
sekali bunyi-bunyi khas dari bahasa
ibu tidak bisa dihilangkan oleh
seorang siswa. Maka dalam makalah
ini akan dipaparkan beberapa perbedaan segi fonologi atau pengucapan bahasa sunda yang harus diketahui
berbeda dengan bahasa Indonesia. Namun kenyataan yang terjadi, hal
tersebut diianggap tidak penting oleh sebagian
pengajar, sehingga mereka terkadang tidak ingin menganggapnya menjadi hal yang serius.
Fonologi secara etimologi terbentuk
dari kata fon yaitu
bunyi, dan logi yaitu
ilmu. Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan
runtutan bunyi-bunyi bahasa (Chaer, 2007). Menurut hierarki
satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi
dibedakan menjadi fonetik
dan fonemik.
Fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia,
serta bagaimana bunyi itu
dihasilkan. Sedangkan Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi
sebagai pembeda makna (Chaer, 2007).
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala
macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh
alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan, bunyi ujaran yang manakah yang dapat mempunyai
fungsi untuk membedakan arti.
Klasifikasi vokal atau bunyi vokal biasanya
diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal
dan horizontal. Secara vertiakal
dibedakan menjadi vokal tinggi, misal,
bunyi /i/ dan /u/. Vokal tengah misalnya, bunyi /e/
dan / Ə/ dan vokal rendah misalnya /a/. Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan
misal. Bunyi /e/ dan /i/; vokal pusat misalnya bunyi /Ə/; dan vokal belakang
misalnya bunyi /u/ dan /o/. Kemudian menurut
bentuk mulut dibedakan
adanya vokal bundar dan vokal
tak bundar. Disebut vokal bundar karena bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu, misal bunyi vokal /u/ dan /o/. Disebut
vokal tak bundar karena bentuk mulut tidak membundar,
melainkan melebar pada waktu pengucapan vokal misal /e/ dan /i/.
Menurut (Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa,
1983), fonemis dalam bahasa sunda terdiri
dari konsonan dan vokal, distribusi
konsonan dan vokal, serta deretan vokal dan konsonan. Terdapat
tujuh buah vokal dalam bahasa sunda, yaitu: adanya bunyi bersuara dan tidak
bersuara. Bunyi bersuara
terjadi apabila pita suara hanya terbuka sedikit,
sehingga terjadilah getaran
pada pita suara tersebut. Yang termasuk bunyi bersuara antara lain: /b/, /d/,/ a/ [ a], / i/
[ i] , / u/ [ u], / é / [
ε], /o / [ o], / eu/ [ ö], dan / e/ [ c].
Fonemis dalam bahasa sunda terdiri
dari konsonan dan vokal, begitu pula dalam bahasa Indonesia, akan tetapi adapula
perbedaan-perbedaan vokal dan konsonan dari kedua bahasa tersebut. Di bawah
ini dapat dilihat
beberapa perbedaan bahasa sunda dan bahasa Indonesia
berdasarkan distribusi
konsonan dan vokal, serta deretan vokal dan konsonan.
Terdapat tujuh buah vokal dalam
bahasa sunda, yaitu: / a/ [ a], / i/ [ i] ,/ u/ [ u], / é / [ ε], /o / [ o], / eu/ [ ö], dan / e/ [ c], (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa : 1983 ) sedangkan terdapat
lima buah vokal
dalam bahasa Indonesia. Distribusi vokal dalam bahasa Sunda berada pada posisi awal, tengah dan akhir, terkecuali fonem /e/ yang tidak bisa berada pada posisi akhir kata. Walaupun demikian,
pada bahasa Sunda juga terkadang
ditemukan fonem /e/ yang berada di akhir
kata, tetapi biasanya bunyi yang dihasilkan berubahb
menjadi /eu/.
Dari paparan di atas, sangatlah jelas
bahwa kemungkinan deretan vokal bahasa
Sunda ada 29 buah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata yang memiliki dua deretan vokal itu disebut dengan diftong. Diftong dalam bahasa Indonesia
adalah /au/ seperti
pada kerbau dan harimau, /ai/ pada landai dan
cukai. Apabila ada dua vokal yang berurutan,
namun yang pertama terletak pada suku kata yang berlainan dari yang kedua, maka di situ tidak ada diftong. Jadi vokal /au/ dan /ai/ pada kata bau
dan lain bukanlah diftong.
Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan
kerajaan Mataram-Islam,
bahasa Sunda - terutama di wilayah Parahyangan -
mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari
bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar.
Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten,
bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar
kasar) tetap dominan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak ada istilah undak-usuk
bahasa.
Mulanya bahasa Sunda ditulis dengan aksara Sunda.
Aksara Sunda merupakan salah satu aksara berumpun Brahmi yang diturunkan dari aksara Pallawa lewat aksara Kawi, seperti
halnya aksara Jawa.
Bukti-bukti tertulis mengenai evolusi aksara ini muncul di beberapa prasasti
yang ditemukan dari abad ke-10 (era kerajaan Mataram Kuno) hingga abad ke-15 M
pada masa keemasan Kerajaan Pajajaran. Prasasti
yang diyakini merupakan kunci evolusi aksara Sunda adalah Prasasti Batutulis, Prasasti Astana Gede, dan Prasasti Kebantenan.
Kolonialisasi di Nusantara menyebabkan
aksara Sunda kuno menjadi terancam. Bersama dengan keluarnya ultimatum
dari VOC pada tanggal 3 November 1705, aksara Sunda kuno
dan Rikasara Cirebon punah. Setiap orang yang menulis dokumen-dokumen resmi
hanya diperbolehkan menulis aksara Jawa, abjad Pegon, dan alfabet Latin
untuk menuliskan bahasa Jawa dan Sunda. Alfabet Latin sendiri mulai
diintensifkan untuk mentranskripsi karya-karya yang ditulis menggunakan aksara
Sunda Kuno dan Pegon pada abad ke-19 hingga ke-20. Akhirnya bahasa Sunda
ditulis dalam alfabet latin seperti hanya bahasa Indonesia.
Kesimpulan
Berdasaran uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
antara bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda baik sebagai bahasa tulis maupun
sebagai bahasa ucap. Akan tetapi keduanya memiliki persamaan yaitu menggunakan
alfabet latin dan penulisannya. Selain itu ada beberapa kata yang jika
diucapkan akan sama tetapi mengandung makna yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik
Umum, Jakarta: Rineka Cipta
https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Sunda
Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1975.
Kamus Basa Sunda. Bandung:
Tarate.
Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pusat Pembinaan dan Pengembanan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1997. Kosakata Bahasa Sunda dalam Media Masa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Robins, r.h. 1983. Sistem dan Struktur
Bahasa Sunda. Jakarta: IKAPI.
Fraenkel, J. P. & Wallen N. E. (2008). How to design and Evaluate Research
in Education. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.
No comments:
Post a Comment