2.1 Bermain
A. Teori Bermain
Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu
menunjukkan kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Oleh
karena itu, salah satu prinsip pembelajaran di pendidikan anak usia dini adalah
bermain dan belajar. Adapun beberapa macam teori bermain menurut para ilmuwan
adalah sebagai berikut : Teori-teori bermain banyak
dikemukakan oleh para ilmuwan, seperti :
1). Teori rekreasi
Teori
ini berasal dari Schaller dan Lazarus ilmuwan
dari Jerman yang berpendapat bahwa permainan merupakan kesikuan untuk
menenangkan pikiran atau beristirahat.
2). Teori penglepasan
2). Teori penglepasan
Teori
ini berasal dari Herbert Spencer
ahli piker dari Inggris, mengatakan bahwa dalam diri anak terdapat kelebihan
tenaga. Sewajarnya ia harus mempergunakan tenaga itu melalui kegiatan bermain.
3). Teori atavistis
Teori
ini berasal dari Stanley Hall ahli
psikologi dari Amerika, berpendapat bahwa di dalam perkembangan anak adalah
melalui seluruh taraf kehidupan umat manusia sebelumnya. Atavistis artinya
kembali kepada sifat-sifat nenek moyang di masa lalu.
4). Teori biologis
Teori
ini berasal dari Karl Gross dari Jerman
yang mengatakan bahwa permainan merupakan tugas biologis(hidup atau hayat).
5). Teori
Psikologi dalam
Teori
ini berasal dari Sigmund freud dan Adler.
Menurut Freud, permainan merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat di
daerah bawah sadar, sumbernya berasal dari dorongan nafsu seksual. Menurut Fauzan, M. (2002 : 39-40) Permainan
merupakan bentuk pemuasan dari nafsu seksual yang terdapat dikompleks terdesak.
B. Pentingnya
Bermain Untuk Anak Usia Dini
Bermain merupakan kegiatan yang tidak pernah lepas dari
anak. Keadaan ini menarik minat peneliti sejak abad ke 17 untuk melakukan
penelitian tentang anak dan bermain. Peneliti ingin menunjukkan sejauhmana
bermain berpengaruh terhadap anak, apakah hanya sekedar untuk mendapatkan
pengakuan dan penerimaan sosial atau sekedar untuk mengisi waktu luang.
Pendapat pertama tentang bermain
oleh Plato mencatat bahwa anak akan
lebih mudah memahami aritmatika ketika diajarkan melalui bermain. Pada waktu
itu Plato mengajarkan pengurangan dan penambahan dengan membagikan buah apel
pada masing-masing anak. Kegiatan menghitung lebih dapat dipahami oleh anak
ketika dilakukan sambil bermain dengan buah apel. Eksperimen dan penelitian ini
menunjukkan bahwa anak lebih mampu menerapkan aritmatika dengan bermain
dibandingkan dengan tanpa bermain.
Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada
hubungan yang sangat erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang
akan dilakukan anak dimasa yang akan datang. Menurut Aristoteles, anak perlu
dimotivasi untuk bermain dengan permainan yang akan ditekuni di masa yang akan
datang. Sebagai contoh anak yang bermain balok-balokan, dimasa dewasanya akan
menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka akan menjadi pelukis, dan lain
sebagainya.
Pada abad ke 18 dan awal abad ke 19,
Rousseau dan Pestalozzi mulai
menyadari bahwa pendidikan akan lebih efektif jika disesuaikan dengan minat
anak. Pernyataan ini mendukung Teori
Frobel yang mengatakan bahwa bermain sangat penting dalam belajar. Belajar
berkaitan dengan proses konsentrasi. Orang yang mampu belajar adalah orang yang
mampu memusatkan perhatian. Bermain adalah salah satu cara untuk melatih anak
konsentrasi karena anak mencapai kemampuan maksimal ketika terfokus pada
kegiatan bermain dan bereksplorasi dengan mainan.
Bermain juga dapat membentuk
belajar yang efektif karena dapat memberikan rasa senang sehingga dapat
menimbulkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Motivasi instrinsik
tersebut terlihat dari emosi positif anak yang ditunjukkan melalui rasa ingin
tahu yang besar terhadap kegiatan pembelajaran.
Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak memiliki
energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang mengatakan bahwa anak bermain (melompat,
memanjat, berlari dan lain sebagainya) merupakan manifestasi dari energi yang
ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer
bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang anak yang telah melemah.
Dilanjutkan oleh G Stanley Hall, ia menjabarkan teori
bermain sebagai bentuk evolusi dari kegiatan nenek moyangnya dimasa yang
lampau. Menurut Hall, kegiatan
bermain pada anak menunjukkan pengalaman nenek moyang ras tertentu (pengulangan
perkembangan ras). Sebagai contoh, anak yang suka bermain dengan air maka
diduga bahwa nenek moyang anak tersebut adalah ikan, anak yang suka melakukan
kegiatan memanjat maka diduga bahwa nenek moyang anak tersebut adalah monyet. Teori bermain Hall, sangat dipengaruhi Teori Evolusi Darwin yang pada saat itu
memberikan pembaharuan baru dalam ilmu pengetahuan.
Seorang tokoh Filsafat, Karl Gross mengatakan bahwa anak
bermain untuk mempertahankan kehidupannya. Menurut Gross, awalnya kegiatan
bermain tidak memiliki tujuan namun kemudian memiliki tujuan dan sangat berguna
untuk memperoleh dan melatih keterampilan tertentu dan sangat penting fungsinya
bagi mereka pada saat dewasa kelak, contoh, bayi yang menggerak-gerakkan
tangan, jari, kaki dan berceloteh merupakan kegiatan bermain yang bertujuan
untuk mengembangkan fungsi motorik dan bahasa agar dapat digunakan dimasa
datang.
Sigmund Freud berdasarkan Teori
Psychoanalytic mengatakan bahwa bermain berfungsi untuk
mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara untuk mengurangi kecemasan yang
berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukan berupa bermain
fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama atau pada saat bermain sendiri. Menurut Freud, melalui bermain dan berfantasi
anak dapat mengemukakan harapan-harapan dan konflik serta pengalaman yang tidak
dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, contoh, anak main perang-perangan untuk
mengekspresikan dirinya, anak yang meninju boneka dan pura-pura bertarung untuk
menunjukkan kekesalannya.
Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan
bahwa bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan
otak kanan dan kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta
mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman yang berguna untuk masa datang.
Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang sangat baik untuk
menerima pelajaran.
Berdasarkan kajian tersebut maka
bermain sangat penting bagi anak usia dini karena melalui bermain mengembangkan
aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah aspek fisik, sosial
emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik yaitu melalui
permainan motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar
keseimbangan, kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya.
Adapun dampak jika anak tumbuh dan berkembang dengan fisik dan motorik yang
baik maka anak akan lebih percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki
konsep diri yang positif . Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu
pembentuk aspek sosial emosional anak.
Bermain mengembangkan aspek
sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak mempunyai rasa memiliki,
merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk hidup dan bekerja
sama dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan bermain dalam
kelompok anak juga akan belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan anak
yang lain, belajar untuk menguasai diri dan egonya, belajar menahan diri, mampu
mengatur emosi, dan belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari sisi emosi,
keinginan yang tak terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain
imajinasi dan sosiodrama.
Aspek kognitif berkembang pada
saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan perhatian dan konsentrasinya,
mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen, melatih ingatan,
mengembangkan prespektif, dan mengembangkan kemampuan berbahasa. Konsep abstrak
yang membutuhkan kemampuan kognitif juga terbentuk melalui bermain, dan
menyerap dalam hidup anak sehingga anak mampu memahami dunia disekitarnya
dengan baik.
C. Bermain harus
sesuai dengan tahapan usia anak
Pendidik seharusnya memiliki pemahaman
dan pengetahuan tentang bermain agar dapat mendukung dan menetapkan kegiatan
bermain yang cocok untuk anak. Anak dengan tingkat usia yang berbeda memiliki
minat bermain yang berbeda. Tahapan tersebut dapat diprediksi karena telah
dilakukan penelitian yang panjang pada setiap tahapan usia anak. Tahapan
tersebut secara umum dijabarkan sebagai berikut ;
1. Bayi – Toddler
Bermain lebih fokus pada
keterampilan motorik, pemaksimalan panca indera, kegiatan eksplorasi objek,
banyak melakukan gerakan sederhana, gerakan dilakukan tidak bertujuan dan dilakukan
berulang-ulang, tidak ada atau belum ada komunikasi, melakukan aktivitas yang
sama namun tidak berhubungan dengan anak lain, konsentrasi bermain hanya dengan
mainannya sendiri, dan belum mengenal konsep peraturan.
2. Anak-anak awal – akhir
Pada usia ini anak sudah mulai menunjukkan minat untuk
bermain dengan anak lain, sering saling bertukar mainan, sama-sama belajar
dengan anak lain untuk membuat peraturan dan bermain dengan peraturan, belajar
untuk bekerja sama dalam satu aktivitas, sudah mampu membangun dan menciptakan
sesuatu dengan benda, tujuan bermain adalah untuk memperoleh kepuasan pribadi,
jika melakukan kegiatan bermain sambil bertanding, anak belum ada keinginan
untuk menang, dan anak belajar untuk berhitung, membaca, menulis (kemampuan
dasar akademik).
3. Sekolah dasar
Pada tahap bermain ini, anak sangat tertarik untuk
melakukan kegiatan eksplorasi dan menciptakan mainannya sendiri (berkreasi),
mulai menyukai kegiatan bermain yang menggunakan angka dan kode-kode rahasia,
mulai menunjukkan siapa dirinya, keahliannya, talenta dan kemampuannya, sudah
mulai memahami makna kata, huruf dan angka, sudah mampu membangun konsep
kerjasama dan sudah mengenal rasa bersaing.
4. Memasuki remaja awal
Tahapan bermain memasuki remaja awal yaitu banyak bermain
dengan permainan teratur dan terstruktur, bermain dengan peraturan (sport),
memiliki motivaasi bermain untuk memperoleh kemenangan (menang berarti mampu
mengikuti peraturan), kegiatan terfokus/minat pada kelompok, dan anak belajar
untuk memahami lingkungan sosial.
D. Peran bermain dalam belajar dan perkembangan
Salah satu cara anak mendapatkan informasi adalah melalui
bermain. Bermain memberikan motivasi instrinsik pada anak yang dimunculkan
melalui emosi positif. Emosi positif yang terlihat dari rasa ingin tahu anak
meningkatkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Hal ini ditunjukkan dengan
perhatian anak terhadap tugas. Emosi negative
seperti rasa takut, intimidasi dan stress, secara umum merusak motivasi anak
untuk belajar. Rasa ingin tahu yang besar, mampu berpikir fleksibel dan kreatif
merupakan indikasi umum anak sudah memiliki keinginan untuk belajar. Secara
tidak langsung bermain sangat berpengaruh terhadap keberhasilan anak untuk
belajar dan mencapai sukses. Hal ini sesuai dengan teori bermain yang
dikemukakan oleh James Sully, bahwa
bermain berkait erat dengan rasa senang pada saat melakukan kegiatan (Christianti, 2007:1)
Aktifitas bermain yang belajar memberikan jalan majemuk
pada anak untuk melatih dan belajar berbagai macam keahlian dan konsep yang
berbeda. Anak merasa mampu dan sukses jika anak aktif dan mampu melakukan suatu
kegiatan yang menantang dan kompleks yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
Oleh karena itu pendidik seharusnya memberikan materi yang sesaui, lingkungan
belajar yang kondusif, tantangan, dan memberikan masukan pada anak untuk
menuntun anak dalam menerapkan teori dan melakukan teori tersebut dalam
kegiatan praktek.
E. Ciri Utama Bermain
Pentingnya arti bermain bagi anak mendorong seorang tokoh
psikologi dan filsafat terkenal Johan
Huizinga untuk ikut merumuskan teori bermain. Ia mengemukakan bahwa bermain
adalah hal dasar yang membedakan manusia dengan hewan. Melalui kegiatan bermain
tersebut terpancar kebudayaan suatu bangsa. Namun beberapa orang tidak dapat
membedakan kegiatan bermain dengan kegiatan tidak bermain. Pendidikan
prasekolah yang menerapkan prinsip pendidikan anak dengan belajar yang bermain,
mengalami kerancuan dalam makna. Untuk itu perlu diklasifikasikan antara
kegiatan bermain dengan kegiatan yang bukan bermain. Menurut Rubin, Fein, & Vandenverg dalam Hughes
ada 5 ciri utama bermain yang dapat mengidentifikasikan kegiatan bermain dan
yang bukan bermain :
1. Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri anak. Anak
akan melakukannya apabila hal itu memang betul-betul memuaskan dirinya. Bukan
untuk mendapatkan hadiah atau karena diperintahkan oleh orang lain.
2. Bermain dipilih secara bebas oleh anak. Jika seorang anak
dipaksa untuk bermain, sekalipun mungkin dilakukan dengan cara yang halus, maka
aktivitas itu bukan lagi merupakan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang
ditugaskan oleh guru TK kepada murid-muridnya, cenderung akan dilakukan oleh
anak sebagai suatu pekerjaan, bukan sebagai bermain. Kegiatan tersebut dapat
disebut bermain jika anak diberi kebebasan sendiri untuk memilih aktivitasnya.
- Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan.
Anak merasa gembira dan bahagia dalam melakukan aktivitas bermain
tersebut, tidak menjadi tegang atau stress. Biasanya ditandai dengan
tertawa dan komunikasi yang hidup.
- Bermain tidak selalu harus menggambarkan hal yang
sebenarnya. Khususnya pada anak usia prasekolah sering dikaitkan dengan
fantasi atau imajinasi mereka. Anak mampu membangun suatu dunia yang
terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada, sesuai dengan mimpi-mimpi
indah serta kreativitas mereka yang kaya.
- Bermain senantiasa melibatkan peran aktif anak, baik
secara fisik, psikologis, maupun keduanya sekaligus.
F. Yang dapat dilakukan oleh pendidik
Adapun upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk
menghargai arti bermain itu adalah dengan memberikan pengalaman dan kesempatan
aktivitas bermain pada anak. Bermain tanpa dibatasi dengan waktu dan peraturan
bermain membuat anak punya banyak waktu untuk eksplorasi sendiri serta
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Untuk upaya tindakan protektif kepada anak, pendidik
dapat memberikan kenyamanan dan lingkungan yang mendukung untuk bermain dan
merancang lingkungan bermain outdoor.
Adapun tujuannya adalah agar kebebasan anak ketika bermain tidak terganggu
dengan lingkungan yang membahayakan. Anak dapat memilih mainan apapun dan
bermain dengan bebas tanpa takut cedera. Pendidik juga dapat merencanakan
kurikulum dengan seksama, menanggapi anak pada saat bermain, peduli akan
kebutuhan anak, mengobservasi anak pada saat bermain spontan dan tahu kapan
saatnya pendidik memberikan bantuan, mengontrol tingkah laku anak dan membantu
anak mengungkapkan perasaan melalui verbal pada saat bermain.
Anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Dorongan alamiah
anak adalah bermain. Beberapa manfaat diperoleh dari kegiatan bermain yaitu
dapat mengembangkan aspek perkembangan anak. Tahapan perkembangan anak juga
dapat menjadi ciri dalam kegiatan bermain anak, sehingga kegiatan bermain dapat
diprediksi dan dijadikan acuan dalam perkembangan anak. Ketika pentingnya
bermain dapat dipahami oleh pendidik maka pendidik dapat mengupayakan kegiatan
bermain menjadi lebih utama dalam kegiatan belajar untuk anak. Upaya lain yang
dapat dilakukan pendidik adalah dengan merancang lingkungan yang kondusif untuk
anak bermain, dan menjadi fasilitator serta motivator untuk anak ketika anak
sedang bermain.
2.2 Kartu
Bilangan
Permainan
ini dirancang sebagai permainan berkelompok. masing-masing anggota kelompok
diberi kartu yang beruliskan bilangan ratusan secara acak. Setelah itu mereka
disuruh untuk membuat formasi barisan berdasarkan urutan yang dikehendaki,
mulai dari yang terkecil atau mulai dari yang terbesar secepat mungkin.
Kelompok yang bisa menyusun barisan paling cepat sesuai urutan menjadi
pemenang. Demi keleluasaan bermain, sangat disarankan permainan ini dilakukan
di luar ruangan.
Kartu bisa dibuat dari kertas
yang tidak terpakai, bisa dari bahan bekas kartun minuman yang dipotong dengan
ukuran sama. Misalnya ukuran 12 cm X 17 cm. Menentukan ukuran kartu
bilangan cukup kita perhitungkan bahwa kartu tersebut jika ditulisi bilangan
ratusan, masih bisa terbaca jelas dalam jarak 5-7 meter. Biaya yang dikeluarkan
untuk media ini cukup sebuah gunting ukuran sedang serta 2 atau 3 spidol besar
baik yang permanen atau board maker. Murid murid dalam permainan ini secara
tidak langsung juga belajar bekerja sama dalam kelompok dan bagaimana
mengembangkan komunikasi yang efektif dalam kelompok mereka. Permainan ini juga
bisa dimodifikasi menjadi sebuah permainan bisu atau permainan buta. Pada
permainan bisu, mereka dilarang meneriakkan angka mereka, hanya boleh
menunjukkan angka pada kartu mereka.
Sebaliknya
pada permainan buta mereka tidak boleh menunjukkan angka pada kartu mereka
namun boleh meneriakkannya. Dengan modifikasi ini mereka bisa belajar, proses
komunikasi mana yang lebih efektif, meneriakkan nomor yang ada pada kartunya
atau menunjukkan kartunya sambil memperhatikan kartu teman sekelompoknya.
Modifikasi ini juga mengaktifkan secara serentak semua panca indra murid dan
saraf motorik mereka. Dengan demikian konsep makna angka yang mereka pegang
pada kartunya lebih dipahami murid. Murid bisa membaca angka pada kartu, tahu
bagaimana bentuk tulisannya dan yang terpenting mengerti maknanya.
A.
Bermain
Kartu Bilangan
Kartu bilangan
adalah kartu yang memuat satuan matematika yang akrab dan dapat diunitkan,
ditambah, atau dikalikan. (KBBI,
2001:510)
Jadi pengertian
bermain kartu bilangan adalah melakukan suatu pekerjaan yang menyenangkan
dengan menggunakan kartu yang memuat satuan matematika yang akrab dan dapat
diunitkan, ditambah, atau dikalikan. Hal ini
dapat merangsang rasa keingintahuan anak agar anak dapat belajar sambil
bermain dengan menggunakan kartu bilangan.
Dalam
bermain kartu bilangan hendaknya dibimbing oleh
pengajar yang notabene adalah orang-orang yang telah mendapat pendidikan
anak usia dini, sedangkan dalam pendidikan non formal, pengajarnya bukanlah
selalu orang yang berlatar pendidikan guru. Pembelajaran di Taman Kanak-kanak
lebih banyak difokuskan pada bidang dasar (basic), yaitu membaca, menulis, dan
berhitung yang dikenal dengan “Three Rs” (Tiga R), yaitu Reading,
Writing, dan Aritmathic. Istilah “Back to Basic” yang sering
didengar tidak lain merupakan istilah “Tiga R” tersebut, yang artinya
mengembalikan fokus pembelajaran di Taman Kanak-kanak atau Sekolah Dasar kelas
awal kearah kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Di Indonesia “Tiga R”
dikenal dengan istilah “calistung”, yaitu membaca, menulis, dan berhitung.
Kegiatan pembelajaran di Taman Kanak-kanak tidak sekedar untuk mengembangkan
“Tiga R”, tetapi untuk mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak, terutama
aspek kognitif. Di samping itu matematika juga berfungsi untuk mengembangkan
kecerdasan anak, khususnya kecerdasan yang oleh Gardner (Hidayat, 2003:55) disebut Logico-mathematics.
Kecerdasan Logico-mathematics menyangkut kemampuan seseorang menggunakan
bilangan, operasi bilangan dan silogisme. Matematika atau berhitung merupakan
hal yang akrab dalam kehidupan manusia. Setiap hari, bahkan setiap menit orang
menggunakan matematika. Belanja, menghitung benda, waktu, tempat, jarak, dan
kecepatan merupakan fungsi matematis.
Memahami
grafik, tabel, berat, dan volume juga merupakan fungsi matematika. Dengan kata
lain matematika sangat penting bagi kehidupan kita. Pada proses perkembangan
pada anak usia dini, pada mulanya anak tidak tahu bilangan, angka dan operasi
bilangan matematis. Secara bertahap sesuai perkembangan mentalnya anak belajar
membilang, mengenal angka dan berhitung. Anak belajar menghubungkan objek nyata
dengan simbol-simbol matematika. Sebagai contoh, sebuah jeruk diberi simbol
angka “1” dan dua buah jeruk diberi simbol dengan angka “2”. Demikian pula
simbol “+” yang berarti dijumlah dan simbol “-“ yang berarti dikurangi.
2.3. Perkembangan
Kognitif
Perkembangan
kognitif adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan
pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan
bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. Menurut Myers (1996), “cognition refers to
all the mental activities associated with thinking, knowing, and remembering.”
Pengertian yang hapir senada juga diberkan oleh Margaret W. Matlin (1994),
yaitu : “cognition, or mental activity, involves the acquisition, storage,
retrieval, and use of knowledge.” Dalam Dictionary Of Psychology karya
Drever, dijelaskan bahwa “kognisi adalah istilah umum yang mencakup segenap
model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan
makna, penilaian dan penalaran”
Dari beberapa pengertian diatas maka
dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah sebuah istilah yang menunjuk
pada semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, imajinasi,
penangkapan makna, penilaian dan penalaran, pengolahan informasi, memecahkan
masalah serta berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan
lingkungannya.
1). Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget
menjabat sebagai profesor psikologi di Universitas Geneva dari 1929 hingga 1975
dan ia paling terkenal karena menyusun kembali teori perkembangan kognitif ke
dalam serangkaian tahap, memperluas karya sebelumnya dari James Mark Baldwin, menjadi empat tahap perkembangan yang lebih
kurang sama dengan (1) masa infancy,
(2) pra-sekolah, (3) anak-anak, dan (4) remaja. Masing-masing tahap ini
dicirikan oleh struktur kognitif umum yang mempengaruhi semua pemikiran si anak
(suatu pandangan strukturalis yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant). Masing-masing tahap mewakili pemahaman sang
anak tentang realitas pada masa itu, dan masing-masing kecuali yang terakhir
adalah suatu perkiraan (approximation)
tentang realitas yang tidak memadai. Jadi, perkembangan dari satu tahap ke
tahap yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman sang
anak tentang lingkungan nya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu
tingkat ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur
pemikiran. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget)
Keempat tahap perkembangan itu
digambarkan dalam teori Piaget sebagai berikut
1. Tahap
sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui
gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
2. Tahap pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun
(mulai memiliki kecakapan
motorik)
3. Tahap
operasional konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir
secara logis tentang kejadian-kejadian
konkret)
4. Tahap
operasional formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).(http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget)
Secara kualitatif perkembangan dari
masing-masing tahapan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget untuk usia
anak-anak, maksudnya adalah :
a). Tahap Sensori-Motor (0-2).
a). Tahap Sensori-Motor (0-2).
Pada tahap ini Inteligensi sensori-motor
dipandang sebagai inteligensi praktis
(practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap
lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat.
Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan
inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi pondasi tipe-tipe inteligensi
tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak belum
mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat,
tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya
benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah kemampuan object permanence
anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.
b). Tahap
Pra Operasional (2–7).
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan
sempurna tentang object permanence.
Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda
yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau
sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap
eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor,
yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai
oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk
mengembangkan diferred-imitation, insight
learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar
serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.
2) Kemampuan Matematika
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan
keterampilan kognitif, tetapi pada kesempatan ini penulis lebih mengspesifikasikan
kepada keterampilan matematika siswa Taman Kanak-kanak. Guru TK diharapkan
dapat membantu anak didik dalam menemukan dan menyerap konsep-konsep dasar
dalam matematika sebagai persiapan anak untuk masuk sekolah.
Menurut Piaget (Hidayat, 2003 : 31), pengenalan
matematika sebaiknya dilakukan melalui penggunaan benda-benda konkret dan
pembiasaan penggunaan matematika agar anak dapat memahami matematika, seperti
berhitung, bilangan, dan operasi bilangan.
Sebagai contoh,
mengingatkan anak tentang tanggal hari ini dan menuliskannya di papan tulis
akan melatih anak mengenal bilangan.
Pada
dasarnya setiap anak dianugerahi kecerdasan matematika Psikolog pendidikan dari
Fakultas Psikologi UI, Gagan Hartana M.
Psi (Hidayat, 2003:100), mengatakan bahwa kecerdasan matematika diartikan
kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan matematika
sebagai pemecahan masalahnya. Misalnya, saat menanam kecambah kacang hijau, di
hari pertama anak melihat kecambah tumbuh, anak dengan kecerdasan matematika
akan menebak kecambah akan tumbuh lebih tinggi tanpa melihat kelanjutan
pertumbuhannya. Anak menghadapi masalah yang dasar penyelesainnya membutuhkan
kemampuan matematika dan mampu berpikir abstrak.
Menurut
Linda dan Bruce Campbell, penulis
buku Teaching and Learning Through
Multiple Intelligences, inteligensi
(Hidayat, 2003: 105) logika matematika biasanya dikaitkan dengan otak yang
melibatkan beberapa komponen, yaitu perhitungan secara matematis, berpikir
logis, pemecahan masalah, pertimbangan induktif (penjabaran ilmiah dari umum ke khusus), pertimbangan deduktif (penjabaran ilmiah secara khusus ke
umum), dan ketajaman pola-pola serta hubungan-hubungan. Intinya, anak bekerja
dengan pola abstrak serta mampu berpikir logis dan argumentatif.
Anak
dengan kemampuan ini akan senang berkutat dengan rumus dan pola-pola abstrak.
Tapi tak hanya pada bilangan matematika, juga meningkat pada kegiatan yang
bersifat analitis, dan konseptual. Hal ini ditegaskan Howard Gardner penulis
buku Multiple Intelligences, The
Theory in Practice (Hidayat 115), mengatakan bahwa ada kaitan logika
matematika dengan kecerdasan linguistik. Pada kemampuan matematika anak
menganalisa atau menjabarkan alasan logis, serta kemampuan mengkonstruksi
solusi dari persoalan yang timbul. Kecerdasan linguistik diperlukan untuk
merunutkan dan menjabarkannya dalam bentuk bahasa.
Gardner memaparkan ciri anak cerdas
matematika, pada usia balita, anak gemar bereksplorasi untuk memenuhi rasa ingin
tahunya seperti menjelajah setiap sudut, mengamati benda-benda yang unik
baginya. Selain itu, anak juga hobi mengutak-atik benda serta melakukan uji
coba. Seperti, bagaimana jika kakiku masuk ke dalam ember penuh berisi air atau
penasaran menyusun puzzle.
Gardner (Hidayat, 2003: 120) mengatakan,
Number Sense bisa dimulai sejak anak
masih dalam kandungan. Ketika sedang berhitung Anda bisa mengajak calon bayi
berbicara atau berkomunikasi. Pada anak yang kecerdasannya tinggi bisa
menyelesaikan persoalan matematika lebih cepat. Strategi memecahkan masalah
soal matematika ialah dengan memberikan banyak stimulasi dan diwujudkan dalam
keseharian, misalnya menghitung jumlah mobil sedan yang lewat selama 1 menit.
Belajar yang sangat baik
untuk membantu anak didik dalam menemukan dan menyerap konsep-konsep dasar
matematika adalah melalui pengamatan, yakni mengobservasikan langsung peristiwa
dengan benda-benda konkret. Pengamatan melibatkan penguasaan semua panca
indera, tetapi unsur yang terpenting dari panca indera adalah penglihatan.
Karena itu pengamatan biasanya diartikan sebagai kemampuan untuk melihat dan
mengerti secara cepat. Misalnya anak dapat menyebutkan urutan bilangan dari 1
sampai 10 dengan menggunakan alat atau media yang konkret seperti kartu bilangan.
Setelah memperoleh gambaran tentang ruang lingkup dasar matematika, maka
diharapkan guru atau pembimbing dapat menerapkan konsep-konsep matematika yang
dapat diajarkan di Taman Kanak-Kanak seperti :
· Menyebutkan urutan bilangan
· Membilang (mengenakan konsep bilangan) dengan
benda-benda.
· Menghubungkan konsep bilangan dengan lambang bilangan
(anak tidak disuruh menulis)
· Mengenal konsep bilangan sama dan tidak sama, lebih
kurang, banyak sedikit, dll.
· Mengenal lambang bilangan atau angka (anak tidak disuruh untuk
menulis)
Sesuai dengan GBPKB TK, kemampuan matematika anak usia
dini bertujuan anak didik mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya
dan anak didik mampu menghubungkan pengetahuan yang sudah diketahui dengan
pengetahuan baru yang diperolehnya. Adapun ruang lingkup yang diharapkan adalah
sebagai berikut :
· Anak mempunyai konsep bilangan dan hitungan.
· Anak mengenal hubungan antara angka dan bilangan
· Anak memiliki kemampuan melihat hubungan antara tulisan
dan suara
· Anak memiliki koordinasi otot-otot mata dan motorik
tangan
· Anak mempunyai kemauan untuk mengenal kalimat-kalimat
tertulis
· Intelegensi anak berkembang dengan baik
· Merangsang kepekaan untuk belajar berhitung.
· Memiliki keterampilan koordinasi motorik tangan, mata dan
pikiran yang baik yang diperlukan untuk membaca dan menulis.
Menurut pengamatan Dienes
(Ruseffendi, 2006:156) anak-anak yang menyenangi matematika hanya pada
permulaan mereka yang berkenalan dengan matematika yang sederhana. Yang
dimaksud oleh Dienes dengan konsep
tersebut adalah struktur matematika yang terdiri dari konsep murni matematika,
konsep notasi dan konsep terapan. Ada beberapa alasan anak harus diberi
beraneka ragam materi konkret sebagai model (representasi) dari konsep tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Dengan melihat berbagai contoh konkret siswa
akan mendapatkan penghayatan yang lebih benar.
b. Dengan banyaknya contoh itu siswa akan lebih
banyak menerapkan konsep ke dalam situasi yang lain.
Dienes berpendapat bahwa ada enam tahap
dalam belajar dan mengajarkan konsep matematika kepada siswa. Tahap-tahap itu ialah bermain bebas, permainan,
penelaahan sifat bersama, representasi, penyimbulan, dan pemformalan. Dalam hal
mengajarkan matematika pada tingkat Taman Kanak-Kanak, yang akan penulis bahas
sebatas pada tahap bermain bebas dan permainan saja mengingat prinsip
pembelajaran di Taman Kanak-Kanak yaitu belajar sambil bermain.
Bermain bebas
adalah tahap permulaan anak-anak belajar matematika. Anak-anak beremain dengan
benda-benda konkret model matematika. Mereka belajar bebas, tidak diatur dan
tidak diarahkan. Siswa belajar konsep matematika dengan memanipulasikan
benda-benda konkret. Melalui benda-benda konkret model matematika, secara tidak
sengaja siswa berkenalan dengan konsep matematika melalui model matematika
tersebut.
Setelah tahap
bermain bebas, tahap yang kedua adalah tahap permainan. Pada tahap ini siswa
mulai memahami pola, sifat kesamaan dan ketidaksamaan. Keteraturan dan
ketidakteraturan suatu konsep disajikan oleh benda-benda konkret model matematika.
Melalui permainan matematika ini akan tertanam dalam benak siswa bahwa
matematika itu menyenangkan. Dalam hal ini penulis mencobakan menggunakan model
atau media dengan bermain kartu bilangan.
Pada
pengembangan kecakapan aritmatika model Montessori.
Latihan sensori sangat penting dalam mempelajari dasar-dasar aritmatika. Metode
Montessori mempunyai materi-materi yang sangat banyak untuk tujuan tersebut
sehingga memungkinkan siswa menjadi sangat akrab dengan angka-angka pada tahun
awal pada saat mereka sangat rensponsif pada pengalaman ini. Ciri fundamental
sistem angka tersebut adalah sistem bilangan desimal karena pada usia lima
tahun sudah mengenal hitung puluhan maka materi sensori awal latihan dibatasi
sampai hitungan sepuluh sampai siswa memperoleh pengetahuan melalui unit-unit
tersebut.
2.4 Implementasi atau Hubungan antara Bermain Kartu
Bilangan dengan Kemampuan Keterampilan Kognitif
(Matematika) Siswa
Langkah-Langkah
Dalam Mengimplementasikan Bermain
Kartu Bilangan dengan Kemampuan Keterampilan Kognitif (Matematika) Siswa adalah sebagai berikut :
1. Melakukan identifikasi (need assessment)
kebutuhan pengembangan Kemampuan Keterampilan
Kognitif (Matematika) Siswa dengan cara :
a. Survey lapangan, untuk melihat dan
memahami potensi dan minat anak berdasarkan usia, karakteristik kehidupan dalam
keluarga (orang tua) dan potensi lingkungan sekitar.
b. Studi referensi, mengakaji dan memahami
perkembangan anak usia dini dan kurikulum Taman Kanak-Kanak, dan
menginventarisir bahan-bahan kartu bilangan yang sudah ada dan telah apakah
sudah sesaui dengan kurikulum.
2. Analisis data dan inventarisir prioritas
kebutuhan permainan
kartu bilangan yang akan dijadikan alat pembelajaran yang sesuai denga kriteria anak usia dini.
kartu bilangan yang akan dijadikan alat pembelajaran yang sesuai denga kriteria anak usia dini.
3. Menetukan jenis kartu bilangan yang akan
dibuat atau dikembangkan
serta mendiskusikan hasil identifiksi untuk menentukan jenis kartu bilangan yang akan dibuat, dikembangkan dengan cara mengadaptasi, memodifikasi, membuat baru yang mengacu pada karakteristik perkembangan kognitifnya dan kebutuhan bermain anak.
serta mendiskusikan hasil identifiksi untuk menentukan jenis kartu bilangan yang akan dibuat, dikembangkan dengan cara mengadaptasi, memodifikasi, membuat baru yang mengacu pada karakteristik perkembangan kognitifnya dan kebutuhan bermain anak.
4. Membuat rancangan bermain kartu bilangan
untuk memudahkan dalam membuat dan mengembangkan kemampuan kognitif siswa.
5. Membuat kartu bilangan dengan formulasi
permainan dan sesuai dengan standar alat permainan edukatif yang mengacu pada
rancangan yang sudah ditentukan.
6. Uji coba kartu bilangan, kegiatan ini
menguji cobakan kartu bilangan yang
sudah dibuat dilakukan secara terbatas, langsung diterapkan pada sasaran
pengguna untuk melihat, kesesuaian, kemudahan, dan kemenarikan permainan dan
alat permainan edukatif berdasarkan pada kurikulum dan karakteristik anaka
termasuk perkembangan kognitifnya.
7. Revisi melakukan pertemuan sesama tim
pendidik untuk menelaah analisis hasil uji coba di lapangan dan melakukan
diskusi tentang hal-hal yang perlu diperbaiki kartu bilangan yang sudah dibuat.
8. Master kartu bilangan penyempurnaan kartu
bilangan menjadi Master kartu bilangan berdasarkan hasil masukan dan uji coba.
Contoh
Implementasi Bermain Kartu
Bilangan dengan Kemampuan Keterampilan Kognitif
(Matematika) Siswa beberapa uraian di atas
tentang kemampuan kognitif dan juga tentang bermain kertu bilangan sebagai alat
permainan edukatif dapat memberi pandangan kepada guru atau orang tua agar
dalam menerapkan pembelajaran sambil bermain, benar-benar harus memperhatikan
kondisi perkembangan kognitif anak. Dengan kata lain, Contoh implementasi teori
Bermain Kartu Bilangan dengan Kemampuan Keterampilan Kognitif (Matematika) Siswa
adalah sebagai berikut :
1. Umur 3-4 tahun.
Pada
umur tiga tahun, anak lebih terfokus pada dirinya sendiri. Mereka berusaha
menyenangkan orang-orang dewasa disekitarnya dan menunjukkan kemandirian yang
lebih besar. Perbendaharaan kalimat katanya meningkat dan mulai tertarik untuk
membuat kalimat-kalimat sendiri. Mereka mengerti penjelasan sederhana dan
memberi alasan dengan tepat. Permainan menebak dan memasangkan yang sederhana
sangat disukainya karena mereka mulai menyukai tantangan. Mereka mengerti
konsep angka yang sederhana, misalnya, dua dan tiga. Permainan seperti mencari
gambar yang sama, bermain kuda-kudaan dan bermain
mur dan baut.
2. Umur 4-5 tahun
Anak
pada umur empat tahun dapat melakukan lebih banyak hal lagi. Ia lebih
berkembang secara sosial, mental, dan fisik. Interaksi dengan teman sebayanya
akan mendukung perkembangannya. Mereka senang mengamati perbedaan dan persamaan
di gambar, warna, bentuk, ukuran, huruf dan angka. Perkembangan koordinasi
keterampilan tangannya juga meningkat pesat, dan mereka berkembang menunjukkan
minat pada berbagai aktivitas yang secara alamiah dapat menggerakkan koordinasi
dan kontrol otot-otot halus. Koordinasi otot-otot besar juga berkembang dengan
baik, meski beberapa anak masih kesulitan dengan bermain melempar bola,
menendang, melompat keseimbagan tubuh. Permainan yang sesuai pada tahap ini
seperti bermain dengan betuk, bermain kotak rupa-rupa, bermain huruf, bermain
memberi nama, dan bermain puzzle, melompati jarak.
3. Umur 5-6 tahun
Anak
usia 4-6 tahun dapat diajar berpikir kritis dalam berbagai area, yaitu: seni
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan, dan ilmu sosial. Anak dapat mulai
diajarkan keterampilan observasi dasar, seperti mengamati kelompok untuk
mencari tahu apa yang membuat kelompok terbentuk. Lewat pengamatan, anak juga
dapat diajak memahami apa itu bunyi, udara, air, cahaya, suhu, tanah, serta
berbagai kayu dan logam. Dalam melakukan observasi anak dapat diperlengkapi
dengan alat bantu seperti kaca pembesar, alat pengukur suhu dan sebagainya.
Mereka dapat diberi tugas yang derajat kesulitannya bervariasi: dari mulai
mencocokkan nama yang terdapat dalam daftar dengan stimulus tertentu (teman,
bunyi, cahaya, dan lain-lain) yang ditampilkan oleh fasilitator, sampai ke
menjelaskan karakteristik dari hal yang diamatinya, bahkan menjelaskan hubungan
hal-hal itu dengan manusia. Anak juga dapat belajar berpikir kritis dari
pengandaian-pengandaian. Anak diminta mengandaikan kejadian yang mungkin
terjadi meskipun belum pernah terjadi dalam keseharian mereka. Misalnya mereka
diminta untuk membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada air, atau bayangkan
jika tak ada cahaya. Anak juga dapat diajak untuk menemukan
kemungkinan-kemungkinan baru. Contohnya, minta anak untuk mencari cara lain
untuk menulis selain menggunakan ballpoint atau pensil. Atau anak diminta mencari
kegunaan lain dari suatu benda. Anak dapat diajarkan untuk menemukan
kesalahan-kesalahan dari keseharian dengan menggunakan gambar. Contohnya kepada
anak ditunjukkan benda tertentu yang kurang lengkap, lalu minta mereka
menemukan lima kesalahan dari gambar itu. Atau kepada anak ditunjukkan gambar
orang membuang sampah dan ditanya apa yang salah dengan orang dalam gambar itu,
mengapa salah dan bagaimana seharusnya.
2.5 Hakikat Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak
Taman
Kanak-Kanak (TK) memiliki tujuan-tujuan instrumental dan instrinsik. Secara
instrumental, Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan
prasekolah yang bertujuan membantu perkembangan anak sebelum pendidikan dasar.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 27/1990 tentang Pendidikan Dasar Prasekolah
(yang masih berlaku saat ini) dinyatakan :
“Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan
keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur
pendidikan prasekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah.
Bentuk satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman
Kanak-kanak, Kelompok Bermain, Penitipan anak, dan bentuk lain yang ditetapkan
oleh menteri.
Pendidikan prasekolah bertujuan untuk membantu meletakan
dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan,dan daya cipta yang diperlukan
oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dalam lingkungannya. Dan untuk
pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya”.
Untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut disiapakan susunan program kegiatan anak dalam
memasuki Sekolah Dasar (SD), yang meliputi kesiapan belajar anak yang berisi
kesiapan fisik, intelektual, emosional dan sosial. Hal ini menempatkan TK
sebagai jembatan antara rumah atau keluarga dengan sekolah.
Hal ini
terjadi karena lingkungan keluarga dan sekolah adalah dunia yang berbeda.
Berbagai penyesuaian baru dituntut di SD, terutama ketika anak mulai mamasuki
pendidikan dasar. Jadi pengalaman anak-anak di TK berfungsi sebagai jembatan
antara rumah dan sekolah. TK mengemban misi untuk menciptakan kesinambungan
pengalaman antara dunia anak-anak dalam keluarga dengan kehidupan dan tuntutan
belajar di SD.
Dengan
demikian pendidikan TK menjadi instrumental bagi pendidikan di SD dan jenjang
pendidikan selanjutnya. Dasar-dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
diletakkan pada usia pendidikan pra sekolah bukan hanya berpengaruh pada
tingkat SD, melainkan sepanjang hayat.
Pendidikan
TK juga mengandung tujuan instrinsik yakni membantu perkembangan anak sejak
usia dini agar tumbuh dan berkembang
secara wajar sebagai anak dalam aspek-aspek fisik, keterampilan, pengetahuan,
sikap dan perilaku sosial. Dimensi intrinsik itulah justru yang amat penting
dan lebih mendasar dalam pendidikan TK.
Filosofi
yang mendasari setiap proses pendidikan termasuk di TK bahwa anak adalah
sentral dari seluruh proses pendidikan. Nilai esensi dari segala proses
pendidikan tersebut adalah mengantarkan anak agar tumbuh dan berkembang menuju
kematangan, kemandirian dan kedewasaan.
Syarat utama
agar pendidikan sekolah berhasil ialah anak harus siap untuk belajar dan
sekolahpun harus siap pula untuk mendidik anak dengan baik. Kesiapan belajar
anak meliputi kesiapan fisik, intelektual atau mental, dan sosial. Dalam hal
ini, anak harus memasuki masa peka. Masa peka adalah masa prima untuk menguasai
kepandaian tertentu yang muncul dari diri anak dalam melatih suatu fungsi atau
kesangguapan tertentu pada dirinya. Misalnya masa untuk belajar berjalan,
bicara, dan mengenal angka serta huruf. Masa peka ditandai dengan adanya suatu
hal yang penting agar diperhatikan untuk memupuk kemampuan-kemampuan dan bakat
pada anak.
Kemunculan
masa peka pada setiap anak berbeda-beda, karena pada masa perkembangan otak
anak mengenal suatu proses yang disebut “gunakan atau baikan”. Perkembangan
otak anak tidak berjalan secara linear, tetapi semua bagian dari otak dapat
distimulasi pada saat yang bersamaan. Dengan demikian, setiap otak dapat
diperhitungkan perkembangannya sehingga dapat ditemukan atau diperkirakan masa
peka anak untuk menguasai kepandaian tertentu. Masa-masa peka untuk mempelajari
kecerdasan tertentu ini disebut dengan jendela kesempatan atau window of
opportunity (Rilantono dalam buletin “Dadu”, 2002: 33).
Ciri-ciri
masa peka ini dapat dilihat pada hal-hal berikut ini,
1.
Adanya
perubahan perilaku (secara psikologi).
2.
Timbul
minat pada dirinya, misalnya senang memperhatikan angka, dapat disimpulkan masa
pekanya untuk mengenal angka sudah tiba. Senang coret-coret maka dapat
disimpulkan bahwa masa pekanya untuk belajar menulis sudah tiba.
3.
Tergantung
atau dipengaruhi oleh pembawaan dan mileu tempat anak itu hidup serta
pendidikan yang diberikan kepadanya.
A.
Fungsi Pendidikan di Taman
Kanak-Kanak
Menurut kurikulum TK adapun fungsi pendidikan di Taman Kanak-Kanak
adalah sebagai berikut:
a. Mengenalkan
peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak.
b. Mengenalkan anak
dengan dunia sekitar.
c. Menumbuhkan sikap
dan perilaku yang baik.
d. Mengembangakan
kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi.
e. Mengembangkan keterampilan,
kreativitas dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.
f. Menyiapkan anak
untuk memasuki pendidikan dasar.
B. Tujuan
Pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK)
Menurut kurikulum TK adapun tujuan pendidikan di Taman
Kanak-Kanak adalah untuk membantuanak didik mengembangkan berbagai potensi baik
psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional,
kognitif, bahasa, fisik atau motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki
pendidikan dasar.
C. Pendekatan dan Prinsip Pembelajaran di Taman
Kanak-Kanak
1. Pendekatan Pembelajaran di
Taman Kanak-Kanak (TK)
Pendekatan pembelajaran pada Pendidikan Taman Kanak-Kanak
dilakukan dengan berpedoman pada suatu program kegiatan yang telah disusun
sehingga seluruh perilaku dan kemampuan dasar yang ada pada anak dapat
dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Pendekatan pembelajaran pada anak TK
hendaknya memperhatikan pada prinsip-prinsip pembelajaran.
2. Prinsip Pembelajaran di
Taman Kanak-Kanak (TK)
Adapun prinsip-prinsip pembelajaran di Taman Kanak-Kanak
sebagai berikut:
v Pembelajaran berorientasi pada prinsip perkembangan anak.
Pembelajaran berorientasi pada prinsip perkembangan anak
yaitu:
1.
Anak
belajar dengan baik apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan aman
dan tentram secara psikologis.
2.
Siklus
belajar anak selalu berulang.
3.
Anak
belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak–anak lainnya.
4.
Minat
dan keingintahuan anak akan memotivasi belajarnya.
5.
Perkembangan
dan belajar anak memperhatikan perbedaan individu.
v Berorientasi pada kebutuhan anak.
Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan
upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan
baik perkembangan fisik maupun psikis (intelektual, bahasa, motorik dan sosio
emosional). Dengan demikian berbagai jenis kegiatan pemebelajaran hendaknya
dilakukan melalui analisis kebutuhan yang disesuaikan dengan berbagai
aspek-aspek perkembangan dan kemampuan pada masing-masing anak.
v Bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain.
Melalui bermain anak diajak bereksplorasi, menemukan dan
memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak, sehingga pembelajaran menjadi
bermakna bagi anak. Bermain bagi anak merupakan proses kreatif untuk
bereksplorasi dapat mempelajari keterampilan yang baru dan dapat menggunakan
simbol untuk menggambarkan dunianya. Ketika bermain mereka membangun pengertian
yang berkaitan dengan pengalamannya. Pendidik mempunyai peran yang sangat
penting dalam pengembangan bermain anak.
v Menggunakan pendekatan tematik.
Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang dengan menggunakan pendekatan tematik dan beranjak dari tema yang
menarik minat anak. Tema sebagai alat atau sarana atau wadah untuk mengenalkan
berbagai konsep pada anak. Jika pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan
tema, maka pemilihan tema dalam kegiatan pembelajaran hendaknya dikembangkan
dari hal-hal yang paling dekat dengan anak, sederhana serta menarik minat anak. Penggunaan tema
dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas.
v Kreatif dan inovatif.
Proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif dapat
dilakukan oleh pendidik melalui kegiatan-kegiatan yang menarik, membangkitkan
rasa ingin tahu anak, memotivasi anak untuk berfikir kritis dan menemukan
hal-hal baru. Selain itu dala pengelolaan pembelajaran hendaknya dilakukan
secara dinamis. Artinya anak tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek dalam proses
pembelajaran.
v Lingkungan kondusif.
Lingkungan pembelajaran harus diciptakan sedemikian
menarik dan menyenangkan sehingga anak selalu nyaman dalam lingkungan sekolah
baik di dalam maupun di luar ruangan. Lingkungan fisik hendaknya mempehatikan
keamanan dan kenyamanan anak dalam bermain. Penataan ruang harus disesuaikan
dengan ruang gerak anak dalam bermain sehingga dalam interaksi baik pendidika
maupun dengan temannya dapat dilakukan secara demokratis. Selain itu, dalam
pembelajaran hendaknya memberdayakan lingkungan sebagai sumber belajar dengan
memberi kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan kemampuan interpersonalnya
sehingga anak merasa senang walaupun antar mereka berbeda (perbedaan individu).
Lingkungan hendaknya tidak memaksakan anak dari nilai-nilai budayanya yaitu
dengan tidak membedakan nilai-nilai yang
dipelajari di rumah dan di sekolah ataupun di lingkungan sekitar. Penduduk harus
peka terhadap karakteristik budaya masing-masing anak.
v Mengembangkan kecakapan hidup.
Proses pembelajaran harus diarahkan untuk mengembangkan
kecakapan hidup. Pengembangan konsep kecakapan hidup didasarkan atas
pembiasaan-pembiasaan yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan untuk
menolong dirinya sendiri, disiplin dan sosialisasi serta memperoleh
keterampilan dasar yang berguna untuk kelangsungan hidupnya.
No comments:
Post a Comment