Sunday, December 16, 2018

BERMAIN KARTU BILANGAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN KOGNITIF SISWA TAMAN KANAK-KANAK


2.1    Bermain
         A.  Teori Bermain
               Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran di pendidikan anak usia dini adalah bermain dan belajar. Adapun beberapa macam teori bermain menurut para ilmuwan adalah sebagai berikut : Teori-teori bermain banyak dikemukakan oleh para ilmuwan, seperti :
1). Teori rekreasi
   Teori ini berasal dari Schaller dan Lazarus ilmuwan dari Jerman yang berpendapat bahwa permainan merupakan kesikuan untuk menenangkan pikiran         atau     beristirahat.
2). Teori penglepasan
   Teori ini berasal dari Herbert Spencer ahli piker dari Inggris, mengatakan bahwa dalam diri anak terdapat kelebihan tenaga. Sewajarnya ia harus mempergunakan tenaga itu melalui kegiatan bermain.
         3). Teori atavistis
   Teori ini berasal dari Stanley Hall ahli psikologi dari Amerika, berpendapat bahwa di dalam perkembangan anak adalah melalui seluruh taraf kehidupan umat manusia sebelumnya. Atavistis artinya kembali kepada sifat-sifat nenek moyang di masa lalu.

         4). Teori biologis
   Teori ini berasal dari Karl Gross dari Jerman yang mengatakan bahwa permainan merupakan tugas biologis(hidup atau hayat).
         5). Teori Psikologi dalam
   Teori ini berasal dari Sigmund freud dan Adler. Menurut Freud, permainan merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat di daerah bawah sadar, sumbernya berasal dari dorongan nafsu seksual. Menurut Fauzan, M. (2002 : 39-40) Permainan merupakan bentuk pemuasan dari nafsu seksual yang terdapat dikompleks terdesak.

B.  Pentingnya Bermain Untuk Anak Usia Dini
               Bermain merupakan kegiatan yang tidak pernah lepas dari anak. Keadaan ini menarik minat peneliti sejak abad ke 17 untuk melakukan penelitian tentang anak dan bermain. Peneliti ingin menunjukkan sejauhmana bermain berpengaruh terhadap anak, apakah hanya sekedar untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan sosial atau sekedar untuk mengisi waktu luang.
               Pendapat pertama tentang bermain oleh Plato mencatat bahwa anak akan lebih mudah memahami aritmatika ketika diajarkan melalui bermain. Pada waktu itu Plato mengajarkan pengurangan dan penambahan dengan membagikan buah apel pada masing-masing anak. Kegiatan menghitung lebih dapat dipahami oleh anak ketika dilakukan sambil bermain dengan buah apel. Eksperimen dan penelitian ini menunjukkan bahwa anak lebih mampu menerapkan aritmatika dengan bermain dibandingkan dengan tanpa bermain.
               Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang akan dilakukan anak dimasa yang akan datang. Menurut Aristoteles, anak perlu dimotivasi untuk bermain dengan permainan yang akan ditekuni di masa yang akan datang. Sebagai contoh anak yang bermain balok-balokan, dimasa dewasanya akan menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka akan menjadi pelukis, dan lain sebagainya.
               Pada abad ke 18 dan awal abad ke 19, Rousseau dan Pestalozzi mulai menyadari bahwa pendidikan akan lebih efektif jika disesuaikan dengan minat anak. Pernyataan ini mendukung Teori Frobel yang mengatakan bahwa bermain sangat penting dalam belajar. Belajar berkaitan dengan proses konsentrasi. Orang yang mampu belajar adalah orang yang mampu memusatkan perhatian. Bermain adalah salah satu cara untuk melatih anak konsentrasi karena anak mencapai kemampuan maksimal ketika terfokus pada kegiatan bermain dan bereksplorasi dengan mainan.
                 Bermain juga dapat membentuk belajar yang efektif karena dapat memberikan rasa senang sehingga dapat menimbulkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Motivasi instrinsik tersebut terlihat dari emosi positif anak yang ditunjukkan melalui rasa ingin tahu yang besar terhadap kegiatan pembelajaran.
                 Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak memiliki energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang mengatakan bahwa anak bermain (melompat, memanjat, berlari dan lain sebagainya) merupakan manifestasi dari energi yang ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang anak yang telah melemah.
                 Dilanjutkan oleh G Stanley Hall, ia menjabarkan teori bermain sebagai bentuk evolusi dari kegiatan nenek moyangnya dimasa yang lampau. Menurut Hall, kegiatan bermain pada anak menunjukkan pengalaman nenek moyang ras tertentu (pengulangan perkembangan ras). Sebagai contoh, anak yang suka bermain dengan air maka diduga bahwa nenek moyang anak tersebut adalah ikan, anak yang suka melakukan kegiatan memanjat maka diduga bahwa nenek moyang anak tersebut adalah monyet. Teori bermain Hall, sangat dipengaruhi Teori Evolusi Darwin yang pada saat itu memberikan pembaharuan baru dalam ilmu pengetahuan.
                 Seorang tokoh Filsafat, Karl Gross mengatakan bahwa anak bermain untuk mempertahankan kehidupannya. Menurut Gross, awalnya kegiatan bermain tidak memiliki tujuan namun kemudian memiliki tujuan dan sangat berguna untuk memperoleh dan melatih keterampilan tertentu dan sangat penting fungsinya bagi mereka pada saat dewasa kelak, contoh, bayi yang menggerak-gerakkan tangan, jari, kaki dan berceloteh merupakan kegiatan bermain yang bertujuan untuk mengembangkan fungsi motorik dan bahasa agar dapat digunakan dimasa datang.
                 Sigmund Freud berdasarkan Teori Psychoanalytic mengatakan bahwa bermain berfungsi untuk mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara untuk mengurangi kecemasan yang berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukan berupa bermain fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama atau pada saat bermain sendiri. Menurut Freud, melalui bermain dan berfantasi anak dapat mengemukakan harapan-harapan dan konflik serta pengalaman yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, contoh, anak main perang-perangan untuk mengekspresikan dirinya, anak yang meninju boneka dan pura-pura bertarung untuk menunjukkan kekesalannya.
                 Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan bahwa bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman yang berguna untuk masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang sangat baik untuk menerima pelajaran.
                 Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting bagi anak usia dini karena melalui bermain mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah aspek fisik, sosial emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik yaitu melalui permainan motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar keseimbangan, kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun dampak jika anak tumbuh dan berkembang dengan fisik dan motorik yang baik maka anak akan lebih percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki konsep diri yang positif . Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial emosional anak.
                 Bermain mengembangkan aspek sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak mempunyai rasa memiliki, merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk hidup dan bekerja sama dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan bermain dalam kelompok anak juga akan belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan anak yang lain, belajar untuk menguasai diri dan egonya, belajar menahan diri, mampu mengatur emosi, dan belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari sisi emosi, keinginan yang tak terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain imajinasi dan sosiodrama.
                 Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan perhatian dan konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen, melatih ingatan, mengembangkan prespektif, dan mengembangkan kemampuan berbahasa. Konsep abstrak yang membutuhkan kemampuan kognitif juga terbentuk melalui bermain, dan menyerap dalam hidup anak sehingga anak mampu memahami dunia disekitarnya dengan baik.


C.  Bermain harus sesuai dengan tahapan usia anak
          Pendidik seharusnya memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang bermain agar dapat mendukung dan menetapkan kegiatan bermain yang cocok untuk anak. Anak dengan tingkat usia yang berbeda memiliki minat bermain yang berbeda. Tahapan tersebut dapat diprediksi karena telah dilakukan penelitian yang panjang pada setiap tahapan usia anak. Tahapan tersebut secara umum dijabarkan sebagai berikut ;
1. Bayi – Toddler
               Bermain lebih fokus pada keterampilan motorik, pemaksimalan panca indera, kegiatan eksplorasi objek, banyak melakukan gerakan sederhana, gerakan dilakukan tidak bertujuan dan dilakukan berulang-ulang, tidak ada atau belum ada komunikasi, melakukan aktivitas yang sama namun tidak berhubungan dengan anak lain, konsentrasi bermain hanya dengan mainannya sendiri, dan belum mengenal konsep peraturan.
2.  Anak-anak awal – akhir
Pada usia ini anak sudah mulai menunjukkan minat untuk bermain dengan anak lain, sering saling bertukar mainan, sama-sama belajar dengan anak lain untuk membuat peraturan dan bermain dengan peraturan, belajar untuk bekerja sama dalam satu aktivitas, sudah mampu membangun dan menciptakan sesuatu dengan benda, tujuan bermain adalah untuk memperoleh kepuasan pribadi, jika melakukan kegiatan bermain sambil bertanding, anak belum ada keinginan untuk menang, dan anak belajar untuk berhitung, membaca, menulis (kemampuan dasar akademik).
3.  Sekolah dasar
Pada tahap bermain ini, anak sangat tertarik untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan menciptakan mainannya sendiri (berkreasi), mulai menyukai kegiatan bermain yang menggunakan angka dan kode-kode rahasia, mulai menunjukkan siapa dirinya, keahliannya, talenta dan kemampuannya, sudah mulai memahami makna kata, huruf dan angka, sudah mampu membangun konsep kerjasama dan sudah mengenal rasa bersaing.
4.     Memasuki remaja awal
Tahapan bermain memasuki remaja awal yaitu banyak bermain dengan permainan teratur dan terstruktur, bermain dengan peraturan (sport), memiliki motivaasi bermain untuk memperoleh kemenangan (menang berarti mampu mengikuti peraturan), kegiatan terfokus/minat pada kelompok, dan anak belajar untuk memahami lingkungan sosial.
D. Peran bermain dalam belajar dan perkembangan
Salah satu cara anak mendapatkan informasi adalah melalui bermain. Bermain memberikan motivasi instrinsik pada anak yang dimunculkan melalui emosi positif. Emosi positif yang terlihat dari rasa ingin tahu anak meningkatkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian anak terhadap tugas. Emosi negative seperti rasa takut, intimidasi dan stress, secara umum merusak motivasi anak untuk belajar. Rasa ingin tahu yang besar, mampu berpikir fleksibel dan kreatif merupakan indikasi umum anak sudah memiliki keinginan untuk belajar. Secara tidak langsung bermain sangat berpengaruh terhadap keberhasilan anak untuk belajar dan mencapai sukses. Hal ini sesuai dengan teori bermain yang dikemukakan oleh James Sully, bahwa bermain berkait erat dengan rasa senang pada saat melakukan kegiatan (Christianti, 2007:1)
Aktifitas bermain yang belajar memberikan jalan majemuk pada anak untuk melatih dan belajar berbagai macam keahlian dan konsep yang berbeda. Anak merasa mampu dan sukses jika anak aktif dan mampu melakukan suatu kegiatan yang menantang dan kompleks yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Oleh karena itu pendidik seharusnya memberikan materi yang sesaui, lingkungan belajar yang kondusif, tantangan, dan memberikan masukan pada anak untuk menuntun anak dalam menerapkan teori dan melakukan teori tersebut dalam kegiatan praktek.
E.   Ciri Utama Bermain
Pentingnya arti bermain bagi anak mendorong seorang tokoh psikologi dan filsafat terkenal Johan Huizinga untuk ikut merumuskan teori bermain. Ia mengemukakan bahwa bermain adalah hal dasar yang membedakan manusia dengan hewan. Melalui kegiatan bermain tersebut terpancar kebudayaan suatu bangsa. Namun beberapa orang tidak dapat membedakan kegiatan bermain dengan kegiatan tidak bermain. Pendidikan prasekolah yang menerapkan prinsip pendidikan anak dengan belajar yang bermain, mengalami kerancuan dalam makna. Untuk itu perlu diklasifikasikan antara kegiatan bermain dengan kegiatan yang bukan bermain. Menurut Rubin, Fein, & Vandenverg dalam Hughes ada 5 ciri utama bermain yang dapat mengidentifikasikan kegiatan bermain dan yang bukan bermain :
1.      Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri anak. Anak akan melakukannya apabila hal itu memang betul-betul memuaskan dirinya. Bukan untuk mendapatkan hadiah atau karena diperintahkan oleh orang lain.
2.      Bermain dipilih secara bebas oleh anak. Jika seorang anak dipaksa untuk bermain, sekalipun mungkin dilakukan dengan cara yang halus, maka aktivitas itu bukan lagi merupakan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang ditugaskan oleh guru TK kepada murid-muridnya, cenderung akan dilakukan oleh anak sebagai suatu pekerjaan, bukan sebagai bermain. Kegiatan tersebut dapat disebut bermain jika anak diberi kebebasan sendiri untuk memilih aktivitasnya.
  1. Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Anak merasa gembira dan bahagia dalam melakukan aktivitas bermain tersebut, tidak menjadi tegang atau stress. Biasanya ditandai dengan tertawa dan komunikasi yang hidup.
  2. Bermain tidak selalu harus menggambarkan hal yang sebenarnya. Khususnya pada anak usia prasekolah sering dikaitkan dengan fantasi atau imajinasi mereka. Anak mampu membangun suatu dunia yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada, sesuai dengan mimpi-mimpi indah serta kreativitas mereka yang kaya.
  3. Bermain senantiasa melibatkan peran aktif anak, baik secara fisik, psikologis, maupun keduanya sekaligus.
F.  Yang dapat dilakukan oleh pendidik
Adapun upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk menghargai arti bermain itu adalah dengan memberikan pengalaman dan kesempatan aktivitas bermain pada anak. Bermain tanpa dibatasi dengan waktu dan peraturan bermain membuat anak punya banyak waktu untuk eksplorasi sendiri serta mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Untuk upaya tindakan protektif kepada anak, pendidik dapat memberikan kenyamanan dan lingkungan yang mendukung untuk bermain dan merancang lingkungan bermain outdoor. Adapun tujuannya adalah agar kebebasan anak ketika bermain tidak terganggu dengan lingkungan yang membahayakan. Anak dapat memilih mainan apapun dan bermain dengan bebas tanpa takut cedera. Pendidik juga dapat merencanakan kurikulum dengan seksama, menanggapi anak pada saat bermain, peduli akan kebutuhan anak, mengobservasi anak pada saat bermain spontan dan tahu kapan saatnya pendidik memberikan bantuan, mengontrol tingkah laku anak dan membantu anak mengungkapkan perasaan melalui verbal pada saat bermain.
Anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Dorongan alamiah anak adalah bermain. Beberapa manfaat diperoleh dari kegiatan bermain yaitu dapat mengembangkan aspek perkembangan anak. Tahapan perkembangan anak juga dapat menjadi ciri dalam kegiatan bermain anak, sehingga kegiatan bermain dapat diprediksi dan dijadikan acuan dalam perkembangan anak. Ketika pentingnya bermain dapat dipahami oleh pendidik maka pendidik dapat mengupayakan kegiatan bermain menjadi lebih utama dalam kegiatan belajar untuk anak. Upaya lain yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan merancang lingkungan yang kondusif untuk anak bermain, dan menjadi fasilitator serta motivator untuk anak ketika anak sedang bermain.
2.2        Kartu Bilangan
   Permainan ini dirancang sebagai permainan berkelompok. masing-masing anggota kelompok diberi kartu yang beruliskan bilangan ratusan secara acak. Setelah itu mereka disuruh untuk membuat formasi barisan berdasarkan urutan yang dikehendaki, mulai dari yang terkecil atau mulai dari yang terbesar secepat mungkin. Kelompok yang bisa menyusun barisan paling cepat sesuai urutan menjadi pemenang. Demi keleluasaan bermain, sangat disarankan permainan ini dilakukan di luar ruangan.
Kartu bisa dibuat dari kertas yang tidak terpakai, bisa dari bahan bekas kartun minuman yang dipotong dengan ukuran sama.  Misalnya ukuran 12 cm X 17 cm.  Menentukan ukuran kartu bilangan cukup kita perhitungkan bahwa kartu tersebut jika ditulisi bilangan ratusan, masih bisa terbaca jelas dalam jarak 5-7 meter. Biaya yang dikeluarkan untuk media ini cukup sebuah gunting ukuran sedang serta 2 atau 3 spidol besar baik yang permanen atau board maker. Murid murid dalam permainan ini secara tidak langsung juga belajar bekerja sama dalam kelompok dan bagaimana mengembangkan komunikasi yang efektif dalam kelompok mereka. Permainan ini juga bisa dimodifikasi menjadi sebuah permainan bisu atau permainan buta. Pada permainan bisu, mereka dilarang meneriakkan angka mereka, hanya boleh menunjukkan angka pada kartu mereka.
Sebaliknya pada permainan buta mereka tidak boleh menunjukkan angka pada kartu mereka namun boleh meneriakkannya. Dengan modifikasi ini mereka bisa belajar, proses komunikasi mana yang lebih efektif, meneriakkan nomor yang ada pada kartunya atau menunjukkan kartunya sambil memperhatikan kartu teman sekelompoknya. Modifikasi ini juga mengaktifkan secara serentak semua panca indra murid dan saraf motorik mereka. Dengan demikian konsep makna angka yang mereka pegang pada kartunya lebih dipahami murid. Murid bisa membaca angka pada kartu, tahu bagaimana bentuk tulisannya dan yang terpenting mengerti maknanya.                                                        
A.    Bermain Kartu Bilangan
  Kartu bilangan adalah kartu yang memuat satuan matematika yang akrab dan dapat diunitkan, ditambah, atau dikalikan. (KBBI, 2001:510)
  Jadi pengertian bermain kartu bilangan adalah melakukan suatu pekerjaan yang menyenangkan dengan menggunakan kartu yang memuat satuan matematika yang akrab dan dapat diunitkan, ditambah, atau dikalikan. Hal ini  dapat merangsang rasa keingintahuan anak agar anak dapat belajar sambil bermain dengan menggunakan kartu bilangan.                                                                                                                                              
          Dalam bermain kartu bilangan hendaknya dibimbing oleh  pengajar yang notabene adalah orang-orang yang telah mendapat pendidikan anak usia dini, sedangkan dalam pendidikan non formal, pengajarnya bukanlah selalu orang yang berlatar pendidikan guru. Pembelajaran di Taman Kanak-kanak lebih banyak difokuskan pada bidang dasar (basic), yaitu membaca, menulis, dan berhitung yang dikenal dengan “Three Rs” (Tiga R), yaitu Reading, Writing, dan Aritmathic. Istilah “Back to Basic” yang sering didengar tidak lain merupakan istilah “Tiga R” tersebut, yang artinya mengembalikan fokus pembelajaran di Taman Kanak-kanak atau Sekolah Dasar kelas awal kearah kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Di Indonesia “Tiga R” dikenal dengan istilah “calistung”, yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Kegiatan pembelajaran di Taman Kanak-kanak tidak sekedar untuk mengembangkan “Tiga R”, tetapi untuk mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak, terutama aspek kognitif. Di samping itu matematika juga berfungsi untuk mengembangkan kecerdasan anak, khususnya kecerdasan yang oleh Gardner (Hidayat, 2003:55) disebut Logico-mathematics. Kecerdasan Logico-mathematics menyangkut kemampuan seseorang menggunakan bilangan, operasi bilangan dan silogisme. Matematika atau berhitung merupakan hal yang akrab dalam kehidupan manusia. Setiap hari, bahkan setiap menit orang menggunakan matematika. Belanja, menghitung benda, waktu, tempat, jarak, dan kecepatan merupakan fungsi matematis.
            Memahami grafik, tabel, berat, dan volume juga merupakan fungsi matematika. Dengan kata lain matematika sangat penting bagi kehidupan kita. Pada proses perkembangan pada anak usia dini, pada mulanya anak tidak tahu bilangan, angka dan operasi bilangan matematis. Secara bertahap sesuai perkembangan mentalnya anak belajar membilang, mengenal angka dan berhitung. Anak belajar menghubungkan objek nyata dengan simbol-simbol matematika. Sebagai contoh, sebuah jeruk diberi simbol angka “1” dan dua buah jeruk diberi simbol dengan angka “2”. Demikian pula simbol “+” yang berarti dijumlah dan simbol “-“ yang berarti dikurangi.
2.3.  Perkembangan Kognitif
                      Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. Menurut Myers (1996), “cognition refers to all the mental activities associated with thinking, knowing, and remembering.” Pengertian yang hapir senada juga diberkan oleh Margaret W. Matlin (1994), yaitu : “cognition, or mental activity, involves the acquisition, storage, retrieval, and use of knowledge.” Dalam Dictionary Of Psychology karya Drever, dijelaskan bahwa “kognisi adalah istilah umum yang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian dan penalaran”
                      Dari beberapa pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah sebuah istilah yang menunjuk pada semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian dan penalaran, pengolahan informasi, memecahkan masalah serta berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
1). Teori Perkembangan Kognitif Piaget
          Piaget menjabat sebagai profesor psikologi di Universitas Geneva dari 1929 hingga 1975 dan ia paling terkenal karena menyusun kembali teori perkembangan kognitif ke dalam serangkaian tahap, memperluas karya sebelumnya dari James Mark Baldwin, menjadi empat tahap perkembangan yang lebih kurang sama dengan (1) masa infancy, (2) pra-sekolah, (3) anak-anak, dan (4) remaja. Masing-masing tahap ini dicirikan oleh struktur kognitif umum yang mempengaruhi semua pemikiran si anak (suatu pandangan strukturalis yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant). Masing-masing tahap mewakili pemahaman sang anak tentang realitas pada masa itu, dan masing-masing kecuali yang terakhir adalah suatu perkiraan (approximation) tentang realitas yang tidak memadai. Jadi, perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman sang anak tentang lingkungan nya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu tingkat ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur pemikiran. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget)
       Keempat tahap perkembangan itu digambarkan dalam teori Piaget sebagai berikut
1. Tahap sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya   melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
2.   Tahap pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun (mulai memiliki kecakapan
       motorik)
3.   Tahap operasional konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir
       secara logis tentang kejadian-kejadian konkret)
4. Tahap operasional formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).(http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget)
Secara kualitatif perkembangan dari masing-masing tahapan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget untuk usia anak-anak, maksudnya adalah :
a). Tahap Sensori-Motor (0-2).
Pada tahap ini Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi pondasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.
b). Tahap Pra Operasional (2–7).
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.
2)     Kemampuan Matematika
            Penelitian ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan keterampilan kognitif, tetapi pada kesempatan ini penulis lebih mengspesifikasikan kepada keterampilan matematika siswa Taman Kanak-kanak. Guru TK diharapkan dapat membantu anak didik dalam menemukan dan menyerap konsep-konsep dasar dalam matematika sebagai persiapan anak untuk masuk sekolah.
            Menurut Piaget (Hidayat, 2003 : 31), pengenalan matematika sebaiknya dilakukan melalui penggunaan benda-benda konkret dan pembiasaan penggunaan matematika agar anak dapat memahami matematika, seperti berhitung, bilangan, dan operasi bilangan.
   Sebagai contoh, mengingatkan anak tentang tanggal hari ini dan menuliskannya di papan tulis akan melatih anak mengenal bilangan.
            Pada dasarnya setiap anak dianugerahi kecerdasan matematika Psikolog pendidikan dari Fakultas Psikologi UI, Gagan Hartana M. Psi (Hidayat, 2003:100), mengatakan bahwa kecerdasan matematika diartikan kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan matematika sebagai pemecahan masalahnya. Misalnya, saat menanam kecambah kacang hijau, di hari pertama anak melihat kecambah tumbuh, anak dengan kecerdasan matematika akan menebak kecambah akan tumbuh lebih tinggi tanpa melihat kelanjutan pertumbuhannya. Anak menghadapi masalah yang dasar penyelesainnya membutuhkan kemampuan matematika dan mampu berpikir abstrak.
            Menurut Linda dan Bruce Campbell, penulis buku Teaching and Learning Through Multiple Intelligences, inteligensi (Hidayat, 2003: 105) logika matematika biasanya dikaitkan dengan otak yang melibatkan beberapa komponen, yaitu perhitungan secara matematis, berpikir logis, pemecahan masalah, pertimbangan induktif (penjabaran ilmiah dari umum ke khusus), pertimbangan deduktif (penjabaran ilmiah secara khusus ke umum), dan ketajaman pola-pola serta hubungan-hubungan. Intinya, anak bekerja dengan pola abstrak serta mampu berpikir logis dan argumentatif.
            Anak dengan kemampuan ini akan senang berkutat dengan rumus dan pola-pola abstrak. Tapi tak hanya pada bilangan matematika, juga meningkat pada kegiatan yang bersifat analitis, dan konseptual. Hal ini ditegaskan Howard Gardner penulis buku Multiple Intelligences, The Theory in Practice (Hidayat 115), mengatakan bahwa ada kaitan logika matematika dengan kecerdasan linguistik. Pada kemampuan matematika anak menganalisa atau menjabarkan alasan logis, serta kemampuan mengkonstruksi solusi dari persoalan yang timbul. Kecerdasan linguistik diperlukan untuk merunutkan dan menjabarkannya dalam bentuk bahasa.
            Gardner memaparkan ciri anak cerdas matematika, pada usia balita, anak gemar bereksplorasi untuk memenuhi rasa ingin tahunya seperti menjelajah setiap sudut, mengamati benda-benda yang unik baginya. Selain itu, anak juga hobi mengutak-atik benda serta melakukan uji coba. Seperti, bagaimana jika kakiku masuk ke dalam ember penuh berisi air atau penasaran menyusun puzzle.
   Gardner (Hidayat, 2003: 120) mengatakan, Number Sense bisa dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Ketika sedang berhitung Anda bisa mengajak calon bayi berbicara atau berkomunikasi. Pada anak yang kecerdasannya tinggi bisa menyelesaikan persoalan matematika lebih cepat. Strategi memecahkan masalah soal matematika ialah dengan memberikan banyak stimulasi dan diwujudkan dalam keseharian, misalnya menghitung jumlah mobil sedan yang lewat selama 1 menit.
            Belajar yang sangat baik untuk membantu anak didik dalam menemukan dan menyerap konsep-konsep dasar matematika adalah melalui pengamatan, yakni mengobservasikan langsung peristiwa dengan benda-benda konkret. Pengamatan melibatkan penguasaan semua panca indera, tetapi unsur yang terpenting dari panca indera adalah penglihatan. Karena itu pengamatan biasanya diartikan sebagai kemampuan untuk melihat dan mengerti secara cepat. Misalnya anak dapat menyebutkan urutan bilangan dari 1 sampai 10 dengan menggunakan alat atau media yang konkret seperti kartu bilangan. Setelah memperoleh gambaran tentang ruang lingkup dasar matematika, maka diharapkan guru atau pembimbing dapat menerapkan konsep-konsep matematika yang dapat diajarkan di Taman Kanak-Kanak seperti :
·  Menyebutkan urutan bilangan
·  Membilang (mengenakan konsep bilangan) dengan benda-benda.
·  Menghubungkan konsep bilangan dengan lambang bilangan (anak tidak disuruh menulis)
·  Mengenal konsep bilangan sama dan tidak sama, lebih kurang, banyak sedikit, dll.
·  Mengenal lambang bilangan atau angka (anak tidak disuruh untuk menulis)
Sesuai dengan GBPKB TK, kemampuan matematika anak usia dini bertujuan anak didik mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya dan anak didik mampu menghubungkan pengetahuan yang sudah diketahui dengan pengetahuan baru yang diperolehnya. Adapun ruang lingkup yang diharapkan adalah sebagai berikut :
·  Anak mempunyai konsep bilangan dan hitungan.
·  Anak mengenal hubungan antara angka dan bilangan
·  Anak memiliki kemampuan melihat hubungan antara tulisan dan suara
·  Anak memiliki koordinasi otot-otot mata dan motorik tangan
·  Anak mempunyai kemauan untuk mengenal kalimat-kalimat tertulis
·  Intelegensi anak berkembang dengan baik
·  Merangsang kepekaan untuk belajar berhitung.
·  Memiliki keterampilan koordinasi motorik tangan, mata dan pikiran yang baik yang diperlukan untuk membaca dan menulis.
Menurut pengamatan Dienes (Ruseffendi, 2006:156) anak-anak yang menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka yang berkenalan dengan matematika yang sederhana. Yang dimaksud oleh Dienes dengan konsep tersebut adalah struktur matematika yang terdiri dari konsep murni matematika, konsep notasi dan konsep terapan. Ada beberapa alasan anak harus diberi beraneka ragam materi konkret sebagai model (representasi) dari konsep tersebut adalah sebagai berikut :
a.   Dengan melihat berbagai contoh konkret siswa akan mendapatkan penghayatan yang lebih benar.
b.   Dengan banyaknya contoh itu siswa akan lebih banyak menerapkan konsep ke dalam situasi yang lain.
   Dienes berpendapat bahwa ada enam tahap dalam belajar dan mengajarkan konsep matematika kepada siswa. Tahap-tahap  itu ialah bermain bebas, permainan, penelaahan sifat bersama, representasi, penyimbulan, dan pemformalan. Dalam hal mengajarkan matematika pada tingkat Taman Kanak-Kanak, yang akan penulis bahas sebatas pada tahap bermain bebas dan permainan saja mengingat prinsip pembelajaran di Taman Kanak-Kanak yaitu belajar sambil bermain.
   Bermain bebas adalah tahap permulaan anak-anak belajar matematika. Anak-anak beremain dengan benda-benda konkret model matematika. Mereka belajar bebas, tidak diatur dan tidak diarahkan. Siswa belajar konsep matematika dengan memanipulasikan benda-benda konkret. Melalui benda-benda konkret model matematika, secara tidak sengaja siswa berkenalan dengan konsep matematika melalui model matematika tersebut.
      Setelah tahap bermain bebas, tahap yang kedua adalah tahap permainan. Pada tahap ini siswa mulai memahami pola, sifat kesamaan dan ketidaksamaan. Keteraturan dan ketidakteraturan suatu konsep disajikan oleh benda-benda konkret model matematika. Melalui permainan matematika ini akan tertanam dalam benak siswa bahwa matematika itu menyenangkan. Dalam hal ini penulis mencobakan menggunakan model atau media dengan bermain kartu bilangan.
      Pada pengembangan kecakapan aritmatika model Montessori. Latihan sensori sangat penting dalam mempelajari dasar-dasar aritmatika. Metode Montessori mempunyai materi-materi yang sangat banyak untuk tujuan tersebut sehingga memungkinkan siswa menjadi sangat akrab dengan angka-angka pada tahun awal pada saat mereka sangat rensponsif pada pengalaman ini. Ciri fundamental sistem angka tersebut adalah sistem bilangan desimal karena pada usia lima tahun sudah mengenal hitung puluhan maka materi sensori awal latihan dibatasi sampai hitungan sepuluh sampai siswa memperoleh pengetahuan melalui unit-unit tersebut.

2.4 Implementasi atau Hubungan antara Bermain Kartu Bilangan dengan Kemampuan Keterampilan Kognitif  (Matematika) Siswa
      Langkah-Langkah Dalam Mengimplementasikan Bermain Kartu Bilangan dengan Kemampuan Keterampilan Kognitif  (Matematika) Siswa adalah sebagai berikut :
1. Melakukan identifikasi (need assessment) kebutuhan pengembangan Kemampuan Keterampilan Kognitif  (Matematika) Siswa dengan cara :
a. Survey lapangan, untuk melihat dan memahami potensi dan minat anak berdasarkan usia, karakteristik kehidupan dalam keluarga (orang tua) dan potensi lingkungan sekitar.
b. Studi referensi, mengakaji dan memahami perkembangan anak usia dini dan kurikulum Taman Kanak-Kanak, dan menginventarisir bahan-bahan kartu bilangan yang sudah ada dan telah apakah sudah sesaui dengan kurikulum.
2. Analisis data dan inventarisir prioritas kebutuhan permainan
kartu bilangan yang akan dijadikan alat pembelajaran yang sesuai denga kriteria anak usia dini.
3. Menetukan jenis kartu bilangan yang akan dibuat atau dikembangkan
serta mendiskusikan hasil identifiksi untuk menentukan jenis kartu bilangan yang akan dibuat, dikembangkan dengan cara mengadaptasi, memodifikasi, membuat baru yang mengacu pada karakteristik perkembangan kognitifnya dan kebutuhan bermain anak.
4. Membuat rancangan bermain kartu bilangan untuk memudahkan dalam membuat dan mengembangkan kemampuan kognitif siswa.
5. Membuat kartu bilangan dengan formulasi permainan dan sesuai dengan standar alat permainan edukatif yang mengacu pada rancangan yang sudah ditentukan.
6. Uji coba kartu bilangan, kegiatan ini menguji cobakan kartu bilangan  yang sudah dibuat dilakukan secara terbatas, langsung diterapkan pada sasaran pengguna untuk melihat, kesesuaian, kemudahan, dan kemenarikan permainan dan alat permainan edukatif berdasarkan pada kurikulum dan karakteristik anaka termasuk perkembangan kognitifnya.
7. Revisi melakukan pertemuan sesama tim pendidik untuk menelaah analisis hasil uji coba di lapangan dan melakukan diskusi tentang hal-hal yang perlu diperbaiki kartu bilangan  yang sudah dibuat.
8. Master kartu bilangan penyempurnaan kartu bilangan menjadi Master kartu bilangan berdasarkan hasil masukan dan uji coba.
         Contoh Implementasi Bermain Kartu Bilangan dengan Kemampuan Keterampilan Kognitif  (Matematika) Siswa beberapa uraian di atas tentang kemampuan kognitif dan juga tentang bermain kertu bilangan sebagai alat permainan edukatif dapat memberi pandangan kepada guru atau orang tua agar dalam menerapkan pembelajaran sambil bermain, benar-benar harus memperhatikan kondisi perkembangan kognitif anak. Dengan kata lain, Contoh implementasi teori Bermain Kartu Bilangan dengan Kemampuan Keterampilan Kognitif  (Matematika) Siswa adalah sebagai berikut :


      1. Umur 3-4 tahun.
       Pada umur tiga tahun, anak lebih terfokus pada dirinya sendiri. Mereka berusaha menyenangkan orang-orang dewasa disekitarnya dan menunjukkan kemandirian yang lebih besar. Perbendaharaan kalimat katanya meningkat dan mulai tertarik untuk membuat kalimat-kalimat sendiri. Mereka mengerti penjelasan sederhana dan memberi alasan dengan tepat. Permainan menebak dan memasangkan yang sederhana sangat disukainya karena mereka mulai menyukai tantangan. Mereka mengerti konsep angka yang sederhana, misalnya, dua dan tiga. Permainan seperti mencari gambar yang sama, bermain kuda-kudaan dan bermain mur dan baut.
      2. Umur 4-5 tahun
       Anak pada umur empat tahun dapat melakukan lebih banyak hal lagi. Ia lebih berkembang secara sosial, mental, dan fisik. Interaksi dengan teman sebayanya akan mendukung perkembangannya. Mereka senang mengamati perbedaan dan persamaan di gambar, warna, bentuk, ukuran, huruf dan angka. Perkembangan koordinasi keterampilan tangannya juga meningkat pesat, dan mereka berkembang menunjukkan minat pada berbagai aktivitas yang secara alamiah dapat menggerakkan koordinasi dan kontrol otot-otot halus. Koordinasi otot-otot besar juga berkembang dengan baik, meski beberapa anak masih kesulitan dengan bermain melempar bola, menendang, melompat keseimbagan tubuh. Permainan yang sesuai pada tahap ini seperti bermain dengan betuk, bermain kotak rupa-rupa, bermain huruf, bermain memberi nama, dan bermain puzzle, melompati jarak.
       3. Umur 5-6 tahun
       Anak usia 4-6 tahun dapat diajar berpikir kritis dalam berbagai area, yaitu: seni bahasa, matematika, ilmu pengetahuan, dan ilmu sosial. Anak dapat mulai diajarkan keterampilan observasi dasar, seperti mengamati kelompok untuk mencari tahu apa yang membuat kelompok terbentuk. Lewat pengamatan, anak juga dapat diajak memahami apa itu bunyi, udara, air, cahaya, suhu, tanah, serta berbagai kayu dan logam. Dalam melakukan observasi anak dapat diperlengkapi dengan alat bantu seperti kaca pembesar, alat pengukur suhu dan sebagainya. Mereka dapat diberi tugas yang derajat kesulitannya bervariasi: dari mulai mencocokkan nama yang terdapat dalam daftar dengan stimulus tertentu (teman, bunyi, cahaya, dan lain-lain) yang ditampilkan oleh fasilitator, sampai ke menjelaskan karakteristik dari hal yang diamatinya, bahkan menjelaskan hubungan hal-hal itu dengan manusia. Anak juga dapat belajar berpikir kritis dari pengandaian-pengandaian. Anak diminta mengandaikan kejadian yang mungkin terjadi meskipun belum pernah terjadi dalam keseharian mereka. Misalnya mereka diminta untuk membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada air, atau bayangkan jika tak ada cahaya. Anak juga dapat diajak untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Contohnya, minta anak untuk mencari cara lain untuk menulis selain menggunakan ballpoint atau pensil. Atau anak diminta mencari kegunaan lain dari suatu benda. Anak dapat diajarkan untuk menemukan kesalahan-kesalahan dari keseharian dengan menggunakan gambar. Contohnya kepada anak ditunjukkan benda tertentu yang kurang lengkap, lalu minta mereka menemukan lima kesalahan dari gambar itu. Atau kepada anak ditunjukkan gambar orang membuang sampah dan ditanya apa yang salah dengan orang dalam gambar itu, mengapa salah dan bagaimana seharusnya.
2.5    Hakikat Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak
         Taman Kanak-Kanak (TK) memiliki tujuan-tujuan instrumental dan instrinsik. Secara instrumental, Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang bertujuan membantu perkembangan anak sebelum pendidikan dasar. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27/1990 tentang Pendidikan Dasar Prasekolah (yang masih berlaku saat ini) dinyatakan :
“Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur pendidikan prasekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah.
Bentuk satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman Kanak-kanak, Kelompok Bermain, Penitipan anak, dan bentuk lain yang ditetapkan oleh menteri.
Pendidikan prasekolah bertujuan untuk membantu meletakan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan,dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dalam lingkungannya. Dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya”.

         Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut disiapakan susunan program kegiatan anak dalam memasuki Sekolah Dasar (SD), yang meliputi kesiapan belajar anak yang berisi kesiapan fisik, intelektual, emosional dan sosial. Hal ini menempatkan TK sebagai jembatan antara rumah atau keluarga dengan sekolah.
         Hal ini terjadi karena lingkungan keluarga dan sekolah adalah dunia yang berbeda. Berbagai penyesuaian baru dituntut di SD, terutama ketika anak mulai mamasuki pendidikan dasar. Jadi pengalaman anak-anak di TK berfungsi sebagai jembatan antara rumah dan sekolah. TK mengemban misi untuk menciptakan kesinambungan pengalaman antara dunia anak-anak dalam keluarga dengan kehidupan dan tuntutan belajar di SD.
         Dengan demikian pendidikan TK menjadi instrumental bagi pendidikan di SD dan jenjang pendidikan selanjutnya. Dasar-dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diletakkan pada usia pendidikan pra sekolah bukan hanya berpengaruh pada tingkat SD, melainkan sepanjang hayat.
         Pendidikan TK juga mengandung tujuan instrinsik yakni membantu perkembangan anak sejak usia dini agar tumbuh  dan berkembang secara wajar sebagai anak dalam aspek-aspek fisik, keterampilan, pengetahuan, sikap dan perilaku sosial. Dimensi intrinsik itulah justru yang amat penting dan lebih mendasar dalam pendidikan TK.
         Filosofi yang mendasari setiap proses pendidikan termasuk di TK bahwa anak adalah sentral dari seluruh proses pendidikan. Nilai esensi dari segala proses pendidikan tersebut adalah mengantarkan anak agar tumbuh dan berkembang menuju kematangan, kemandirian dan kedewasaan.
         Syarat utama agar pendidikan sekolah berhasil ialah anak harus siap untuk belajar dan sekolahpun harus siap pula untuk mendidik anak dengan baik. Kesiapan belajar anak meliputi kesiapan fisik, intelektual atau mental, dan sosial. Dalam hal ini, anak harus memasuki masa peka. Masa peka adalah masa prima untuk menguasai kepandaian tertentu yang muncul dari diri anak dalam melatih suatu fungsi atau kesangguapan tertentu pada dirinya. Misalnya masa untuk belajar berjalan, bicara, dan mengenal angka serta huruf. Masa peka ditandai dengan adanya suatu hal yang penting agar diperhatikan untuk memupuk kemampuan-kemampuan dan bakat pada anak.
         Kemunculan masa peka pada setiap anak berbeda-beda, karena pada masa perkembangan otak anak mengenal suatu proses yang disebut “gunakan atau baikan”. Perkembangan otak anak tidak berjalan secara linear, tetapi semua bagian dari otak dapat distimulasi pada saat yang bersamaan. Dengan demikian, setiap otak dapat diperhitungkan perkembangannya sehingga dapat ditemukan atau diperkirakan masa peka anak untuk menguasai kepandaian tertentu. Masa-masa peka untuk mempelajari kecerdasan tertentu ini disebut dengan jendela kesempatan atau window of opportunity (Rilantono dalam buletin “Dadu”, 2002: 33).
         Ciri-ciri masa peka ini dapat dilihat pada hal-hal berikut ini,
1.      Adanya perubahan perilaku (secara psikologi).
2.      Timbul minat pada dirinya, misalnya senang memperhatikan angka, dapat disimpulkan masa pekanya untuk mengenal angka sudah tiba. Senang coret-coret maka dapat disimpulkan bahwa masa pekanya untuk belajar menulis sudah tiba.
3.      Tergantung atau dipengaruhi oleh pembawaan dan mileu tempat anak itu hidup serta pendidikan yang diberikan kepadanya.

         A.    Fungsi  Pendidikan di Taman Kanak-Kanak
Menurut kurikulum TK adapun fungsi pendidikan di Taman Kanak-Kanak adalah sebagai berikut:
a.   Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak.
b.  Mengenalkan anak dengan dunia sekitar.
c.   Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik.
d.  Mengembangakan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi.
e.   Mengembangkan keterampilan, kreativitas dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.
f.   Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.
B.   Tujuan Pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK)
Menurut kurikulum TK adapun tujuan pendidikan di Taman Kanak-Kanak adalah untuk membantuanak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik atau motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar.
C.   Pendekatan dan Prinsip Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak
1.         Pendekatan Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak (TK)
Pendekatan pembelajaran pada Pendidikan Taman Kanak-Kanak dilakukan dengan berpedoman pada suatu program kegiatan yang telah disusun sehingga seluruh perilaku dan kemampuan dasar yang ada pada anak dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Pendekatan pembelajaran pada anak TK hendaknya memperhatikan pada prinsip-prinsip pembelajaran.
2.         Prinsip Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak (TK)
Adapun prinsip-prinsip pembelajaran di Taman Kanak-Kanak sebagai berikut:
v  Pembelajaran berorientasi pada prinsip perkembangan anak.
Pembelajaran berorientasi pada prinsip perkembangan anak yaitu:
1.      Anak belajar dengan baik apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan aman dan tentram secara psikologis.
2.      Siklus belajar anak selalu berulang.
3.      Anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak–anak lainnya.
4.      Minat dan keingintahuan anak akan memotivasi belajarnya.
5.      Perkembangan dan belajar anak memperhatikan perbedaan individu.
v  Berorientasi pada kebutuhan anak.
Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik perkembangan fisik maupun psikis (intelektual, bahasa, motorik dan sosio emosional). Dengan demikian berbagai jenis kegiatan pemebelajaran hendaknya dilakukan melalui analisis kebutuhan yang disesuaikan dengan berbagai aspek-aspek perkembangan dan kemampuan pada masing-masing anak.
v  Bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain.
Melalui bermain anak diajak bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak, sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi anak. Bermain bagi anak merupakan proses kreatif untuk bereksplorasi dapat mempelajari keterampilan yang baru dan dapat menggunakan simbol untuk menggambarkan dunianya. Ketika bermain mereka membangun pengertian yang berkaitan dengan pengalamannya. Pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan bermain anak.
v  Menggunakan pendekatan tematik.
Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang dengan menggunakan pendekatan tematik dan beranjak dari tema yang menarik minat anak. Tema sebagai alat atau sarana atau wadah untuk mengenalkan berbagai konsep pada anak. Jika pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan tema, maka pemilihan tema dalam kegiatan pembelajaran hendaknya dikembangkan dari hal-hal yang paling dekat dengan anak, sederhana serta menarik minat anak. Penggunaan tema dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas.
v  Kreatif dan inovatif.
Proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif dapat dilakukan oleh pendidik melalui kegiatan-kegiatan yang menarik, membangkitkan rasa ingin tahu anak, memotivasi anak untuk berfikir kritis dan menemukan hal-hal baru. Selain itu dala pengelolaan pembelajaran hendaknya dilakukan secara dinamis. Artinya anak tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek dalam proses pembelajaran.

v  Lingkungan kondusif.
Lingkungan pembelajaran harus diciptakan sedemikian menarik dan menyenangkan sehingga anak selalu nyaman dalam lingkungan sekolah baik di dalam maupun di luar ruangan. Lingkungan fisik hendaknya mempehatikan keamanan dan kenyamanan anak dalam bermain. Penataan ruang harus disesuaikan dengan ruang gerak anak dalam bermain sehingga dalam interaksi baik pendidika maupun dengan temannya dapat dilakukan secara demokratis. Selain itu, dalam pembelajaran hendaknya memberdayakan lingkungan sebagai sumber belajar dengan memberi kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan kemampuan interpersonalnya sehingga anak merasa senang walaupun antar mereka berbeda (perbedaan individu). Lingkungan hendaknya tidak memaksakan anak dari nilai-nilai budayanya yaitu dengan tidak membedakan  nilai-nilai yang dipelajari di rumah dan di sekolah ataupun di lingkungan sekitar. Penduduk harus peka terhadap karakteristik budaya masing-masing anak.
v  Mengembangkan kecakapan hidup.

Proses pembelajaran harus diarahkan untuk mengembangkan kecakapan hidup. Pengembangan konsep kecakapan hidup didasarkan atas pembiasaan-pembiasaan yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri, disiplin dan sosialisasi serta memperoleh keterampilan dasar yang berguna untuk kelangsungan hidupnya.

No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive