Orientasi
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi
Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat
waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah
Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakak
ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan
pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat
didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Peristiwa dan Masalah
Sedari kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan
bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang
gedung kepatihan, ia sering memperagakan praktik di sekolah, belajar
baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan
bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu
belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru
berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan
baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh
anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi
anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh
seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika
kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin
menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh
pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi,
meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta
merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu
itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan
semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan
pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah
dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari pernikahannya itu ia memiliki
putra bernama R. Atot, yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub sepak bola
yang merupakan cikal bakal dari Persib Bandung.[butuh rujukan] Suami dari Dewi
Sartika memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di
sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah
merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang
rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya
yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati
R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri
(Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang :
Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.
Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905,
sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon
Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta
bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun
1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di
beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola
oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi
Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota
kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia
ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri
(Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum
memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke
Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota
kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi
Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun,
yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya
dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah
Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11
September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman
sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun
kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Kabupaten Bandung.
Reorientasi
Sudah sepantasnya kita mengenang jasa Dewi Sartika. Semangat
dan jasanya dalam memperjuangkan kaum wanita agar mendapatkan pendidikan tidak
sepantasnya kita lupakan. Semoga dengan apa yang telah dilakukannya,
wanita-wanita Indonesia dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment